“Oh, sudah berkumpul semua ternyata.” Wanita itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang mendadak menjadi senyap. Tatapannya berhenti saat bertemu pandang dengan Embun.Matanya menyipit memindai penampilan Embun dari ujung kepala hingga ujung kaki. Embun mengenakan minidress berpotongan sederhana berwarna salem, dengan riasan wajah yang sangat natural. Tidak ada kesan mewah dalam penampilan Embun.“Saya Embun, Ma.” Embun berdiri dari duduknya, menghampiri Lidya dan mengulurkan tangan kanannya, namun tak disambut oleh wanita di hadapannya itu."Jangan panggil aku mama. Aku tidak mengizinkanmu memanggilku dengan sebutan itu," balas Lidya tidak menghiraukan Embun dan berlalu begitu saja dari hadapan Embun. Semua orang melihat ke arah mereka. Embun tersenyum sumir menurunkan tangan kanannya.“Jadi, kamu wanita yang dijodohkan suamiku untuk Kaisar?” Lidya masih bersuara di belakang Embun.Baru ketika Embun berbalik untuk menjawab, Kaisar sudah berdiri di dekatnya, menatap Embun d
[Dia sudah kembali]Sebuah pesan singkat yang dilampiri dengan tiga buah foto seorang perempuan cantik bertubuh semampai, mencuri perhatian perhatian Lidya yang tengah menikmati segelas smoothie, sarapannya pagi itu.Dengan sigap Lidya meraih ponsel dan membuka notifikasinya. Senyum menyeringai tersungging di wajah tanpa keriputnya.Foto pertama yang dilihatnya memperlihatkan seorang wanita yang tengah berjalan menyeret travel bag berukuran sedang di pintu kedatangan internasional bandara. Foto kedua menampilkan wanita yang sama tengah menelepon seseorang dan menuju lobi bandara. Foto ketiga menunjukkan wanita cantik itu memasuki sebuah mobil mewah berwarna hitam di depan lobi bandara.Lidya mengerjabkan matanya. Sesaat tadi ingatannya melayang pada pesan yang diterimanya tiga hari lalu, sehari sebelum pertemuannya dengan keluarganya di kediaman Kaisar.Dan siang ini, Lidya sudah duduk di salah satu restoran favoritnya menunggu kedatangan wanita dalam foto itu.“Aku tidak percaya, aku
Kaisar sedang menandaskan kopinya ketika Embun keluar dari kamarnya. Wanita itu sudah rapi dengan setelan kerjanya.“Kamu sudah mau berangkat ke kafe?” tanya Kaisar menatap Embun yang sedang duduk di hadapannya menyantap sarapan pagi.“Iya. Hari ini ada pengiriman bahan-bahan makanan ke kafe, dan karyawan yang bertanggungjawab sedang izin sakit. Meski ada karyawan lain yang menggantikan, tapi saya harus tetap mengawasinya,” jawab Embun setelah duduk di hadapan Kaisar dan memulai memakan sarapan pagi.Kaisar melirik jam tangannya. Masih pukul enam lebih lima belas menit.“Kamu mau saya antarkan ke kafe?” Kaisar menawarkan tumpangan.Embun buru-buru menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, Kaisar. Saya bawa mobil sendiri saja. Kantormu tidak searah dengan kafe saya. Kalau kamu mengantar saya lebih dulu, nanti malah kamu yang terlambat tiba di kantor. Apalagi sekarang Senin pagi, pasti macet di mana-mana.” Embun menolak halus tawaran Kaisar. Kaisar menganggukkan kepalanya. Setelah menyel
“Kamu tidak menggunakan kartu dari saya?” Beberapa hari lalu, Kaisar memeriksa laporan keuangan pribadinya. Sejujurnya dia merasa terkejut mendapati mutasi rekeningnya yang hampir tak berkurang.Embun yang saat itu sedang memotong buah melon menghentikan kegiatannya. Mata coklat perempuan itu mengerjap, keningnya mengernyit sambil menghampiri Kaisar yang duduk di meja makan. “Saya pakai, kok, untuk membeli kebutuhan rumah.”“Hanya kebutuhan rumah? Kamu tidak memakainya untuk kebutuhan pribadimu?”Embun tersenyum kecil. “Tidak setiap bulan saya membeli kebutuhan pribadi. Lagipula kalau saya butuh, saya bisa menggunakan uang saya sendiri.”Sebenarnya Embun masih ingat bagaimana ucapan Kaisar dulu saat menyinggung kartu kredit yang diberikan padanya. Kaisar seperti tidak senang jika ia menggunakan kartu kredit untuk keperluan yang lain, jadi sejak saat itu Embun berusaha untuk tidak menggunakan kartu kredir Kaisar, kecuali jika memang sangat diperlukan.“Kartu itu sudah saya berikan unt
Awalnya Kaisar memberikan kartu hitam pada Embun untuk melihat apakah wanita itu akan menghamburkan uangnya dengan sesuatu yang tidak berguna, dan menguji wanita itu dengan kekayaan Kaisar yang ia tunjukan sekarang. Kalau dengan kekayaan Kaisar yang sekarang saja wanita itu akan bertingkah seperti orang kaya baru, berarti semua wanita sama saja, dan Kaisar tidak akan meneruskan pernikahannya. Namun, ternyata istrinya justru benar-benar tidak menggunakan kartu kredit yang pernah ia berikan. Itu sebenarnya adalah hal yang bagus, karena alasan Kaisar menutupi identitasnya selama ini adalah untuk menguji wanita itu, dan Embun bisa dianggap telah lulus ujiannya. Kaisar bisa saja memberitahukan identitas aslinya pada Embun. Kaisar mengedarkan pandangannya pada sekeliling kafe, meneliti setiap sudut. Dari pandangannya sebagai seorang pebisnis, membuat dan menciptakan kafe yang bisa ramai pengunjung seperti ini tidak mudah, tetapi Embun berhasil melakukannya. Kali ini ada rasa penasaran d
Mata Embun menyipit ketika dia baru saja menutup pintu apartemen. Keadaan apartemen begitu gelap, hanya ada cahaya dari luar. Embun tidak tahan dengan kegelapan ini, jadi ia ingin cepat-cepat pergi ke kamarnya. Namun, suara berat menghentikan langkahnya. “Kenapa baru pulang?” Embun memutar tubuhnya, menatap Kaisar yang duduk di ruang duduk sambil menggoyangkan gelas berisi cairan keunguan di hadapannya. Kaisar sedang mabuk! Merasa tidak enak jika menjawab dari tempatnya berdiri, Embun melangkah mendekati Kaisar. “Saya mampir ke rumah Kak Rindang setelah pulang dari kafe.” Kaisar diam, lalu meletakkan gelas berkaki yang sejak tadi dipegangnya ke meja, dan mendongak menatap Embun yang berdiri di hadapannya. “Kamu tidak pantas menjadi seorang istri,” desis Kaisar pelan. “Apa maksudmu, Kaisar?” Embun berjengit menatap tidak suka pada pria di hadapannya. Embun tahu jika Kaisar sedang mabuk, tetapi ucapannya tidak bisa Embun terima. Apa Kaisar seperti ini karena dirinya pulang malam?
Embun dan Friska tiba di lobby hotel dan mereka melihat pria yang dijodohkan Friska sudah duduk di salah satu sofa tunggal. Mungkin untuk menunjukkan kesan pertama yang baik di hadapan pihak perempuan, pria itu lebih dulu tiba, bahkan ia mengenakan setelah jas rapi hitam lengkap dengan dasi hitam. Friska menarik Embun menghampiri pria itu. Ibunya mengatakan pria yang akan bertemu dengan Friska akan mengenakan pakaian serba hitam. Friska bisa melihat aura dingin dan mencekam menguar dari tubuh pria itu, Friska tanpa sadar jadi bergidik ngeri. Pakaiannya saja hitam semua, dia mau pergi kencan atau melayat? “Permisi, Dion?” Pria bernama Dion mendongak lalu memerhatikan Friska dan Embun dari atas sampai bawah. Dia tidak tahu mana wanita mana yang akan menjadi teman kencannya. Ia hanya diberitahu wanita yang akan menjadi teman kencannya bernama Friska, jadi ia tidak tahu yang mana yang bernama Friska. Dion berdiri dan mengancingkan jas kemejanya, mengulurkan tangan sebagai bentuk sopan
“Maaf, Dion, kurasa kita berdua sama sekali tidak cocok. Jadi, sepertinya kita tidak perlu bertemu lagi.” Friska mengatakannya langsung pada Dion setelah kembali dari toilet, bahkan Friska masih berdiri saat mengatakan hal itu.Friska tidak peduli jika dirinya tidak sopan, tetapi ia sudah tidak ingin berlama-lama di sana. Lalu, Friska menarik tangan Embun yang masih duduk, membuat Embun sedikit kebingungan.“Ya, aku juga tidak ingin bertemu lagi denganmu,” jawab dingin Dion.Embun dan Friska menoleh bersamaan setelah mendengar pria yang dijodohkan pada Friska bisa berkata seperti itu. Pria itu benar-benar menunjukkan perasaannya secara terang-terangan.Harga diri Friska terinjak-injak. Ia langsung mengamit tangan Embun dan menariknya dari sana, lalu berbalik pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi pada Dion.Saat berbalik pergi, tiba-tiba Embun berhenti.“Ada apa, Embun?”“Kaisar,” lirih Embun menatap ke depan.Friska tidak tahu siapa Kaisar. “Kaisar itu siapa?” tanya Friska sambil menga