Kaisar sedang menandaskan kopinya ketika Embun keluar dari kamarnya. Wanita itu sudah rapi dengan setelan kerjanya.“Kamu sudah mau berangkat ke kafe?” tanya Kaisar menatap Embun yang sedang duduk di hadapannya menyantap sarapan pagi.“Iya. Hari ini ada pengiriman bahan-bahan makanan ke kafe, dan karyawan yang bertanggungjawab sedang izin sakit. Meski ada karyawan lain yang menggantikan, tapi saya harus tetap mengawasinya,” jawab Embun setelah duduk di hadapan Kaisar dan memulai memakan sarapan pagi.Kaisar melirik jam tangannya. Masih pukul enam lebih lima belas menit.“Kamu mau saya antarkan ke kafe?” Kaisar menawarkan tumpangan.Embun buru-buru menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, Kaisar. Saya bawa mobil sendiri saja. Kantormu tidak searah dengan kafe saya. Kalau kamu mengantar saya lebih dulu, nanti malah kamu yang terlambat tiba di kantor. Apalagi sekarang Senin pagi, pasti macet di mana-mana.” Embun menolak halus tawaran Kaisar. Kaisar menganggukkan kepalanya. Setelah menyel
“Kamu tidak menggunakan kartu dari saya?” Beberapa hari lalu, Kaisar memeriksa laporan keuangan pribadinya. Sejujurnya dia merasa terkejut mendapati mutasi rekeningnya yang hampir tak berkurang.Embun yang saat itu sedang memotong buah melon menghentikan kegiatannya. Mata coklat perempuan itu mengerjap, keningnya mengernyit sambil menghampiri Kaisar yang duduk di meja makan. “Saya pakai, kok, untuk membeli kebutuhan rumah.”“Hanya kebutuhan rumah? Kamu tidak memakainya untuk kebutuhan pribadimu?”Embun tersenyum kecil. “Tidak setiap bulan saya membeli kebutuhan pribadi. Lagipula kalau saya butuh, saya bisa menggunakan uang saya sendiri.”Sebenarnya Embun masih ingat bagaimana ucapan Kaisar dulu saat menyinggung kartu kredit yang diberikan padanya. Kaisar seperti tidak senang jika ia menggunakan kartu kredit untuk keperluan yang lain, jadi sejak saat itu Embun berusaha untuk tidak menggunakan kartu kredir Kaisar, kecuali jika memang sangat diperlukan.“Kartu itu sudah saya berikan unt
Awalnya Kaisar memberikan kartu hitam pada Embun untuk melihat apakah wanita itu akan menghamburkan uangnya dengan sesuatu yang tidak berguna, dan menguji wanita itu dengan kekayaan Kaisar yang ia tunjukan sekarang. Kalau dengan kekayaan Kaisar yang sekarang saja wanita itu akan bertingkah seperti orang kaya baru, berarti semua wanita sama saja, dan Kaisar tidak akan meneruskan pernikahannya. Namun, ternyata istrinya justru benar-benar tidak menggunakan kartu kredit yang pernah ia berikan. Itu sebenarnya adalah hal yang bagus, karena alasan Kaisar menutupi identitasnya selama ini adalah untuk menguji wanita itu, dan Embun bisa dianggap telah lulus ujiannya. Kaisar bisa saja memberitahukan identitas aslinya pada Embun. Kaisar mengedarkan pandangannya pada sekeliling kafe, meneliti setiap sudut. Dari pandangannya sebagai seorang pebisnis, membuat dan menciptakan kafe yang bisa ramai pengunjung seperti ini tidak mudah, tetapi Embun berhasil melakukannya. Kali ini ada rasa penasaran d
Mata Embun menyipit ketika dia baru saja menutup pintu apartemen. Keadaan apartemen begitu gelap, hanya ada cahaya dari luar. Embun tidak tahan dengan kegelapan ini, jadi ia ingin cepat-cepat pergi ke kamarnya. Namun, suara berat menghentikan langkahnya. “Kenapa baru pulang?” Embun memutar tubuhnya, menatap Kaisar yang duduk di ruang duduk sambil menggoyangkan gelas berisi cairan keunguan di hadapannya. Kaisar sedang mabuk! Merasa tidak enak jika menjawab dari tempatnya berdiri, Embun melangkah mendekati Kaisar. “Saya mampir ke rumah Kak Rindang setelah pulang dari kafe.” Kaisar diam, lalu meletakkan gelas berkaki yang sejak tadi dipegangnya ke meja, dan mendongak menatap Embun yang berdiri di hadapannya. “Kamu tidak pantas menjadi seorang istri,” desis Kaisar pelan. “Apa maksudmu, Kaisar?” Embun berjengit menatap tidak suka pada pria di hadapannya. Embun tahu jika Kaisar sedang mabuk, tetapi ucapannya tidak bisa Embun terima. Apa Kaisar seperti ini karena dirinya pulang malam?
Embun dan Friska tiba di lobby hotel dan mereka melihat pria yang dijodohkan Friska sudah duduk di salah satu sofa tunggal. Mungkin untuk menunjukkan kesan pertama yang baik di hadapan pihak perempuan, pria itu lebih dulu tiba, bahkan ia mengenakan setelah jas rapi hitam lengkap dengan dasi hitam. Friska menarik Embun menghampiri pria itu. Ibunya mengatakan pria yang akan bertemu dengan Friska akan mengenakan pakaian serba hitam. Friska bisa melihat aura dingin dan mencekam menguar dari tubuh pria itu, Friska tanpa sadar jadi bergidik ngeri. Pakaiannya saja hitam semua, dia mau pergi kencan atau melayat? “Permisi, Dion?” Pria bernama Dion mendongak lalu memerhatikan Friska dan Embun dari atas sampai bawah. Dia tidak tahu mana wanita mana yang akan menjadi teman kencannya. Ia hanya diberitahu wanita yang akan menjadi teman kencannya bernama Friska, jadi ia tidak tahu yang mana yang bernama Friska. Dion berdiri dan mengancingkan jas kemejanya, mengulurkan tangan sebagai bentuk sopan
“Maaf, Dion, kurasa kita berdua sama sekali tidak cocok. Jadi, sepertinya kita tidak perlu bertemu lagi.” Friska mengatakannya langsung pada Dion setelah kembali dari toilet, bahkan Friska masih berdiri saat mengatakan hal itu.Friska tidak peduli jika dirinya tidak sopan, tetapi ia sudah tidak ingin berlama-lama di sana. Lalu, Friska menarik tangan Embun yang masih duduk, membuat Embun sedikit kebingungan.“Ya, aku juga tidak ingin bertemu lagi denganmu,” jawab dingin Dion.Embun dan Friska menoleh bersamaan setelah mendengar pria yang dijodohkan pada Friska bisa berkata seperti itu. Pria itu benar-benar menunjukkan perasaannya secara terang-terangan.Harga diri Friska terinjak-injak. Ia langsung mengamit tangan Embun dan menariknya dari sana, lalu berbalik pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi pada Dion.Saat berbalik pergi, tiba-tiba Embun berhenti.“Ada apa, Embun?”“Kaisar,” lirih Embun menatap ke depan.Friska tidak tahu siapa Kaisar. “Kaisar itu siapa?” tanya Friska sambil menga
Benar. Memangnya Embun berbuat salah? Ia hanya menemani Friska yang memiliki urusan, dan dirinya tidak melakukan apa-apa. Lagipula, mereka sepakat untuk tidak mengurus urusan pribadi masing-masing. Tetapi, kenapa ia tetap merasa bersalah? “Yah, seharusnya saya bisa memberitahumu lebih dulu,” balas Embun akhirnya. “Kamu sudah menjelaskannya padaku. Tidak perlu minta maaf.” Embun hanya mengangguk mendengar perkataan Kaisar. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke jalanan di depan. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa ada di hotel itu juga tadi?” Embun mencoba memecah keheningan yang terjadi selama beberapa menit di antara mereka. “Saya ada urusan pekerjaan di sana.” Embun menganggukan kepala lagi. “Kamu ingat tempat pesta yang pernah saya datangi? Waktu itu tempatnya di salah satu aula di hotel itu.” “Iya, di Nusantara Ballroom.” Embun langsung memutar kepalanya dan menatap Kaisar. Bagaimana pria itu tahu nama aulanya? Ingatan Embun cukup tajam. Waktu itu juga tiba-tiba Kaisar ber
Tanpa sadar Embun menahan napasnya. Tiba-tiba, jantungnya berdetak lagi dengan cepat. Ia tidak salah dengar, bukan? “Sudah sana ambil udangnya,” kata Kaisar lagi, dan Embun baru tersadar. “Oh, iya,” balas Embun lalu membalikkan diri dan berjalan ke arah konter makanan laut sambil memegangi dadanya. Pria itu benar-benar membuatnya hampir gila. Setelah tadi malam dia mabuk dan menciumnya, lalu tiba-tiba muncul di hadapannya dan mengenggam tangannya, sekarang pria itu berkata tidak akan meninggalkannya lagi, dan menyebut dirinya sendiri dengan ‘aku’?! Mengapa Kaisar tiba-tiba menyebut dirinya sendiri dengan ‘aku’ di saat mereka tidak perlu berpura-pura menunjukkan kemesraan di hadapan orang lain? Embun memegang keningnya, “Yang tidak waras ini sebenarnya aku atau dia?” *** “Kamu duduk diam saja,” perintah Kaisar ketika mereka tiba di apartemen mereka dan berlalu menuju dapur sambil membawa belanjaan. “Kenapa? Ini sudah waktunya makan malam, saya akan masak makan malam,” kata Emb
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi