Jasmine duduk di kursi di dalam kamar bayi, menggendong anaknya yang sedang menyusu dengan tenang. Setiap detik yang berlalu terasa berharga, karena dia tahu, momen-momen seperti ini akan selalu direnggut darinya begitu sesi menyusui selesai. Seharusnya, dialah yang merawat bayi ini, tetapi dunia tidak mengizinkannya.
Pintu kamar terbuka tiba-tiba, dan suara langkah kaki cepat menggema di dalam ruangan.
"Apa-apaan ini?!" Suara Dursilla terdengar tajam, memotong keheningan.
Jasmine tersentak, hampir saja refleks menarik bayinya dari pelukannya. Ia menoleh dan melihat wanita tua itu berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh kemarahan. Dursilla berjalan mendekat, matanya menatap tajam ke arah Jasmine dan bayi yang sedang menyusu di pelukannya.
“Kenapa dia yang menyusui bayi ini?” Dursilla melontarkan pertanyaan dengan nada dingin, matanya menyipit penuh kecurigaan.
Zora
Malam di rumah keluarga Dirgantara terasa sunyi, tetapi tidak bagi Jasmine. Ia berjalan mondar-mandir di kamar yang diberikan kepadanya, pikirannya penuh dengan segala hal yang telah terjadi.Dursilla telah mencurigai sesuatu, meskipun Zora berhasil meyakinkannya untuk sementara. Namun, Jasmine tahu bahwa kebohongan ini tidak akan bertahan selamanya.Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Dengan ragu, Jasmine membuka pintu dan mendapati seorang pelayan berdiri di sana dengan ekspresi tegang.“Nona Jasmine, bayi sedang rewel. Nyonya Zora meminta Anda untuk datang segera.”Jasmine menahan napas, lalu mengangguk. “Baik, aku akan ke sana.”Hatinya mencelos setiap kali ia harus menghadapi anaknya sendiri tetapi dalam status yang begitu menyakitkan. Ia tahu bahwa bayi itu merindukannya, dan itu adalah satu-satunya alasan mengapa ia terus bertahan di tempat ini.&nb
Dursilla duduk di ruang tamu dengan ekspresi penuh pikir. Tangannya memegang secangkir teh yang kini sudah mendingin. Pikirannya masih tertuju pada kejadian pagi tadi saat melihat bagaimana bayi itu begitu nyaman dalam pelukan Jasmine, sementara Zora terlihat canggung.Ada sesuatu yang janggal. Nalurinya sebagai seorang wanita yang telah melalui banyak hal dalam hidupnya mengatakan bahwa ada kebohongan besar yang sedang dimainkan di dalam rumah ini.Dursilla meletakkan cangkirnya dengan sedikit kasar di atas meja, menarik perhatian Zora yang sedang duduk di seberangnya. "Aku ingin kau jujur padaku, Zora."Zora menegang, jari-jarinya yang menggenggam sendok sedikit gemetar. "Tentu saja, Oma. Tentang apa?"Dursilla menyipitkan mata. "Tentang bayi ini. Aku ingin jawaban jujur darimu."Ruangan mendadak terasa sunyi. Zora bisa merasakan detak jantungnya meningkat tajam. Ia tahu bahwa
Noah menatap oma Dursilla dengan napas tertahan. Matanya menyapu wajah neneknya yang penuh kewibawaan, tetapi ada sesuatu di sana, sesuatu yang menunjukkan bahwa wanita itu tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan jawaban yang diinginkannya."Noah, aku bertanya sekali lagi," suara Dursilla terdengar lebih tajam. "Apakah ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku tentang bayi ini?"Noah menelan ludahnya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tahu Dursilla bukan orang yang mudah ditipu. Wanita itu memiliki insting yang tajam, dan begitu ia mulai curiga, tidak ada yang bisa menghentikannya sampai ia menemukan kebenaran."Oma," suara Noah terdengar serak, "kenapa tiba-tiba berpikir ada yang kami sembunyikan?"Dursilla mengangkat dagunya, menatap cucunya dengan tajam. "Karena aku tidak bodoh, Noah. Aku melihat bagaimana bayi itu lebih nyaman dengan Jasmine daripada dengan Zora. Aku melihat bagaim
Matahari pagi menyinari kediaman keluarga Dirgantara dengan hangat, tetapi suasana di dalam rumah tetap tegang. Setelah percakapan terakhirnya dengan Noah, Dursilla masih belum puas.Wanita tua itu masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya, dan seperti biasa, ia tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan jawaban.Di ruang makan, Zora berusaha tetap tenang saat ia duduk di hadapan nenek mertuanya, menyuapkan bubur ke dalam mulutnya dengan elegan. Dursilla mengaduk teh di cangkirnya tanpa minum, sorot matanya tajam menatap Zora."Aku akan kembali ke Beverly Hills besok," kata Dursilla tiba-tiba, membuat Zora hampir tersedak.Zora buru-buru mengambil napkin dan menutup mulutnya, sebelum tersenyum tipis. "Benarkah, Oma? Itu... kabar yang cukup mendadak."Dursilla menyipitkan matanya. "Apa kau tidak senang mendengarnya?""Tentu saja aku senang, Oma. Hanya
Zora berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, ponselnya masih tergenggam erat di tangan. Wajahnya tegang, dan matanya menatap layar dengan penuh kecemasan.Noah duduk di sofa, tangannya bertaut di depan wajah, berusaha tetap tenang meskipun suasana di ruangan itu sudah begitu penuh tekanan."Ayah mengatakan perusahaan mengalami krisis likuiditas," kata Zora akhirnya, suaranya bergetar. "Ada kesalahan besar dalam pembukuan keuangan, dan sekarang investor mulai mempertanyakan kestabilan perusahaan."Noah menatapnya dengan tajam. "Apa maksudnya ada kesalahan dalam pembukuan? Apakah ini sesuatu yang bisa diperbaiki, atau ini lebih buruk dari yang kita kira?"Zora menggeleng frustasi. "Aku tidak tahu. Tapi jika ayah meneleponku langsung, itu artinya situasinya benar-benar gawat."Noah menarik napas dalam. "Berapa besar kerugiannya?"Zora menggigit bibirnya, lalu
Malam menjelang dengan langit yang gelap pekat, awan mendung bergulung di atas kediaman keluarga Dirgantara. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah yang basah setelah gerimis sore.Jasmine berdiri di balkon kamarnya, menatap lampu-lampu kota di kejauhan, pikirannya masih penuh dengan apa yang dikatakan Noah tadi siang.Perusahaan yang selama ini dianggap sebagai warisan keluarga Zora ternyata dulunya milik ayahnya. Fakta itu masih sulit ia cerna. Jika benar, maka keluarganya telah dirampas dari hak mereka, dan kini ia mengerti mengapa begitu banyak hal terasa tidak adil selama ini.Langkah kaki berat terdengar mendekat. Jasmine menoleh, dan di ambang pintu, Noah berdiri dengan ekspresi penuh pertimbangan. Hujan mulai turun perlahan, butiran-butiran air jatuh ke lantai balkon, menciptakan ritme tenang di malam yang penuh ketegangan.“Noah?” panggil Jasmine pelan, melihat pria itu tetap
Malam itu, suasana di kediaman Dirgantara terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan yang mengguyur sejak sore masih menyisakan rintik gerimis yang membasahi halaman luas rumah megah itu. Di dalam, Jasmine duduk di ruang tamu, memandangi jendela besar yang menampilkan bayangan lampu-lampu taman yang berkilauan di permukaan tanah yang basah.Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian beberapa hari terakhir. Fakta bahwa perusahaan yang selama ini dikuasai keluarga Zora sebenarnya adalah warisan ayahnya masih sulit ia terima. Sejak kepergian Dursilla ke Beverly Hills, ketegangan di rumah ini belum mereda.Zora masih berusaha mempertahankan kebohongan, sementara Noah semakin menunjukkan keraguannya.Langkah kaki terdengar mendekat. Jasmine menoleh dan mendapati Noah berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih yang lengannya tergulung hingga siku. Tatapan pria itu tajam, tetapi ada sesuatu yang berbeda—seolah ada banya
Di rumah Dirgantara, Jasmine duduk di tepi ranjang, menatap dokumen yang berhasil ia sembunyikan dari perpustakaan. Ini adalah bukti pertama yang mengarah pada kebenaran tentang perusahaan ayahnya.Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, dan Noah masuk tanpa mengetuk. Jasmine mendongak, sedikit terkejut."Ada apa?" tanyanya.Noah berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahnya. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Jasmine tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Noah. Tapi aku tahu badai akan segera datang."Noah menatapnya lama, lalu menghela napas dan meraih tangannya. "Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian."Jasmine menatap tangan Noah yang menggenggam tangannya erat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar ada untuknya.Tapi mereka tidak tahu bahwa di luar sana, Zora d
Sementara itu, Jasmine dan Noah kembali ke hotel mereka setelah menghadiri resepsi diplomatik kecil yang digelar di Konsulat Lioren. Jasmine merasa kelelahan, namun damai. Dunia tampaknya menyambut pidatonya dengan antusias. Belasan negara telah menyatakan niat bergabung dalam Koalisi Anti-Korupsi Korporat Dunia.Namun di lobi hotel, salah satu staf keamanan mendekati mereka.“Maaf, Ibu Jasmine. Mobil pengawal Anda terlihat mengalami kerusakan. Kami menyarankan Anda untuk naik kendaraan cadangan yang sudah disiapkan.”Kiara, yang datang bersama dari belakang, menyipitkan mata. “Mobil rusak? Tapi tadi pagi sudah dicek.”Noah langsung tanggap. “Tunda. Kita tetap di sini sampai tim teknis kita periksa langsung.”Sementara staf itu berlalu, Jasmine berbisik, “Perasaanmu juga tidak enak?”Noah mengangguk. “Sangat.”Tiga puluh menit kemudian, laporan datang. Salah satu baut rem ken
Jasmine berdiri. Langkahnya mantap menuju podium. Cahaya lampu menyorot wajahnya, dan ribuan mata tertuju padanya.Ia membuka pidatonya dengan suara yang tenang tapi tegas.“Terima kasih atas kesempatan ini. Nama saya Jasmine Jorse. Hari ini, saya tidak hanya berbicara sebagai pemimpin sebuah perusahaan, tapi sebagai saksi dari bagaimana sistem keuangan yang tidak terawasi bisa menghancurkan keluarga, kepercayaan, dan masa depan.”Ia berhenti sejenak. Tatapannya menyapu seluruh ruangan.“Saya lahir dari darah seorang industrialis yang jujur dan seorang ibu yang mencintai keadilan. Mereka dibunuh, bukan oleh peluru, tapi oleh sistem yang membiarkan korupsi tumbuh di balik nama-nama besar.”Hening. Beberapa orang mulai menegakkan badan.“Selama puluhan tahun, banyak dari kita menutup mata atas praktik-praktik keuangan gelap yang dikemas dalam bahasa legal. Kita memberi ruang bagi orang seperti Leonhart Vasmer dan
“Jas... Ada seseorang dari dalam Levara Group mengirimkan pesan rahasia.”Jasmine berdiri. “Siapa?”Kiara menyerahkan sebuah flashdisk dan dokumen cetak.“Namanya tidak disebut, tapi tanda tangannya mencocok dengan seorang analis senior bernama Aline Köhler. Dia dikabarkan sudah lama tidak muncul di media, dan ternyata... dia menyimpan dokumen internal.”Jasmine membuka file pertama di layar laptop. Di sana, terdapat ratusan halaman laporan transfer dana fiktif, rekaman rapat tertutup yang memperlihatkan Leonhart menyuruh stafnya menekan media, dan yang paling mencengangkan: dokumen strategi hukum menyerang Jasmine, tertanggal sebulan sebelum gugatan didaftarkan.“Aline memberikan semua ini?” bisik Jasmine, nyaris tak percaya.Kiara mengangguk. “Dia bilang dalam pesannya: ‘Saya tidak bisa melawan langsung. Tapi saya percaya kamu bisa.’”Jasmine memandang laya
Sore hari, Jasmine menerima kabar bahwa Levara Group secara resmi mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Komersial Internasional Avenhurst.“Gugatan ini tidak berdasar,” ujar Kiara. “Tapi tetap harus kita jawab.”Jasmine membaca dokumen gugatan. Tuduhannya kejam: penyalahgunaan informasi pribadi, sabotase ekonomi, dan pencemaran nama baik.“Dia menyerang dari jalur hukum karena sudah kalah di jalur fakta,” ucap Jasmine pelan. “Tapi kita tidak boleh gegabah. Kita jawab elegan. Kita buktikan kebenaran bisa berjalan lurus tanpa harus menabrak.”Malam hari, setelah hari yang panjang dan rapat yang tak ada habisnya, Jasmine akhirnya kembali ke kamar hotel tempat ia menginap bersama Noah. Penerangan temaram, lampu-lampu kota Eresia berkelap-kelip seperti bintang-bintang kecil dari balik jendela kaca.Noah sudah menunggunya. Ia duduk di sofa dengan mengenakan kaus gelap dan celana santai, rambutnya sedikit acak.“Kau terlihat seperti ratu perang yang baru pulang dari medan tempur,” gumam
Tangannya bergetar.“Noah,” bisiknya saat pria itu menghampiri.“Ada apa?”Jasmine menyodorkan dokumen itu dengan mata basah. “Mereka… mereka tidak hanya berkhianat. Mereka membunuh.”Sesi kedua sidang dibuka dengan panggilan terhadap saksi ahli forensik kendaraan. Ia menjelaskan bahwa tingkat kerusakan sistem rem tidak mungkin terjadi karena usia atau kelalaian servis. Ia menunjukkan simulasi digital yang menunjukkan titik-titik sabotase.Hakim terlihat terguncang. Lucas mulai gelisah. Ia mencoba berdiskusi dengan pengacaranya, tapi mikrofon ruang sidang menangkap ucapannya:“Aku bilang hentikan semua jejak itu. Kenapa masih ada yang muncul?”Sorotan kamera langsung diarahkan ke wajahnya. Raut panik dan kemarahan membuatnya tak lagi mampu menyembunyikan kecemasan.Jaksa Norell lalu berdiri dengan bukti tambahan.“Yang Mulia, kami memohon agar Lucas Greif ditahan tanpa syarat selama penyelidikan. Bukti menunjukkan adanya potensi penghilangan jejak, tekanan terhadap saksi, dan keterlib
Noah, yang melihat semua itu, langsung menghubungi Jasmine.“Aku tahu ini menyakitkan. Tapi jangan biarkan hal-hal itu mengalihkanmu.”“Aku tidak akan mundur,” sahut Jasmine tegas. “Tapi aku tidak bisa bohong, ini melelahkan.”“Aku akan ke Eresia besok,” kata Noah. “Kamu tidak harus hadapi ini sendirian lagi.”Jasmine terdiam sejenak, lalu suaranya melunak. “Terima kasih. Mungkin kali ini... aku memang butuh bahumu lebih dari sekadar kata-kata.”Sore itu, Jasmine duduk sendiri di taman kecil belakang kantor EILI. Suara burung camar terdengar samar. Ia menutup mata sejenak.Langkah kaki menghampiri. Noah datang, lebih cepat dari yang dijanjikan. Pria itu berdiri di depannya, dengan senyum penuh kehangatan.“Aku tahu kau bilang besok,” kata Jasmine, sedikit terkejut.“Aku tahu kau butuh hari ini.”Jasmine berdiri. Mereka saling mendekat, lalu tanpa banyak kata, Noah menariknya ke dalam pelukan. Pelukan itu lama. Lama sekali. Seolah seluruh dunia menjadi latar belakang bisu.Saat Jasmine
Pagi di Eresia tiba dengan udara dingin dan kabut tipis yang menyelimuti gedung-gedung tinggi kota pelabuhan itu. Tapi suasana kantor Kejaksaan Tinggi justru panas sejak dini hari. Setelah pernyataan resmi dibuka untuk publik, penyelidikan atas Leonhart Vasmer dan Lucas Greif berubah dari rumor menjadi aksi nyata.Media lokal dan internasional berkumpul di depan gedung, berebut tempat terbaik untuk mendapatkan gambar pertama dari dokumen penyitaan yang sudah ditandatangani. Wartawan menggali lebih dalam, memunculkan artikel-artikel investigatif yang selama ini terkubur, kini mendapat perhatian kembali.Di ruang kerja Jasmine, yang sementara dipinjam dari kantor hukum EILI, Kiara datang membawa berita besar."Lucas Greif ditangkap tadi pagi di perbatasan selatan Valmora," ucapnya cepat, napas sedikit terengah.Jasmine bangkit dari kursi. “Benarkah?”Kiara mengangguk. “Dia mencoba kabur ke wilayah netral, tapi ditahan setelah surat penangkapan internasional keluar malam tadi.”Suasana r
Pagi menyelimuti Eresia dengan cahaya keemasan yang lembut, tapi di dalam ruang rapat kantor hukum internasional EILI, ketegangan menyatu dengan antusiasme. Jasmine duduk di kursi utama, diapit oleh Kiara dan penasihat hukum Eresia. Di hadapan mereka, berkas-berkas hasil investigasi yang telah diperkuat oleh pernyataan saksi Grego Marven dan dokumen asli dari arsip Ardian Jorse tersusun rapi, siap diserahkan ke otoritas hukum Eresia.“Dengan ini, kami menyerahkan semua bukti sebagai dasar pembukaan kembali kasus tertutup tahun 2005 atas nama Lucas Greif dan Leonhart Vasmer,” ucap Jasmine dengan tegas.Dokumen itu diterima oleh perwakilan Kejaksaan Eresia, Tuan Adelric Norell, seorang pria muda dengan reputasi bersih yang dikenal gemar menindak kasus korupsi lintas negara. Ia membaca sekilas, lalu mengangguk.“Materi ini cukup kuat untuk membuka jalur hukum formal. Dalam waktu 48 jam, kami akan keluarkan surat penyelidikan resmi. Jika terbukti valid, nama Leonhart akan masuk daftar pen
Langit Eresia diselimuti kabut pagi ketika pesawat pribadi yang ditumpangi Jasmine, Kiara, dan tim hukum mendarat di bandara internasional kota tersebut. Meski Eresia dikenal sebagai kota pelabuhan yang sibuk, pagi itu terasa seperti menyimpan rahasia yang siap terbongkar.“Selamat datang kembali di tempat masa lalu ayahmu pernah bergema,” bisik Kiara saat mereka menuruni tangga pesawat.Jasmine mengangguk pelan. “Dan semoga kita pulang membawa kebenaran yang selama ini dikubur.”Tim mereka langsung menuju kantor hukum independen yang sebelumnya bekerja sama dengan Ardian Kartika Jorse. Pria yang menyambut mereka adalah Lucian Velmar, mantan asisten hukum Ardian dua dekade lalu, kini kepala penasihat hukum di Eresia International Law Institute.“Jasmine Jorse…” ucapnya dengan nada emosional saat melihat wajah Jasmine. “Kau mewarisi mata ibumu, dan ketegasan ayahmu.”“Terima kasih, Pak Lucian. Aku datang untuk mengungkap apa yang belum sempat Ayah dan Ibu ungkapkan,” jawab Jasmine.Mer