Nicholas hanya terdiam, mengamati wajah Megan yang memucat. “Untuk semua ini, aku membenciumu, Megan. Tetapi bagaimana bisa aku juga mencintaimu di saat yang bersamaan. Aku bahkan tak tahu bagaimana cara mendapatkan jawaban untuk semua tanya itu.” Napas Megan sempat tertahan, menatap sisi wajah Nicholas yang memandang lurus ke depan, dengan raut yang dipenuhi emosi. “Aku sungguh-sungguh minta maaf membuatmu berada dalam situasi seperti ini, Nicholas. Aku … aku …” Nicholas memutar kepalanya ke samping. Mengunci kedua mata Megan. “Apakah jika aku melihatmu bahagia, itu akan menjaminku bahagia di masa depan?” Megan tak bisa menjawab, hanya bisa merasakan panas di kedua kelopak matanya. Kepalanya bergeleng dengan gerakan yang diselimuti kepiluan. ”Aku tak tahu, Nicholas.” Nicholas menyeringai. “Tapi rasa bersalahku padamu, tak akan hilang jika aku tidak bisa melihatmu bahagia.” Dengusan keras lolos dari mulut dan kedua lubang hidung Nicholas. “Aku tak percaya bahwa cinta adalah meli
Jelita mengulurkan beberapa lembar uang pada sopir taksi sebelum turun dari mobil. Langsung menghampiri mobil Nicholas yang terparkir di depan taksinya. Sekilas Jelita mobil hitam yang terparkir tak jauh dari mobil Nicholas dan memutuskan keberadaan mobil itu tidak mencurigakan. “Kau datang?” Nicholas menurunkan lengannya dari wajah begitu pintu mobil diketuk dan ia menurunkan kaca jendelanya. Sedikit lega dengan orang yang dihubungi Megan untuk menjemputnya. Ada banyak nama tetapi memang Jelita pilihan terbaik yang Megan dan ia pikirkan. Jelita hanya mengangguk. Membuka pintu dan membantu Nicholas turun dari mobil. Pria itu sesekali mengerang ketika rasa sakit menusuk di area bekas operasi. Jelita menggerutu dalam hati, dengan kaki seperti ini, sempat-sempatnya pria ini menyetir mobil hingga sejauh ini. “Tidak bisakah kau lebih hati-hati?” sergah Nicholas ketika sekali lagi rasa sakit berdenyut di kakinya. “Maaf …” “Kau benar-benat menjengkelkan. Kenapa kau selalu mengulang kes
Cahaya hangat matahari membangunkan Jelita dari tidurnya yang lelap. Kepalanya terasa berat dan pusing yang teramat menusuk pusat kepalanya. Sembari memijit pelipisnya guna meredakan pusing tersebut. Jelita bangun terduduk sambil mengerang pelan, saat selimut jatuh ke pangakuannya, wajahnya tertunduk dan membelalak lebar menemukan tubuhnya yang telanjang di balik selimut. Kedua telapak tangannya membekap mulutnya, meredam pekikannya akan apa yang ditemukannya. Lalu kepalanya berputar, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ia berada di ruang tidur yang luas. Seperti hotel dan jelas berada di suite salah satu hotel mewah berbintang di kota ini. Bagaimana ia bisa sampai di sini adalah pertanyaan besar yang seketika menggantung di atas kepalanya. Dan tak hanya tempatnya berbaring yang mengejutkannya, tetapi sosok lain yang berbaring di sampingnyalah yang menambah keterkejutannya. Sekali lagi Jelita menahan pekikannya tak sampai terlepas dari ujung lidahnya. Melihat tubuh Nicholas
Suara Kiano yang tengah terbahak membuat Megan mempercepat langkahnya ke dalam kamar Kiano. Saat ia mendorong pintu tersebut terbuka, kedua matanya menangkap pemandangan yang cukup mengejutkan. Kiano dan Marcel, keduanya berdiri di depan cermin, dengan Marcel yang memeluk Kiano dari belakang dan menggelitik bocah mungilnya hingga terbahak. Wajah Megan segera memucat dengan keras dan napasnya benar-benar terhenti akan semua pemandangan yang membuat perutnya mual tersebut. “Kiano?” Megan memanggil dengan langkah besar menghampiri sang putra. Memegang lengan Kiano untuk memisahkan putranya dari Marcel dengan berdiri di antara keduanya. Telapak tangannya merangkum wajah Kiano dan pandangannya menelusuri seluruh tubuh Kiano dari atas ke bawah seolah memeriksa dengan teliti. Suara dengusan dari balik punggungnya tak dipedulikan oleh Megan. Ia tak peduli jika tindakanya akan menyinggung Marcel. Ia hanya ingin memastikan Kiano baik-baik saja. “Mama?” Kiano pun dibuat keheranan dengan sikap
Seperti yang sudah diperkirakan oleh Nicholas, hanya dalam seminggu gosip yang beredar seketika tenggelam dengan kabar pertunangan Nicholas dan Karen yang diresmikan oleh ucapan Vira Matteo dan cincin turun temurun keluarga mamanya yang melingkar di jari manis Karen.Nicholas tertawa terbahak, hingga gigi gerahamnya tampak. Pria itu bahkan tak habis pikir dengan Karen. Entah apa yang ada di kepala wanita itu hingga mau-maunya mengikuti sandiwara konyol yang dibuat mamanya. Apakah seputus asa itu wanita itu demi menginginkan dirinya? Keduanya benar-benar sesuatu dan cocok. Apakah panggung itu akan berhenti jika ia menikahi seseorang dan membuat istrinya hamil? Bayangan itu membuat senyum di wajah Nicholas semakin mengembang.“Pemotretan dimulai lima menit lagi.” Suara Jelita memberitahu dari balik punggungnya. Tawa Nicholas berhenti, bola matanya bergerak ke samping dan langsung bertatapan dengan bayangan Jelita di cermin. Ya, ini pemotretan pertamanya sejak kecelakaannya. Dan tawaran
Sekali lagi Mikail menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Entah berapa kali ia melakukannya demi menenangkan dirinya sendiri. Ya, dengan semua pekerjaan yang menumpuk di meja kerjanya, kemudian usaha kerasnya untuk memendam gosip tentang affair antara istri dan sepupunya, ditambah kekesalannya karena Megan ketiduran dan membuat Kiano menunggu di sekolah hingga setengah jam lebih. Seolah kemarahannya tentang Nicholas yang belum mereda kini semakin ditumpuk. Ia sedang berusaha keras untuk Megan, yang malah sibuk dengan keegoisan wanita itu.Mikail membanting tubuhnya di tempat tidur, tetapi setelah setengah jam berlalu dan matanya tak juga terpejam. Mikail pun memutuskan untuk bangkit dan keluar kamar. Menyusul Megan ke kamar Kiano. Hanya itu satu-satunya tempat yang selalu menjadi tujuan Megan ketika wanita itu sedang emosi.Ia akui, selama beberapa hari ini dirinya sengaja mendiamkan dan menghindari wanita itu. Ia tahu pertemuan Megan dan Nicholas karena didoro
Esok paginya, Megan terbangun dengan suasana hati yang penuh keceriaan. Terbangun dalam pelukan hangat Mikail dan bisa memandang wajah tampan sang suami ketika matanya terbuka. Tangannya terangkat dan menempelkan telapak tangannya di pipi Mikail. Memanjakan pandangannya dengan menatap wajah Mikail, merekam wajah pria itu di ingatannya untuk diingat ketika pria itu berangkat ke kantor nanti. Megan mendekatkan wajahnya ke wajah Mikail, mendaratkan kecupan di bibir pria itu dengan hati-hat karena takut membangunkan sang suami. Akan tetapi, ketika Megan hendak menarik diri, tiba-tiba punggungnya ditahan dan bibir mereka yang saling menempel mendadak berubah menjadi lumatan. Kedua mata Megan melebar terkejut, kesiapnya dibungkam oleh lumatan dalam Mikail. “Kau sudah bangun?” tanya Megan ketika Mikail sudah membebaskan bibirnya. Mikail terkekeh, mempertahankan jarak di antara tubuh mereka tetap tak terhalang sehelai benang pun karena gairahnya perlahan mulai mengaliri darahnya. Bibr Mi
Cukup lama keduanya saling terpaku satu sama lain. Dengan kedua pandangan yang saling terkunci. “Maafkan untuk semua luka, derita, dan trauma yang kuberikan padamu.” Kalimat lirih Marcel diucapkan dengan penuh kesungguhan, yang sekali lagi membabat kemarahan Megan pada pria itu. “Maafkan untuk semua keburukan yang telah kuberikan padaku. Aku menyesal dan tapi tak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah semua yang sudah berlalu. Aku hanya bisa meminta maaf dan berusaha memperbaikinya semua kesalahan tersebut.” Megan masih membeku, tak mampu berkata-kata. Ia bisa melihat keseriusan Marcel, begitu pun ketulusan pria itu yang entah bagaimana berhasil menyentuh hatinya. “Aku benar-benar menyesali semuanya, Megan.” Megan mengerjap, seolah membangunkan diri dari kuncian Marcel yang menghipnotisnya. Tidak, ia tidak boleh memercayai Marcel semudah itu. Megan pun menyentakkan tangan Marcel dan berkata, “Beri aku waktu untuk memikirkannya.” Marcel melepaskan genggamannya dan membiarkan Megan
Mikail dan Kiano masih menunggu baby Kylie di ruang bayi setelah mengantarkan Megan ke ruang perawatan. Memastikan sang istri untuk istirahat sebelum pergi, tetapi Megan tak bisa tidur. Pun dengan rasa lelah dan letih yang masih membuatnya lemah dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa lapar setelah semua tenaga yang ia kerahkan saat persalinan. Suara pintu diketuk, Megan menoleh. Sepertinya perawat yang disuruh Mikail untuk membawakannya makanan untuknya. Tetapi wajahnya berubah masam ketika bukan perawat yang muncul, melainkan Marcel. Satu tangan membawa nampan berisi makanan dan satu tangannya disembunyikan di belakang. Membuat Megan berkerut kening akan sikap aneh pria itu. “Kenapa kau di sini, Marcel?” tanya Megan dengan nada tak bersahabat seperti biasa. Marcel tak menjawab, pria itu meletakkan nampan di nakas. “Aku tahu kau tak akan suka jika aku menyuapimu, kan?” Megan hanya mendengus tipis. Tentu saja ia akan menunggu Mikail. Dan ia langsung mengambil ponsel untuk
Delapan bulan kemudian … Megan memuntahkan seluruh isi perutnya di lubang toilet dengan hentakan yang kuat dari dalam perutnya. Membungkuk dengan kedua tangan bersandar di dinding karena perutnya yang besar membuatnya kesulitan berjongkok. “Kau muntah lagi?” Marcel muncul dari balik pintu yang tak sempat Megan tutup ketika bergegas masuk ke kamar mandi. Berdiri di belakang Megan sembari menggosok pelan punggung wanita itu. Megan yang sudah lemas, tak punya kekuatan untuk menolak perhatian Marcel, apalagi untuk memanggil Mikail yang masih belum turun ke lantai satu. Kedua kakinya melemah dan jatuh bersandar ke tubuh Marcel, sesi muntahan itu akhirnya berhenti dan Marcel mendudukkan Megan di lubang toilet. “Lepaskan dia, Marcel.” Mikail muncul di ambang pintu. Menghampiri Megan dan menarik lengan sang adik untuk menjauh dari istrinya. Marcel hanya mengedikkan bahu dan menuruti keinginan sang kakak meski tidak meninggalkan kamar mandi. Ia mengamati Mikail yang mengambil beberapa lem
Jelita menurunkan ponselnya dari telinga dengan helaan napas yang lolos dari kedua lubang hidung dan bibirnya. Matanya terpejam dengan telapak tangan yang menyentuh perutnya yang masih rata. Pernikahan? Ia tak bisa menolak Nicholas yang ingin menikahinya. Terutama setelah pria itu tahu saat ini dirinya tengah hamil. Ya, seminggu yang lalu. Tiba-tiba ia pingsan di tempat pemotretan Nicholas, pria itu membawanya ke rumah sakit. Dan saat ia terbangun dari pingsannya, pria itu sudah menyelipkan cincin di jari manisnya dengan omong kosong tentang pernikahan. “Apa-apaan ini, Nicholas?” Jelita berusaha melepaskan cincin tersebut dari jari manisnya tetapi ditahan oleh Nicholas. “Menikah? Apa kau kehilangan kewarasanmu? Apa kepalamu baru saja dilempar kamera? Atau kejatuhan lampu?” rentetnya dengan kesal. Bukankah ia yang jatuh pingsan, kenapa malah Nicholas yang kehilangan otaknya. Nicholas hanya menarik seulas senyum sebagai jawaban. “Kita harus menikah. Kita membutuhkan pernikahan ini.”
Sepanjang perjalanan, Megan sengaja membisu. Matanya terpejam, menahan tangisan kekecewaan dan perasaannya yang campur aduk. Semua ingatan buruknya naik ke permukaan. Keberengsekan Marcel, kehamilannya, pertengkarannya dan Mikail, lalu perceraian mereka. Semua memenuhi benaknya, menekan dadanya. Setelah semua ini, kenapa kenyataan ini harus naik ke permukaan. Menamparnya dengan keras.Setelah setengah jam kemudian, Mikail menghentikan mobil tepat di teras rumah. Belum sempat mematikan mesin mobilnya, Megan sudah membuka pintu mobil. “Tunggu, Megan.” Tangan Mikail tak sempat menangkap tangan Megan yang sudah melompat turun. “Kau harus hati-hati. Kakimu …” Mikail pun menyusul melompat turun dari dalam mobil.Mikail semakin dibuat kebingungan oleh perubahan sikap Megan. Ia setengah berlari mengejar dan berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu di tengah ruang tamu. “Apa yang terjadi, Megan? Kenapa denganmu?”Megan menatap wajah Mikail dengan penuh kekecewaan, tetapi bibirnya tetap
Satu bulan kemudian … Setelah satu bulan. Dengan diantar Mikail, akhirnya hari ini Megan kembali ke rumah sakit untuk melepaskan gips di kaki kanannya. Retakan di tulang kaki Megan sudah sembuh, meski harus tetap hati-hati dan menggunakan peyangga demi melatih kaki yang sudah lama tidak digunakan untuk jalan. Sekarang keduanya berada di lift, hendak turun ke lantai basement dan kembali pulang. Megan duduk di kursi roda, meski sudah bersikeras akan berjalan kaki dengan peyangga saja, Mikail malah mendudukkan pantatnya di sana. Mendorong kursi roda dan membungkam protes Megan dengan tegas. “Jam berapa sekarang?” “Dua.” “Kiano sudah pulang?” “Ya, Marcel sudah menjemputnya, dia baru saja sampai di sekolahnya Kiano.” Megan mendesah kesal. Selama satu bulan penuh dan karena kakinya yang butuh perawatan khusus, Mikail menyerahkan semua tentang Kiano pada Marcel. Ya, Megan masih belum sepenuhnya menerima sikap baik Marcel meski pria itu selalu memperlakukannya dengan baik. Seperti yang
Mikail membeku dalam ketercengangannya, kehilangan kata-kata ketika menemukan perut Alicia yang membesar hanyalah sebuah perut palsu yang dililit di pinggang. Sekilas tampak seperti nyata, tapi … itu terbuat dari bantalan kain yang menyerupai perut asli. Bahkan memiliki pusar di tengahnya. Cukup lama bagi Mikail untuk mencerna apa yang disaksikannya saat ini, dalam kebingungannya ia berusaha menemukan pijakannya. Alicia membelalak, terkesiap dengan keras dan wajahnya tertunduk menatap perut palsunya yang sekarang terekspos di hadapan Mikail. Kebohongannya terbongkar, dilucuti habis-habisan tak hanya oleh Mikail, tetapi juga oleh Marcel. Tidak, kebohongannya yang sudah ia bangun mati-matian, tidak bisa terbongkar semudah ini. “M-mi …” bibirnya bergetar hebat, bahkan hanya untuk memanggil nama Mikail. Ia bahkan belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tetapi kembali dipatahkan oleh kalimat Marcel. “Dia benar-benar menipumu mentah-mentah, Mikail. Aku sudah mengatakan padamu, kan.
Alicia tak berhenti berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, kedua tangannya saling meremas dengan gugup. Ia sudah membereskan CCTV, bukti kebusukannya. Tapi masih ada satu bukti yang akan memberatkannya. Bukti yang masih hidup itu harus ia lenyapkan. Janji Alicia pada dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal dengan kuat oleh kegugupan yang tak berhenti menghantui benaknya. Wanita itu mengambil ponselnya, sudah hampir tengah malam. Tapi ia jelas tak bisa tidur dengan semua kegelisahan ini. Tidak, malam ini adalah kesempatannya. Ia harus menutup mulut Megan sebelum wanita itu membuka mulut. Alicia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berjalan keluar kamar. Membangunkan sopir untuk membawanya ke rumah sakit sambil memegang perut dan berpura kesakitan. Sopir pun bergegas membawa Alicia ke rumah sakit. Baru saja penjaga keamanan menutup pintu gerbang setelah mobil Alicia pergi, penjaga keamanan itu kembali membukakan pintu gerbang untuk Marcel. Sesampai di rumah sakit, Alicia turun
Akan tetapi, seringai itu hanya bertahan satu detik di ujung bibirnya. Ketika suara langkah kaki yang bergema dari lantai bawah memucatkan seluruh permukaan wajahnya. Dan dari atas ia bisa melihat Marcel yang tercengang menemukan tubuh Megan yang tersungkur di lantai. “Megan?!” Marcel melompat ke arah tubuh Megan yang tergeletak di lantai, tak bergerak dengan kepala yang berdarah. Pria itu terduduk di lantai, membawa kepala Megan dalam pangkuannya. Telapak tangannya menepuk pelan pipi Megan, berusaha menyadarkan wanita itu. “Ada apa ini? Megan?” Mikail muncul, tak kalah tercengangnya dengan Marcel dan ikut duduk di lantai memeriksa keadaan Megan. Marcel mendongak, tatapannya menajam ke ujung tangga. “Alicia?” Sekali lagi Mikail dikejutkan dengan Alicia yang juga tak sadarkan diri di tengah anak tangga. “Aku harus membawanya ke rumah sakit.” Marcel menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan. Menggendong tubuh Megan dan bergegas membawanya keluar. Mikail ingin m
Hari ini, Megan harus berhasil. Janji Megan pada dirinya sendiri yang tengah berdiri di depan cermin. Kedua tangannya saling meremas, memberikan dukungan dan semangat untuk dirinya sendiri. Setelah Mikail berangkat kerja dan ia mengantar Kiano ke sekolah, Megan menghabiskan waktu di lantai satu untuk mengintai kegiatan Alicia. Wanita itu hanya keluar untuk makan pagi, dengan memasang raut pucat yang ditampakkan semenyedihkan mungkin. Mikail terlihat ibat, tapi untuk pertama kalinya ia merasa Marcel memihaknya karena pria itu sama sekali tak terpengaruh dengan tampilan Alicia. Pria itu seolah bisa membaca mata batin Alicia yang sesungguhnya. Jika saja sedikit kecerdasan Marcel dimiliki oleh Mikail, tapi ia sendiri tak bisa menyalahkan Mikail. Dirinyalah yang menciptakan ketakutan itu pada Mikail saat hamil Kiano. Dan rupanya itu membekas begitu dalam di hati Mikail sehingga kebaikan hati pria itu dimanfaatkan oleh wanita licik seperti Alicia. Alicia tampak tak tenang ketika di meja m