Wah, Rania mulai diawasi nih. Akankah kebenaran itu akan cepat terungkap?
Rania menghentikan mobil pick-upnya di depan rumah sederhana milik Bibi Ningrum. Begitu turun, ia langsung melihat Bayu, bocah kecil berusia tiga tahun lebih, tergeletak tak sadarkan diri di dalam pelukan sang ayah. Napasnya tersengal, dan wajahnya memucat. Ningrum berlutut di samping anaknya, tangisnya pecah sambil memohon.“Teh Cucu, Rania... tolong Bayu, dia tiba-tiba kejang tadi. Sekarang dia nggak sadar. Saya takut sekali,” suara Ningrum parau, matanya memohon dengan penuh harap.Cucu, yang berdiri di belakang Rania, segera mendekat dan memegang bahu Ningrum, berusaha menenangkan. “Tenang, Ning. Kita bawa Bayu ke rumah sakit sekarang juga. Rania sudah siap dengan mobilnya.”“Paman, Bibi, bantu saya mengangkat Bayu ke mobil,” ucap Rania tegas, mencoba tetap tenang meski hatinya ikut bergetar melihat kondisi sepupunya.Dengan sigap, Paman Tedi membantu menggendong tubuh kecil Bayu yang lemas. Sementara itu, Rania memasang kain terpal sebagai atap sementara di bak belakang mobil pick
Desa Lembang, kedai kopi depan toko bunga milik Rania.Adrian melangkah keluar dari kedai kopi dengan santai, menyisipkan tangannya ke dalam saku jaket. Matahari pagi mulai meninggi, menyinari jalan kecil di depan toko bunga milik Rania. Dia tahu Rania dan ibunya sedang tidak ada di tempat, sebuah informasi yang dia dapatkan setelah mengamati sejak pagi.Ketika mendekati toko, Adrian melihat dua wanita muda yang sedang sibuk menyusun rangkaian bunga di rak. Keduanya tampak bersemangat, berbicara sambil tertawa kecil. Adrian melangkah masuk ke toko, bel berbunyi pelan ketika pintu dibuka.“Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu?” sapaan ceria dari Icha, salah satu karyawan Rania.Adrian tersenyum ramah. “Oh, terima kasih. Saya sebenarnya hanya ingin tahu sedikit tentang toko ini. Saya sering melewati sini, tapi baru kali ini punya kesempatan mampir.”Citra yang sedang menyusun bunga mawar menoleh, tersenyum. “Oh, toko ini sudah lama berdiri, Mas. Pemiliknya, Mbak Rania, sangat berbak
Sore itu, langit Jakarta mulai dihiasi semburat jingga, menandakan hari hampir berakhir. Di salah satu sudut gedung pencakar langit, Bastian sedang duduk di balik meja kerjanya, dikelilingi berkas-berkas yang menumpuk. Suasana di ruangannya begitu sunyi, hanya terdengar denting jam dinding dan sesekali deru kendaraan dari jalanan di bawah.Pintu ruangan diketuk pelan.“Masuk,” suara Bastian terdengar tanpa menoleh.Farel muncul dari balik pintu dengan wajah yang penuh rasa lelah. Pria itu mengenakan kemeja biru yang kini sedikit kusut, menandakan ia sudah melalui hari yang panjang.“Bastian,” sapanya sambil menutup pintu dengan hati-hati.Bastian mengangkat pandangan sekilas, lalu menunjuk kursi di depannya. “Duduk.”Farel menurut, menghempaskan tubuhnya di kursi, tetapi tetap menjaga postur sopan. Ia tahu alasan ia ada di sini, untuk mempertanggungjawabkan masalah proyek Nusa Penida.“Apa yan
Malam ini, suasana rumah terasa hening, hanya suara jam dinding yang terdengar samar di ruang tengah. Di dalam ruang kerja pribadinya, Bastian tenggelam dalam tumpukan dokumen yang ia telaah tanpa benar-benar memahaminya. Pikirannya terus melayang ke Lembang, ke wajah Rania, dan terutama ke senyum kecil Bintang yang entah mengapa begitu sulit dilupakan.Pintu ruang kerja terbuka pelan, Maya muncul membawa secangkir kopi panas. Wajahnya dihiasi senyuman kecil, meski di dalam hatinya ia tahu bahwa ini akan menjadi malam yang sulit.“Kamu masih di sini?” Maya memecah keheningan sambil berjalan mendekat. Ia meletakkan cangkir kopi di atas meja Bastian dengan hati-hati. Aroma kopi yang hangat menyebar di ruangan.Bastian tidak mengangkat kepalanya. Ia hanya menggumam, sekadar pengakuan bahwa ia mendengar. Tidak ada ucapan terima kasih, bahkan sekilas pandang pun tidak diberikan.Maya menahan napas sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu sikap
Jarum jam menunjuk angka sepuluh malam, tetapi suasana rumah Bastian masih sepi. Hanya suara pendingin ruangan dan desau halus langkah Bastian yang sesekali terdengar saat ia berdiri dari kursi kerjanya. Dokumen-dokumen berserakan di atas meja, tapi tak satu pun yang benar-benar menarik perhatiannya.Dengan napas berat, Bastian menyandarkan tubuhnya di kursi. Pikirannya terus-menerus kembali pada Rania dan Bintang. Ada banyak pertanyaan yang tak terjawab, dan rasa penasaran itu mulai mengganggu.Tiba-tiba, ia teringat pada Adrian. Sudah beberapa hari berlalu sejak ia menugaskan pria itu untuk menyelidiki kehidupan Rania, tetapi tak ada kabar sama sekali. Tanpa pikir panjang, Bastian meraih ponselnya dan segera menekan nomor Adrian.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara Adrian akhirnya menjawab.“Halo, Pak Bastian,” suara Adrian terdengar santai, meskipun ada sedikit nada serius di baliknya. “Saya sudah menduga Anda akan meng
Mentari pagi menyinari halaman luas rumah mewah keluarga Bastian. Namun, sinar hangat itu seakan tak mampu menenangkan kegelisahan yang terus menggerogoti hati pria tersebut. Pagi ini, Bastian sudah rapi dalam setelan kasualnya—kemeja putih yang digulung sampai siku, celana chino, dan sepatu loafer berwarna cokelat.Ia berniat menuju Lembang. Keyakinan yang perlahan mengakar di benaknya bahwa Rania dan anaknya, Bintang, memiliki hubungan yang sangat erat dengan masa lalunya membuatnya tidak bisa lagi hanya menunggu laporan Adrian.Namun, langkahnya menuju pintu depan terhenti ketika suara Maya terdengar dari ruang makan.“Bastian, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya Maya dengan nada penuh selidik, sambil melangkah mendekati suaminya. Wanita itu mengenakan gaun tidur sutra berwarna merah muda, rambutnya masih terurai acak.Bastian menoleh sekilas, enggan memberikan penjelasan panjang. “Ada urusan penting.”Maya mengernyit, tatapannya penuh rasa penasaran. “Urusan apa? Ini kan har
PRANK!!Tiba-tiba, suasana yang tadinya tenang di toko bunga itu berubah dalam sekejap. Sebuah nampan stainless yang penuh dengan bunga segar yang sebelumnya ada di tangan Rania, terjatuh ke lantai dengan suara keras yang memecah keheningan. Bunga-bunga yang baru saja dipetik Rania berserakan di lantai, menciptakan kekacauan di antara rak-rak yang teratur. Icha dan Citra yang terkejut langsung menoleh, sementara Bastian juga tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat ke arah sumber suara.Melihat Bastian masih memeluk Bintang, perasaan marah Rania seketika meledak. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Bastian dan langsung merebut Bintang dari gendongannya.“Apa yang kamu lakukan?” suara Rania bergetar, penuh kemarahan. Ia menatap Bastian dengan mata yang tajam. “Kenapa kamu memeluk anak saya?”Bastian terdiam, sedikit terkejut dengan reaksi Rania yang begitu tiba-tiba. Ia berusaha untuk berbicara, namun Rania sudah tidak memberiny
Sore di Lembang semakin dingin. Kabut mulai turun, menyelimuti area pegunungan yang indah. Bastian duduk di salah satu meja restoran hotel yang hangat, dengan pemandangan luar yang memanjakan mata. Secangkir kopi hitam terhidang di hadapannya, tetapi belum disentuh. Matanya kosong menatap ke luar jendela, pikirannya masih penuh dengan bayangan Bintang dan Rania.Tak lama, langkah kaki Adrian terdengar mendekat. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam, membawa tas kecil di tangan. Adrian tersenyum tipis sebelum duduk di kursi seberang Bastian.“Apa kabar, Pak?” Adrian membuka percakapan sambil melepas sarung tangannya. “Kabar tadi cukup mendesak. Ada apa?”Bastian menatap Adrian, lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku ingin tahu semua yang sudah kau dapatkan sejauh ini. Tentang Rania, terutama tentang Bintang.”Adrian mengangguk, membuka tas kecilnya dan mengeluarkan beberapa lembar dokumen yang sudah ia siapka
Hari masih pagi ketika Boby, Rita, dan Rania tiba di Surabaya. Perjalanan ini bukan perjalanan biasa, ada misi besar yang ingin mereka selesaikan. Bersama mereka, hadir seorang pengacara andal yang dipercaya Boby untuk menangani kasus ini dengan cermat.Berkat koneksi Boby, mereka dengan mudah mendapatkan akses untuk berbicara dengan salah satu tahanan—wanita yang menjadi otak di balik penyekapan Rania. Suasana di ruangan khusus tempat pertemuan berlangsung terasa dingin dan penuh ketegangan. Wanita itu duduk di seberang mereka, dengan raut wajah keras yang menggambarkan pengalaman hidup penuh lika-liku.“Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?” tanya wanita itu, memecah keheningan dengan nada menantang.Boby duduk dengan tenang, memperhatikan wanita itu dengan tatapan tajam. “Kami ingin tahu kebenaran. Siapa yang menyuruhmu mencelakai putriku?”Wanita itu mendengus, mengalihkan pandangannya. “Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.”Rita menghela napas, mencoba pendekatan yang lebih
Suasana malam itu masih hening. Boby dan Rita masih saling pandang seraya memerhatikan putri mereka yang terlihat banyak menyimpan luka.Rita kemudian meraih tangan Rania, menggenggamnya dengan lembut. “Kami tidak ingin memaksa, sayang. Apa pun keputusanmu, kami akan mendukungmu. Tapi jika suatu saat kamu merasa siap untuk menghadapi Bastian, kami akan ada di sisimu.”Rania menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Ma. Aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan semuanya.”Boby berdiri, berjalan mendekati putrinya. Ia menepuk pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Yang penting kamu bahagia, Rania. Itu yang paling utama.”Malam itu, Rania mencoba merenung di kamarnya. Ia tahu bahwa menghindari Bastian selamanya bukanlah solusi. Namun, hatinya masih terlalu terluka untuk kembali membuka pintu bagi pria itu. Kini, yang ia butuhkan adalah waktu—waktu untuk menemukan kembali kekuatannya, waktu untuk menyembuhkan lukanya, dan waktu untuk menentukan langkah berikutnya dalam hidu
Dua bulan berlalu, dan kehidupan Rania berubah drastis. Kini ia bukan lagi gadis sederhana yang hidup di Lembang, melainkan seorang wanita anggun yang memancarkan pesona luar biasa. Perubahan itu begitu kentara, dari caranya berbicara hingga kepercayaan diri yang perlahan tumbuh. Namun, selama dua bulan terakhir, Rania memilih menghindar dari dunia luar, termasuk dari Bastian. Ia memutuskan untuk fokus pada dirinya, mempersiapkan diri menjadi sosok yang baru.Hari ini adalah hari besar. Untuk pertama kalinya, Rania akan diperkenalkan kepada keluarga besar dan kolega Boby serta Rita. Sebuah acara istimewa digelar di ballroom mewah salah satu hotel bintang lima di Bandung.Sore itu, ballroom tersebut dipenuhi oleh dekorasi elegan bernuansa emas dan putih. Meja-meja bundar ditata sempurna, dikelilingi tamu undangan dari keluarga besar hingga kolega bisnis Boby. Semua hadir dengan antusias, tak sabar menyaksikan kejutan malam itu.Rania berdiri di balik pintu utama ballroom, mengenakan ga
Setelah keheningan sejenak yang terasa membebani di pikiran Rania, Rania pun akhirnya membuka suara. Ia pandangi wajah Rita dan Boby bergantian, mencoba meyakinkan hati kalau memang sudah saatnya ia jujur.Pada akhirnya, Rania menghela napas panjang. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menceritakan semuanya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bersuara.“Bastian…” Rania memulai dengan suara yang gemetar. Ia menatap Rita dan Boby bergantian, mencari keberanian di mata mereka yang penuh perhatian. “Dia adalah… ayah kandung Bintang.”Rita yang tadinya tenang kini sedikit terkejut. Matanya membulat, tapi ia tetap menjaga ekspresinya agar tidak membuat Rania merasa terhakimi. Boby pun mengernyit, namun tetap sabar menunggu penjelasan lebih lanjut.“Hubungan kami dulu sangat rumit,” lanjut Rania dengan suara yang mulai bergetar. “Kami sempat berpacaran ketika masih kuliah. Kami sempat punya Impian untuk hi
Udara malam di taman belakang rumah Boby dan Rita terasa sejuk, dihiasi gemerlap bintang di langit yang cerah. Gemericik air dari kolam kecil di tengah taman memberikan ketenangan tersendiri. Rania duduk di salah satu kursi taman, ditemani secangkir cokelat hangat yang mengepul di tangannya. Boby dan Rita duduk di seberangnya, masing-masing dengan secangkir cokelat dan sepiring brownies di atas meja kecil di antara mereka.Setelah Bintang terlelap, mereka memutuskan ini waktu yang tepat untuk berbincang lebih dalam. Boby membuka percakapan dengan suara lembut namun penuh ketegasan.“Rania,” katanya, menatap putrinya dengan penuh haru, “Ada hal yang selama ini belum sempat kami ceritakan. Kami ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dulu.”Rania memandang ayah kandungnya dengan ekspresi campur aduk. Ia tahu percakapan ini penting, namun ia tidak menyangka akan langsung membahas masa lalu.“Dulu,” Boby melanjutkan, &l
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika sebuah mobil SUV hitam berhenti perlahan di depan rumah kecil yang dulunya dihuni oleh Rania di Lembang. Lampu depan mobil itu memancar terang, menerangi halaman yang tampak sunyi. Dari dalam mobil, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah yang memancarkan ketegasan turun. Itu adalah Bastian.Langkahnya mantap menuju pintu utama. Tangannya mengetuk dengan sopan, berharap suara ketukan itu akan memanggil seseorang dari dalam. Namun, alih-alih melihat Rania atau Cucu, seorang gadis muda yang tak dikenalnya membuka pintu.“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” Gadis itu menyapa ramah, menatap Bastian dengan sedikit rasa heran.“Selamat malam,” Bastian menjawab sambil melirik ke dalam rumah yang terlihat berbeda dari yang ia ingat. “Rania dan Bintang ada di rumah?” tanyanya langsung.Gadis itu tersenyum kecil. “Oh, maaf, mbak Rania dan keluarganya sudah pindah ke Band
Setelah hari-hari penuh pertimbangan dan renungan, Rania akhirnya mantap dengan keputusannya. Pagi ini, ia, Bintang, dan Cucu bersiap meninggalkan rumah kecil mereka di Lembang untuk memulai babak baru di Bandung. Udara pagi Lembang terasa sejuk seperti biasa, namun ada rasa haru yang mengiringi kepergian mereka.Mobil SUV putih yang dikemudikan sopir pribadi Rita sudah menunggu di depan rumah. Tidak banyak barang yang mereka bawa, hanya koper kecil berisi pakaian dan beberapa barang penting. Rita sudah menyiapkan segalanya di rumah baru mereka, memastikan Rania dan Bintang tidak perlu repot membawa banyak hal.Mobil pick up milik Rania pun ikut menanti mereka. Mobil itu sudah penuh dengan barang-barang milik Bintang. Mainan baru yang sangat banyak. Tidak hanya dari nenek dan kakeknya, tapi juga dari Bastian. Awalnya Rita meminta agar barang-barang itu ditinggalkan saja, Rita akan belikan yang baru di Bandung. Namun Rania menolak, ia sudah terbiasa hidup sederhana. Jadi Rania tidak ma
Pagi ini, langit Lembang tampak gelap, awan-awan kelabu menggantung rendah, seolah siap menumpahkan air kapan saja. Saat mobil SUV putih yang membawa Rita dan Emma mendekati rumah Rania, hujan deras mulai turun, membasahi jalanan dan membuat suhu udara semakin dingin.“Bu, coat ini sudah saya siapkan,” kata Emma sambil menyerahkan coat tebal berwarna krem pada majikannya.“Terima kasih, Emma,” ucap Rita sambil tersenyum. Ia mengenakan coat itu dengan hati-hati. Udara Lembang memang menusuk, tapi semangat Rita untuk bertemu Rania dan Bintang menghangatkannya.Mobil berhenti tepat di depan rumah Rania. Sopir dengan sigap membuka payung besar untuk melindungi Rita dan Emma dari hujan lebat. Mereka berjalan menuju pintu rumah Rania, langkah-langkah mereka tergesa karena derasnya hujan.Cucu yang mendengar suara mobil langsung membuka pintu, menyambut mereka dengan wajah penuh senyum. “Bu Rita, silakan masuk. Maaf, cuaca kurang bersahabat,” ujar Cucu ramah, sambil menyingkirkan beberapa ge
Di Bandung, di sebuah kamar mewah yang terletak di lantai dua, Rita duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang berlarian. Matanya memandang jendela kaca besar yang menghadap taman belakang, namun hatinya masih tertuju pada Rania dan Bintang. Ia mencoba memejamkan mata beberapa kali, tetapi bayangan wajah putrinya terus saja muncul di benaknya.“Masih belum bisa tidur?” Suara Boby terdengar lembut dari sisi lain ranjang.Rita menoleh dan menggeleng pelan. “Tidak, Mas. Aku masih tidak percaya semua ini nyata. Rania... Clarissa kita... dia begitu cantik. Perpaduan wajahmu dan wajahku. Aku tidak pernah menyangka dia akan tumbuh menjadi wanita yang begitu jelita.”Boby tersenyum kecil, mendekat dan duduk di samping Rita. “Itu artinya, perjuanganmu selama ini tidak sia-sia, Sayang. Doamu dijawab oleh Tuhan.”“Tapi aku masih rindu, Mas.” Suara Rita mulai bergetar. “Rasanya ingin kembali ke sana sekarang juga, melihat wajahnya, mendengar tawanya. Dan Bintang... oh, Mas, cucu kita begitu mengge