Mikail benar-benar tak bisa memejamkan matanya. Sudah satu jam yang lalu tubuhnya hanya berguling ke sana kemari di ranjang yang luas. Terlalu luas untuk dirinya sendiri. Dan ia membenci kesendirian ini. Mengerang dalam hati karena sendirian di tempat ini dan tidak ada Megan Sialan. Betapa keberadaan Megan telah memengaruhinya sedalam ini. Seharusnya ia yang marah pada Megan karena kelalaian wanita itu menjaga Kiano. Tapi lihatlah sekarang, kemarahan Megan lebih besar dan sekali lagi ia menyumpah dalam hati akan kata-katanya yang dingin dan kasar pada wanita itu. Sungguh, ia sama sekali tak bermaksud membela Alicia dibandingkan Megan. Dan berapa kalipun penyesalan tersebut, ia telah melukai kepercayaan Megan terhadapnya. Kata Marcel kembali membelah dadanya. Mengena tepat di dadanya. Mungkinkah perhatiannya pada Alicia memang berlebihan? Ia tak pernah memperkirakan perhatiannya terhadap Alicia akan memberikan dampak sedalam ini pada Megan. Kehamilan Megan di masa lalu tak hanya meni
“Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki kesalahanku?” Mikail mendorong pintu kamar mandi terbuka. Sedikit lebih keras hingga membuat Megan yang hendak membuka pakaiannya tersentak kaget. Kembali mengancingkan piyama tidurnya. “Aku masih di kamar mandi, Mikail,” delik Megan dengan kesal. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Kita perlu bicara.” Mikail maju satu langkah mendekat. Megan mundur samblil berbalik dan menjawab dengan dingin, “Aku sedang tak ingin bicara. Terutama denganmu.” Megan sengaja menekan kalimat terakhirnya. “Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu tidak marah kepadaku lagi?” “Tidak ada. Keluarlah,” usir Megan. Menatap pria itu dari pundaknya. Mikail menghela napasnya panjang, menatap punggung Megan dan suara mulai melunak ketika berucap lagi. “Maaf. Maafkan aku, Megan.” Raut Megan membeku, mendengarkan kalimat Mikail yang diselimuti kesungguhan. Mikail maju satu langkah lagi. “Maaf aku tidak memercayaimu, Megan.” “Apakah itu berarti kau percaya kalau Alicia
Alicia turun dari mobil dengan raut kecewa yang begitu jelas karena Mikail tidak menjemputnya ke rumah sakit. Yang ia yakin ada hubungannya dengan Megan. Kakinya dihentakkan ke lantai dengan sedikit kesal. Ketika tiba-tiba seorang wanita datang menghampirinya. “Siapa kau?” Alicia terheran melihat wanita berseragam perawat yang menyambut kedatangannya. Membantunya turun dari mobil. “Namanya Juli. Perawat yang akan membantu dan memenuhi kebutuhan Anda,” jawab pelayan yang mengambil tas bepergian Alicia. Juli mengangguk, dengan senyum ramahnya. “Apa? Perawat? Aku tidak meminta perawat.” “Tuan Mikail yang mempekerjakannya untuk Anda.” Kerutan di kening Alicia semakin dalam. “Di mana Mikail sekarang?” “Tuan, nyonya, dan tuan Kiano sedang pergi.” “Ke mana?” Pelayan itu menggeleng. “Beliau tidak mengatakan apa pun.” “Tentu saja sedang berlibur.” Suara menjengkelkan Marcel mengambil alih jawaban untuk Alicia. Senyum lebar yang memuakkan terpasang di wajahnya. Melangkah mendekat ke
Megan melangkah dengan terburu, menyeberangi ruang tamu, menuju teras dan terus berjalan ke arah gerbang. Langkahnya terburu, seolah sesuatu bisa saja terjadi dalam satu detik ke depan. Pintu gerbang masih tertutup, tidak ada tanda-tanda akan ada tamu atau siapa pun yang akan masuk. Napasnya terasa sedikit lega begitu sampai di gerbang, pintu masih tertutup. "Nyonya, apakah Anda membutuhkan sesuatu?" Penjaga keamanan muncul dengan sigap dari dalam pos penjagaan. Megan menggeleng, sambil berusaha menormalkan napasnya yang terengah karena buru-buru melangkah. "Aku menunggu seseorang. Jangan katakan pada siapa pun." Penjaga keamanan tersebut tampak terheran, dan sebelum ia mempertanyakan keheranannya lebih lanjut, Megan sudah berjalan melewatinya. Menuju samping gerbang. Tepat ketika Megan menutup pintu kecil yang ada di sudut gerbang tinggi, matanya disilaukan oleh cahaya lampu yang begitu terang. Megan menyipitkan mata, hingga cahaya terang tersebut dipadamkan, barulah Megan bisa
Nicholas hanya terdiam, mengamati wajah Megan yang memucat. “Untuk semua ini, aku membenciumu, Megan. Tetapi bagaimana bisa aku juga mencintaimu di saat yang bersamaan. Aku bahkan tak tahu bagaimana cara mendapatkan jawaban untuk semua tanya itu.” Napas Megan sempat tertahan, menatap sisi wajah Nicholas yang memandang lurus ke depan, dengan raut yang dipenuhi emosi. “Aku sungguh-sungguh minta maaf membuatmu berada dalam situasi seperti ini, Nicholas. Aku … aku …” Nicholas memutar kepalanya ke samping. Mengunci kedua mata Megan. “Apakah jika aku melihatmu bahagia, itu akan menjaminku bahagia di masa depan?” Megan tak bisa menjawab, hanya bisa merasakan panas di kedua kelopak matanya. Kepalanya bergeleng dengan gerakan yang diselimuti kepiluan. ”Aku tak tahu, Nicholas.” Nicholas menyeringai. “Tapi rasa bersalahku padamu, tak akan hilang jika aku tidak bisa melihatmu bahagia.” Dengusan keras lolos dari mulut dan kedua lubang hidung Nicholas. “Aku tak percaya bahwa cinta adalah meli
Jelita mengulurkan beberapa lembar uang pada sopir taksi sebelum turun dari mobil. Langsung menghampiri mobil Nicholas yang terparkir di depan taksinya. Sekilas Jelita mobil hitam yang terparkir tak jauh dari mobil Nicholas dan memutuskan keberadaan mobil itu tidak mencurigakan. “Kau datang?” Nicholas menurunkan lengannya dari wajah begitu pintu mobil diketuk dan ia menurunkan kaca jendelanya. Sedikit lega dengan orang yang dihubungi Megan untuk menjemputnya. Ada banyak nama tetapi memang Jelita pilihan terbaik yang Megan dan ia pikirkan. Jelita hanya mengangguk. Membuka pintu dan membantu Nicholas turun dari mobil. Pria itu sesekali mengerang ketika rasa sakit menusuk di area bekas operasi. Jelita menggerutu dalam hati, dengan kaki seperti ini, sempat-sempatnya pria ini menyetir mobil hingga sejauh ini. “Tidak bisakah kau lebih hati-hati?” sergah Nicholas ketika sekali lagi rasa sakit berdenyut di kakinya. “Maaf …” “Kau benar-benat menjengkelkan. Kenapa kau selalu mengulang kes
Cahaya hangat matahari membangunkan Jelita dari tidurnya yang lelap. Kepalanya terasa berat dan pusing yang teramat menusuk pusat kepalanya. Sembari memijit pelipisnya guna meredakan pusing tersebut. Jelita bangun terduduk sambil mengerang pelan, saat selimut jatuh ke pangakuannya, wajahnya tertunduk dan membelalak lebar menemukan tubuhnya yang telanjang di balik selimut. Kedua telapak tangannya membekap mulutnya, meredam pekikannya akan apa yang ditemukannya. Lalu kepalanya berputar, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ia berada di ruang tidur yang luas. Seperti hotel dan jelas berada di suite salah satu hotel mewah berbintang di kota ini. Bagaimana ia bisa sampai di sini adalah pertanyaan besar yang seketika menggantung di atas kepalanya. Dan tak hanya tempatnya berbaring yang mengejutkannya, tetapi sosok lain yang berbaring di sampingnyalah yang menambah keterkejutannya. Sekali lagi Jelita menahan pekikannya tak sampai terlepas dari ujung lidahnya. Melihat tubuh Nicholas
Suara Kiano yang tengah terbahak membuat Megan mempercepat langkahnya ke dalam kamar Kiano. Saat ia mendorong pintu tersebut terbuka, kedua matanya menangkap pemandangan yang cukup mengejutkan. Kiano dan Marcel, keduanya berdiri di depan cermin, dengan Marcel yang memeluk Kiano dari belakang dan menggelitik bocah mungilnya hingga terbahak. Wajah Megan segera memucat dengan keras dan napasnya benar-benar terhenti akan semua pemandangan yang membuat perutnya mual tersebut. “Kiano?” Megan memanggil dengan langkah besar menghampiri sang putra. Memegang lengan Kiano untuk memisahkan putranya dari Marcel dengan berdiri di antara keduanya. Telapak tangannya merangkum wajah Kiano dan pandangannya menelusuri seluruh tubuh Kiano dari atas ke bawah seolah memeriksa dengan teliti. Suara dengusan dari balik punggungnya tak dipedulikan oleh Megan. Ia tak peduli jika tindakanya akan menyinggung Marcel. Ia hanya ingin memastikan Kiano baik-baik saja. “Mama?” Kiano pun dibuat keheranan dengan sikap
Mikail dan Kiano masih menunggu baby Kylie di ruang bayi setelah mengantarkan Megan ke ruang perawatan. Memastikan sang istri untuk istirahat sebelum pergi, tetapi Megan tak bisa tidur. Pun dengan rasa lelah dan letih yang masih membuatnya lemah dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa lapar setelah semua tenaga yang ia kerahkan saat persalinan. Suara pintu diketuk, Megan menoleh. Sepertinya perawat yang disuruh Mikail untuk membawakannya makanan untuknya. Tetapi wajahnya berubah masam ketika bukan perawat yang muncul, melainkan Marcel. Satu tangan membawa nampan berisi makanan dan satu tangannya disembunyikan di belakang. Membuat Megan berkerut kening akan sikap aneh pria itu. “Kenapa kau di sini, Marcel?” tanya Megan dengan nada tak bersahabat seperti biasa. Marcel tak menjawab, pria itu meletakkan nampan di nakas. “Aku tahu kau tak akan suka jika aku menyuapimu, kan?” Megan hanya mendengus tipis. Tentu saja ia akan menunggu Mikail. Dan ia langsung mengambil ponsel untuk
Delapan bulan kemudian … Megan memuntahkan seluruh isi perutnya di lubang toilet dengan hentakan yang kuat dari dalam perutnya. Membungkuk dengan kedua tangan bersandar di dinding karena perutnya yang besar membuatnya kesulitan berjongkok. “Kau muntah lagi?” Marcel muncul dari balik pintu yang tak sempat Megan tutup ketika bergegas masuk ke kamar mandi. Berdiri di belakang Megan sembari menggosok pelan punggung wanita itu. Megan yang sudah lemas, tak punya kekuatan untuk menolak perhatian Marcel, apalagi untuk memanggil Mikail yang masih belum turun ke lantai satu. Kedua kakinya melemah dan jatuh bersandar ke tubuh Marcel, sesi muntahan itu akhirnya berhenti dan Marcel mendudukkan Megan di lubang toilet. “Lepaskan dia, Marcel.” Mikail muncul di ambang pintu. Menghampiri Megan dan menarik lengan sang adik untuk menjauh dari istrinya. Marcel hanya mengedikkan bahu dan menuruti keinginan sang kakak meski tidak meninggalkan kamar mandi. Ia mengamati Mikail yang mengambil beberapa lem
Jelita menurunkan ponselnya dari telinga dengan helaan napas yang lolos dari kedua lubang hidung dan bibirnya. Matanya terpejam dengan telapak tangan yang menyentuh perutnya yang masih rata. Pernikahan? Ia tak bisa menolak Nicholas yang ingin menikahinya. Terutama setelah pria itu tahu saat ini dirinya tengah hamil. Ya, seminggu yang lalu. Tiba-tiba ia pingsan di tempat pemotretan Nicholas, pria itu membawanya ke rumah sakit. Dan saat ia terbangun dari pingsannya, pria itu sudah menyelipkan cincin di jari manisnya dengan omong kosong tentang pernikahan. “Apa-apaan ini, Nicholas?” Jelita berusaha melepaskan cincin tersebut dari jari manisnya tetapi ditahan oleh Nicholas. “Menikah? Apa kau kehilangan kewarasanmu? Apa kepalamu baru saja dilempar kamera? Atau kejatuhan lampu?” rentetnya dengan kesal. Bukankah ia yang jatuh pingsan, kenapa malah Nicholas yang kehilangan otaknya. Nicholas hanya menarik seulas senyum sebagai jawaban. “Kita harus menikah. Kita membutuhkan pernikahan ini.”
Sepanjang perjalanan, Megan sengaja membisu. Matanya terpejam, menahan tangisan kekecewaan dan perasaannya yang campur aduk. Semua ingatan buruknya naik ke permukaan. Keberengsekan Marcel, kehamilannya, pertengkarannya dan Mikail, lalu perceraian mereka. Semua memenuhi benaknya, menekan dadanya. Setelah semua ini, kenapa kenyataan ini harus naik ke permukaan. Menamparnya dengan keras.Setelah setengah jam kemudian, Mikail menghentikan mobil tepat di teras rumah. Belum sempat mematikan mesin mobilnya, Megan sudah membuka pintu mobil. “Tunggu, Megan.” Tangan Mikail tak sempat menangkap tangan Megan yang sudah melompat turun. “Kau harus hati-hati. Kakimu …” Mikail pun menyusul melompat turun dari dalam mobil.Mikail semakin dibuat kebingungan oleh perubahan sikap Megan. Ia setengah berlari mengejar dan berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu di tengah ruang tamu. “Apa yang terjadi, Megan? Kenapa denganmu?”Megan menatap wajah Mikail dengan penuh kekecewaan, tetapi bibirnya tetap
Satu bulan kemudian … Setelah satu bulan. Dengan diantar Mikail, akhirnya hari ini Megan kembali ke rumah sakit untuk melepaskan gips di kaki kanannya. Retakan di tulang kaki Megan sudah sembuh, meski harus tetap hati-hati dan menggunakan peyangga demi melatih kaki yang sudah lama tidak digunakan untuk jalan. Sekarang keduanya berada di lift, hendak turun ke lantai basement dan kembali pulang. Megan duduk di kursi roda, meski sudah bersikeras akan berjalan kaki dengan peyangga saja, Mikail malah mendudukkan pantatnya di sana. Mendorong kursi roda dan membungkam protes Megan dengan tegas. “Jam berapa sekarang?” “Dua.” “Kiano sudah pulang?” “Ya, Marcel sudah menjemputnya, dia baru saja sampai di sekolahnya Kiano.” Megan mendesah kesal. Selama satu bulan penuh dan karena kakinya yang butuh perawatan khusus, Mikail menyerahkan semua tentang Kiano pada Marcel. Ya, Megan masih belum sepenuhnya menerima sikap baik Marcel meski pria itu selalu memperlakukannya dengan baik. Seperti yang
Mikail membeku dalam ketercengangannya, kehilangan kata-kata ketika menemukan perut Alicia yang membesar hanyalah sebuah perut palsu yang dililit di pinggang. Sekilas tampak seperti nyata, tapi … itu terbuat dari bantalan kain yang menyerupai perut asli. Bahkan memiliki pusar di tengahnya. Cukup lama bagi Mikail untuk mencerna apa yang disaksikannya saat ini, dalam kebingungannya ia berusaha menemukan pijakannya. Alicia membelalak, terkesiap dengan keras dan wajahnya tertunduk menatap perut palsunya yang sekarang terekspos di hadapan Mikail. Kebohongannya terbongkar, dilucuti habis-habisan tak hanya oleh Mikail, tetapi juga oleh Marcel. Tidak, kebohongannya yang sudah ia bangun mati-matian, tidak bisa terbongkar semudah ini. “M-mi …” bibirnya bergetar hebat, bahkan hanya untuk memanggil nama Mikail. Ia bahkan belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tetapi kembali dipatahkan oleh kalimat Marcel. “Dia benar-benar menipumu mentah-mentah, Mikail. Aku sudah mengatakan padamu, kan.
Alicia tak berhenti berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, kedua tangannya saling meremas dengan gugup. Ia sudah membereskan CCTV, bukti kebusukannya. Tapi masih ada satu bukti yang akan memberatkannya. Bukti yang masih hidup itu harus ia lenyapkan. Janji Alicia pada dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal dengan kuat oleh kegugupan yang tak berhenti menghantui benaknya. Wanita itu mengambil ponselnya, sudah hampir tengah malam. Tapi ia jelas tak bisa tidur dengan semua kegelisahan ini. Tidak, malam ini adalah kesempatannya. Ia harus menutup mulut Megan sebelum wanita itu membuka mulut. Alicia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berjalan keluar kamar. Membangunkan sopir untuk membawanya ke rumah sakit sambil memegang perut dan berpura kesakitan. Sopir pun bergegas membawa Alicia ke rumah sakit. Baru saja penjaga keamanan menutup pintu gerbang setelah mobil Alicia pergi, penjaga keamanan itu kembali membukakan pintu gerbang untuk Marcel. Sesampai di rumah sakit, Alicia turun
Akan tetapi, seringai itu hanya bertahan satu detik di ujung bibirnya. Ketika suara langkah kaki yang bergema dari lantai bawah memucatkan seluruh permukaan wajahnya. Dan dari atas ia bisa melihat Marcel yang tercengang menemukan tubuh Megan yang tersungkur di lantai. “Megan?!” Marcel melompat ke arah tubuh Megan yang tergeletak di lantai, tak bergerak dengan kepala yang berdarah. Pria itu terduduk di lantai, membawa kepala Megan dalam pangkuannya. Telapak tangannya menepuk pelan pipi Megan, berusaha menyadarkan wanita itu. “Ada apa ini? Megan?” Mikail muncul, tak kalah tercengangnya dengan Marcel dan ikut duduk di lantai memeriksa keadaan Megan. Marcel mendongak, tatapannya menajam ke ujung tangga. “Alicia?” Sekali lagi Mikail dikejutkan dengan Alicia yang juga tak sadarkan diri di tengah anak tangga. “Aku harus membawanya ke rumah sakit.” Marcel menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan. Menggendong tubuh Megan dan bergegas membawanya keluar. Mikail ingin m
Hari ini, Megan harus berhasil. Janji Megan pada dirinya sendiri yang tengah berdiri di depan cermin. Kedua tangannya saling meremas, memberikan dukungan dan semangat untuk dirinya sendiri. Setelah Mikail berangkat kerja dan ia mengantar Kiano ke sekolah, Megan menghabiskan waktu di lantai satu untuk mengintai kegiatan Alicia. Wanita itu hanya keluar untuk makan pagi, dengan memasang raut pucat yang ditampakkan semenyedihkan mungkin. Mikail terlihat ibat, tapi untuk pertama kalinya ia merasa Marcel memihaknya karena pria itu sama sekali tak terpengaruh dengan tampilan Alicia. Pria itu seolah bisa membaca mata batin Alicia yang sesungguhnya. Jika saja sedikit kecerdasan Marcel dimiliki oleh Mikail, tapi ia sendiri tak bisa menyalahkan Mikail. Dirinyalah yang menciptakan ketakutan itu pada Mikail saat hamil Kiano. Dan rupanya itu membekas begitu dalam di hati Mikail sehingga kebaikan hati pria itu dimanfaatkan oleh wanita licik seperti Alicia. Alicia tampak tak tenang ketika di meja m