Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Maya membuka matanya perlahan, masih terasa berat karena pengaruh alkohol. Pandangannya kabur, dan rasa sakit di kepalanya seperti mengguncang seluruh tubuhnya. Ia mencoba duduk, menyandarkan tubuhnya di dinding. Dalam hitungan detik, ia mulai sadar bahwa ia tidak berada di rumah, melainkan di sebuah kamar asing yang tidak dikenalnya.Saat Maya melihat ke bawah, ia tertegun. Tubuhnya tak berbalut sehelai kain pun, penuh dengan bekas-bekas merah yang tidak bisa ia jelaskan. Jantungnya berdegup kencang.“Apa yang terjadi semalam?” gumam Maya dengan suara serak, mencoba mengingat apa yang baru saja ia alami.Ia memandang ke sekeliling kamar. Sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan orang lain di ruangan itu. Maya mencoba mengingat kembali, tapi pikirannya kabur. Semua yang tersisa hanyalah ingatan samar-samar tentang dirinya yang sedang tertawa dan menenggak alkohol bersama seseorang.Maya bergegas meraih pakaian
Pukul tujuh pagi, sinar matahari pagi Jakarta menyapa dengan lembut. Di taman belakang rumah, suasana terasa damai. Udara segar dan aroma dedaunan yang masih basah oleh embun melengkapi pemandangan indah pagi itu. Bastian memutuskan untuk menikmati sarapannya di meja makan outdoor yang terletak di samping taman.Secangkir kopi hitam panas mengepul di atas meja, menggoda dengan aromanya yang kuat. Di sampingnya, sepiring nasi goreng seafood dengan berbagai topping seperti udang, cumi, irisan cabai, dan telur mata sapi tampak begitu menggugah selera.Ketika salah seorang ART menuangkan air mineral ke gelasnya, Bastian memandang ke arah wanita itu.“Maya belum turun?” tanyanya ringan namun penuh arti.ART itu berhenti sejenak, lalu menjawab dengan nada hati-hati. “Ibu Maya pulang tadi pagi, Pak, sekitar jam empat. Saya yang membukakan pintu karena beliau memencet bel. Tumben sekali beliau tidak membawa kunci rumah.”Ba
Maya membuka matanya perlahan, pandangannya masih kabur. Suara jam dinding di kamar yang berdetak teratur memberitahunya bahwa waktu telah beranjak siang, pukul sebelas. Wanita itu mendesah pelan, merasakan kepala yang masih sedikit berdenyut akibat malam yang penuh emosi dan alkohol.Setelah menarik napas panjang, Maya memutuskan untuk bangkit. Ia berjalan ke kamar mandi, membersihkan dirinya dengan air hangat. Rasanya cukup membantu mengurangi rasa tidak nyaman di tubuhnya.Selesai mandi, Maya mengenakan pakaian santai—kaus longgar dan celana pendek—lalu mengambil perangkat telepon rumah khusus yang terletak di sudut meja di kamarnya—intercom telepon internal—yang langsung terhubung ke bagian lain rumah.Maya menekan nomor yang terhubung ke dapur, menunggu beberapa detik hingga suara ART menjawab dari seberang.“Selamat siang, Bu Maya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya ART dengan sopan.“Siapkan sarapan untuk saya. Bawa ke kamar,” perintah Maya singkat. Suaranya terdengar datar, tanp
Rania melangkah dengan anggun menuju kantor Bastian. Hari ini, ia memutuskan untuk menyelesaikan pembicaraan penting yang beberapa waktu lalu sempat tertunda. Saham dan investasi yang menjadi topik utama antara dirinya dan Bastian kini harus dituntaskan.Setibanya di lantai kantor Bastian, seorang resepsionis menyambutnya dengan hormat.“Selamat siang, Bu Rania. Pak Bastian sudah menunggu di ruangannya,” ucap sang resepsionis sambil mempersilakan Rania masuk.Dengan langkah tenang, Rania berjalan menuju ruang pribadi Bastian. Tanpa menunggu lama, ia mengetuk pintu, lalu masuk setelah mendengar izin dari dalam.Di balik meja kerjanya, Bastian duduk dengan postur tegak. Ekspresi wajahnya tetap dingin, seperti biasanya. Tatapan tajam pria itu seolah menembus setiap gerak-gerik Rania.“Kau akhirnya datang,” ucap Bastian tanpa basa-basi. Nada suaranya penuh ketegasan namun tidak bersahabat.Rania mengangguk kecil. “Tentu saja, aku datang untuk membahas apa yang menjadi perhatianmu,” jawabn
Setelah beberapa saat termenung, Bastian akhirnya menghela napas panjang. Ia tahu bahwa dirinya tidak bisa terus larut dalam kebingungan. Ada satu hal yang pasti—Maya harus diawasi. Kalau memang ada bukti kuat tentang perselingkuhan, ini akan menjadi jalan keluar yang ia butuhkan dari hubungan pernikahan yang sudah lama kehilangan maknanya.Bastian meraih ponselnya dan membuka kontak. Jari-jarinya berhenti di nama Adrian—salah satu agen rahasia yang dulu pernah disewa Bastian untuk mengawasi Rania. Ia menekan tombol panggil, menunggu beberapa detik hingga suara khas Adrian terdengar di ujung telepon.“Adrian di sini,” jawab pria itu dengan nada formal dan tegas.“Adrian, ini aku, Bastian,” ujar Bastian, suaranya dingin namun tegas.“Oh, Tuan Bastian. Apa kabar? Sudah lama sekali sejak terakhir kita berbicara,” balas Adrian, terdengar sedikit terkejut namun tetap profesional.“Ya, sudah cukup lam
Setelah menikmati perbincangan hangat dengan Bu Mirna di ruang tamu panti, Rania berdiri dari duduknya dan mengambil amplop cokelat yang sudah ia siapkan. Di bagian sudut amplop, tertera logo salah satu bank swasta terkenal di Indonesia. Dengan senyum tulus, ia menyerahkannya kepada Bu Mirna.“Bu Mirna, ini sedikit bantuan dari saya. Saya harap ini bisa membantu operasional panti,” ujar Rania dengan nada lembut.Bu Mirna menerima amplop itu dengan kedua tangan, wajahnya penuh rasa syukur. “Terima kasih, Rania. Kamu tidak tahu betapa berharganya ini untuk kami. Tuhan pasti memberkati setiap langkahmu.”Rania tersenyum dan melanjutkan, “Tidak hanya itu, Bu. Saya juga sudah membawa beberapa barang yang mungkin bisa bermanfaat untuk anak-anak di sini.”Rania melirik ke arah sopirnya yang berdiri di dekat pintu. “Pak Seno, tolong ambil barang-barang di bagasi mobil, ya.”Sopir itu mengangguk dan segera menuju mobil, diikuti oleh salah satu staf panti. Tak lama kemudian, mereka kembali deng
Matahari sore mulai tenggelam di ufuk barat ketika Maya tiba di depan rumah orang tuanya. Ia memarkirkan mobilnya dengan asal, menandakan pikirannya sedang kacau. Rumah itu tampak megah dari luar, namun suasana di dalamnya sedang jauh dari kata harmonis.Maya keluar dari mobil dengan langkah gontai, membetulkan tasnya yang tergantung di bahu. Belum sempat ia mengetuk pintu, sang ibu, Ami, membukanya lebih dulu.“Maya?” panggil Ami dengan nada datar, meski matanya menunjukkan kekhawatiran yang coba ia sembunyikan.“Mami...” Maya memeluk ibunya tanpa bicara banyak. Pelukan itu lebih seperti pencarian pelampiasan emosi yang tertahan.Ami membalas pelukan itu sejenak sebelum berkata, “Masuklah. Papi ada di dalam.”Di ruang tamu, Gery duduk di sofa dengan koran terlipat di pangkuannya. Ia menatap putrinya dengan tatapan yang sulit ditebak—antara cemas, marah, dan kecewa.“Ada apa datang ke sini sore-sore?” tanya Gery, nadanya kaku.Maya duduk di sofa berhadapan dengannya. Ami menyusul, dud
Malam itu, Maya melangkah masuk ke rumah dengan wajah lelah dan pikiran kusut. Namun, pandangannya langsung tertuju pada sosok Bastian yang duduk di ruang tamu. Botol wine dan gelas sloki di hadapannya memberi kesan bahwa pria itu sedang menikmati malam dengan cara yang tidak biasa.Sudah cukup lama Bastian tidak menikmati minuman beralkohol dan entah kenapa, malam ini pria itu tampak sangat menikmatinya.Maya mencoba mengabaikan Bastian dan melangkah menuju tangga untuk naik ke kamarnya, namun suara tegas Bastian menghentikan langkahnya.“Maya,” ucap Bastian, tegas.Langkah Maya terhenti. Ia menoleh dengan wajah datar, berusaha menutupi rasa gugup yang mulai menyergap. Tatapan Bastian yang tajam menusuknya.“Duduk di sini,” ujar Bastian, sembari menunjuk kursi di hadapannya.Maya menghela napas panjang, namun ia melangkah mendekat dan duduk dengan enggan di kursi yang ditunjuk.Bastian menuangkan sedikit wine ke gelasnya sebelum berbicara. “Jadi, mau menjelaskan kenapa kamu tidak men
Malam menjelang, suasana di kamar Rania terasa begitu hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar di sela-sela lamunannya. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lutut sambil menatap kosong ke arah jendela yang sedikit terbuka. Angin malam yang sejuk menyelinap masuk, mengusap lembut wajahnya yang terlihat sendu.Kehadiran Bastian tadi siang benar-benar mengusik pikirannya. Entah kenapa, ada perasaan yang sulit ia jelaskan setiap kali berhadapan dengan pria itu. Apalagi, saat melihat bagaimana Bastian memandang Bintang—anak yang selama ini ia besarkan sendiri tanpa kehadiran seorang ayah.Satria juga ada di sana. Pria itu seolah tidak pernah menyerah untuk mendekatinya dan berusaha mengambil peran dalam hidupnya dan Bintang. Rania menghela napas berat. Kepalanya semakin penuh dengan berbagai pikiran yang berputar tanpa henti.Tiba-tiba, suara nada dering ponselnya membuyarkan lamunannya. Dengan ragu, ia meraih ponsel yang tergeletak di meja nakas. Nama Bastian terpampang jel
Hari itu, udara Bandung terasa sejuk dengan semilir angin yang menyusup di sela-sela pepohonan. Di rumah keluarga Rania, suasana terasa hangat. Di ruang makan, meja panjang telah dipenuhi hidangan, tanda mereka bersiap untuk makan siang bersama. Rania duduk bersama kedua orang tuanya, Rita dan Boby, serta ibu angkatnya, Cucu. Satria juga ada di sana, duduk di samping Bintang, sambil bercanda dengan bocah kecil itu.Tawa Bintang mengisi ruangan. Anak itu begitu riang ketika Satria menunjukkan cara membuat origami sederhana dari tisu."Om Satria bisa bikin ini lagi?" tanya Bintang sambil memegang hasil origami berbentuk burung kecil."Tentu, Bintang. Om bisa buat yang lebih bagus lagi kalau kamu mau," jawab Satria sambil tersenyum hangat.Namun, suasana ceria itu tiba-tiba terhenti ketika terdengar suara bel dari pintu depan. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara."Siapa, ya?" gumam Rita sambil melirik Rania."Aku buka pintu, Ma," ujar Rania sambil beranjak.Saat pintu terbuka, Rani
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela ruang keluarga rumah Rania. Di atas meja, beberapa cangkir teh hangat tersusun rapi, sementara di ruang tamu terdengar tawa renyah Bintang yang sedang bermain di atas karpet bersama mobil-mobilan kecilnya.“Ma, lihat ini!” teriak Bintang sambil menunjukkan mainan barunya yang kemarin ia beli bersama Rania.Sebelum Rania sempat menjawab, suara bel rumah berbunyi.“Sebentar, Bintang,” kata Rania sambil melangkah ke pintu.Begitu pintu terbuka, seorang pria dengan setelan kasual—kaus putih dan celana jeans—tersenyum hangat. Satria, pria yang belakangan ini sering mampir ke rumah Rania, berdiri dengan sebuah kantong kertas besar di tangannya.“Pagi, Rania. Ini untuk Bintang,” ujarnya sambil menyerahkan kantong itu.Rania melirik kantong tersebut, lalu ke arah Satria dengan ekspresi sedikit bingung. “Kamu nggak perlu repot-repot setiap kali datang, Mas.”Satria hanya tertawa kecil. “Aku nggak merasa repot, kok. Aku senang bisa membawakan sesua
Kepulan asap pesawat terbang tampak membumbung tinggi di udara Bandara Soekarno-Hatta. Maya berdiri di tepi jendela kaca besar di ruang tunggu, memandang ke arah landasan pacu. Matanya kosong, wajahnya lelah, tetapi bibirnya tetap membentuk garis tegas seolah ia tidak ingin menunjukkan kelemahan. Di tangannya, paspor dan tiket penerbangan ke Frankfurt, Jerman, tergenggam erat.Hari ini, segalanya berubah. Perceraian yang baru saja disahkan beberapa minggu lalu telah menghapus statusnya sebagai istri dari Bastian, seorang pengusaha ternama di Jakarta.“Bu Maya, sudah waktunya boarding,” suara sopir pribadinya memecah keheningan.Maya menoleh sekilas. “Kamu pulang saja. Terima kasih sudah mengantarkan,” jawabnya singkat.Pria itu mengangguk hormat sebelum pergi, meninggalkan Maya sendirian.Maya menarik napas panjang dan berjalan menuju gerbang keberangkatan. Sepanjang langkahnya, ingatan tentang rumah megah yang pernah ia tinggali bersama Bastian menghantui pikirannya. Di sana, ia pern
Pagi ini, aroma embun bercampur harum bunga dari taman rumah Rania membuat suasana terasa sejuk. Udara segar Bandung menjadi pelengkap sempurna untuk perjalanan menuju Lembang. Sebuah mobil SUV hitam mewah sudah terparkir rapi di depan rumah, menunggu penumpangnya.Seorang sopir pribadi berdiri di sisi mobil, mengenakan seragam rapi, sementara seorang bodyguard berjaga tidak jauh darinya. Tugas mereka hari ini adalah memastikan perjalanan keluarga Rania berjalan lancar dan aman.Rania muncul dari dalam rumah, mengenakan pakaian kasual tetapi tetap elegan. Rambutnya yang tergerai membuat wajahnya terlihat segar meski kesibukan akhir-akhir ini menguras energinya. Di sampingnya, Bintang berlari kecil dengan semangat khas anak kecil, menggenggam tangan boneka superhero kesayangannya.“Mama, nanti di Lembang kita bisa lihat bunga banyak, kan?” tanya Bintang dengan mata berbinar.“Tentu saja, Sayang,” jawab Rania sambil mengusap kepala p
Siang itu, matahari menyinari gedung perkantoran megah yang menjadi pusat kesibukan Bastian sehari-hari. Di lantai paling atas, ruangan kantor Bastian tampak luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Suasana ruangan beraroma kopi dan kayu cedar, mencerminkan kepribadian Bastian yang tegas dan profesional.Seorang asisten mengetuk pintu sebelum membukanya. “Pak Bastian, ada Bu Ami dan Pak Gery yang ingin bertemu.”Bastian, yang tengah duduk di belakang meja kerjanya, menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia menatap asistennya dengan ekspresi tenang. “Persilakan mereka masuk.”Beberapa saat kemudian, Ami dan Gery memasuki ruangan. Ami mengenakan gaun pastel elegan, sementara Gery terlihat rapi dalam setelan formal. Mereka memasang senyum ramah, meskipun ketegangan terlihat di mata mereka.“Selamat siang, Mami, Papi,” sapa Bastian sambil berdiri dan menjabat tangan mereka. “Silakan duduk.”“Terima kasih, Nak,” jawab Ami dengan nada lembut, berusaha me
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menerobos masuk melalui jendela besar di ruang makan. Aroma roti panggang yang baru keluar dari oven bercampur dengan wangi kopi hitam yang pekat memenuhi udara, menciptakan suasana nyaman di rumah keluarga Rania.Di meja makan besar, keluarga kecil itu berkumpul. Boby dan Rita duduk di sisi kepala meja, sementara Cucu, ibu angkat Rania, duduk bersebelahan dengan Bintang yang sibuk menyendokkan bubur ke mulut kecilnya. Rania, mengenakan gaun rumah sederhana berwarna pastel, duduk di sisi lain meja, tampak menikmati secangkir teh hangat.“Mama, tolong minta rotinya,” pinta Bintang dengan suaranya yang riang.Rania tersenyum, mengambil sepotong roti panggang dan menyerahkannya ke tangan kecil putranya. “Pelan-pelan makannya, Sayang. Jangan sampai tumpah lagi, ya.”“Iya, Ma,” jawab Bintang dengan pipi yang sudah menggembung karena bubur.Suasana pagi itu begitu hangat, dipenuhi c
Hujan deras mengguyur Bandung sejak semalam, menciptakan suasana dingin dan temaram yang terasa menusuk hingga ke tulang. Di dalam kamar bernuansa krem yang hangat, Rania duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya dengan wajah terkejut. Portal berita yang terpampang di layar menampilkan sebuah judul yang membuat dadanya berdebar."Pebisnis Ternama Bastian Pramudista Akan Ceraikan Istrinya, Maya Kartika!"Rania membaca ulang judul itu, seolah ingin memastikan bahwa matanya tidak salah menangkap kata-kata yang terpampang di sana. Ia menelusuri artikel tersebut, membacanya perlahan dengan alis berkerut.Keputusan itu tak disangka. Bastian, pria yang dulu pernah mengisi ruang hatinya, kini menjadi pusat perhatian publik karena rencana perceraian ini. Nama Maya disebut-sebut terlibat dalam skandal yang mencoreng reputasi keluarga mereka.“Bastian...” bisik Rania lirih, hampir tidak percaya.Ia meletakkan ponselnya di samping, menarik napas panjang, lalu memandang keluar jendela. Rintik h
Sore ini, Bastian duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi wajah yang gelap. Di atas mejanya, berkas-berkas yang menjadi bukti nyata perselingkuhan Maya dan penyelewengan dana yang dilakukan bersama Ronal terhampar dengan jelas. Semua bukti telah ia kumpulkan, dari laporan transaksi mencurigakan hingga foto-foto dan pesan-pesan pribadi yang tidak dapat disangkal lagi.Bastian mengepalkan tangannya, mencoba mengendalikan amarah yang bergejolak dalam dadanya. Namun, semakin ia melihat bukti-bukti itu, semakin sulit baginya untuk menahan diri. Pernikahan yang ia jaga dengan segala usahanya ternyata dihancurkan begitu saja oleh orang yang seharusnya menjadi pasangannya.“Cukup sudah,” gumamnya, suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan.Ia mengambil tumpukan dokumen itu, lalu melangkah cepat menuju kamar utama. Pintu kamar didorongnya dengan keras, membuat Maya yang sedang duduk di depan cermin berdandan terkejut.“Bastian?” Maya berbalik, menatap suaminya dengan bingung.Bastian tidak