“Konyol.”Setelah kata itu terucap, Friska seperti baru menyadari bahwa ia sudah melanggar batas. Namun, ia tidak menyesalinya karena apa yang ia ucapkan itu jujur, sekalipun hal itu membuat pria di hadapannya langsung bangkit berdiri dengan marah.Ah, tapi mungkin itu karena es kopi yang Friska siram ke kepala pasangan kencannya.“Wanita kurang ajar!” sergah pria itu. Kursi yang tadi ia duduki terjungkal ke belakang lantaran pria ini berdiri terlalu kasar dan tiba-tiba.Awalnya, Friska hanya mendongak sembari tetap duduk di kursinya. Namun, tiba-tiba saja pergelangan tangannya dicengkeram begitu kuat dan ditarik hingga ia berdiri. Gadis itu mengaduh pelan, berusaha menarik tangannya kembali.“Anda–”“Jangan sok mengajariku, dasar kampungan! Perempuan bodoh!” Teman kencan Friska mendorong gadis itu, di saat yang bersamaan dengan ia melepaskan cengkeramannya di tangan Friska, membuat gadis itu terhuyung ke belakang.Tangan Friska kelabakan mencari tempat untuk bertumpu, saat kakinya
Friska mengernyit sekali lagi, merasa heran. Kenapa Nicholas harus berterima kasih? “Bagaimana?” Nicholas bertanya lagi ketika tidak mendapatkan respons apa pun dari Friska. Ia mengira bahwa gadis itu keberatan bergabung dengan orang yang tidak ia kenal. Pria itu hampir menyinggung tentang identitasnya saat Friska tiba-tiba saja mengangguk. “Baiklah.” Friska melihat sekeliling. “Di mana mejamu?” Nicholas tersenyum. “Mari, Nona,” ucapnya, membawa Friska ke mejanya. Ia bahkan menarik kursi untuk gadis itu duduki. “Mau pesan apa?” “Hm?” Friska mendongak. “Yah.” Nicholas mengangkat bahu. “Es kopimu kan sudah tidak bersisa. Mau kupesankan menu andalan di sini?” Ia tersenyum lebih lebar. “Tenang. Bukan yang paling mahal kok.” Wajah Friska memerah, teringat ucapan pasangan kencannya tadi. “Hei. Jangan menggodaku begitu,” balasnya. Nicholas terkekeh pelan. “Maaf,” katanya. “Jadi?” “Es kopi lagi saja. Terima kasih.” Pria di hadapannya mengangguk dan memesan minuman untuk Friska. Sem
“Kalau begitu, maukah kamu membantuku lagi?” Alis Nicholas terangkat satu saat mendengar pertanyaan itu. Sekalipun terdengar mencurigakan, keponakan Kaisar Rahardja tersebut sama sekali tidak ragu saat menyanggupi pertanyaan Friska, sosok wanita yang baru saja ia kenal–yang tampaknya lebih tua darinya tersebut. “Oke.” Friska tertawa kecil. “Kamu tidak perlu waktu berpikir?” tanyanya. “Aku bahkan belum menjelaskan.” Nicholas mengangkat bahu. “Tampaknya menarik,” balas pria yang lebih muda dari Friska itu. “Dan menantang.” Jeda sejenak. “Sekaligus bisa membuatku mengenalmu lebih jauh.” Dengusan menjadi respons dari Friska atas ucapan terakhir Nicholas. Namun, gadis itu tidak berkomentar banyak. Ia tidak ada pilihan lain selain rencana gila ini. “Kalau begitu, ikut aku, Nic.” Sementara Friska menarik Nicholas pergi, di tempat lain, Embun tengah mengurus semua berkas-berkas terkait skandal yang menimpa dirinya. Wanita berambut sebahu itu berniat melakukan klarifikasi terkait semua p
“Kamu sudah lacak sumbernya?” Kaisar sedang berada di kantornya, di balik meja kerja. Di hadapannya, Satria, asisten pribadinya, sedang berdiri menghadap sang atasan dengan raut wajah kaku yang sering diartikan orang-orang sebagai ekspresi profesionalnya saat bekerja. “Sudah, Pak,” ucap Satria sembari mengangguk. “Berita-berita itu, sekalipun diterbitkan oleh banyak wartawan di berbagai platform, kami menduga bersumber dari satu titik yang sama.” “Hm.” Kaisar kembali menatap ke arah layar monitornya, yang tengah menampilkan sebuah portal berita, dengan artikel mengenai Embun di hadapan. Sekalipun, Kaisar tidak meragukan sang istri melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang tengah diberitakan. Namun, pengemasan artikel-artikel berita yang ada menampilkan Embun seperti sosok malaikat tanpa dosa–yang mana sangat berlebihan. Nyaris mustahil untuk dipercaya. Pada awalnya, suami Embun tersebut menduga bahwa sang istri sedang berusaha mengubur berita-berita negatif dengan menaikkan pe
“Siapa…?”Embun menunggu jawaban sang asisten, karena memang belakangan ini banyak sekali yang mencarinya. Mulai dari wartawan hingga pihak-pihak yang sengaja ingin merugikannya. Asistennya sejauh ini sudah melakukan tugasnya dengan baik dengan memfilter tamu yang datang, tapi tetap saja Embun harus memastikan.“Seorang pria yang cukup berumur, Bu,” ucap si asisten yang baru bekerja pada Embun sejak ia menikah dengan Kaisar. “Beliau pernah mengobrol dengan Ibu sebelumnya di sini.”Mendengar itu, Embun tampak lega. Keterangan dari sang asisten membuatnya teringat pada Papa Surya.“Maaf, saya ada tamu,” ucap Embun pada pengacaranya. Kebetulan, ia memang butuh melarikan diri dari pria tersebut.Namun, tampaknya si pengacara tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ia mengangguk. “Kalau begitu, saya akan kembali lagi nanti sore ya, Bu,” katanya ringan.Embun mengantarkan pria tersebut ke keluar terlebih dahulu sebelum kemudian menyapa ayah mertuanya.“Papa,” ucapnya, kemudian mencium tangan s
Jika sebelumnya ia menerima … bantuan Kaisar, apakah kejadiannya tidak akan seperti sekarang? Sayangnya, kini Embun tidak akan tahu. Karenanya, Embun hanya tersenyum menanggapi ucapan ayah mertuanya. “Aku tahu, Papa,” ucapnya kemudian. “Semua pasti akan baik-baik saja.” Surya tersenyum, tampak sedikit lega usai Embun mengatakan hal tersebut. Pria itu menyentuh tangan Embun dan menepuk-nepuknya pelan. “Jangan lupa, Papa ada di pihak kamu ya,” kata Surya lagi. “Anak baik….” Mendengar itu, Embun tersenyum lebih lebar. Ada sedikit kelegaan saat ia menyaksikan sendiri dukungan dari ayah mertuanya. Ada satu orang lagi yang mendukungnya, sekalipun semua manusia di luar sana mengatakan bahwa Embun adalah seorang pebisnis kotor dan wanita yang mengambil segala kesempatan yang ada, serta seorang pembohong, orang-orang di dekatnya tidak berpikir demikian. “Terima kasih, Papa.” Surya mengangguk. Senyumnya menjadi lebih lebar, apalagi ketika Embun melemparkan topik lain dan memancingnya un
“Aku ingin menawarkan sesuatu untuk kamu yang pasti sedang pusing ini.” Sekali lagi, Embun melirik ke arah jam dinding, kemudian ke arah konter kasir. Hanya tersisa beberapa karyawan saja di sana, karena meskipun masih pukul sembilan malam, Kafe Senjakala yang sepi akibat ulah Aletta menjadi sebab utama kenapa Embun mengizinkan para karyawan pulang lebih awal. Jika ini berlangsung lebih lama, kemungkinan Embun harus memulangkan beberapa karyawan baru yang belum lama bekerja di sini, demi memangkas pengeluaran. Haruskah Embun pindah lokasi dan berganti nama kafe? Tapi jika demikian– “Bagaimana, Embun?” Pikiran Embun terputus saat Dion kembali memanggilnya. Ia membiarkan otaknya berkelana ke tempat lain meski hanya sebentar. “... Baiklah, Dion.” Embun akhirnya menyanggupi. “Saya masih punya waktu. Namun, tidak lama.” Bukan apa-apa. Embun mempertimbangkan ucapan Dion tadi, bahwa pria itu tetap akan mendatangi Embun jika memang Embun tidak ada waktu malam ini. Artinya, jika Embun
“Selain itu, kamu bisa kabur sejenak dari rumitnya pemberitaan ibu kota ini.” Embun tertegun sejenak. Sejujurnya, ajakan Dion ini di luar ekspektasinya. Hal tersebut membuat Embun menimbang ulang penilaiannya terhadap penawaran dari pria tersebut. “... Tolong jelaskan lebih lanjut mengenai penawaranmu itu, Dion.” Pada akhirnya, Embun berkata. “Apa yang kamu maksud mentor?” Mendengar respons Embun tersebut, Dion menahan senyum puas miliknya agar tidak keluar. Pria itu tetap tampil tenang, seakan tidak ada perubahan berarti dalam dirinya. Normalnya, pria itu pasti akan berkomentar, “Apakah ini berarti aku bisa mengambil waktumu lebih banyak, Embun?” Namun, Dion tidak melakukannya karena itu akan membatalkan suasana yang telah dibangunnya dengan baik bersama Embun. Selain itu, mungkin saja Embun akan batal tertarik dengannya dan proyek yang sedang Dion tawarkan. Ia tidak mau itu. Dion ingin Embun ikut bersamanya. Karenanya, pria itu menahan segala komentar dan kata-kata menggoda