Nyesel banget si Bastian udah menyia-nyiakan wanita seperti Rania. Sudahlah cantik, penuh pengorbanan dan mandiri. Ah sudahlah, god job untuk Rania. Love sekebon untuk wanita cantik yang satu ini ^_^
Desa Lembang, kedai kopi depan toko bunga milik Rania.Adrian melangkah keluar dari kedai kopi dengan santai, menyisipkan tangannya ke dalam saku jaket. Matahari pagi mulai meninggi, menyinari jalan kecil di depan toko bunga milik Rania. Dia tahu Rania dan ibunya sedang tidak ada di tempat, sebuah informasi yang dia dapatkan setelah mengamati sejak pagi.Ketika mendekati toko, Adrian melihat dua wanita muda yang sedang sibuk menyusun rangkaian bunga di rak. Keduanya tampak bersemangat, berbicara sambil tertawa kecil. Adrian melangkah masuk ke toko, bel berbunyi pelan ketika pintu dibuka.“Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu?” sapaan ceria dari Icha, salah satu karyawan Rania.Adrian tersenyum ramah. “Oh, terima kasih. Saya sebenarnya hanya ingin tahu sedikit tentang toko ini. Saya sering melewati sini, tapi baru kali ini punya kesempatan mampir.”Citra yang sedang menyusun bunga mawar menoleh, tersenyum. “Oh, toko ini sudah lama berdiri, Mas. Pemiliknya, Mbak Rania, sangat berbak
Sore itu, langit Jakarta mulai dihiasi semburat jingga, menandakan hari hampir berakhir. Di salah satu sudut gedung pencakar langit, Bastian sedang duduk di balik meja kerjanya, dikelilingi berkas-berkas yang menumpuk. Suasana di ruangannya begitu sunyi, hanya terdengar denting jam dinding dan sesekali deru kendaraan dari jalanan di bawah.Pintu ruangan diketuk pelan.“Masuk,” suara Bastian terdengar tanpa menoleh.Farel muncul dari balik pintu dengan wajah yang penuh rasa lelah. Pria itu mengenakan kemeja biru yang kini sedikit kusut, menandakan ia sudah melalui hari yang panjang.“Bastian,” sapanya sambil menutup pintu dengan hati-hati.Bastian mengangkat pandangan sekilas, lalu menunjuk kursi di depannya. “Duduk.”Farel menurut, menghempaskan tubuhnya di kursi, tetapi tetap menjaga postur sopan. Ia tahu alasan ia ada di sini, untuk mempertanggungjawabkan masalah proyek Nusa Penida.“Apa yan
Malam ini, suasana rumah terasa hening, hanya suara jam dinding yang terdengar samar di ruang tengah. Di dalam ruang kerja pribadinya, Bastian tenggelam dalam tumpukan dokumen yang ia telaah tanpa benar-benar memahaminya. Pikirannya terus melayang ke Lembang, ke wajah Rania, dan terutama ke senyum kecil Bintang yang entah mengapa begitu sulit dilupakan.Pintu ruang kerja terbuka pelan, Maya muncul membawa secangkir kopi panas. Wajahnya dihiasi senyuman kecil, meski di dalam hatinya ia tahu bahwa ini akan menjadi malam yang sulit.“Kamu masih di sini?” Maya memecah keheningan sambil berjalan mendekat. Ia meletakkan cangkir kopi di atas meja Bastian dengan hati-hati. Aroma kopi yang hangat menyebar di ruangan.Bastian tidak mengangkat kepalanya. Ia hanya menggumam, sekadar pengakuan bahwa ia mendengar. Tidak ada ucapan terima kasih, bahkan sekilas pandang pun tidak diberikan.Maya menahan napas sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu sikap
Jarum jam menunjuk angka sepuluh malam, tetapi suasana rumah Bastian masih sepi. Hanya suara pendingin ruangan dan desau halus langkah Bastian yang sesekali terdengar saat ia berdiri dari kursi kerjanya. Dokumen-dokumen berserakan di atas meja, tapi tak satu pun yang benar-benar menarik perhatiannya.Dengan napas berat, Bastian menyandarkan tubuhnya di kursi. Pikirannya terus-menerus kembali pada Rania dan Bintang. Ada banyak pertanyaan yang tak terjawab, dan rasa penasaran itu mulai mengganggu.Tiba-tiba, ia teringat pada Adrian. Sudah beberapa hari berlalu sejak ia menugaskan pria itu untuk menyelidiki kehidupan Rania, tetapi tak ada kabar sama sekali. Tanpa pikir panjang, Bastian meraih ponselnya dan segera menekan nomor Adrian.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara Adrian akhirnya menjawab.“Halo, Pak Bastian,” suara Adrian terdengar santai, meskipun ada sedikit nada serius di baliknya. “Saya sudah menduga Anda akan meng
Mentari pagi menyinari halaman luas rumah mewah keluarga Bastian. Namun, sinar hangat itu seakan tak mampu menenangkan kegelisahan yang terus menggerogoti hati pria tersebut. Pagi ini, Bastian sudah rapi dalam setelan kasualnya—kemeja putih yang digulung sampai siku, celana chino, dan sepatu loafer berwarna cokelat.Ia berniat menuju Lembang. Keyakinan yang perlahan mengakar di benaknya bahwa Rania dan anaknya, Bintang, memiliki hubungan yang sangat erat dengan masa lalunya membuatnya tidak bisa lagi hanya menunggu laporan Adrian.Namun, langkahnya menuju pintu depan terhenti ketika suara Maya terdengar dari ruang makan.“Bastian, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya Maya dengan nada penuh selidik, sambil melangkah mendekati suaminya. Wanita itu mengenakan gaun tidur sutra berwarna merah muda, rambutnya masih terurai acak.Bastian menoleh sekilas, enggan memberikan penjelasan panjang. “Ada urusan penting.”Maya mengernyit, tatapannya penuh rasa penasaran. “Urusan apa? Ini kan har
PRANK!!Tiba-tiba, suasana yang tadinya tenang di toko bunga itu berubah dalam sekejap. Sebuah nampan stainless yang penuh dengan bunga segar yang sebelumnya ada di tangan Rania, terjatuh ke lantai dengan suara keras yang memecah keheningan. Bunga-bunga yang baru saja dipetik Rania berserakan di lantai, menciptakan kekacauan di antara rak-rak yang teratur. Icha dan Citra yang terkejut langsung menoleh, sementara Bastian juga tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat ke arah sumber suara.Melihat Bastian masih memeluk Bintang, perasaan marah Rania seketika meledak. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Bastian dan langsung merebut Bintang dari gendongannya.“Apa yang kamu lakukan?” suara Rania bergetar, penuh kemarahan. Ia menatap Bastian dengan mata yang tajam. “Kenapa kamu memeluk anak saya?”Bastian terdiam, sedikit terkejut dengan reaksi Rania yang begitu tiba-tiba. Ia berusaha untuk berbicara, namun Rania sudah tidak memberiny
Sore di Lembang semakin dingin. Kabut mulai turun, menyelimuti area pegunungan yang indah. Bastian duduk di salah satu meja restoran hotel yang hangat, dengan pemandangan luar yang memanjakan mata. Secangkir kopi hitam terhidang di hadapannya, tetapi belum disentuh. Matanya kosong menatap ke luar jendela, pikirannya masih penuh dengan bayangan Bintang dan Rania.Tak lama, langkah kaki Adrian terdengar mendekat. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam, membawa tas kecil di tangan. Adrian tersenyum tipis sebelum duduk di kursi seberang Bastian.“Apa kabar, Pak?” Adrian membuka percakapan sambil melepas sarung tangannya. “Kabar tadi cukup mendesak. Ada apa?”Bastian menatap Adrian, lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku ingin tahu semua yang sudah kau dapatkan sejauh ini. Tentang Rania, terutama tentang Bintang.”Adrian mengangguk, membuka tas kecilnya dan mengeluarkan beberapa lembar dokumen yang sudah ia siapka
Di salah satu kamar megah di sebuah rumah mewah di Bandung, Rita terduduk di sofa empuk yang menghadap ke sebuah jendela besar. Pandangannya terpaku pada foto lama di tangannya. Sebuah potret yang mulai menguning, memperlihatkan seorang bayi perempuan yang tersenyum polos dalam balutan kain putih lembut. Tangannya yang mungil mengepal, seolah menggenggam harapan yang telah lama hilang.Rita mengusap lembut bingkai foto itu dengan ujung jarinya, air matanya tak berhenti mengalir. Hatinya terasa hampa, seolah ada lubang besar yang tidak pernah bisa terisi sejak kepergian putri kecilnya.Pintu kamar terbuka pelan, menampilkan sosok Emma, sang asisten rumah tangga yang setia menemani Rita selama bertahun-tahun. Dengan langkah tenang, Emma membawa nampan berisi secangkir teh hijau hangat, berharap itu bisa sedikit menenangkan hati majikannya.“Bu Rita,” suara Emma lembut, nyaris seperti bisikan. “Ini tehnya, saya taruh di sini, ya.”Rit
Malam menjelang, suasana di kamar Rania terasa begitu hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar di sela-sela lamunannya. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lutut sambil menatap kosong ke arah jendela yang sedikit terbuka. Angin malam yang sejuk menyelinap masuk, mengusap lembut wajahnya yang terlihat sendu.Kehadiran Bastian tadi siang benar-benar mengusik pikirannya. Entah kenapa, ada perasaan yang sulit ia jelaskan setiap kali berhadapan dengan pria itu. Apalagi, saat melihat bagaimana Bastian memandang Bintang—anak yang selama ini ia besarkan sendiri tanpa kehadiran seorang ayah.Satria juga ada di sana. Pria itu seolah tidak pernah menyerah untuk mendekatinya dan berusaha mengambil peran dalam hidupnya dan Bintang. Rania menghela napas berat. Kepalanya semakin penuh dengan berbagai pikiran yang berputar tanpa henti.Tiba-tiba, suara nada dering ponselnya membuyarkan lamunannya. Dengan ragu, ia meraih ponsel yang tergeletak di meja nakas. Nama Bastian terpampang jel
Hari itu, udara Bandung terasa sejuk dengan semilir angin yang menyusup di sela-sela pepohonan. Di rumah keluarga Rania, suasana terasa hangat. Di ruang makan, meja panjang telah dipenuhi hidangan, tanda mereka bersiap untuk makan siang bersama. Rania duduk bersama kedua orang tuanya, Rita dan Boby, serta ibu angkatnya, Cucu. Satria juga ada di sana, duduk di samping Bintang, sambil bercanda dengan bocah kecil itu.Tawa Bintang mengisi ruangan. Anak itu begitu riang ketika Satria menunjukkan cara membuat origami sederhana dari tisu."Om Satria bisa bikin ini lagi?" tanya Bintang sambil memegang hasil origami berbentuk burung kecil."Tentu, Bintang. Om bisa buat yang lebih bagus lagi kalau kamu mau," jawab Satria sambil tersenyum hangat.Namun, suasana ceria itu tiba-tiba terhenti ketika terdengar suara bel dari pintu depan. Semua kepala menoleh ke arah sumber suara."Siapa, ya?" gumam Rita sambil melirik Rania."Aku buka pintu, Ma," ujar Rania sambil beranjak.Saat pintu terbuka, Rani
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela ruang keluarga rumah Rania. Di atas meja, beberapa cangkir teh hangat tersusun rapi, sementara di ruang tamu terdengar tawa renyah Bintang yang sedang bermain di atas karpet bersama mobil-mobilan kecilnya.“Ma, lihat ini!” teriak Bintang sambil menunjukkan mainan barunya yang kemarin ia beli bersama Rania.Sebelum Rania sempat menjawab, suara bel rumah berbunyi.“Sebentar, Bintang,” kata Rania sambil melangkah ke pintu.Begitu pintu terbuka, seorang pria dengan setelan kasual—kaus putih dan celana jeans—tersenyum hangat. Satria, pria yang belakangan ini sering mampir ke rumah Rania, berdiri dengan sebuah kantong kertas besar di tangannya.“Pagi, Rania. Ini untuk Bintang,” ujarnya sambil menyerahkan kantong itu.Rania melirik kantong tersebut, lalu ke arah Satria dengan ekspresi sedikit bingung. “Kamu nggak perlu repot-repot setiap kali datang, Mas.”Satria hanya tertawa kecil. “Aku nggak merasa repot, kok. Aku senang bisa membawakan sesua
Kepulan asap pesawat terbang tampak membumbung tinggi di udara Bandara Soekarno-Hatta. Maya berdiri di tepi jendela kaca besar di ruang tunggu, memandang ke arah landasan pacu. Matanya kosong, wajahnya lelah, tetapi bibirnya tetap membentuk garis tegas seolah ia tidak ingin menunjukkan kelemahan. Di tangannya, paspor dan tiket penerbangan ke Frankfurt, Jerman, tergenggam erat.Hari ini, segalanya berubah. Perceraian yang baru saja disahkan beberapa minggu lalu telah menghapus statusnya sebagai istri dari Bastian, seorang pengusaha ternama di Jakarta.“Bu Maya, sudah waktunya boarding,” suara sopir pribadinya memecah keheningan.Maya menoleh sekilas. “Kamu pulang saja. Terima kasih sudah mengantarkan,” jawabnya singkat.Pria itu mengangguk hormat sebelum pergi, meninggalkan Maya sendirian.Maya menarik napas panjang dan berjalan menuju gerbang keberangkatan. Sepanjang langkahnya, ingatan tentang rumah megah yang pernah ia tinggali bersama Bastian menghantui pikirannya. Di sana, ia pern
Pagi ini, aroma embun bercampur harum bunga dari taman rumah Rania membuat suasana terasa sejuk. Udara segar Bandung menjadi pelengkap sempurna untuk perjalanan menuju Lembang. Sebuah mobil SUV hitam mewah sudah terparkir rapi di depan rumah, menunggu penumpangnya.Seorang sopir pribadi berdiri di sisi mobil, mengenakan seragam rapi, sementara seorang bodyguard berjaga tidak jauh darinya. Tugas mereka hari ini adalah memastikan perjalanan keluarga Rania berjalan lancar dan aman.Rania muncul dari dalam rumah, mengenakan pakaian kasual tetapi tetap elegan. Rambutnya yang tergerai membuat wajahnya terlihat segar meski kesibukan akhir-akhir ini menguras energinya. Di sampingnya, Bintang berlari kecil dengan semangat khas anak kecil, menggenggam tangan boneka superhero kesayangannya.“Mama, nanti di Lembang kita bisa lihat bunga banyak, kan?” tanya Bintang dengan mata berbinar.“Tentu saja, Sayang,” jawab Rania sambil mengusap kepala p
Siang itu, matahari menyinari gedung perkantoran megah yang menjadi pusat kesibukan Bastian sehari-hari. Di lantai paling atas, ruangan kantor Bastian tampak luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Suasana ruangan beraroma kopi dan kayu cedar, mencerminkan kepribadian Bastian yang tegas dan profesional.Seorang asisten mengetuk pintu sebelum membukanya. “Pak Bastian, ada Bu Ami dan Pak Gery yang ingin bertemu.”Bastian, yang tengah duduk di belakang meja kerjanya, menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia menatap asistennya dengan ekspresi tenang. “Persilakan mereka masuk.”Beberapa saat kemudian, Ami dan Gery memasuki ruangan. Ami mengenakan gaun pastel elegan, sementara Gery terlihat rapi dalam setelan formal. Mereka memasang senyum ramah, meskipun ketegangan terlihat di mata mereka.“Selamat siang, Mami, Papi,” sapa Bastian sambil berdiri dan menjabat tangan mereka. “Silakan duduk.”“Terima kasih, Nak,” jawab Ami dengan nada lembut, berusaha me
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menerobos masuk melalui jendela besar di ruang makan. Aroma roti panggang yang baru keluar dari oven bercampur dengan wangi kopi hitam yang pekat memenuhi udara, menciptakan suasana nyaman di rumah keluarga Rania.Di meja makan besar, keluarga kecil itu berkumpul. Boby dan Rita duduk di sisi kepala meja, sementara Cucu, ibu angkat Rania, duduk bersebelahan dengan Bintang yang sibuk menyendokkan bubur ke mulut kecilnya. Rania, mengenakan gaun rumah sederhana berwarna pastel, duduk di sisi lain meja, tampak menikmati secangkir teh hangat.“Mama, tolong minta rotinya,” pinta Bintang dengan suaranya yang riang.Rania tersenyum, mengambil sepotong roti panggang dan menyerahkannya ke tangan kecil putranya. “Pelan-pelan makannya, Sayang. Jangan sampai tumpah lagi, ya.”“Iya, Ma,” jawab Bintang dengan pipi yang sudah menggembung karena bubur.Suasana pagi itu begitu hangat, dipenuhi c
Hujan deras mengguyur Bandung sejak semalam, menciptakan suasana dingin dan temaram yang terasa menusuk hingga ke tulang. Di dalam kamar bernuansa krem yang hangat, Rania duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya dengan wajah terkejut. Portal berita yang terpampang di layar menampilkan sebuah judul yang membuat dadanya berdebar."Pebisnis Ternama Bastian Pramudista Akan Ceraikan Istrinya, Maya Kartika!"Rania membaca ulang judul itu, seolah ingin memastikan bahwa matanya tidak salah menangkap kata-kata yang terpampang di sana. Ia menelusuri artikel tersebut, membacanya perlahan dengan alis berkerut.Keputusan itu tak disangka. Bastian, pria yang dulu pernah mengisi ruang hatinya, kini menjadi pusat perhatian publik karena rencana perceraian ini. Nama Maya disebut-sebut terlibat dalam skandal yang mencoreng reputasi keluarga mereka.“Bastian...” bisik Rania lirih, hampir tidak percaya.Ia meletakkan ponselnya di samping, menarik napas panjang, lalu memandang keluar jendela. Rintik h
Sore ini, Bastian duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi wajah yang gelap. Di atas mejanya, berkas-berkas yang menjadi bukti nyata perselingkuhan Maya dan penyelewengan dana yang dilakukan bersama Ronal terhampar dengan jelas. Semua bukti telah ia kumpulkan, dari laporan transaksi mencurigakan hingga foto-foto dan pesan-pesan pribadi yang tidak dapat disangkal lagi.Bastian mengepalkan tangannya, mencoba mengendalikan amarah yang bergejolak dalam dadanya. Namun, semakin ia melihat bukti-bukti itu, semakin sulit baginya untuk menahan diri. Pernikahan yang ia jaga dengan segala usahanya ternyata dihancurkan begitu saja oleh orang yang seharusnya menjadi pasangannya.“Cukup sudah,” gumamnya, suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan.Ia mengambil tumpukan dokumen itu, lalu melangkah cepat menuju kamar utama. Pintu kamar didorongnya dengan keras, membuat Maya yang sedang duduk di depan cermin berdandan terkejut.“Bastian?” Maya berbalik, menatap suaminya dengan bingung.Bastian tidak