Noah menekan tombol hijau dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Halo, Pram. Ada apa?”Suara Pram terdengar agak cemas di ujung telepon. “Noah, ada masalah dengan pengiriman bahan mentah ke Jenera. Beberapa dokumen perjalanan terkendala, dan pihak berwenang butuh tanda tangan Anda segera.”Noah mengerutkan kening. “Bukannya semua dokumen sudah diproses sejak kemarin?”“Benar, tapi ada revisi mendadak terkait peraturan impor. Kami butuh tanda tangan dan beberapa persetujuan tambahan sebelum barang bisa dikirim.” Pram menjelaskan.Noah menghela napas panjang. Ia melirik Jasmine yang masih menatapnya dengan ekspresi ingin tahu.“Aku akan segera mengurusnya,” ucap Noah akhirnya. “Kirim dokumennya ke emailku.”Setelah menutup panggilan, Noah menatap Jasmine dengan sedikit penyesalan.“Maaf, sepertinya aku harus menyelesaikan ini sebentar,” katanya, meraih laptopnya kembali.Jasmine mengangguk mengerti, meskipun ada sedikit rasa kecewa. “Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa melihatmu bekerja.”No
Ruangan rumah sakit yang tadinya tenang kini dipenuhi ketegangan yang hampir bisa disentuh. Ryan berdiri dengan rahang mengeras, matanya menatap tajam ke arah Noah yang masih duduk dengan santai di tepi tempat tidur Jasmine.“Aku tidak mengerti,” suara Ryan terdengar tajam. “Saat Jasmine masuk rumah sakit, kau bilang suaminya sedang bertugas di luar kota, di daerah konflik. Tapi sekarang aku melihat sendiri… kau tidur di sampingnya, memeluknya. Siapa sebenarnya kau, Noah?”Noah hanya menaikkan alisnya, sama sekali tidak terintimidasi oleh tatapan tajam Ryan. Ia menarik napas dalam, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran tempat tidur dengan santai.“Tidak ada yang perlu dijelaskan,” jawabnya dingin. “Apa urusanmu ikut campur?” Jawaban itu seperti bara api yang dilemparkan ke bensin.Ryan mengepalkan tangan, napasnya memburu. “Urusanku?” katanya dengan suara menekan. “Jasmine temanku! Aku peduli padanya! Aku tidak akan diam saja melihat dia berada dalam situasi yang… entahlah… membingun
Sebelum keluar, Juan menepuk bahu Noah pelan, seolah memberinya isyarat untuk lebih tenang.“Jangan terlalu keras kepala,” bisiknya, lalu pergi meninggalkan ruangan.Kini, hanya ada Jasmine dan Noah di dalam kamar. Keheningan menyelimuti mereka, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.Noah akhirnya berdiri, menatap Jasmine yang masih enggan menatapnya. “Aku pergi dulu,” katanya singkat, lalu berjalan menuju pintu.Namun, sebelum benar-benar keluar, ia berhenti sejenak dan berbalik. “Jangan lupa makan, Jasmine,” tambahnya dengan suara lebih pelan, lalu pergi meninggalkan ruangan.Jasmine tetap diam, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaannya semakin berantakan.Setelah Noah pergi, Jasmine merasa sedikit lega, meskipun keheningan dalam ruangan itu terasa begitu pekat. Ia segera memutuskan untuk menghubungi pihak rumah sakit untuk mengurus kepulangannya.Jasmine ingin beristirahat sejenak, jauh dari keributan, dan yang paling penting—jauh dari Noah untuk beberapa waktu.\Deng
Tanpa mengucapkan kata-kata lagi, Noah keluar dari ruang dokter dan langsung menghubungi anak buahnya. Ia tak mau tinggal diam. Jasmine harus ditemukan, apapun yang terjadi."Segera cari tahu keberadaan Jasmine," perintah Noah tegas. "Dia harus ditemukan sebelum semuanya terlambat. Jangan biarkan dia pergi tanpa kabar!"Anak buah Noah yang menerima perintah itu segera bergerak cepat, berusaha melacak keberadaan Jasmine. Sementara itu, Noah tetap berdiri di lorong rumah sakit, berpikir keras tentang apa yang bisa dia lakukan untuk meyakinkan Jasmine kembali ke rumahnya.Sementara waktu terus berlalu, ketegangan semakin meningkat. Noah merasa semakin terpojok dalam kebingungannya.Tetapi, yang terpenting baginya sekarang adalah menemukan Jasmine dan memastikan dia aman, tak peduli berapa banyak waktu yang harus dihabiskan untuk mencapainya.Jasmine duduk di sofa rumah Vina, matanya yang lelah masih memancarkan kepenatan yang tak tertahankan. Vina duduk di sampingnya, memperhatikan denga
Jasmine duduk di sofa rumah Vina, matanya masih terlihat lelah, namun ada secercah harapan yang mulai muncul.Vina yang duduk di sampingnya, sudah menyiapkan beberapa hal untuk membantu Jasmine menghadapi situasi yang semakin rumit.Setelah beberapa saat berlalu, Vina memutuskan untuk segera menghubungi Ryan.“Aku akan berbicara dengannya. Aku rasa ini adalah saat yang tepat untuk dia mendengarkan versi dari kamu sendiri, Jasmine,” ujar Vina dengan tegas.Jasmine mengangguk, meskipun hatinya masih terasa berat. "Aku hanya ingin ini semua selesai. Aku tidak ingin ada yang merasa tersakiti, tapi aku juga tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan."Vina mengangkat telepon dan menekan nomor Ryan. Saat Ryan menjawab, Vina langsung berbicara, “Ryan, ini Vina. Bisa kamu datang ke rumahku? Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan kepada kamu. Jasmine ingin berbicara denganmu secara langsung."Di ujung telepon, Ryan tampak sedikit bingung. "Tapi, Vina… aku tidak tahu apakah aku bisa mendengarka
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Jasmine mengenakan toga wisuda dengan pita emas, wajahnya memancarkan kebahagiaan dan rasa bangga.“Akhirnya aku bisa menuntaskan ini seperti targetku,” gumam Jasmine di depan cermin.Meski hatinya penuh kecemasan, dia tahu ini adalah salah satu pencapaian terbesar dalam hidupnya. Setelah berjuang dengan segala rintangan, akhirnya dia sampai di titik ini.Ryan dan Vina berada di sisinya, menyemangatinya sepanjang hari. Vina tersenyum lebar melihat Jasmine, sementara Ryan tampak serius, meskipun matanya tak bisa menyembunyikan rasa bangga."Aku nggak percaya ini akhirnya terjadi," kata Vina, memeluk Jasmine. "Kamu bisa melakukannya, Jasmine."Jasmine menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Vina. Tanpa kamu, aku nggak tahu apa yang akan terjadi padaku."Ryan hanya mengangguk. Meski hatinya sedikit hancur, dia tahu ini bukan waktunya untuk mencurahkan perasaannya. Jasmine butuh mereka, dan itu yang paling penting.“Ryan, aku gugup,” uc
Jasmine terbangun dengan mata yang masih berat, merasakan beban yang semakin menekan di dadanya.Masih di rumah Vina, dia merenung sejenak, mengingatkan dirinya sendiri akan banyak hal yang perlu diselesaikan. Namun, pagi itu, Zora yang lebih dulu menghubunginya."Pagi, Jasmine," sapa Zora melalui pesan singkat di ponsel. "Aku cuma mau nanya, kamu pulang ke Raflesia Hill nanti? Sepulang wisuda kemarin, aku ngecek ke Raflesia kamu tidak ada."Jasmine merasakan perasaan campur aduk. Dia tahu Zora ingin dia pulang, namun situasinya terasa semakin rumit. Entah kenapa, Jasmine merasa seakan ada jarak antara dirinya dan Zora. Semua yang terjadi, semua perasaan yang tumpah, membuatnya takut untuk kembali ke sana.Setelah beberapa detik, Jasmine akhirnya membalas pesan itu: "Kak Zora, aku... aku ingin tinggal di sini dulu. Aku masih butuh waktu untuk menenangkan diri."Zora membalas dengan cepat: "Kamu pasti tahu apa yang terbaik untuk dirimu sendiri, Jasmine. Jangan ragu untuk bilang kalau
Jasmine merasa gugup, jantungnya berdebar semakin cepat. Keputusan untuk ikut terasa penuh risiko, membuatnya cemas dan canggung. Dia takut terlihat lemah di hadapan Noah, apalagi dengan emosinya yang tidak stabil selama hamil.’Apakah Noah benar-benar menginginkannya ikut atau ini hanya keputusan impulsif?’ Pertanyaan itu terus menghantui Jasmine.Di depan cermin, Jasmine menatap dirinya. Dengan pakaian sederhana dan tas ransel kecil, dia siap berangkat tanpa banyak persiapan. Entah apa yang menantinya, tapi dia tidak ingin menyusahkan Noah.Vina yang duduk di sofa ruang tamu tiba-tiba bersuara, memecah kesunyian di kamar."Jasmine, kenapa sih kamu gitu? Kalau mau ikut, ya ikut aja, jangan ribet," katanya sambil tertawa kecil. "Ini kan cuma ke luar kota, bukan jadi istri kedua Noah."Jasmine menoleh dengan mata sedikit melotot, lalu ikut tertawa kecil. "Aku tahu, Vi, cuma... ya ampun, deg-degan banget," ujarnya sambil menyentuh perutnya yang mulai membesar. "Rasanya kayak naik rolle
Jasmine yang sejak tadi diam, merasa darahnya mendidih. Dia berdiri tegak, matanya memandang pesan itu seakan menantang. "Tidak ada lagi tempat bersembunyi," ucapnya, suaranya penuh tekad dan keberanian yang tak bisa dipadamkan. "Kita akan berhadapan langsung."Seketika, seluruh ruangan terasa hening, hanya suara detak jantung yang terdengar keras di telinga mereka. Waktu terasa berhenti sejenak, dan semuanya tahu bahwa mereka tidak bisa mundur lagi. Keputusan telah dibuat. Mereka harus menghadapi musuh mereka, apapun risikonya.Malam itu, langit Arenia dipenuhi bintang-bintang yang seolah menyaksikan perjalanan mereka. Di luar jendela, angin bertiup kencang, membawa nuansa ketegangan yang semakin tebal. Bintang-bintang di langit seakan menjadi saksi dari pertempuran terakhir yang akan segera meletus. Masing-masing dari mereka tahu bahwa ini adalah momen yang tak bisa dihindari. Setiap pilihan yang mereka ambil sekarang akan menentukan masa depan mereka.Jasmine
Mata Jasmine menyipit. Satu teka-teki terungkap, tetapi gambaran yang lebih besar tampak lebih mengerikan."Bagaimana dengan bukti?" tanya Kiara. "Ada rekaman, dokumen?"Sebastian mengangguk. "Ada. Semua transaksi, semua perintah, disimpan di server rahasia. Aku tahu koordinatnya. Ada di luar Arenia, di fasilitas bawah tanah di Eresia.""Kau mau mengantar kami ke sana?" tanya Noah, nadanya datar.Sebastian mengangguk dengan cepat. "Asal kau jamin keselamatanku... aku akan bawa kalian ke semua bukti."Jasmine mengangguk. "Kalau begitu, kita bergerak besok. Tapi sebelum itu, kau akan menuliskan seluruh kesaksianmu di bawah sumpah."Sebastian mulai menulis. Tangan gemetar, keringat menetes di dahinya.Kiara membantu mengamankan dokumen. Evan menghubungi pengacara Project Axis untuk memastikan semuanya sah secara hukum internasional.Saat Sebastian sibuk menulis, Jasmine berdiri dan berjalan ke jendela. Ia menatap langit malam Aren
Kiara memegang tablet kecil yang terhubung ke jaringan deteksi panas. "Tiga orang bersenjata di depan, enam puluh meter. Mereka berjaga.""Itu pasti markas Sebastian," bisik Evan.Mereka berbelok ke gang kecil, berhenti di balik dinding batu berlumut."Kita harus hati-hati," ujar Noah. "Begitu kita masuk, tidak ada jalan mundur."Jasmine menarik napas dalam-dalam, merasakan detak jantungnya berdentum keras di dadanya."Aku siap," katanya.Kiara mengirimkan sinyal disruptor untuk menjatuhkan kamera pengawas sementara. Evan bergerak cepat membobol kunci pintu dengan alat digital.Saat pintu terbuka sedikit, suara langkah tergesa terdengar dari dalam."Dia tahu kita datang!" seru Evan.Tanpa pikir panjang, Jasmine dan Noah menyerbu masuk. Suara benturan kayu dan desakan sepatu memenuhi udara.Di lantai atas, Sebastian Warde berusaha kabur lewat jendela, namun Noah lebih cepat. Ia menarik pria itu jatuh ke lantai deng
Malam itu di hotel, Jasmine dan timnya menelaah data dengan tegang.Nama-nama besar bermunculan: politisi, CEO, pejabat tinggi. Beberapa nama mengejutkan mereka."Ini tidak mungkin..." bisik Kiara, matanya membelalak.Di antara daftar itu, muncul nama seorang mentor lama keluarga Jorse, seseorang yang selama ini mereka kira sekutu setia."Dia...?" Evan bergumam, suara tercekat.Jasmine mengepalkan tinjunya. Dunia yang ia kenal mulai runtuh, pengkhianatan terasa lebih pahit dari yang pernah ia bayangkan.Namun satu hal pasti: Arenia bukan hanya menjadi tempat pertemuan masa lalu dan masa depan.Arenia akan menjadi medan pertarungan terakhir.Di luar jendela, Château De Lune bersinar megah di tengah kegelapan, seolah menjadi saksi bisu perjalanan panjang mereka.Dan di dalam hatinya, Jasmine tahu, apa pun yang terjadi... ia tidak akan mundur.Karena kali ini, bukan hanya masa depan yang ia pertaruhkan.Tapi seluruh kebenaran tentang siapa dirinya sebenarnya.Pagi di Arenia datang perlah
Dalam waktu kurang dari 24 jam, tim kecil dibentuk. Jasmine, Noah, Kiara, dan dua penyelidik andalan Project Axis bersiap menuju Morvenia. Di dalam koper mereka bukan hanya dokumen dan peralatan, tapi juga kekuatan moral dari seluruh dunia yang menanti jawaban.Sebelum keberangkatan, Jasmine berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota Avenhurst. Cahaya lampu malam tampak seperti bintang-bintang yang mendekat ke bumi.Noah menghampirinya, memeluknya dari belakang.“Kalau ini benar-benar jebakan, apakah kamu siap?”Jasmine menoleh. “Kalau ini membawaku ke kebenaran yang Ayah dan Ibu pertaruhkan nyawa mereka untuk... maka aku akan datang, walau hanya satu langkah dari jurang.”Dan mereka berangkat. Ke negeri tanpa nama, tempat di mana hukum telah lama dijual, dan kebenaran harus dicuri kembali dari balik kegelapan."Senja perlahan turun di atas langit Valmora," gumam Noah sambil menatap ke luar jendela pesawat pribadi yang meluncur stabil di udara. Di dalam kabin, Jasmine duduk di
Sore harinya, sebuah konferensi pers dilakukan oleh Jasmine secara langsung dari kantor pusat Project Axis. Disiarkan secara global, jutaan orang menyaksikan saat Jasmine berdiri dengan latar belakang simbol Jorse dan Project Axis bersatu.“Beberapa orang bilang kami nekat. Bahwa kami bermain dengan kekuatan yang terlalu besar. Tapi hari ini, kami katakan: dunia tidak lagi milik mereka yang menyembunyikan kekuatan dalam bayangan.”Ia mengangkat dokumen resmi dari Mahkamah Internasional.“Surat penahanan Leonhart Vasmer telah disahkan. Dan kami, Project Axis, akan bekerja sama dengan semua negara yang berani berkata ‘cukup.’ Ini adalah awal baru.”Media berebut bertanya. Jasmine menjawab satu per satu dengan ketenangan dan presisi. Namun satu pertanyaan dari wartawan Eresia membuatnya diam sejenak:“Apakah Anda siap menghadapi ancaman terakhir dari jaringan yang kini terpojok?”Jasmine menatap l
Sore harinya, Jasmine dan tim hukum membuka sistem cadangan itu. Dengan bantuan ahli digital forensik, dana sebesar 1,7 miliar dolar muncul dalam 13 akun berbeda di bawah nama entitas tak dikenal.“Ini cukup untuk membiayai Project Axis selama dua dekade penuh,” ujar Evan dengan nada kagum.Jasmine menatap layar dengan tenang. “Ayah tidak hanya meninggalkan warisan. Dia meninggalkan senjata terakhir.”Kiara menambahkan, “Dengan ini, kita bisa memperkuat keamanan digital, memberi perlindungan untuk saksi, dan memperluas koalisi.”“Dan kita lakukan itu malam ini,” ucap Jasmine.Sementara itu, di Zurich, Leonhart mendapat kabar bahwa seluruh asetnya telah dibekukan. Lebih buruk lagi, satu per satu mitra bisnis lamanya mulai menawarkan kerja sama kepada Project Axis.“Ini pengkhianatan,” geram Leonhart sambil meremukkan gelas di tangannya.Klemens menjawab datar. “Ini... kelangsungan hidup.”Leonhart bangkit dari kursi. “Kalau begitu, aku harus mencari jalan keluar sebelum semuanya hilang
“Aku tidak menyangka mereka akan bergerak secepat ini,” kata Evan, melihat daftar partisipan yang terus bertambah.Jasmine menjawab, “Dunia sudah lelah dijajah oleh sistem yang tak terlihat. Kita hanya menyalakan lentera. Mereka yang lain... membawa obor.”Tapi seperti angin sebelum badai, keheningan tidak bertahan lama. Di sore yang dingin, sebuah ledakan kecil terjadi di salah satu gudang data Project Axis di pinggiran Lioren. Tidak ada korban, tapi jelas... ini bukan kecelakaan.“Pesan dari jaringan lama,” ujar Kiara sambil menunjukkan hasil investigasi awal. “Mereka mulai menargetkan infrastruktur. Mereka tidak bisa menghentikanmu secara hukum, jadi mereka serang fondasinya.”Jasmine menatap puing-puing digital dari rekaman drone. Wajahnya tak bergeming.“Kalau begitu... kita pindahkan data ke server awan global, dengan backup di enam negara berbeda. Kita jangan beri mereka kesempatan kedua.”Noah masuk dengan wajah serius. “Dan aku baru dapat laporan. Ada tiga pria tak dikenal ya
Fajar menyingsing perlahan di langit Avenhurst, tapi hari itu bukan awal biasa. Di ruang tengah kediaman perlindungan tinggi tempat Jasmine ditampung, belasan layar digital menyala serempak. Wajah-wajah dari berbagai penjuru dunia muncul melalui jaringan video terenkripsi—pengacara HAM internasional, jaksa dari Eresia dan Valmora, perwakilan Interpol, serta penasihat hukum dari Mahkamah Internasional.Jasmine duduk di kursi utama. Ia mengenakan setelan hitam dengan rambut dikuncir rapi. Di sampingnya, Kiara dan Evan menatap layar dengan mata yang tak berkedip.“Langkah ini tidak hanya historis,” ujar Kiara, “tapi juga berisiko tinggi. Begitu nama Leonhart diajukan ke Mahkamah Internasional, ia akan diperlakukan sebagai penjahat kelas berat. Dan itu bisa memicu tindakan terakhir dari jaringannya.”Jasmine mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita tidak lagi bicara tentang pencucian uang atau sabotase korporat. Kita bicara tentang konspirasi pembunuhan, pelanggaran HAM, dan ancaman terhadap stab