“Seret dia yang benar!”Nicholas menggumamkan sesuatu di balik kantong hitam yang menutupi kepalanya. Ia tidak tahu sekarang dirinya tengah dibawa ke mana dan dengan alasan apa ia diperlakukan demikian.Yang jelas, saat ini tubuh Nicholas terasa lemas dan tidak bisa ia kontrol sesuai keinginannya. Dua orang berbadan kekar tengah mengapit lengan Nicholas, masing-masing satu, dan menyeret pria muda itu.Ujung sepatu Nicholas beradu dengan lantai beton, menimbulkan suara gesekan.Ini pasti karena obat yang dipaksakan Xander padanya tadi. Selain membuat syaraf Nicholas terasa seperti lumpuh, obat tadi membuat Nicholas dalam kondisi setengah sadar.Ia tidak tahu harus melakukan apa sekarang.Keponakan Kaisar itu mendengar suara pintu terbuka dan dia dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan–terdengar dari gemanya.Lalu, pergelangan tangan Nicholas diikat dan tubuhnya yang masih terasa lemah digantung di langit-langit. Sekalipun kakinya bisa menyentuh lantai, tapi Nicholas tidak dapat berdiri.B
"... Berikan aku waktu dulu. Ya?"Bahu Kaisar langsung turun mendengar hal itu. Tubuhnya terasa lemas saat Embun merespons demikian."Embun, jangan seperti itu," ucap Kaisar. Pria itu tampak putus asa. Tangan Kaisar yang besar menyentuh milik Embun yang sedang ada di pipinya, lalu menggenggamnya lembut, menahan tangan sang istri agar tetap di sana. "Aku bisa berikan penjelasan." Kaisar berkata lagi. Enggan melepaskan Embun."Kaisar, aku sudah dengar," ucap Embun. Suaranya pelan dan lembut, tidak meninggi seperti orang marah pada umumnya. "Aku bukannya mengabaikan ceritamu. Penjelasanmu cukup, untuk saat ini.""Aku tidak melakukan apa pun dengan wanita itu, Embun." Kaisar kembali menegaskan. "Aku pingsan saat itu.""Iya." Embun mengangguk. "Tapi ... waktu itu aku juga tidak ingat, Kaisar."Pria itu terkejut. Apakah Embun bicara soal insiden di hotel waktu itu? Saat minuman dengan obat perangsang yang diberikan Aletta pada Kaisar, salah diminum oleh Embun?Memang benar saat itu Embun
Sudah beberapa kali Rindang berusaha menghubungi ponsel sang adik, tapi tidak diangkat.Dan itu membuatnya khawatir."Astaga, Embun. Gunanya ponsel itu buat komunikasi! Punya ponsel kok kalau ada telepon tidak diangkat."Itu adalah omelan khas Rindang setiap kali Embun tidak mengangkat teleponnya.Namun, kali ini, wanita itu mengomel pada dirinya sendiri karena ia hanya bisa mendengar nada sambung di ponselnya, bukan sahutan Embun.Sebenarnya tidak apa-apa. Pernah satu dua kali Embun tidak mengangkat telepon Rindang karena sedang ada urusan. Dan Rindang maklum akan hal itu.Akan tetapi, saat ini dirinya tidak bisa diminta tenang."Apa Embun tahu soal Paman dan Bibi?" gumam Rindang pada dirinya sendiri. Dua orang tadi sempat mengunjunginya, dengan tidak tahu malu. Namun, langsung diusir oleh Rindang. "Tadi ia tidak mengatakan apa pun soal mereka. Tapi siapa tahu?"Lalu dengan keputusan bulat, Rindang mengatakan, "Aku harus memperingatkannya."Karena itu, sejak sepuluh menit yang lalu,
"Embun, kamu," Rindang menghela napas, "jangan buru-buru begitu."Embun terdiam.Jika dikatakan terburu-buru, sebenarnya tidak salah juga. Embun benar-benar ingin segera pergi dari sana, sampai-sampai ia sanggup jika memang harus berhadapan dengan administrasi serta kesulitan yang dibuat-buat oleh asisten Dion itu. "Tapi aku mau ketemu," ucap Embun pelan, tanpa sadar sedikit merengek pada kakaknya.Rindang sendiri tidak menyangka kalau Embun akan menampilkan sisi yang ini padanya kali ini. Kalau sudah seperti ini, berarti adiknya ini sudah tidak baik-baik saja.Bahkan mungkin sudah lebih parah dari saat kasus dengan mantan kekasih Kaisar waktu itu."Oke, oke. Mau dijemput di mana? Jam berapa?""Nanti aku kabari lagi, Kak," balas Embun. "Aku berkemas dulu.""Nanti kalau Kakak belum balas juga, telepon ya.""Iya, Kak."Setelah itu, panggilan diakhiri. Embun tidak tahu sebenarnya apakah alasan sebenarnya Rindang menghubunginya. Namun, hal itu bisa ditanyakan nanti. Telepon Rindang bena
"Harus pulang dulu ke ibu kota, Sel," jawab Embun sementara Kaisar memasukkan kopornya ke bagasi mobil. "Sudah izin tapi? Soalnya kan besok kamu ada kelas," balas rekan Embun tersebut. "Oh, makanya kamu dipanggil. Ke sana dulu, Kak Embun.""Iya." Meski mengatakan itu, Embun tidak bergerak dan justru mengalihkan pandangan.Pihak sini pasti berniat menahannya lagi.Embun sudah dengan sengaja tidak mengecek ponselnya lagi setelah mengirim pesan bahwa ia akan pergi. Dan ia juga mengemas barangnya dengan cepat.Semuanya agar ia tidak harus berhadapan langsung dan berakhir tidak diizinkan pergi lagi."Lho, ayo, Kak. Aku antar," ucap rekan Embun lagi. "Soalnya tadi--""Maaf, kami sedang buru-buru." Tiba-tiba Kaisar berdiri di sebelah Embun. Pria itu menatap si rekan kerja dengan wajah datar, tapi sepasang matanya penuh dominasi. "Istri saya perlu istirahat. Dia sudah dua kali pingsan di sini dan dari rumah sakit memberikan surat rekomendasi. Kami akan kirimkan nanti setelah kami sampai."
"Boleh aku memelukmu?" Embun terdiam sejenak mendengar pertanyaan sekaligus permintaan Kaisar. Wanita itu kemudian mengangguk, tidak kuasa menolak. Setelah mendapatkan izin, Kaisar melepaskan sabuk pengaman mereka berdua dan dengan lembut menarik Embun dalam rengkuhan tangannya. Namun, posisi mereka yang kurang nyaman pada akhirnya membuat Kaisar membawa Embun ke pangkuannya. "H-hei," protes Embun, tapi sudah terlambat. Kaisar sudah menenggelamkan wajahnya di bahu Embun, memeluk wanita itu dengan erat. "... Jaga dirimu baik-baik, Embun," ucap Kaisar. Suaranya teredam karena ia masih saja menyembunyikan wajahnya di bahu Embun. "Jangan melewatkan makan. Jangan menggampangkan sakit. Istirahatlah yang cukup." Mendengar rentetan kalimat Kaisar membuat hati Embun tersentuh. Apalagi nada suara sang suami saat mengatakannya. Seperti penuh penyesalan dan enggan melepaskan. Wanita itu menggigit pipi bagian dalamnya, menahan agar ia tidak mengeluarkan suara yang tidak perlu
"Bu Embun. Ada tamu." "Siapa?" tanya Embun, berjaga-jaga. "Kakaknya, Bu." Embun mengangguk. "Boleh antarkan ke sini? Terima kasih." Usai Embun mengucapkan itu, Bening bangkit berdiri dan membereskan beberapa berkas. "Bu, aku di ruangan sebelah ya." Wanita muda itu meringis. "Mau bereskan beberapa hal dulu, nanti aku lanjut laporannya ke Ibu." Embun tersenyum. "Terima kasih, Bening. Besok kita jadwalkan rapat, dengan manajer cabang juga ya." Setelah Bening meninggalkan ruangan, Rindang muncul diantar karyawan kafe yang bekerja di bagian depan. Kakak Embun tersebut mengamati sang adik lamat-lamat sebelum kemudian memeluk Embun. "Hobinya sok kuat," omel Rindang pelan di depan telinga Embun. "Kan lagi di tempat kerja, Kak," gumam Embun. Namun, perlahan ekspresinya yang tadinya tampak profesional saat berbincang dengan karyawannya hilang, berganti menjadi ekspresi sedih dan ingin menangis. "Kak, capek. Bingung." Rindang mengusap punggung Embun, naik turun, berkali-kali untuk men
"Sebenarnya, apa bisnis Kaisar sampai-sampai bisa punya rumah di kawasan ini, Embun? Benarkah cuma kos-kosan biasa?"Embun melihat layar ponselnya lagi. "Mungkin bukan di kawasan elitnya, Kak. Bisa jadi hanya di area sekitaran sana."Lalu, istri Kaisar itu melihat sang kakak. "Ternyata Kaisar kirim supir buat antar juga, Kak. Kak Rindang mau pindah aja ke sana?"Karena penasaran dan ingin memastikan rumah adik iparnya, Rindang mengangguk."Tadi sudah izin sama orang rumah?" tanya Embun kemudian saat mereka menuruni tangga ke lantai 1."Sudah." Rindang menjawab singkat."Keponakanku gimana?""Sama bapaknya."Embun mengangguk-angguk. Tidak biasanya Rindang menjawab sependek dan selugas ini kalau Embun bertanya soal keponakan. Biasanya, si kakak akan menambahkan cerita soal tingkah apa yang diperbuat anaknya, atau kabar terbaru apa di rumah tangganya.Namun, Embun tidak bertanya lebih jauh.Keduanya diantarkan ke rumah Kaisar setelah Embun berpamitan pada para karyawannya, serta mengatak