“Apa maksudmu, Amora? Aku rasa, selama ini Mama sangat menyayangi Rania. Dan mungkin saat dia tahu Rania mencari tahu tentang Nadya, Mama kecewa padanya,” ucap Kalen, suaranya terdengar ragu.Kebingungan melintas di wajahnya, seperti seseorang yang baru saja disadarkan dari mimpi panjang yang menenangkan, namun kini dihadapkan pada kenyataan yang mengganggu.Amora tersenyum tipis, namun ada getir yang terselip di sana. “Dan kau berpikir bahwa ibumu menyayangi Rania layaknya mertua pada menantu?” Ia menggeleng pelan. “Kau salah besar, Kalen. Aku rasa, ibumu tidak tulus menyayangi kakakku.”Kalen terdiam, tubuhnya menegang. Kata-kata Amora menggema dalam benaknya, menciptakan celah dalam keyakinan yang selama ini ia pegang. “Aku tidak mengerti maksudmu, Amora,” katanya, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan.Amora menghela napas panjang. Matanya menerawang, seperti sedang menggali kenangan yang dulu pernah ia abaikan. “Aku pernah melihat Rania menangis di pelukan Mama,” ucapnya l
“Tentu saja tidak!” Jonathan langsung mengelak, suaranya terdengar tegas, hampir seperti ledakan kemarahan yang tertahan. Ia menggelengkan kepala dengan cepat, ekspresinya penuh ketidaksenangan atas tuduhan yang dilayangkan Kalen.“Aku dengannya memang sempat berdebat. Tapi, aku tidak pernah berniat menyabotase mobilnya karena bagiku itu tidak ada gunanya.” Rahangnya mengeras saat mengatakannya, matanya menatap tajam ke arah Kalen.“Sebab sebelum Rania memintaku menceraikan Nadya, aku sudah berencana melakukannya.”Kalen terdiam. Di dalam dadanya, sebuah ketidakpastian mulai muncul. Pikirannya berputar, mencoba memilah-milah mana kebenaran dan mana kebohongan dari mulut Jonathan.“Apa kau yakin?” suaranya lebih dalam, mencerminkan kecurigaan yang belum juga reda. “Siapa tahu kau menyuruh seseorang untuk menyabotase mobil Rania?”Jonathan menyunggingkan senyum tipis—senyum yang tak bisa diterjemahkan sepenuhnya oleh Kalen. Ada sesuatu di balik senyum itu, sesuatu yang entah itu penghin
‘Nadya. Jika buku ini sudah ada di tanganmu, itu artinya aku telah berhasil membuatmu kembali pada Kalen. Aku sangat senang meski mungkin tak bisa melihatmu kembali pada Kalen.’Nadya menahan napasnya, jari-jarinya semakin erat menggenggam buku diary itu. Ada sesuatu yang begitu menyesakkan saat membaca tulisan Rania.Seolah… seolah Rania tahu bahwa usianya tidak akan panjang.Keningnya berkerut, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang semakin menyesak di dada. “Apa maksudmu menulis seperti ini, Rania? Apa yang kau ketahui sebenarnya?” gumamnya, suaranya lirih, hampir tak terdengar.Tangan Nadya bergerak dengan ragu, tetapi dorongan untuk mencari tahu lebih jauh membuatnya membuka lembaran berikutnya.‘Tolong sampaikan permintaan maafku pada Kalen karena tidak pernah bisa mencintainya sepenuh hatiku. Sebab di hatiku hanya ada nama yang telah pergi lebih dulu dariku. Aku hanya melanjutkan hidup dengan Kalen.’Hatinya terasa seperti diremas. Ia bisa merasakan kejujuran Rania yang terukir da
“Aku tidak menyangka jika orang yang telah mencelakai Rania adalah ibuku sendiri,” lirih Kalen dengan suara serak setelah menonton beberapa rekaman rahasia yang Rania tinggalkan.Setiap potongan gambar, setiap kata dalam percakapan antara Rania dan Nala—ibunya—menusuk hati Kalen seperti belati. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya nyaris tak bisa menopang kenyataan yang baru saja ia telan.“Mama hanya pura-pura baik di depanku, dan Rania menutupi itu semua…” lanjutnya pelan. “Dan mungkin inilah alasan dia mencarimu, Nadya.”Suara Kalen pecah. Ia menunduk, kedua tangannya mengusap wajahnya, berusaha menyembunyikan isak yang tak lagi bisa ia tahan.Napasnya tersengal di sela-sela tangisan lirih yang mulai tak terbendung.Selama ini ia berpikir bahwa ibunya, meski keras dan sering membuatnya kesal, tetaplah seorang ibu yang mencintainya.Tapi kenyataan yang terkuak justru jauh dari harapan—sosok yang ia panggil "Mama" ternyata adalah sosok yang mengoyak hidupnya dari balik bayangan.Ia telah m
“Huft. Aku tidak menyangka jika Bibi Nala yang telah melakukan semuanya. Apa yang dia inginkan dari Kalen? Apakah dia ingin memiliki Kalen seutuhnya, tanpa ada yang memilikinya?” ucap Shopia sambil memeluk gelas kopi hangat di tangannya.Tatapannya menerawang ke luar jendela kafe, mencoba memahami kebusukan di balik wajah elegan seorang Nala.Kepalanya pelan-pelan menggeleng, menunjukkan rasa kecewa yang begitu dalam setelah mendengar semua cerita dari Nadya.Kafe yang mereka singgahi cukup tenang. Letaknya tak jauh dari kantor Kalen, tempat mereka baru saja mengantarkan berkas. Namun, suasana hatinya sama sekali tidak serupa dengan suasana kafe yang nyaman itu.“Jangan melamun, Nadya.” Shopia menyikut lengan sahabatnya dengan lembut.Nadya tersentak kecil dari lamunannya. Ia menoleh, lalu mengulas senyum yang begitu tipis—senyum yang menyimpan banyak kepedihan.“Aku memikirkan perasaan Kalen sekarang, Shopia…” ucapnya pelan, seperti suara hati yang dibiarkan meluncur keluar dari bibi
Plak!Tamparan keras Eliza mendarat telak di pipi Nala, menimbulkan suara tajam yang memantul di seluruh ruangan. Udara seketika menjadi dingin dan tegang.Nala hanya bisa menunduk dalam diam, jemarinya mengepal, tapi tak berani membalas atau menatap wanita yang kini berdiri di hadapannya—Eliza, ibu dari anak yang telah ia rampas nyawanya.Tatapan Eliza tajam, menusuk seperti belati yang panas. Matanya memerah, dadanya naik turun menahan gejolak yang nyaris meledak dari dalam.“Apa yang kau dapatkan setelah membunuh anakku, sialan?!” suaranya bergetar, bukan karena takut—tapi karena amarah yang tertahan terlalu lama akhirnya menemukan jalan keluar.Nala tetap diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ia tahu, tidak ada pembelaan yang bisa menebus darah yang telah ditumpahkan.“Apa kau puas, hah? Sudah membunuh anakku?!” teriak Eliza lagi, kali ini lebih nyaring, suaranya menggema, mengguncang dinding hati siapa pun yang mendengarnya.“Kau pikir aku merestui hubungan mereka? Ten
Nadya membuka pintu ruang kerja Kalen dengan hati-hati. Lampu ruangan masih menyala terang meski waktu sudah menunjuk pukul dua belas malam.Langkahnya pelan, seolah tak ingin mengganggu, namun juga tak kuasa membiarkan suaminya terbenam terlalu dalam dalam dunia pekerjaannya.“Kau masih bekerja?” tanyanya lembut, suaranya seperti pelukan hangat di tengah malam yang sunyi.Kalen menoleh, dan begitu melihat wajah Nadya, ia menyunggingkan senyum tipis. Senyum yang tidak sepenuhnya bahagia, lebih menyerupai upaya untuk menutupi rasa lelah dan luka yang tak sempat sembuh.“Ya. Banyak kerjaan yang harus aku selesaikan untuk meeting besok, Sayang. Kau belum tidur?” jawabnya, suaranya serak, seperti tercekik oleh beban yang terlalu lama dipendam.Nadya menggeleng pelan. Rambutnya yang tergerai jatuh menutupi sebagian wajahnya, namun tatapannya tetap penuh perhatian.“Aku memikirkan keadaanmu setelah mengetahui semuanya. Ditambah kau selalu menyibukkan diri seperti ini dan lupa waktu.”Perkat
“Kau tahu, Kalen?” Nadya membuka suara, pelan dan hati-hati, setelah beberapa menit hanya keheningan yang menyelimuti mereka.Nafas mereka masih berat, tubuh mereka masih saling menyatu dalam pelukan pasca sesi bercinta yang intens.Kalen menoleh perlahan, menatap wajah istrinya yang terbaring di sampingnya.Rambut Nadya tergerai berantakan di atas bantal, dan matanya tampak sayu, seolah ada beban yang hendak ia lepaskan. “Ada apa, hm?”Nadya menarik napas panjang. Jemarinya meremas ujung selimut, seakan mencari pegangan untuk menahan gejolak emosi yang merambat naik ke dadanya.“Aku bertemu dengan Tuan Robert setelah mengantar dokumen kerjamu di kafe dekat kantormu.”“Oh, ya? Apa yang sedang dia lakukan di sini? Ada kerjaan?” tanya Kalen, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu.Nadya mengangguk pelan. “Ya. Dan... kau tidak memberitahuku bahwa kau pergi ke London untuk menemuinya.”Kalen tersenyum tipis, namun senyuman itu tidak mampu menyembunyikan rasa bersalah yang perlahan me
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya.Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam.Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat.Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya.“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu.Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk.“Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?”Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata.Matanya menatap
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan