Embun dan Friska tiba di lobby hotel dan mereka melihat pria yang dijodohkan Friska sudah duduk di salah satu sofa tunggal. Mungkin untuk menunjukkan kesan pertama yang baik di hadapan pihak perempuan, pria itu lebih dulu tiba, bahkan ia mengenakan setelah jas rapi hitam lengkap dengan dasi hitam. Friska menarik Embun menghampiri pria itu. Ibunya mengatakan pria yang akan bertemu dengan Friska akan mengenakan pakaian serba hitam. Friska bisa melihat aura dingin dan mencekam menguar dari tubuh pria itu, Friska tanpa sadar jadi bergidik ngeri. Pakaiannya saja hitam semua, dia mau pergi kencan atau melayat? “Permisi, Dion?” Pria bernama Dion mendongak lalu memerhatikan Friska dan Embun dari atas sampai bawah. Dia tidak tahu mana wanita mana yang akan menjadi teman kencannya. Ia hanya diberitahu wanita yang akan menjadi teman kencannya bernama Friska, jadi ia tidak tahu yang mana yang bernama Friska. Dion berdiri dan mengancingkan jas kemejanya, mengulurkan tangan sebagai bentuk sopan
“Maaf, Dion, kurasa kita berdua sama sekali tidak cocok. Jadi, sepertinya kita tidak perlu bertemu lagi.” Friska mengatakannya langsung pada Dion setelah kembali dari toilet, bahkan Friska masih berdiri saat mengatakan hal itu.Friska tidak peduli jika dirinya tidak sopan, tetapi ia sudah tidak ingin berlama-lama di sana. Lalu, Friska menarik tangan Embun yang masih duduk, membuat Embun sedikit kebingungan.“Ya, aku juga tidak ingin bertemu lagi denganmu,” jawab dingin Dion.Embun dan Friska menoleh bersamaan setelah mendengar pria yang dijodohkan pada Friska bisa berkata seperti itu. Pria itu benar-benar menunjukkan perasaannya secara terang-terangan.Harga diri Friska terinjak-injak. Ia langsung mengamit tangan Embun dan menariknya dari sana, lalu berbalik pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi pada Dion.Saat berbalik pergi, tiba-tiba Embun berhenti.“Ada apa, Embun?”“Kaisar,” lirih Embun menatap ke depan.Friska tidak tahu siapa Kaisar. “Kaisar itu siapa?” tanya Friska sambil menga
Benar. Memangnya Embun berbuat salah? Ia hanya menemani Friska yang memiliki urusan, dan dirinya tidak melakukan apa-apa. Lagipula, mereka sepakat untuk tidak mengurus urusan pribadi masing-masing. Tetapi, kenapa ia tetap merasa bersalah? “Yah, seharusnya saya bisa memberitahumu lebih dulu,” balas Embun akhirnya. “Kamu sudah menjelaskannya padaku. Tidak perlu minta maaf.” Embun hanya mengangguk mendengar perkataan Kaisar. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke jalanan di depan. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa ada di hotel itu juga tadi?” Embun mencoba memecah keheningan yang terjadi selama beberapa menit di antara mereka. “Saya ada urusan pekerjaan di sana.” Embun menganggukan kepala lagi. “Kamu ingat tempat pesta yang pernah saya datangi? Waktu itu tempatnya di salah satu aula di hotel itu.” “Iya, di Nusantara Ballroom.” Embun langsung memutar kepalanya dan menatap Kaisar. Bagaimana pria itu tahu nama aulanya? Ingatan Embun cukup tajam. Waktu itu juga tiba-tiba Kaisar ber
Tanpa sadar Embun menahan napasnya. Tiba-tiba, jantungnya berdetak lagi dengan cepat. Ia tidak salah dengar, bukan? “Sudah sana ambil udangnya,” kata Kaisar lagi, dan Embun baru tersadar. “Oh, iya,” balas Embun lalu membalikkan diri dan berjalan ke arah konter makanan laut sambil memegangi dadanya. Pria itu benar-benar membuatnya hampir gila. Setelah tadi malam dia mabuk dan menciumnya, lalu tiba-tiba muncul di hadapannya dan mengenggam tangannya, sekarang pria itu berkata tidak akan meninggalkannya lagi, dan menyebut dirinya sendiri dengan ‘aku’?! Mengapa Kaisar tiba-tiba menyebut dirinya sendiri dengan ‘aku’ di saat mereka tidak perlu berpura-pura menunjukkan kemesraan di hadapan orang lain? Embun memegang keningnya, “Yang tidak waras ini sebenarnya aku atau dia?” *** “Kamu duduk diam saja,” perintah Kaisar ketika mereka tiba di apartemen mereka dan berlalu menuju dapur sambil membawa belanjaan. “Kenapa? Ini sudah waktunya makan malam, saya akan masak makan malam,” kata Emb
"Apa ada sesuatu yang membuatmu ragu?" Suara Kaisar membuat Embun mendongak, mengalihkan fokusnya dari pamflet di tangan. "Ya?" Pikirannya sempat terpecah, membuat Embun tidak terlalu mendengarkan ucapan suaminya. Kaisar menatap wanita di hadapannya tersebut selama beberapa waktu sebelum berkata, "Makanlah dulu. Nanti kita bicarakan kembali mengenai kerja sama itu." Embun mengangguk. Namun, otaknya kemudian berputar mencari topik lain untuk dibicarakan dengan Kaisar. Ia tidak ingin suasana makan malam mereka berubah hening dan canggung. "Dari mana kamu belajar memasak?" Wanita berambut hitam sebahu tersebut membuka topik lain yang lebih ringan saat suaminya menuang air putih dari teko untuk mereka berdua. Kaisar meletakkan segelas air putih di dekat Embun, sebelum meneguk miliknya sendiri. Baru setelahnya, pria itu menjawab, "Resep, video, hasil percobaan memasak sendiri." Ada senyum tipis membayang di bibirnya. Embun balas tersenyum. "Saya pikir ada seseorang yang mengajari
"Ah, kudengar kafe di hotel itu melayani selama 24 jam," gumam yang lainnya. Dengungan mulai menyebar dan makin keras hingga Embun menghela napas. "Tenang, semua," tegur manajer kafe menengahi. "Ini kan baru rencana. Bu Embun pasti ingin yang terbaik untuk kafe ini." Embun mengangguk. "Betul. Ini masih berupa rencana," ucap Embun. Kontrak kerja sama belum ada, dan mereka baru akan membicarakannya dengan bantuan Kaisar. "Saya masih akan bertemu dengan beberapa pihak untuk bicara terkait hal ini. Namun, saya melihat kesempatan ini sebagai hal yang positif." Kemudian, Embun melanjutkan, "Terima kasih atas respons dan pemikiran kalian, tapi jangan khawatir. Untuk saat ini, tetap fokus seperti biasa dan--" Ucapan Embun terhenti saat ponselnya berdering. Wanita itu mengambil ponsel dan melihat siapa yang menghubunginya. Kaisar. Waktu yang tepat. "Baiklah, semua. Selamat bekerja kembali." Embun membubarkan pertemuan singkat pagi itu sebelum mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Kaisar
"Jangan berani kamu mengeruk harta yang seharusnya jadi milikku!" Aletta masuk ke dalam mobilnya dan membanting pintu. Gadis itu kemudian menarik napas dalam-dalam beberapa kali, sebelum kemudian berkata pada dirinya sendiri. "Oke. Satu per satu terlebih dahulu." Ia mengetikkan sesuatu di ponselnya, dan menaruh ponsel itu ke dalam tas tangannya. “Lihat saja, Embun. Aku tidak akan tinggal diam.” Setelah itu ia menyalakan mobil dan memindahkan persneling. Ada satu tempat yang harus ia tuju. * Sementara itu, ketika taksi yang ia sewa berhenti di depan lobi hotel, Embun bergegas membayar ongkos dan turun. "Selamat datang di hotel kami, Bu Embun." Wanita berambut sebahu itu heran saat mendapati seorang pria paruh baya, dan berpakaian rapi menyambutnya begitu ia turun dari taksi. Di belakang pria tersebut berdiri beberapa pegawai hotel, yang Embun kenali dari seragam mereka. Para pegawai hotel itu serempak membungkuk dan berseru dengan lantang, “Selamat datang di hotel kami, Bu Em
"Oleh karena itu, baru-baru ini beliau memutus kontrak kerja sama dengan pemilik kafe saat ini." Pak Heru menunjuk ke salah satu sudut di lantai dasar tempat mereka berdiri. Embun bisa melihat di sudut yang ditunjuk oleh Pak Heru, beberapa orang tengah mengangkat beberapa properti yang sepertinya digunakan oleh kafe tersebut. Dan Embun agak terkejut ketika melihat papan dengan nama salah satu kafe terkenal di kota itu. Kafe itu sempat viral beberapa tahun yang lalu, dan sejak saat itu kafe tersebut mengalami lonjakan penjualan yang bisa dibilang sangat tinggi. Pak Heru pun melanjutkan. "Seperti yang saya bilang, beliau sangat perfeksionis. Dia tidak segan memutus kerja samanya dengan siapapun. Tidak peduli seberapa terkenalnya kafe tersebut." Kemudian, pria paruh baya itu tersenyum pada Embun. "Pak Kaisar sangat merekomendasikan kafe Anda, Bu Embun," ujar Pak Heru. "Beliau mengatakan bahwa menu-menu yang disediakan di kafe Bu Embun sangat variatif dan bercita rasa baik. Selain i