Malam ini, Rania dengan gaun malamnya yang lembut berdiri di depan dinding kaca di kamarnya. Cahaya remang-remang dari lampu kota Jakarta memantul di kaca, memberikan suasana yang tenang namun penuh perenungan. Matanya sulit terpejam, sesekali ia menoleh ke arah Bintang yang terlihat sangat nyenyak tidur di atas ranjang miliknya. Malam ini, Rania memang ingin tidur bersama putranya. Sudah beberapa hari Bintang tidur sendiri di kamarnya di Bandung, dan sekarang, di Jakarta, Rania ingin merasakan kehangatan tidur di samping putra semata wayangnya itu.Ia melangkah pelan mendekati ranjang, lalu duduk di tepinya. Wajah polos Bintang begitu menenangkan, namun sekaligus membawa kenangan yang mendalam. Setiap melihat wajah putranya, bayangan masa lalu bersama Bastian kembali terlintas. Wajah tampan Bintang memang seperti pinang dibelah dua dengan ayah biologisnya—Bastian. Melihat Bintang, seakan melihat Bastian kecil.Rania menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, ada
Pintu ruangan terbuka mendadak, menampilkan sosok Bastian yang melangkah masuk dengan gestur penuh wibawa. Mata pria itu seketika membulat saat mendapati Rania duduk santai di sofa dengan Farel yang juga duduk di seberangnya. Bastian berhenti sejenak, seolah memastikan dirinya tidak salah melihat.“Rania?” gumamnya lirih, namun cukup terdengar di ruangan itu.Rania mengangkat wajahnya, memberikan senyum tipis. “Halo, Bastian,” sapanya lembut namun formal.Farel, yang menyadari kehadiran bosnya, segera bersikap profesional. “Maaf, Pak Bastian. Saya tadi hanya mengantar Rania ke sini. Kalau begitu, saya pamit dulu.”Bastian mengangguk kecil, meski ada sedikit keraguan dalam ekspresinya. “Terima kasih, Farel.”Farel melangkah keluar, meninggalkan Bastian dan Rania dalam suasana yang terasa mendadak sunyi. Bastian berdeham pelan, mencoba menutupi rasa gugup yang sebenarnya menguasai dirinya.“Silakan duduk kembali,” ujar Bastian, suaranya datar namun terdengar sopan. Ia melangkah ke arah
“Bagaimana?” tanya Rania tiba-tiba.“Baiklah,” kata Bastian akhirnya, meskipun masih terdengar ragu. “Aku akan memikirkannya. Tapi, aku tidak bisa memberikan jawaban sekarang.”“Itu sudah cukup untukku,” balas Rania dengan senyum puas. Ia tahu, meyakinkan Bastian sepenuhnya akan membutuhkan waktu. Tapi, setidaknya, ini adalah langkah awal yang baik.Bastian menghela napas panjang, lalu kembali menatap wanita di depannya. “Jika aku setuju, aku ingin kau berjanji satu hal.”“Apa itu?” tanya Rania.“Jangan libatkan aku dalam rencanamu yang lain, jika memang ada,” ujar Bastian tegas.Rania hanya tersenyum, tidak memberikan jawaban pasti. “Kita lihat saja nanti,” katanya ringan, sebelum bangkit dari kursinya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu untukku, Bastian. Aku akan menunggu kabarmu. Oiya, jaga istrimu dengan baik. Jangan sampai nanti diambil sama orang lain.”Tanpa menunggu jawaban, Rania melangkah keluar dari ruangan itu. Bastian hanya bisa menatap kepergiannya dengan pikiran yang
“Nggghh ....”Suara lenguhan keluar dari bibir Rania ketika Bastian mulai menyapu lehernya dengan kecupan yang lebih panas lagi. Desahan itu semakin terdengar jelas ketika bibir basah seorang pria mulai menggelitik bahkan menggigit lembut daun telinga Rania.Bibir bastian menari-menari di leher dan daun telinga Rania, sementara tangannya mulai melepas sendiri celananya, membuat rongga yang luar biasa hingga sebuah benda yang mulai menegang merasa lega.Bastian mendorong lembut tubuh Rania hingga rebah ke atas ranjang. Melepas rok span yang dikenakan wanita itu, lalu menarik paksa segi tiga pengaman milik Rania. Basah, itulah yang terasa di tangan Bastian ketika menyentuh segitiga pengaman milik Rania.Tidak lama, sebuah benda mulai memaksa masuk ke dalam tubuh Rania. Sesuatu yang membuat rasa sakit dan nyeri menguasai bagian bawah miliknya.“Auuhh ... sakit ...,” lirih Rania. Ia berusaha mendorong tubuh kekar itu.“Jangan ...,” ucapnya lagi. Rania sadar kalau semua ini tidak boleh ter
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Bastian terjaga, merasa ada yang ganjal pada dirinya. Tangan kanan pria itu segera menekan saklar lampu utama, membuat kamar yang temaram menjadi terang benderang.Bastian menyibak selimut. Kaget, ada noda darah segar yang menempel di sprei ranjang yang saat ini ia duduki. Bastian memerhatikan sprei itu, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.Hanya beberapa detik, lalu pria itu segera berdiri dan merasa tidak peduli. Tapi tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu sebuah benda bulat mirip gelang yang terbuat dari batu giok asli.Bastian menggeser kakinya, mengambil benda yang sangat ia kenali itu. Ya, itu memang gelang. Gelang yang terbuat dari beberapa butir batu giok asli yang dipadu dengan rantai yang terbuat dari emas asli milik Rania. Gelang yang salah satu sisinya ada ukiran bergambar mahkota dengan corak yang khas. Sepertinya hanya Rania saja yang punya ukiran dengan corak demikian.Bastian sangat tahu jika itu gelang milik Ran
“Auh ....” Seorang wanita melenguh ketika seseorang tanpa sengaja menabraknya. Ia adalah salah satu tamu istimewa di hotel milik Bastian. Wanita itu dan suaminya—Boby—sedang menyewa kamar terbaik dan mahal di hotel itu selama mereka menginap di Jakarta.“Maaf, Bu ... Saya minta maaf, saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Rania.“Tidak masalah,” jawab sang wanita seraya menekan langkah tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rania.Rania membalik tubuhnya, melihat langkah kaki wanita yang sedang berjalan dengan anggun keluar dari hotel. Rania tersenyum, ia bahkan tidak tahu kenapa ia tersenyum. Walau tidak melihat dengan jelas siapa wanita yang baru saja ia tabrak, Rania merasa ada perasaan yang berbeda di hatinya tatkala berada dekat dengan wanita itu.Sepersekian detik kemudian, Rania tersentak. Ia kembali memasang wajah serius lalu menekan langkah menuju ruangannya.“Rania, kamu kemana saja? Tadi pak Bastian nyariin dan kelihatannya ia marah sama kamu,” ucap salah seorang rekan kerja Rani
Rania terduduk di kursi kerjanya. Masih terngiang jelas adegan serta posisi panas Bastian dan Maya di ruang direktur utama. Walau hanya sekilas, namun cukup membekas dan menyakitkan di hati Rania.“Ada apa, Ran?” tanya Laura—rekan kerja Rania sekaligus sahabat baik wanita itu.Rania bergidik, “A—aku nggak apa-apa kok. Tadi niatnya aku mau antar file ke ruangan pak Bastian untuk ditanda tangani. Tapi nggak tahunya di dalam ada bu Maya.”“Lho, bukannya tadi kamu lihat kalau bu Maya datang dan masuk ke ruangan itu? Kamu ketemu sama bu Maya’kan?” tanya Laura.“Iya tapi aku nggak nyangka kalau—. Ah, lupakan saja.” Rania mencoba menghindari Laura.“Rania, kamu mau kemana?” tanya Laura.Rania tidak menggubris. Ia terus melangkahkan kakinya berjalan menuju lift. Susah payah Rania menahan air mata, karena di dalam lift ia tidak sendirian. Ada beberapa orang lagi yang ada di sana, menuju lantai yang berbeda.Rania sendiri menuju lantai paling atas. Rooftop, itu adalah tempat tujuan wanita itu.
Rania kaget, tiba-tiba saja Bastian melempar dokumen yang baru saja ia berikan ke wajah wanita itu. Beberapa lembar dokumen berserakan di lantai, sementara wajah Rania sedikit perih karena Bastian melempar dokumen itu dengan cukup keras ke wajahnya. Ia terlihat sangat murka.Dengan cepat, Rania mengemasi lembar demi lembar dokumen yang kini sudah tida beraturan. Padahal ia sudah menyusunnya dengan sangat baik sebelumnya.“Kenapa anda melemparnya, Pak?” tanya Rania. Ia masih berusaha bersikap sopan. Bastian sendiri hanya memalingkan wajah tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.“Kamu pikir kenapa?” Bastian bertanya balik. Pria itu masih enggan menatap wajah Rania.Rania menghela napas. Ia lihat lembar demi lembar yang baru saja ia kemas dari lantai. Rania terkejut, matanya terbelalak.“M—maaf, Pak. Ini salah paham. Sa—saya, bukan ini yang saya kerjakan tadi. Saya tidak mau menuduh, tapi bisa jadi ada yang menggantinya dengan dokumen ini. Sebelum mengantarnya ke sini, saya meletak
“Bagaimana?” tanya Rania tiba-tiba.“Baiklah,” kata Bastian akhirnya, meskipun masih terdengar ragu. “Aku akan memikirkannya. Tapi, aku tidak bisa memberikan jawaban sekarang.”“Itu sudah cukup untukku,” balas Rania dengan senyum puas. Ia tahu, meyakinkan Bastian sepenuhnya akan membutuhkan waktu. Tapi, setidaknya, ini adalah langkah awal yang baik.Bastian menghela napas panjang, lalu kembali menatap wanita di depannya. “Jika aku setuju, aku ingin kau berjanji satu hal.”“Apa itu?” tanya Rania.“Jangan libatkan aku dalam rencanamu yang lain, jika memang ada,” ujar Bastian tegas.Rania hanya tersenyum, tidak memberikan jawaban pasti. “Kita lihat saja nanti,” katanya ringan, sebelum bangkit dari kursinya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu untukku, Bastian. Aku akan menunggu kabarmu. Oiya, jaga istrimu dengan baik. Jangan sampai nanti diambil sama orang lain.”Tanpa menunggu jawaban, Rania melangkah keluar dari ruangan itu. Bastian hanya bisa menatap kepergiannya dengan pikiran yang
Pintu ruangan terbuka mendadak, menampilkan sosok Bastian yang melangkah masuk dengan gestur penuh wibawa. Mata pria itu seketika membulat saat mendapati Rania duduk santai di sofa dengan Farel yang juga duduk di seberangnya. Bastian berhenti sejenak, seolah memastikan dirinya tidak salah melihat.“Rania?” gumamnya lirih, namun cukup terdengar di ruangan itu.Rania mengangkat wajahnya, memberikan senyum tipis. “Halo, Bastian,” sapanya lembut namun formal.Farel, yang menyadari kehadiran bosnya, segera bersikap profesional. “Maaf, Pak Bastian. Saya tadi hanya mengantar Rania ke sini. Kalau begitu, saya pamit dulu.”Bastian mengangguk kecil, meski ada sedikit keraguan dalam ekspresinya. “Terima kasih, Farel.”Farel melangkah keluar, meninggalkan Bastian dan Rania dalam suasana yang terasa mendadak sunyi. Bastian berdeham pelan, mencoba menutupi rasa gugup yang sebenarnya menguasai dirinya.“Silakan duduk kembali,” ujar Bastian, suaranya datar namun terdengar sopan. Ia melangkah ke arah
Malam ini, Rania dengan gaun malamnya yang lembut berdiri di depan dinding kaca di kamarnya. Cahaya remang-remang dari lampu kota Jakarta memantul di kaca, memberikan suasana yang tenang namun penuh perenungan. Matanya sulit terpejam, sesekali ia menoleh ke arah Bintang yang terlihat sangat nyenyak tidur di atas ranjang miliknya. Malam ini, Rania memang ingin tidur bersama putranya. Sudah beberapa hari Bintang tidur sendiri di kamarnya di Bandung, dan sekarang, di Jakarta, Rania ingin merasakan kehangatan tidur di samping putra semata wayangnya itu.Ia melangkah pelan mendekati ranjang, lalu duduk di tepinya. Wajah polos Bintang begitu menenangkan, namun sekaligus membawa kenangan yang mendalam. Setiap melihat wajah putranya, bayangan masa lalu bersama Bastian kembali terlintas. Wajah tampan Bintang memang seperti pinang dibelah dua dengan ayah biologisnya—Bastian. Melihat Bintang, seakan melihat Bastian kecil.Rania menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, ada
Hari itu, Rania dan keluarganya sedang bertandang ke Jakarta. Selain rumah mewah di Bandung, Boby memiliki rumah lain di ibu kota. Rumah megah dengan desain modern minimalis itu terletak di kawasan elit Jakarta Selatan. Tak hanya itu, Boby juga memiliki kantor cabang di pusat kota yang menjadi salah satu aset penting dalam jaringan bisnisnya.Pagi itu, keluarga mereka tiba di rumah tersebut. Rita tampak antusias mengenalkan setiap sudut rumah kepada Rania. “Lihat, ini ruang tamu utama. Desainnya memang lebih modern dibandingkan rumah di Bandung. Tapi aku tetap merasa nyaman di sini,” ucapnya sambil tersenyum.Boby menimpali dengan nada bercanda. “Nyaman, karena dekorasinya sesuai selera Mama, kan? Padahal dulu Papa ingin nuansa klasik.”Rania tersenyum mendengar celotehan kedua orang tuanya. Di sela-sela tur kecil itu, ia melihat Bintang berlari-lari kecil mengikuti langkah nenek dan kakeknya. Bocah itu tampak senang dengan lingkungan baru yang penuh kejutan.Setelah makan siang, mere
Malam itu, ruang makan di rumah mewah milik Boby dan Rita dipenuhi suasana hangat. Meja panjang yang dihiasi vas bunga mawar putih di tengahnya terlihat penuh dengan hidangan lezat. Keluarga kecil yang baru saja merasakan kebahagiaan sejati selama beberapa bulan terakhir duduk bersama, menikmati waktu makan malam yang istimewa.Di ujung meja, Bintang, bocah kecil berusia hampir dua tahun, duduk di kursi tinggi miliknya. Wajah mungilnya tampak berseri-seri, matanya berbinar penuh antusias saat menunjuk ke arah sepiring kue cokelat yang baru saja dihidangkan oleh pelayan rumah.“Mau kue itu, Ma!” serunya, suaranya nyaring dan penuh semangat.Rania, yang duduk di sampingnya, tersenyum lembut namun tetap tegas. “Bintang, kita makan nasi dulu, ya. Kalau sudah habis, baru boleh makan kue.”Bintang mengerucutkan bibirnya, tanda ia tidak setuju. “Enggak mau! Kue dulu!”Rita, yang duduk di sisi lain meja, langsung merespons dengan nada penuh kasih. “Biarkan saja, Rania. Oma ambilkan kuenya, ya
Pagi itu, suasana kediaman keluarga Boby terasa berbeda. Sinar matahari menyelinap lembut di antara tirai jendela besar, menyinari seorang wanita muda yang berdiri di depan cermin panjang. Rania tampak luar biasa anggun dalam setelan blazer putih bersih yang dipadukan dengan rok pensil senada. Rambutnya disanggul rapi, memberikan kesan profesional namun tetap bersahaja. Sebuah bros kecil berbentuk bunga tersemat di kerah blazer, menambah sentuhan manis pada penampilannya.“Kamu sudah siap, Sayang?” suara berat namun lembut Boby terdengar dari balik pintu. Pria paruh baya itu melangkah masuk, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya tampak semakin berwibawa. Matanya penuh kebanggaan saat memandang putri semata wayangnya.“Sudah, Pa. Tapi… masih sedikit gugup,” jawab Rania sembari tersenyum tipis. Tangannya sibuk merapikan bros di blazer, mencoba mengusir rasa gugup yang perlahan menyeruak.Boby mendekat, menepuk pundak Rania dengan lembut. “Tidak perlu gugup. Kamu pasti bisa. Papa t
Hari masih pagi ketika Boby, Rita, dan Rania tiba di Surabaya. Perjalanan ini bukan perjalanan biasa, ada misi besar yang ingin mereka selesaikan. Bersama mereka, hadir seorang pengacara andal yang dipercaya Boby untuk menangani kasus ini dengan cermat.Berkat koneksi Boby, mereka dengan mudah mendapatkan akses untuk berbicara dengan salah satu tahanan—wanita yang menjadi otak di balik penyekapan Rania. Suasana di ruangan khusus tempat pertemuan berlangsung terasa dingin dan penuh ketegangan. Wanita itu duduk di seberang mereka, dengan raut wajah keras yang menggambarkan pengalaman hidup penuh lika-liku.“Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?” tanya wanita itu, memecah keheningan dengan nada menantang.Boby duduk dengan tenang, memperhatikan wanita itu dengan tatapan tajam. “Kami ingin tahu kebenaran. Siapa yang menyuruhmu mencelakai putriku?”Wanita itu mendengus, mengalihkan pandangannya. “Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.”Rita menghela napas, mencoba pendekatan yang lebih
Suasana malam itu masih hening. Boby dan Rita masih saling pandang seraya memerhatikan putri mereka yang terlihat banyak menyimpan luka.Rita kemudian meraih tangan Rania, menggenggamnya dengan lembut. “Kami tidak ingin memaksa, sayang. Apa pun keputusanmu, kami akan mendukungmu. Tapi jika suatu saat kamu merasa siap untuk menghadapi Bastian, kami akan ada di sisimu.”Rania menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Ma. Aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan semuanya.”Boby berdiri, berjalan mendekati putrinya. Ia menepuk pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Yang penting kamu bahagia, Rania. Itu yang paling utama.”Malam itu, Rania mencoba merenung di kamarnya. Ia tahu bahwa menghindari Bastian selamanya bukanlah solusi. Namun, hatinya masih terlalu terluka untuk kembali membuka pintu bagi pria itu. Kini, yang ia butuhkan adalah waktu—waktu untuk menemukan kembali kekuatannya, waktu untuk menyembuhkan lukanya, dan waktu untuk menentukan langkah berikutnya dalam hidu
Dua bulan berlalu, dan kehidupan Rania berubah drastis. Kini ia bukan lagi gadis sederhana yang hidup di Lembang, melainkan seorang wanita anggun yang memancarkan pesona luar biasa. Perubahan itu begitu kentara, dari caranya berbicara hingga kepercayaan diri yang perlahan tumbuh. Namun, selama dua bulan terakhir, Rania memilih menghindar dari dunia luar, termasuk dari Bastian. Ia memutuskan untuk fokus pada dirinya, mempersiapkan diri menjadi sosok yang baru.Hari ini adalah hari besar. Untuk pertama kalinya, Rania akan diperkenalkan kepada keluarga besar dan kolega Boby serta Rita. Sebuah acara istimewa digelar di ballroom mewah salah satu hotel bintang lima di Bandung.Sore itu, ballroom tersebut dipenuhi oleh dekorasi elegan bernuansa emas dan putih. Meja-meja bundar ditata sempurna, dikelilingi tamu undangan dari keluarga besar hingga kolega bisnis Boby. Semua hadir dengan antusias, tak sabar menyaksikan kejutan malam itu.Rania berdiri di balik pintu utama ballroom, mengenakan ga