Maaf ya pembaca-pembaca, author updatenya masih lama dan mungkin nggak terlalu banyak. Doain author bisa update cepat dan banyak, ya!>< Jika menyukai buku ini terus berikan like, vote dan comment, ya! Author menghargai semua dukungan yang diberikan untuk buku ini, terima kasih!
Embun meletakkan cangkir kopinya ke atas meja dan beralih mengambil air putih. Dia meminumnya dengan agak banyak, seperti ingin menghilangkan rasa yang ada di mulutnya. "Ada masalah, Kak?" tanya Nicholas. Ia heran melihat reaksi Embun setelah minum kopi. Namun, Embun hanya menggeleng dan mengatakan, "Tidak apa-apa." Sebenarnya, tidak tepat jika dikatakan tidak ada masalah. Namun, menurut Embun, ini bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Hanya saja, kopi yang baru saja dia minum rasanya sama sekali tidak menyegarkan, cenderung terlalu pahit dan pekat. Embun menduga ada kesalahan suhu saat membuatnya. Dan seharusnya ada yang menyadari hal ini. Karena bisa bahaya kalau sampai pelanggan yang menyadarinya lebih awal. Namun, bukan ranahnya untuk mengomentari hal tersebut. Embun di sini hanya sebagai seorang pelanggan saja. Tidak lama kemudian, makanan yang Nicholas pesan datang dan mereka berdua langsung mencobanya. Untuk hidangan satu ini, Embun harus mengakui bahwa ia menikmatin
"Maaf, Pak Heru… Bukannya--" Pada akhirnya, karena Pak Heru tampak tidak menyadari kecerobohannya, Embun hendak menegurnya. Namun ucapannya disela oleh Nicholas. "Kak, sepertinya aku harus pergi sekarang." Tiba-tiba Nicholas berucap. Pria itu tampak mengernyit sembari menatap ponsel di tangan. "Aku harus kembali ke kantor." Dan seperti ingin menjelaskan lebih lanjut, Nicholas menambahkan, “Ada beberapa masalah yang harus segera diurus, kak.” Embun berkedip sekali, agak terkejut. "Ah, baik, Nic. Hati-hati, ya." Nicholas mengangguk dengan senyum lebar pada Embun, kemudian berdiri. Melihat itu, Pak Heru ikut berdiri dan sedikit menunduk saat menyalami Nicholas. Pak Heru ingin memberikan kesan baik kepada semua anggota keluarga Rahardja, termasuk Nicholas. Menjadi seorang manajer di hotel ini adalah suatu pencapaian yang luar biasa, dan pria itu tidak ingin mengacaukannya. Nicholas tersenyum tipis pada Pak Heru dan berbisik dengan suara rendah agar Embun tidak bisa mendengar mer
"Saya percaya pada pria itu." Pak Heru sempat ingin bertanya lebih lanjut mengenai ucapan Embun tersebut, terutama mengenai atasannya dan hubungan mereka berdua. Namun, kemudian ia urung. Manajer hotel tersebut khawatir itu akan memengaruhi kerja sama mereka. Di kepala pria paruh baya tersebut terngiang ucapan Kaisar bahwa kerja sama ini lebih penting dari apa pun. Nicholas juga khusus berpesan padanya agar memastikan kalau kesepakatan ini berjalan lancar. Oleh karena itu, Pak Heru tidak bertanya apa pun dan mengulurkan tangan pada Embun. Keduanya berjabat tangan, menandakan bahwa kesepakatan mereka berdua dimulai saat itu. “Mohon kerja samanya, Bu Embun.” Embun mengangguk dan tersenyum. “Semoga kerja sama kita lancar ya, Pak.” Karena tidak ada hal lain untuk didiskusikan lagi, Embun berniat untuk pulang. "Terima kasih atas waktunya, Pak Heru," ucap Embun disertai senyum. Ia kemudian berpamitan kepada Pak Heru. Sepeninggal Embun, Pak Heru buru-buru menelepon Kaisar. Wajahny
“Dia … aku dan pria itu–” “Permisi. Dengan Ibu Embun?” Ucapan Aletta terputus. Perhatian Embun dan Aletta otomatis teralihkan. Seorang petugas keamanan hotel berdiri tak jauh dari mereka. Tubuhnya sedikit membungkuk ketika berbicara. “Ya?” Embun menyahut. Petugas keamanan itu menunjuk ke sebuah mobil biru yang terparkir tidak jauh dari mereka. “Mohon maaf, Ibu. Taksi yang dipesan sudah datang,” ucap pemuda berseragam itu dengan sopan. “Atas nama Ibu Embun.” Embun terkesiap. “Ah, ya. Terima kasih,” balasnya. Sepertinya ia sibuk dengan pikirannya sendiri cukup lama hingga tidak menyadari bahwa kendaraan jemputannya sudah datang. Karena tergesa, Embun melupakan informasi yang hendak diberikan oleh Aletta dan bergegas menuju taksi yang ia pesan. Pada Aletta kemudian wanita itu berkata, “Maaf, Aletta. Saya saya harus pergi. Kita mengobrol lain kali ya.” Dengan senyum ramahnya, Embun meninggalkan Aletta yang melambaikan tangannya, meskipun tampak enggan, pada Embun. “Sial. Nyaris
"Ka–" "Aku dengar tadi kamu–" Baik Embun maupun Kaisar sama-sama berhenti bicara. Wanita berambut sebahu itu melihat Kaisar menaikkan alisnya, tanda bertanya dan tampak heran. "Maaf," ucap Kaisar kemudian. "Silakan bicara dulu, Embun." Namun, Embun menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Apa yang mau kamu katakan?" Ia justru balas bertanya. Kaisar bergumam pelan. Alih-alih mengatakan apa yang akan ia ucapkan tadi, pria itu justru membuka rak dapur bagian atas dan mengeluarkan celemek untuk dipakai Embun. "Ini," ucap Kaisar. Suami Embun tersebut tampak kaku saat menyerahkannya pada Embun. Suasana juga berubah sedikit canggung karena Kaisar hanya berdiri di depan Embun sembari menatap istrinya tersebut sementara Embun memasang celemeknya sendiri. "Kenapa dia menatapku seperti itu?" batin Embun, tidak paham arti dari pandangan Kaisar. Namun, khas Kaisar, ia tidak mengatakan apa pun selama beberapa saat. Hingga akhirnya pria itu berkata, "Aku dengar tadi kamu makan siang dengan
Apakah Kaisar sedang cemburu? Pada keponakannya sendiri? Mana mungkin! Memang, pemuda itu lebih ramah dan tampak mudah bergaul dengan siapa saja, cukup berbeda dengan Kaisar. Tapi tetap saja– “Saya tidak masalah, Kaisar,” tanggap Embun, memotong pikiran sang suami. “Seperti yang saya bilang tadi, Nicholas senang sekali menggoda orang,” Kaisar makin mengernyit. “Tetap saja,” sahut pria itu. “Kamu adalah istriku, Embun. Tante untuk Nicholas. Aku rasa, panggilan ‘kak’ kurang tepat.” Embun menoleh pada sang suami. Sejujurnya, ia merasa heran. Kenapa Kaisar begitu kaku tentang masalah panggilan? Sementara itu, Kaisar pun menoleh menatap Embun karena tidak mendengar jawaban sang istri. Hening sejenak, sebelum kemudian pria itu bertanya, “Tapi apakah kamu suka panggilan itu?” Embun memiringkan kepalanya sedikit. “Panggilan ‘kak’ terdengar lebih muda dibandingkan ‘tante’, bukan?” Ia balas bertanya dengan nada ringan, mencoba bercanda dengan Kaisar. Akan tetapi, Kaisar menghela nap
"Ayo berangkat. Aku akan mengantarmu me kafe." Embun berusaha menghilangkan keterkejutannya dengan cepat dan mengikuti Kaisar menuju mobil karena usai mengatakan hal itu, suaminya tersebut langsung berbalik dan pergi. Meski begitu, Kaisar membukakan pintu mobil di sisi penumpang untuknya. "Saya pikir kamu sudah berangkat sejak pagi seperti biasa, Kaisar," ucap Embun ketika Kaisar duduk di kursi pengemudi. "Maaf, saya tidak menyiapkan sarapan." "Tidak masalah," tanggap Kaisar. Pria itu menyalakan mesin. "Tadi aku mencoba membangunkanmu, tapi sepertinya kamu sangat kelelahan." Wajah Embun bersemu, merasa malu. "Kamu masuk ke kamar saya?" "Tidak. Hanya mengetuk pintu." Embun mengangguk-angguk. Meskipun begitu, dirinya tak bisa dicegah untuk berpikir berapa lama Kaisar berdiri di depan pintu kamarnya, mengetuk pintu sembari memanggil-manggil Embun sementara yang dipanggil masih sibuk di alam mimpi. "... Berapa lama kamu coba membangunkan saya?" Akhirnya, Embun bertanya. Mendenga
“Aku harus berbuat sesuatu mengenai Aletta.” Dengan penuh tekad, Kaisar mencoba menemukan cara untuk membuat Aletta menyadari posisinya sembari mengemudikan mobil menuju kantor. Karena tampaknya wanita itu sama sekali tidak berniat untuk mundur, sekalipun ia tahu Kaisar sudah menikah. Meskipun pernikahan Kaisar dan Embun berawal dari berjodohan dan dilandasi oleh kesepakatan alih-alih cinta, sama seperti yang pernah Kaisar katakan pada sang istri, ia tidak berniat main-main dalam pernikahan ini. ** Beberapa hari berlalu. Di kantornya, Embun masih tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal untuk membuka cabang baru di Asthana Hotel. Kali ini, wanita itu tengah mengecek berkas lamaran pekerjaan yang ia pasang beberapa waktu yang lalu. Ia membutuhkan banyak pegawai baru yang nantinya akan ia tempatkan di kafe pusat dan di hotel. Tiba-tiba, pintu kantornya diketuk. “Selamat siang, Bu,” sapa manajer kafenya setelah Embun persilakan untuk masuk. “Salah satu kandidat rekomendasi saya