Terima kasih, Kak Rindang, karena sudah mewakili omelan author beserta para pembaca ^^
“Bisa-bisanya kamu membiarkan adikku sendirian di saat seperti ini.” Kaisar cukup terkejut dengan kalimat sapaan tersebut, tapi tidak ia tunjukkan. Apalagi dalam suaranya yang menyahut Rindang dengan tenang, “Selamat sore, Kak.” Di seberang saluran telepon, Rindang mendengkus. “Tidak ada penyangkalan?” balas Rindang. “Jujur, Kaisar. Kamu tahu berita-berita yang sedang menyerang Embun di luaran saja, kan?” Mendengar pertanyaan itu, Kaisar mengernyit. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke bawah, cemberut lebih dalam. Selama beberapa hari ini, sejak berita pertama keluar, Kaisar sudah memerintahkan para bawahannya untuk mengatasi pemberitaan yang beredar. Hanya saja, karena sudah menyebar dan viral, serta bercabang ke mana-mana, pemberitaan mengenai Embun tidak bisa “dimatikan” begitu saja. Perlu ada rencana yang dipikirkan dengan matang. Akan tetapi, bukan berarti Kaisar abai dengan berita-berita tersebut. Ialah yang justru kemungkinan paling tahu mengenai apa yang mereka katakan meng
“Embun. Selamat malam.” Embun tertegun. Langkahnya terhenti beberapa meter dari pria itu. Rasanya, sudah lama sekali ia tidak mendapati pria itu berdiri di sana, untuk menjemputnya seperti apa yang sering ia lakukan. “Malam, Kaisar,” balas Embun kemudian. Ia berdeham, tiba-tiba merasakan perasaan aneh di dasar perutnya. “Ada apa?” Suasana di antara mereka terasa canggung, setelah Embun pergi begitu saja dari kamar Kaisar pagi itu. “Menjemputmu,” ucap Kaisar. Perlahan, pria itu berjalan mendekati Embun dan dengan lembut mengambil tas yang sejak tadi dijinjing oleh sang istri, berisi baju-baju kotor Embun. Kaisar juga mengambil alih tas slempang Embun dari bahu wanita itu dan menyampirkannya di bahunya sendiri. Meskipun begitu, sepasang mata Kaisar tidak mengalihkan fokusnya dari wajah Embun. “Kamu tampak lelah.” Pria itu berkomentar pelan. Embun berdeham sekali lagi, kemudian menunduk. Kaisar melakukan semua itu seakan-akan ia sering melakukannya–atau biasa melakukannya, hing
“Embun, semua ini bukan salahmu.”Wanita itu menatap sang suami dalam diam selama beberapa saat, hingga kemudian Kaisar melanjutkan.“Apa yang sedang terjadi saat ini, memang sangat disayangkan, dan perlu penanganan cepat,” kata pria itu. “Tapi tidak satu pun hal itu yang disebabkan karena kamu melakukan sesuatu yang salah.” Hening sejenak, sebelum kemudian Kaisar menambahkan, “Jadi jangan makin membebani pikiranmu dengan memikirkan hal-hal buruk.”Embun kembali menunduk, menatap makanan di hadapannya. “Bagaimana tidak?” gumam Embun pelan. “Bisnis kafe ini terancam dan goyah, setelah sempat melejit beberapa bulan. Para karyawanku tampak gelisah, baik yang baru maupun yang lama. Hal yang sama terjadi dengan restoran di Asthana Hotel. Baru saja disahkan, tapi sudah terlibat kasus saja. Apalagi itu adalah bentuk kerja samaku dengan pihak hotel.”Wanita itu menghela napas panjang.“Belum lagi … Kak Rindang.” Embun memejamkan matanya sesaat. “Pasti kesulitan karena aku.”Ia mengingat gosi
“Jika kamu tidak keberatan, apakah kamu mengizinkanku untuk membantumu sekali lagi?”Membantu?Ucapan Kaisar membuat Embun tertegun. Tentunya ia sangat familier dengan kata itu karena di banyak kesempatan, suaminya tersebut memang membantu Embun.Mulai dari–ah, awal pernikahan? Berkat Kaisar, Embun bisa keluar dari rumah mertua Rindang. Pria itu kemudian juga membantunya mengembangkan bisnis, membuka jalan hingga Embun berani melangkah lebih jauh dengan kafenya.Sekali waktu Embun mendapatkan masalah di luar kota, Kaisar bahkan menjemputnya.Lalu insiden minuman waktu itu–Pria itu sudah berbuat banyak.Dan itu cukup bagi Embun.Karenanya, Embun tersenyum pada suami yang dijodohkan padanya tersebut. “Terima kasih, Kaisar,” ucapnya. “Tapi sepertinya aku harus menolak.”Sedetik yang lalu, Kaisar hampir yakin bahwa Embun akan menerima bantuannya. Karenanya, pria itu terkejut saat sang istri menolak bantuannya.“Apakah ada masalah, Embun?” tanya Kaisar. Suaranya yang dalam terdengar hati-
“Apa bagusnya restoran ini? Ini hasil main belakang antara petinggi hotel dan wanita kalangan bawah, bukan?”Friska terkejut mendengar ucapan dari pasangan kencan butanya kali ini. Kemarahan memenuhi dadanya. Ia bahkan samoai tidak tahu mana yang lebih menyinggungnya, pertanyaan si pria asing tentang apa yang menarik dari restoran Embun ini, tuduhan pria itu, atau bagaimana ia menyebut Embun sebagai wanita kalangan bawah.“Pelayan!” Sebelum Friska sempat bereaksi, pasangan kencannya mengangkat tangan dan memanggil pelayan dengan suara keras. “Rekomendasikan aku minuman di sini. Yang paling mahal.”Dengan terburu-buru, salah seorang pramusaji mendatangi meja mereka untuk mengonfirmasi pesanan. Namun, teman kencan Friska mengusirnya dengan tidak sabar.“Yang, Paling. Mahal.”Baru juga tiga menit, Friska sudah mengetahui bahwa pria ini sombong, menyebalkan, dan tidak tahu sopan santun.Gadis itu heran. Mengapa makin lama, pasangan kencan butanya makin tidak punya akhlak begini? Kualitasn
“Konyol.”Setelah kata itu terucap, Friska seperti baru menyadari bahwa ia sudah melanggar batas. Namun, ia tidak menyesalinya karena apa yang ia ucapkan itu jujur, sekalipun hal itu membuat pria di hadapannya langsung bangkit berdiri dengan marah.Ah, tapi mungkin itu karena es kopi yang Friska siram ke kepala pasangan kencannya.“Wanita kurang ajar!” sergah pria itu. Kursi yang tadi ia duduki terjungkal ke belakang lantaran pria ini berdiri terlalu kasar dan tiba-tiba.Awalnya, Friska hanya mendongak sembari tetap duduk di kursinya. Namun, tiba-tiba saja pergelangan tangannya dicengkeram begitu kuat dan ditarik hingga ia berdiri. Gadis itu mengaduh pelan, berusaha menarik tangannya kembali.“Anda–”“Jangan sok mengajariku, dasar kampungan! Perempuan bodoh!” Teman kencan Friska mendorong gadis itu, di saat yang bersamaan dengan ia melepaskan cengkeramannya di tangan Friska, membuat gadis itu terhuyung ke belakang.Tangan Friska kelabakan mencari tempat untuk bertumpu, saat kakinya
Friska mengernyit sekali lagi, merasa heran. Kenapa Nicholas harus berterima kasih? “Bagaimana?” Nicholas bertanya lagi ketika tidak mendapatkan respons apa pun dari Friska. Ia mengira bahwa gadis itu keberatan bergabung dengan orang yang tidak ia kenal. Pria itu hampir menyinggung tentang identitasnya saat Friska tiba-tiba saja mengangguk. “Baiklah.” Friska melihat sekeliling. “Di mana mejamu?” Nicholas tersenyum. “Mari, Nona,” ucapnya, membawa Friska ke mejanya. Ia bahkan menarik kursi untuk gadis itu duduki. “Mau pesan apa?” “Hm?” Friska mendongak. “Yah.” Nicholas mengangkat bahu. “Es kopimu kan sudah tidak bersisa. Mau kupesankan menu andalan di sini?” Ia tersenyum lebih lebar. “Tenang. Bukan yang paling mahal kok.” Wajah Friska memerah, teringat ucapan pasangan kencannya tadi. “Hei. Jangan menggodaku begitu,” balasnya. Nicholas terkekeh pelan. “Maaf,” katanya. “Jadi?” “Es kopi lagi saja. Terima kasih.” Pria di hadapannya mengangguk dan memesan minuman untuk Friska. Sem
“Kalau begitu, maukah kamu membantuku lagi?” Alis Nicholas terangkat satu saat mendengar pertanyaan itu. Sekalipun terdengar mencurigakan, keponakan Kaisar Rahardja tersebut sama sekali tidak ragu saat menyanggupi pertanyaan Friska, sosok wanita yang baru saja ia kenal–yang tampaknya lebih tua darinya tersebut. “Oke.” Friska tertawa kecil. “Kamu tidak perlu waktu berpikir?” tanyanya. “Aku bahkan belum menjelaskan.” Nicholas mengangkat bahu. “Tampaknya menarik,” balas pria yang lebih muda dari Friska itu. “Dan menantang.” Jeda sejenak. “Sekaligus bisa membuatku mengenalmu lebih jauh.” Dengusan menjadi respons dari Friska atas ucapan terakhir Nicholas. Namun, gadis itu tidak berkomentar banyak. Ia tidak ada pilihan lain selain rencana gila ini. “Kalau begitu, ikut aku, Nic.” Sementara Friska menarik Nicholas pergi, di tempat lain, Embun tengah mengurus semua berkas-berkas terkait skandal yang menimpa dirinya. Wanita berambut sebahu itu berniat melakukan klarifikasi terkait semua p
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi