“Kau tahu, Kalen?” Nadya membuka suara, pelan dan hati-hati, setelah beberapa menit hanya keheningan yang menyelimuti mereka.Nafas mereka masih berat, tubuh mereka masih saling menyatu dalam pelukan pasca sesi bercinta yang intens.Kalen menoleh perlahan, menatap wajah istrinya yang terbaring di sampingnya.Rambut Nadya tergerai berantakan di atas bantal, dan matanya tampak sayu, seolah ada beban yang hendak ia lepaskan. “Ada apa, hm?”Nadya menarik napas panjang. Jemarinya meremas ujung selimut, seakan mencari pegangan untuk menahan gejolak emosi yang merambat naik ke dadanya.“Aku bertemu dengan Tuan Robert setelah mengantar dokumen kerjamu di kafe dekat kantormu.”“Oh, ya? Apa yang sedang dia lakukan di sini? Ada kerjaan?” tanya Kalen, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu.Nadya mengangguk pelan. “Ya. Dan... kau tidak memberitahuku bahwa kau pergi ke London untuk menemuinya.”Kalen tersenyum tipis, namun senyuman itu tidak mampu menyembunyikan rasa bersalah yang perlahan me
“Siapa yang akan mengira bahwa ibu sendiri yang akan membunuh istri dari anaknya?” ucap Kalen dengan suara bergetar, jemarinya mengepal erat hingga buku-bukunya memutih.Matanya merah menahan gejolak emosi yang nyaris meledak dari dalam dadanya. Napasnya berat, seolah setiap kata yang keluar membawa beban berton-ton di dadanya.Di hadapannya, Nala hanya menyunggingkan senyum sinis, lalu membuang muka seperti tidak peduli. Sorot matanya kosong, nyaris dingin, seperti wanita yang telah kehilangan sisi kemanusiaannya.“Apa yang kau inginkan sampai membunuh Rania dan menjebak Nadya, Ma?” Kalen kembali bicara, kali ini suaranya lebih keras, lebih putus asa.“Kau ingin aku menjalani hidup seorang diri, tanpa ada pendamping di hidupku? Itu, yang kau mau? Bahkan kau ingin membunuh anakku juga!”Suasana ruang interogasi itu menegang. Sejenak, hanya suara detik jam dinding yang terdengar di antara mereka.Nala akhirnya menoleh. Matanya menusuk ke arah anak lelakinya, dingin dan penuh kebencian
“Siapa orang itu? Katakan padaku siapa orang itu?” desak Kalen, suaranya dingin dan tajam, seperti pisau yang siap menebas.Sorot matanya menusuk, seolah mencoba menggali kebenaran yang disembunyikan ibunya selama ini.Nala merespon dengan tawa ringan yang menggema di ruang interogasi itu, seakan mengejek keputusasaan anak kandungnya sendiri.Ia menyilangkan tangan di dada, penuh percaya diri, seperti seorang ratu yang tak sudi digulingkan.“Apa kau akan memberikan saham itu jika aku memberitahumu?” tanyanya santai, meski tatapannya kini seperti bara api yang siap membakar apa pun.Tangan Kalen mengepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Dadanya naik turun menahan amarah yang menggelegak.Ia menatap ibunya dengan mata yang penuh luka dan kemarahan. “Sekalipun aku tahu siapa orang itu, aku tidak akan pernah memberikan sepeser pun saham yang kumiliki!” ucapnya tegas, suaranya bergetar bukan karena takut—tetapi karena kecewa yang begitu dalam.Mata Nala semakin menyala, penuh amara
“Apa hanya aku, yang diharapkan oleh ibunya untuk mati? Anak sendiri, yang terlahir dari rahimnya sendiri?” gumam Kalen lirih, seolah bertanya pada semesta, pada takdir yang begitu kejam padanya.Suaranya nyaris tak terdengar, tapi penuh luka yang tak bisa ditambal siapa pun.Ia duduk di dalam mobilnya, menatap kosong ke depan. “Selama ini aku selalu berusaha sabar dan mengerti karakter negatifnya,” lanjutnya, suara itu kini disertai getaran halus dari dada yang penuh sesak.Kalen menghela napas panjang, menarik udara dalam-dalam seolah berharap kesakitannya ikut terhembus keluar bersama napas itu. Tapi tak berhasil.Dadanya tetap terasa berat. Seberat beban pengkhianatan yang ditimpakan oleh wanita yang ia panggil ‘Mama’.“Ibu mana yang tega membiarkan anaknya mati di tangannya sendiri?” Suaranya terdengar patah, seperti pecahan kaca yang diinjak perlahan.“Sepertinya hanya aku... anak yang tidak beruntung di dunia ini. Ibuku menginginkanku mati. Ayahku meninggalkanku, dan aku harus
Nadya bergegas menuju rumah sakit dengan napas tersengal. Detik-detik di dalam mobil terasa seperti siksaan panjang yang tak kunjung usai.Wajahnya pucat, matanya sembab karena air mata terus membanjiri pipinya sepanjang perjalanan.Di sampingnya, Shopia menggenggam tangan Nadya erat, sementara Julian duduk di depan dengan rahang mengeras, berusaha tenang meski hatinya ikut tercabik.Ketakutan menggumpal di dada Nadya, seolah-olah napasnya sendiri ikut tertahan dalam kecemasan yang menyiksa.Ia terus menatap layar ponselnya, berharap ada pesan, ada panggilan—apa saja—yang bisa meyakinkannya bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang sebentar lagi akan berakhir.Sesampainya di rumah sakit, langkah Nadya limbung. Kakinya nyaris tak kuat menopang tubuhnya yang diguncang rasa takut. John sudah menunggunya di ruang tunggu UGD.Pria itu berdiri dengan ekspresi suram, seolah sedang memikul beban yang tak sanggup ia bagi.“John. Bagaimana kondisi Kalen?” tanya Nadya, suaranya nyaris tak terdengar
“Ada yang bisa dibantu?”Suara hangat dan ramah itu menyambut kedatangan Eliza dan Ferdy, yang berdiri di ambang pintu panti asuhan dengan hati berdebar dan mata yang menyimpan harapan.Alisha, wanita paruh baya dengan keriput lembut di sudut matanya, menyambut mereka dengan senyum yang tenang. Namun senyum itu tak mampu menenangkan badai yang tengah berkecamuk di dada Eliza.“Aku Eliza dan ini suamiku, Ferdy. Ada yang ingin kami bicarakan dengan Anda,” ujar Eliza dengan suara lembut namun gemetar.“Alisha. Salam kenal. Baik, silakan masuk.”Langkah kaki mereka terdengar pelan menyusuri lorong panti yang dipenuhi kenangan anak-anak—foto, lukisan, mainan kecil, dan jejak-jejak yang membisikkan kehidupan yang pernah terlantar tapi kini dirawat. Eliza menggenggam erat tangan Ferdy, seakan takut kehilangan lagi.“Ada apa, Nyonya Eliza dan Tuan Ferdy?”Eliza menarik napas panjang, mencoba menguasai dirinya yang hampir roboh oleh emosi. “Dua puluh enam tahun yang lalu, kami kehilangan anak
Eliza dan Ferdy bergegas pergi ke rumah sakit begitu mendapat kabar dari Nadya bahwa Kalen mengalami kecelakaan.Hati Eliza berdegup kencang sepanjang perjalanan, sementara genggaman tangan Ferdy di setir semakin erat, menahan kecemasan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.Sesampainya di rumah sakit, Eliza langsung melihat sosok Nadya yang terduduk lemas di bangku tunggu. Matanya sembab, wajahnya pucat.“Nadya.” Eliza segera menghampiri dan memeluk wanita itu erat, mencoba memberikan sedikit kehangatan di tengah duka yang menguar di udara. Pelukan itu terasa seperti tempat berteduh, walau hanya sejenak, dari badai yang tiba-tiba datang tanpa permisi.“Mama. Terima kasih sudah datang kemari. Maaf, sudah mengganggu waktumu,” ucap Nadya dengan suara lirih, hampir seperti bisikan yang diseret rasa bersalah.Eliza menggeleng, lalu menangkup wajah Nadya dan mengusap air mata yang membasahi pipinya. “It’s okay. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana kondisinya sekarang?” tanyanya pela
“Apakah Kalen yang memberitahu Mama soal ini?” tanya Nadya akhirnya, suaranya terdengar ragu, seperti takut pada jawaban yang akan ia dengar.Eliza menelan salivanya, sejenak menunduk untuk menenangkan degup jantung yang mulai tak beraturan. Lalu ia menganggukkan kepala dengan pelan.“Ya. Aku ingin tahu di mana orang tuamu. Dan Kalen memberitahuku bahwa kau tinggal di panti asuhan sejak usiamu masih dua tahun. Apa itu benar?”Pertanyaan itu seperti menggoreskan kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Nadya menundukkan kepala, matanya mulai memanas. Dalam diam, ia mengangguk.“Ya,” jawabnya lirih, lalu menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Kami pernah bertemu sejak usia kami lima belas tahun, di sekolah yang sama… dan kembali bertemu ketika kami lulus kuliah.”Suara Nadya perlahan bergetar, seperti mencoba menahan emosi yang sudah menumpuk selama bertahun-tahun. “Dan hanya Kalen yang mau menjadi temanku... di saat yang lain memandangku rendah, hina, dan hanya sebagai seor
Langit malam begitu gelap tanpa bintang. Di sebuah sudut kota yang sepi dan nyaris terlupakan, berdiri sebuah gudang tua yang sudah lama tak digunakan.Tapi malam itu, gudang yang tampak tak bernyawa itu justru hidup. Musik keras berdentum dari dalam, disertai gelak tawa dan aroma menyengat yang tak sedap.Di situlah Romeo, seorang bandar narkoba yang cukup terkenal di kalangan hitam, sedang berpesta dengan puluhan anak buahnya.Tiba-tiba, suasana berubah drastis.“BRAK! BRAK!”Suara tembakan peringatan menggema. Sirine meraung menembus udara malam.Lampu sorot dari mobil polisi membanjiri kegelapan gudang, menyilaukan mata semua orang di dalamnya. Kepanikan langsung merebak."POLISI! JANGAN BERGERAK!" teriak seorang anggota tim khusus bersenjata lengkap.Beberapa orang mencoba melarikan diri, tapi tak sempat jauh. Mereka langsung disergap dan diborgol di tempat. Di antara mereka, Romeo berdiri terpaku. Matanya membola, tubuhnya gemetar.“Apa-apaan ini?!” pekiknya. “Lepaskan aku! Kali
“Kau… tidak sedang bercanda, kan?” ucap Kalen dengan suara serak, nyaris tercekat. Sorot matanya penuh dengan keterkejutan yang belum sempat ia sembunyikan.Tatapannya menusuk dalam ke mata Nadya, seolah ingin menemukan secuil kebohongan di sana—namun tak ada. Yang ada hanya ketulusan yang terpancar begitu jelas.Nadya menggeleng pelan, nyaris seperti anak kecil yang merasa takut telah menyakiti seseorang.“Aku tahu, ini berita yang sangat berat dan sulit untuk dipercaya. Tapi kenyataannya memang seperti itu, Kalen…” Nadanya lembut, namun mengandung guncangan emosi yang ia tahan keras-keras agar tidak tumpah.“Dan kau harus menyadari satu hal… Melvin hanya ingin meminum ASI dariku. Karena hatinya tahu… aku adalah bagian dari Rania.”Kalen terdiam. Wajahnya tak bergerak, tapi matanya—matanya berbicara banyak. Penuh kebingungan, penuh guncangan, dan juga rasa tak percaya yang luar biasa.Tubuhnya masih, namun dadanya terasa bergemuruh. Dunia seolah bergeser dari tempatnya.“Kau… tidak b
“Apa yang Amora katakan padamu?” tanya Kalen pelan, matanya langsung menatap Nadya ketika wanita itu kembali masuk ke kamar rawatnya.Suaranya terdengar tenang, namun matanya menyiratkan rasa ingin tahu.Nadya menghela napas singkat, lalu duduk di depan Kalen, menatap pria yang kini tengah terbaring dengan selang infus di lengannya.“Aku pikir dia tidak ingin bertemu denganmu. Rupanya dia tidak ingin bertemu dengan John. Dan dia tidak mau memberitahu alasannya.”Kalen menaikkan sebelah alisnya, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. “Ada apa dengan mereka?”Nadya mengangkat bahu, lalu memiringkan kepalanya sejenak. “Aku pun tidak tahu. Tapi, aku penasaran.”Kalen terkekeh, tawa kecilnya terdengar renyah meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. “Kau penasaran karena Amora adalah adikmu, hm? Jangan khawatir. Kalaupun mereka menjalin hubungan, John pria baik-baik. Kau mengenalnya sejak lama.”Nadya mengangguk perlahan, matanya menerawang. “Ya, aku tahu. Tapi tetap saja, aku ingin tahu ap
Dering ponsel Nadya memecah keheningan di ruang rawat itu. Ia melihat layar ponsel, dan nama "Amora" tertera jelas di sana—nama yang entah mengapa membawa campuran rasa asing dan akrab di hati Nadya. Ia segera menjawab.“Halo, Amora?” sapanya, mencoba terdengar tenang.“Kau masih di rumah sakit? Aku ada di kafetaria. Apa kau bisa menemuiku?” tanya Amora dari seberang, suaranya terdengar pelan, nyaris ragu.Nadya terdiam sejenak, bingung dengan permintaan itu. “Kenapa tidak kemari saja, Amora? Aku ada di ruang rawat Kalen dan hanya kami berdua saja.”“Tidak bisa, Nadya. Aku tidak bisa bertemu dengan Kalen. Aku masih canggung jika bertemu dengannya,” ucap Amora, lirih—seperti menyembunyikan lebih banyak luka daripada yang ia izinkan terdengar.Nadya menghela napas pelan. Ada sesuatu dalam nada suara Amora yang membuat dadanya ikut sesak. “Ya sudah. Aku akan ke sana beberapa menit lagi.”Ia menutup panggilan itu, lalu menoleh ke arah Kalen. Ia duduk di kursi dekat ranjang, menatap wajah
“Kalen. Kau sudah membaik?” Robin menghampiri Kalen yang sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Udara di ruangan itu masih terasa sunyi, hanya diisi suara mesin infus dan napas tenang Kalen yang perlahan mulai kembali normal.Kalen mengangguk pelan, tubuhnya masih tampak lemah, tapi sorot matanya sudah kembali hidup. “Ya. Sudah sedikit membaik meski harus dirawat beberapa hari lagi,” jawabnya dengan suara parau.“Ada apa, Robin? Kau menemukan sesuatu?” tanyanya kemudian, sedikit menegakkan tubuhnya meski terasa nyeri.Robin mengangguk dan duduk di kursi dekat ranjang. Ia menyerahkan sebuah map berisi data, ekspresinya serius dan tegang.“Ya. Aku sudah menemukan data tentang anak ibumu. Dia bekerja sebagai bandar narkoba dan menggunakan identitas palsu,” ujar Robin, nada suaranya rendah tapi tegas.“Huh? Anak Nyonya Nala?” ucap Nadya yang sedang menyuapi Melvin di pojok ruangan. Sontak ia menghampiri mereka dengan raut terkejut.“Kau… memiliki saudara, Kalen?” tanyanya lirih, seolah ka
Dua hari kemudian, hasil tes DNA akhirnya keluar—dua hari yang terasa seperti seumur hidup bagi Eliza.Pagi itu, langit sedikit mendung, seolah ikut menahan napas menunggu akhir dari kisah pencarian panjang yang telah membebani hati seorang ibu selama lebih dari dua dekade.Di rumah sakit, suasana di dalam ruang dokter terasa hening. Hanya suara detak jarum jam dan embusan AC yang terdengar samar.Eliza, Ferdy, dan Nadya duduk bersebelahan, tapi hati mereka melayang entah ke mana. Kegelisahan menyelimuti mereka semua.Dokter yang menangani mereka masuk sambil membawa sebuah map putih. Ia tersenyum lembut, mencoba meredakan ketegangan yang terasa di ruangan itu.“Ini hasilnya. Anda bisa melihatnya secara langsung,” ucapnya seraya menyerahkan kertas itu ke Eliza.Tangan Eliza bergetar saat menerimanya. Ia menoleh pada Ferdy, dan suaminya mengangguk pelan—sebuah isyarat yang membawa kekuatan. Ia membuka kertas itu perlahan, seakan takut waktu berhenti begitu hasil itu terbaca.Matanya me
“Kenapa Nyonya Eliza ingin melakukan tes DNA denganmu, Nadya?” tanya Shopia begitu menghampiri, tepat setelah Nadya keluar dari ruang laboratorium bersama Eliza.Udara sore itu terasa lebih berat dari biasanya.Eliza dan suaminya sudah lebih dulu pulang, meninggalkan Nadya dalam ruang sunyi yang seolah masih dipenuhi gema langkah-langkah mereka dan desiran kenangan yang belum selesai.Nadya menghela napas panjang, seolah berusaha meredakan gemuruh di dadanya. “Aku baru tahu... bahwa Rania memiliki saudara kembar,” ucapnya pelan, hampir seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Selama ini, Kalen tidak pernah memberitahuku soal itu.”Mata Shopia sedikit menyipit, alisnya terangkat tinggi mendengar ucapan itu. “Lalu?” tanyanya, masih berusaha mencerna maksudnya.“Apakah Nyonya Eliza menganggap bahwa kau adalah saudara kembar Rania?”Nadya menoleh pelan. Wajahnya tampak campur aduk—ada kebingungan, harapan, dan ketakutan yang bertabrakan dalam sorot matanya.“Ya,” jawabnya pelan. “H
“Apakah Kalen yang memberitahu Mama soal ini?” tanya Nadya akhirnya, suaranya terdengar ragu, seperti takut pada jawaban yang akan ia dengar.Eliza menelan salivanya, sejenak menunduk untuk menenangkan degup jantung yang mulai tak beraturan. Lalu ia menganggukkan kepala dengan pelan.“Ya. Aku ingin tahu di mana orang tuamu. Dan Kalen memberitahuku bahwa kau tinggal di panti asuhan sejak usiamu masih dua tahun. Apa itu benar?”Pertanyaan itu seperti menggoreskan kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Nadya menundukkan kepala, matanya mulai memanas. Dalam diam, ia mengangguk.“Ya,” jawabnya lirih, lalu menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Kami pernah bertemu sejak usia kami lima belas tahun, di sekolah yang sama… dan kembali bertemu ketika kami lulus kuliah.”Suara Nadya perlahan bergetar, seperti mencoba menahan emosi yang sudah menumpuk selama bertahun-tahun. “Dan hanya Kalen yang mau menjadi temanku... di saat yang lain memandangku rendah, hina, dan hanya sebagai seor
Eliza dan Ferdy bergegas pergi ke rumah sakit begitu mendapat kabar dari Nadya bahwa Kalen mengalami kecelakaan.Hati Eliza berdegup kencang sepanjang perjalanan, sementara genggaman tangan Ferdy di setir semakin erat, menahan kecemasan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.Sesampainya di rumah sakit, Eliza langsung melihat sosok Nadya yang terduduk lemas di bangku tunggu. Matanya sembab, wajahnya pucat.“Nadya.” Eliza segera menghampiri dan memeluk wanita itu erat, mencoba memberikan sedikit kehangatan di tengah duka yang menguar di udara. Pelukan itu terasa seperti tempat berteduh, walau hanya sejenak, dari badai yang tiba-tiba datang tanpa permisi.“Mama. Terima kasih sudah datang kemari. Maaf, sudah mengganggu waktumu,” ucap Nadya dengan suara lirih, hampir seperti bisikan yang diseret rasa bersalah.Eliza menggeleng, lalu menangkup wajah Nadya dan mengusap air mata yang membasahi pipinya. “It’s okay. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana kondisinya sekarang?” tanyanya pela