Selamat malam, para pembaca. Mohon maaf kemarin author bolong updatenya ^^ Belakangan sedang ada masalah kesehatan, ditambah lagi sedang menyongsong hari raya. Namun, author tetap akan mengusahakan update yang terbaik untuk para pembaca sekalian! Semoga kita semua sehat-sehat terus dan dilancarkan rezekinya ya~
“Aku ingin menawarkan sesuatu untuk kamu yang pasti sedang pusing ini.” Sekali lagi, Embun melirik ke arah jam dinding, kemudian ke arah konter kasir. Hanya tersisa beberapa karyawan saja di sana, karena meskipun masih pukul sembilan malam, Kafe Senjakala yang sepi akibat ulah Aletta menjadi sebab utama kenapa Embun mengizinkan para karyawan pulang lebih awal. Jika ini berlangsung lebih lama, kemungkinan Embun harus memulangkan beberapa karyawan baru yang belum lama bekerja di sini, demi memangkas pengeluaran. Haruskah Embun pindah lokasi dan berganti nama kafe? Tapi jika demikian– “Bagaimana, Embun?” Pikiran Embun terputus saat Dion kembali memanggilnya. Ia membiarkan otaknya berkelana ke tempat lain meski hanya sebentar. “... Baiklah, Dion.” Embun akhirnya menyanggupi. “Saya masih punya waktu. Namun, tidak lama.” Bukan apa-apa. Embun mempertimbangkan ucapan Dion tadi, bahwa pria itu tetap akan mendatangi Embun jika memang Embun tidak ada waktu malam ini. Artinya, jika Embun
“Selain itu, kamu bisa kabur sejenak dari rumitnya pemberitaan ibu kota ini.” Embun tertegun sejenak. Sejujurnya, ajakan Dion ini di luar ekspektasinya. Hal tersebut membuat Embun menimbang ulang penilaiannya terhadap penawaran dari pria tersebut. “... Tolong jelaskan lebih lanjut mengenai penawaranmu itu, Dion.” Pada akhirnya, Embun berkata. “Apa yang kamu maksud mentor?” Mendengar respons Embun tersebut, Dion menahan senyum puas miliknya agar tidak keluar. Pria itu tetap tampil tenang, seakan tidak ada perubahan berarti dalam dirinya. Normalnya, pria itu pasti akan berkomentar, “Apakah ini berarti aku bisa mengambil waktumu lebih banyak, Embun?” Namun, Dion tidak melakukannya karena itu akan membatalkan suasana yang telah dibangunnya dengan baik bersama Embun. Selain itu, mungkin saja Embun akan batal tertarik dengannya dan proyek yang sedang Dion tawarkan. Ia tidak mau itu. Dion ingin Embun ikut bersamanya. Karenanya, pria itu menahan segala komentar dan kata-kata menggoda
“Hubungan ini adalah bisnis berdasarkan kontrak kerja. Jadi, seharusnya demikian, kan?” Embun tidak ingin melakukan kesalahan yang sama, pun terkesan jatuh ke dalam lubang yang serupa. Sebelumnya, Embun melakukan kerja sama atas rekomendasi Kaisar. Tidak ada yang salah dengan itu, tapi Embun menyadari bahwa sebelumnya, hanya karena Kaisar, ia tidak meninjau isi kontrak baik-baik dan langsung menandatanganinya. Selanjutnya, ia tidak boleh seperti itu. Ia tidak boleh memasrahkan dirinya sepenuhnya pada orang lain. Karena sekalipun orang-orang itu berada di pihaknya, Embun-lah yang harus bertanggung jawab atas semuanya. Satu kasus lain adalah di mana tanpa kontrak. Sekalipun itu hanyalah akal-akalan Aletta, Embun seharusnya lebih jeli lagi terhadap gerak-gerik pihak-pihak yang berkaitan dengan bisnis. Tidak ada yang gratis, ia harus menanamkan itu dalam dirinya. Orang yang ia kira bisa dipercaya, bisa saja menusuknya dari belakang sewaktu-waktu. Ia dan Rindang sudah mengalaminya d
“Proyek apa, Embun?” Pertanyaan Kaisar berdasar, karena beberapa hari ini, ia tidak mendengar apa pun terkait proyek baru Embun. Pun, jika Embun memiliki proyek dengan Asthana Hotel, sudah pasti Kaisar mengetahuinya. Apakah proyek mandiri? Dengan kafe? Sepertinya tidak juga. Jika iya, Kaisar pasti paling tidak mendapatkan laporan mengenai hal itu. Pria itu berpikir bahwa beberapa hari ini Embun sibuk dengan pengacara dan urusan kafenya, yang meskipun sudah Kaisar bantu, tapi ada beberapa hal yang butuh perhatian Embun. Karenanya, ia cukup terkejut dengan kabar baru ini. “Aku mendapatkan penawaran sebagai pekerja lepas sebagai pengajar kelas memasak,” jelas Embun. Ia berjalan menghampiri Kaisar yang duduk di sofa ruang tamu. Tidak sopan jika ia tetap berdiri di depan pintu, sementara sang suami mengajaknya bicara. “Hanya dua sampai tiga kali seminggu, meski lokasinya di luar kota. Tapi aku pikir, ini adalah tawaran baik. Sekalian aku mau menyegarkan pikiran.” Kaisar bergumam pela
“Pak Kaisar. Kita harus segera ke perusahaan.”Kaisar menoleh pada sang asisten saat Satria mengatakan hal tersebut tepat ketika mereka baru turun dari pesawat pribadinya. Mereka baru saja kembali dari luar pulau untuk mengurus cabang hotel pariwisata yang di sana, memanfaatkan kosongnya apartmen Kaisar karena Embun sudah di luar kota selama beberapa hari. Pria itu mengernyit, menatap haran ke arah sang asisten.“Ada apa?” tanya Kaisar kemudian.Tampaknya Satria sendiri agak kebingungan dalam menjelaskan kepada sang atasan, karenanya hal pertama yang ia lakukan untuk menjawab pertanyaan Kaisar adalah menyodorkan ponselnya kepada pria itu.Sepasang mata Kaisar menyipit memandang ke layar ponsel di hadapannya. Namun, hanya sejenak, karena kemudian ia terbelalak.Berani-beraninya para orang tua itu!“Undangan itu dikirimkan satu jam yang lalu, tepat saat kita akan lepas landas, Pak,” jelas Satria. “Saya juga terlambat mengecek saat di pesawat. Mohon maaf.”Sang asisten membungkuk, jelas
“Pak Kaisar. Kami tidak bermaksud demikian.” Henri Pradana. Kaisar masih mengingat pria paruh baya itu dari pertemuan terakhir mereka di pesta pernikahan keluarga Subagja. “Saya mohon penjelasannya, jika demikian,” ucap Kaisar, setelah membiarkan beberapa saat terlewat dengan keheningan. “Kenapa diadakan rapat dadakan, padahal situasinya tidak sedang mendesak.” “Mungkin Pak Kaisar kurang mengikuti perkembangan,” sahut Henri dengan lancar. Suaranya terdengar percaya diri. “Sebenarnya situasinya sendiri memang cukup darurat. Sebagai salah seorang pemegang saham Asthana sendiri, saya cukup khawatir. Apalagi para anggota dewan yang saat ini hadir, yang pastinya, sahamnya jauh lebih besar dari saya.” “Dari perkataan Pak Henri,” balas Kaisar. Sorot matanya tidak berubah. “Kekhawatiran utama yang menjadi latar belakang diadakannya rapat ini adalah tentang saham. Benar demikian?” Henri mengangguk. “Sekaligus mengenai reputasi Asthana, Pak,” jawabnya. Pria paruh baya tersebut kemudian memb
Usai ketegasan Kaisar yang tidak dapat dibantah dan diragukan lagi oleh para peserta rapat yang lain, termasuk Henri, keputusan diambil.Hasil pemungutan suara tidak bulat, tapi tetap saja pada akhirnya kafe Embun tetap bekerja sama dengan Asthana.Sesungguhnya, Kaisar tidak khawatir dengan hasil akhir, tapi ia marah karena harus mengurusi hal-hal remeh dan tidak berguna seperti ini.Belakangan memang semuanya membuat Kaisar mudah naik darah dan uring-uringan, terutama sejak Kaisar tidak lagi menghabiskan waktu luangnya untuk mengobrol dengan Embun.Namun, tentu saja, hal ini sulit disadari oleh Kaisar.Satria-lah, sebagai asisten pribadi Kaisar yang mendampingi pria itu setiap harinya, yang menyadari perubahan bosnya tersebut. Meskipun, ia belum mengetahui asal mulanya.Sementara itu, jauh dari ibu kota, Embun tampak sibuk. Pikirannya terasa lebih segar dan jernih usai menghabiskan beberapa minggu di luar kota, meskipun memang sebagian besar waktunya ia habiskan di jalan antarkota.A
Dan mungkin … mengirimkannya pada Kaisar?“Teh Embun mau ambil foto?” Tiba-tiba Mila bertanya saat Embun menyentuh ponsel yang ada di tas kecil yang selalu dibawa-bawanya. “Aku bisa bantu.”Embun tertawa kecil. Ia menyerahkan ponselnya pada muridnya tersebut. “Tolong ya kalau begitu,” katanya.Dengan senyum lebar, Mila mengambil foto Embun yang sedang belajar menyetir. Ia bahkan mencoba berbagai gaya, berlagak sebagai fotografer professional dan membuat Embun tertawa, sekaligus mendistraksi wanita berambut sebahu itu dari pelajaran menyetirnya.Pada beberapa kesempatan pula, saat semua sudah turun dari mobil setelah selesai membiarkan Embun memutari lapangan dengan tersendat-sendat bersama sang ayah, gadis itu mengambil foto Embun dengan mobil pick up bekas yang dimiliki keluarganya.“Teh, nanti, mumpung di sini, sekalian saja belajar naik kuda.”Embun tampak terhibur mendengarnya. “Kamu bisa?”“Bisa!” Mila mengangguk kuat-kuat. “Dari kecil!”“Oke.” Embun tersenyum lebar. Beban di bah