Jhon tak langsung menanggapi. Dia nampak berpikir keras, sebelum mulutnya yang berharga, terbuka. "July, aku tak pernah menyalahkanmu. Aku bahkan memujimu di depan Vivienne. Kau dengar sendiri tadi."
"Oh, tak pernah? Jadi apa maksudmu memintaku membujuk anak-anak agar bersikap baik sama mantan istrimu? Kau tahu apa cerita wali kelas Jill padaku?""Katakan?""Beliau bilang, Jill selalu murung setiap kali Vivienne datang kemari."Bila seorang anak membenci ibu tiri mereka adalah hal lumrah, maka agak sukar menemukan anak yang tidak menyukai ibu kandungnya.Kenyataan bahwa Vivienne mengalami nasib demikian, membuat Jhon terpekur lama."Katakan, apa lagi yang diceritakan wali kelasnya?"Terlalu malas meladeni ucapan sang suami, Julia menceritakan segalanya secara singkat.Entah apapun isi hati Jhon setelahnya, yang jelas dia tak lagi punya beban moral terhadap Jill."Jadi Jhon, kuharap kau mengevaluasiSeminggu berselang, keluarga Westwood berangkat ke Hawaii untuk liburan pertama mereka. Berhubung akan mengunjungi pantai yang indah, kedua bocah sangat antusias. Mereka tiba di sana ketika hari mulai senja. Semburat jingga masih nampak di kaki langit. "Wow! Indah sekali." Si bungsu Jill berseru nyaring dengan ekspresi bahagia gadis kecil nan polos. Senyuman ini membuat Jhon mencubit gemas pipi sang putri. Akibatnya, Jill melayangkan protes keras. "Papa, aku bukan anak kecil lagi.""Sampai tua pun, kau tetap gadis kecil Papa."Kesal dengan kelakuan ayahnya, gadis kecil itu mengadu pada manusia terkuat di rumah mereka. "Aunty, lihat Papa. Dia bersikap kekanakan."Julia yang tengah membersihkan halaman, terpaksa menghentikan kegiatannya lalu ikut nimbrung dalam pertengkaran main-main pasangan ayah dan anak. Sementara itu, Jim yang sudah tak sabaran, mulai mempersiapkan alat memancing di bagian belakang bangun
Keesokan harinya, Julia bangun penuh semangat. Ini perayaan natal pertamanya dengan keluarga Westwood. "Aunty, aku dan Jim akan membantumu menghias pohon natal," tawar JillJhon yang kebetulan baru bangun, ikut menimpali. "Bagaimana dengan Papa?""Kau urus saja semua yang berkaitan dengan pertukangan." Julia memberi perintah.Jadi, dengan semua tugas sudah terbagi, keluarga Westwood sibuk benar pagi itu. Perempuan paruh baya yang datang untuk membersihkan cottage, sampai kebingungan. "Nyonya Westwood, keluarga Anda sangat kompak," ujarnya. Pujian ini bikin senyum lebar terbit di wajah Julia. Dirinya benar-benar merasa utuh. "Ya, meski anak-anak terkadang usil, mereka sebenarnya sangat baik."Perempuan itu ikut tersenyum. Matanya yang bulat menatap sekeliling, sebelum bertanya dengan nada penuh konspirasi. "Maaf, kalau aku lancang. Seingatku, nyonya Westwood adalah perempuan cantik dengan tubuh jangkung dan k
Julia tak kuasa lagi mendengar sisa pembicaraan mantan suami istri tersebut. Tangannya membekap mulut rapat-rapat agar isaknya tak terdengar. Betapa tega mereka membicarakannya seperti itu. Jhon suka bersamanya gara-gara perkara ranjang sedangkan Vivienne memandangnya bagai kotoran. Senista itukah dia? Sepanjang malam dia tak bisa tidur memikirkan semua tindakan suaminya. Diam-diam, dia mengambil keputusan nekat. Besok paginya ketika bangun, hal pertama yang dia cari adalah wanita paruh baya yang membersihkan cottage mereka semalam. "Ma'am, dimana aku bisa menemukan kapal tercepat ke Honolulu?" tanyanya"Akan ada kapal yang berangkat lima menit lagi. Tapi, buat apa Anda ke sana?""Jhon memintaku membeli sesuatu."Wanita tua itu tampak berpikir, sebelum melanjutkan, "apakah yang mau Anda beli ini untuk keperluan nyonya yang baru datang tadi malam?"Tangan Julia mengepal. Seluruh dunia mengejeknya te
Mendengar kata-katanya, pria yang menyiapkan alat, menjatuhkan pisau dari tangan. "Apa kau bilang?" ujarnya kaget. "Westwood? Maksudmu, keluarga pengacara?"Julia menatapnya sinis. Kini, dengan tetesan darah di sudut bibir, ditambah mata yang memerah, dia seperti ratu yang akan bangkit untuk pembalasan. "Memangnya ada berapa Westwood di Manhattan, hmph?"Supir taksi menatap Jose tak berdaya. "Kau bilang dia hanya perempuan yatim yang tak punya apa-apa. Kenapa ada hubungannya dengan Westwood?""Sial!" Jose menendang tulang kering Julia sekali lagi, sebelum menoleh pada partner kerjanya. "Apa yang kau takutkan? Pelacur ini hanya mainan bedebah itu. Dia tak berharga apa-apa.""Mainan atau bukan, hanya dia yang tahu." Pria bertampang sangar itu menoleh pada Julia. "Kalian punya sertipikat perkawinan, Lass?"Julia meludah ke lantai. "Cek saja di situs kota."Pria itu mulai gelagapan, sepertinya percaya be
Dalam keputus-asaan, Jose makin menggila. Dia membanting berbagai benda membabi-buta, hingga sebagian pecahannya mengenai muka Julia. Demi keselamatan, Julia bergeming, mengabaikan segenap rasa sakit yang mendera tubuhnya. Sepertinya polisi di luar sana mulai meringsek maju, sebab bunyi pengeras suara makin dekat."Siapa pun yang di dalam sana, menyerahlah! Tempat ini sudah dikepung. Jangan harap bisa lari."Seperti orang tuli, Jose mengabaikan segalanya dan malah duduk sambil menenggak sisa minuman.Sementara itu, lewat sedikit kesadaran yang masih tersisa, Julia bisa mendengar mantannya itu bergumam lirih. "Hah, akhirnya kita berdua akan mati July. Kita berdua akan sama-sama di neraka, hahahah..."Usai bergumam demikian, Julia mendengar bunyi pelatuk pistol yang ditarik. Sepertinya, Jose yang keji berniat bunuh diri. Apakah dia akan membiarkan hal ini terjadi? Tentu saja tidak! Lagi pula, pelajar
Rahang Jhon mengeras. Murka tergambar jelas di mukanya. "July, kau pikir pernikahan kita main-main?"Sang istri menyeringai sinis. "Lantas kalau bukan main-main, apa namanya? Jangankan upacara, cincin saja pun tak ada."Jhon menatap tak berdaya. Selama ini dia berpikir kalau Julia tak mempersoalkan semua itu. Ternyata, dia salah besar. Julia tak berbeda dengan yang lain. Dangkal dan suka drama. "Baiklah kalau itu maumu. Aku pergi dulu."Begitu daun pintu tertutup, barulah Julia merasakan kekosongan yang sakit. Seperti ada bagian dari hatinya yang tercabut. Sementara itu, tak jauh berbeda dengan istrinya, Jhon juga amat frustasi. Untuk pertama kali, dia mengemudi ugal-ugalan sampai mobil yang di belakangnya mulai membunyikan klakson berkali-kali. Tak ingin jadi korban kecerobohannya, dia menepi lalu mematikan mesin mobil. Setelahnya, menelepon seseorang yang bisa meringankan sedikit luka di hatinya.
Sementara itu, hari berjalan sangat lambat bagi Julia. Selama dirawat, dia hanya menatap langit kota yang mendung lewat jendela kamar, pada waktu senggang. Pikirannya makin was-was tatkala mengingat hubungan asmara yang kandas begitu saja setelah pertaruhan besar. Diam-diam, dia jadi meragukan keputusannya. Apakah ada yang salah dengan caranya bersikap hingga Jhon pergi begitu saja? Apakah hubungan yang kandas ini terkait dengan rasa ragu yang selalu menghimpit hidupnya? "Hai Sweety, kenapa melamun terus? Setiap kali aku datang, kau pasti sedang menatap ke luar sana."Julia memalingkan muka dan matanya bersitatap dengan Luke. Pria tampan itu datang dengan sebuket besar bunga. Setelah itu, cekatan dia mengganti bunga yang di vas, lalu mengupas sebiji jeruk sunkist dan menyuapkannya pada Julia. "Aku bisa makan sendiri," ujar Julia berusaha meraih piring namun harus meringis lantaran pedih di tangannya. "Makanya janga
"Aku sudah terlalu lama di sini. Bosan betul hanya melihat tembok rumah sakit."Luke menatap skeptis. "Benarkah? Bukan karena biaya, kan?"Julia tersipu. Terkadang keterus-terangan Luke membuatnya takut. Ada orang yang tak ingin terlihat miskin meski sebenarnya sangat miskin. "Tentu saja tak kupikirkan soal biaya ketika ada yang mau membayarnya.""Maksudmu?""Yah, semua biaya rumah sakitku yang ratusan ribu dolar sudah dilunasi."Luke mengumpat pelan di bawah nafasnya. Tindakan ini bikin Julia bingung. "Kenapa kesal? Bukannya bagus kalau semua sudah dibayar?""Ehm, ya memang bagus. Hanya saja bukan aku yang membayarnya."Entah Julia harus tertawa atau marah. Tingkah Luke persis bocah yang mainannya direbut. "Sudahlah, masih banyak orang lain yang layak menerima kebaikanmu. Kalau begitu, bisa kita berangkat sekarang?""Tentu saja."Mereka berkendara beberapa saat lamanya hin
Sontak semua mata mengarah ke pintu, dan Julia nyaris pingsan. Dia tak mungkin salah, tak mungkin silap sebab di kamar ayahnya foto calon anggota baru tersebut masih terpajang rapi. Bagaimana mungkin ibu kandungnya, Saoirse McGregor ada di sini? Ketika akhirnya wanita itu ikut bergabung, mata birunya yang cerah langsung bersirobok dengan netra gelap Julia. Dan bila Julia masih seperti orang linglung, wanita tersebut bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. "Hai semua, aku Saoirse, kalian boleh memanggilku Sasha," sapanya manja dan ceria. Sejak dulu ibunya memang agak centil. Suara dan postur tubuhnya yang mungil, menunjang tabiatnya ini. Hingga sekarang, Julia masih mengingatnya. Meski guratan tipis mulai tampak di wajah, Saoirse tetap berlagak seperti sosok perempuan muda, sebagaimana yang terekam dalam ingatan Julia. Hal ini menimbulkan cibiran dari beberapa perempuan aristokrat yang seumur hidup terbias
Sejak perdebatan dengan Jhon malam itu, suasana dingin kembali menyelimuti mansion Westwood. Julia memilih menjaga jarak dengan suaminya. Kalau bukan karena kasus penangkapan mafia yang melibatkan keluarga Antonietti, mungkin dia sudah pindah sekarang juga. Hari ini, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Julia bergegas ke rumah. Istirahat dan membaca buku yang dikirim Rebecca, sebab siang nanti akan ada pertemuan klub baca buku. "July, kau ada acara hari ini?"Suara Jhon di ambang pintu berhasil mengalihkan matanya dari halaman buku. "Ya, kenapa?"Alih-alih menyahut, Jhon malah menghampirinya. "Adakah tempat yang ingin kau kunjungi?""Tak ada. Aku sedang sibuk, tak sempat kemana-mana."Jhon mengangguk paham. "Besok jadwal sidang terakhir Jose."Untuk sesaat, Julia berhenti membaca deretan huruf di depannya. Nyaris dua bulan tak mendengar nama yang pernah menggores kenangan manis dan kengerian dalam hidupny
"Kau mau merokok, July?" ujar Vivienne tiba-tiba Memikirkan betapa besar kemarahan wanita ini tadi, sebelum menampilkan keramahan yang terasa palsu, membuat Julia tak ragu lagi bila Vivienne adalah psikopat yang sebenarnya. Tak punya rasa takut, perasaan yang sukar ditebak, serta standar nilai moral yang kacau. "Tidak, aku tak biasa merokok," tolaknya. "Hmph, dasar perempuan naif." Vivienne melanjutkan kegiatannya seraya meniup-niup asap rokok dalam lingkaran besar. Aromanya segera memenuhi ruangan, bikin Julia mulai tak nyaman. "Kau tahu, Chayenne suka sekali merokok sembunyi-sembunyi tetapi karena orang tua kami tak tahu, mereka selalu berpikir bahwa dia gadis polos." "Karena sangat membencinya, mengapa kau tak cerita?" Vivienne memadamkan puntung rokok di asbak. "Kau pikir mereka percaya? Seperti yang kau bilang, aku cuma pecundang, hahahaha..."
Keheningan membeku di udara, sebelum Vivienne akhirnya terbahak-bahak. Matanya sampai berair akibat gelak yang hebat. "Ternyata kau punya bakat melawak. Menurutmu, Jhon bisa ditipu dengan mudah?" ujarnya kemudian. Tampilan Vivienne yang begitu meyakinkan, tidak membuat hati Julia gentar. Bertaruh atas keyakinan, dia mengemukakan dugaannya. "Tentu saja Jhon tak mudah ditipu, kecuali bila kau punya stuntman luar biasa, seperti... saudara kembar yang sudah mati misalnya."Ekspresi geli di muka Vivienne langsung lenyap. "Apa maksudmu?""Bahwa yang menolong Jhon adalah Chayenne, bukan kau."Secepat kilat Vivienne maju, hendak menerjang lawannya. Akan tetapi Julia yang sudah sering berlatih bela diri bersama Tim, lebih dulu mengelak. Tubuh rampingnya meliuk ke samping hingga tangan Vivienne mengenai udara kosong. "Kenapa kau marah ketika aku menyebutkan fakta?" ujarnya seraya merapikan rambut yang tergerai. "Aku
Julia bingung mau ketawa atau marah. Singa betina? Apa segarang itu mukanya saat menantang para nyonya tadi? Dia memundurkan tubuh hingga jarak mereka makin lebar. Aroma Jhon yang tercium samar-samar adalah godaan yang jahat. "Kau berlebihan, Jhon. Aku cuma membalas kata-kata mereka.""Memang. Sebab itulah kau terlihat sangat cantik malam ini. Semata-mata bukan karena apa yang kau pakai, tetapi kepercayaan diri yang terpancar dari wajahmu.Kurasa, itu juga yang membuat Rebecca berniat mengenalmu."Sebagian diri Julia mengamini kata-kata Jhon.Waktu percakapannya dengan Rebecca tadi, terlihat benar bila wanita itu sudi memanggilnya karena berani mendebat para nyonya kaya. Kalau saja dia tetap diam, mungkin Rebecca tak akan sudi mengenalnya. Julia tengah hanyut dengan pikirannya ketika mobil berhenti di depan mansion. "Baiklah, kita sudah sampai Jhon. Selamat malam dan terima kasih buat gaunnya."Usai mengatak
Nostalgia adalah hal menyenangkan bila yang diingat kenangan indah. Demikian pula yang terjadi pada Rebecca. Sembari menerawang jauh, matanya dipenuhi sinar teduh. "Sebastian dan aku sangat dekat, bahkan banyak orang berpikir suatu saat nanti kami akan menikah."Rebecca memulai ceritanya. Matanya yang sewarna zamrud menatap Julia lekat-lekat. "Dan memang begitulah adanya. Siapa sangka, dia malah jatuh cinta dan menikah dengan ibumu. Gara-gara patah hati, aku akhirnya kabur ke New York."Sungguh Julia bingung harus menanggapi cerita ini seperti apa. Ayahnya adalah pria tak beruntung. Melepas wanita yang mencintainya, lalu menikah dengan dia yang meninggalkannya. "Pada akhirnya, kau bernasib lebih baik dari Papa," cetus Julia sendu. "Ya, tentu saja. Suamiku sangat tergila-gila padaku, makanya perkawinan kami awet sampai sekarang."Amy yang duduk di sebelah Rebecca menambahkan, "tak hanya tergila, dia juga mengizinkanmu menguasai
Sontak semuanya bungkam.Di tengah keheningan ini, Julia segera beranjak. Baru satu langkah berjalan, hal mengejutkan terjadi lagi. "Prok, prok, prok!"Tepukan nyaring membuat langkahnya berhenti. Dia menoleh ke belakang, dan melihat bahwa pelakunya adalah perempuan yang sejak tadi duduk tenang. Pada saat dia kebingungan, wanita itu kembali berkata, "impressive! Nyonya Westwood ternyata lebih menarik dari yang kukira. Kalau tak keberatan, kau boleh duduk di sini."Ketika perempuan lain saling tatap, Julia melangkah menuju perempuan asing tersebut. Meski belum bertegur sapa, firasatnya bilang jika yang satu ini tidak bermaksud jahat. "Kenalkan, aku Rebecca Wilson," ujar wanita itu lalu menoleh pada teman di sebelahnya. "Sedangkan dia Emy Warren."Setelah menjabat mereka bergantian, Julia pun duduk di hadapan Rebecca. Samar-samar otaknya mulai mengingat nama ini. Bukankah penerbit yang menerima bukunya adalah Wilson Pub
Jhon menatap curiga, setidaknya itu yang dirasakan Julia. "Kenapa harus kuizinkan? Memangnya ada yang salah kalau dia mengekoriku?"Pengacara perempuan itu tergelak kecil. "Oh, ayolah Jhon. Bukan zamannya lagi kami, wanita harus mengekor di belakang kalian, iya kan Julia?"Sekarang, ketika namanya pun terseret, mau tak mau Julia harus terjun ke arena. Menilik dari rupa si pengacara, sepertinya ada niat terselubung. Meski sejak tadi terselip senyum lebar di wajah itu, namun tak ada kehangatan di sana. Sebaliknya, tercium aroma persekongkolan. Akan tetapi, sampai kapan dia harus berlindung di belakang Jhon? Jika terus begini, para wanita kalangan atas, akan terus meremehkannya. "Tentu saja itu benar." Julia menyahut mantap. "Jhon, kau pergilah dengan teman-temanmu. Biarkan para wanita memiliki acara sendiri.""Kau yakin?" Kekhawatiran Jhon tergambar jelas lewat tatapan matanya. "Sangat yakin. Tak mu
Jika dibilang Jhon tak terpengaruh suasana, jelas bohong besar. Sudah lama sejak terakhir kali dirinya merasakan kehangatan Julia. Akan tetapi, sebagai manusia waras, dia juga sadar bahwa sekarang bukan saat yang tepat memikirkan hal primitif. Maka dari itu, perlahan dia menjauhkan tubuh Julia hingga kedua pasang netra mereka saling tatap. "Tak apa, Sayang. Itu sudah jadi tugasku sebagai suami. Aku bangga bisa berbuat sesuatu untukmu."Mereka saling tatap sejenak, sebelum Jhon kembali menambahkan, "sebenarnya... aku juga punya permintaan. Tetapi kau boleh menolak kalau tak nyaman.""Katakan.""Lusa ada pertemuan para pengacara dan entah orang tolol mana yang kasih gagasan bahwa kami semua harus datang ... berpasangan."Terdengar sederhana, namun menimbulkan masalah dalam situasi mereka sekarang. Walau secara teknis, masih berstatus suami istri, pembicaraan untuk cerai sudah sempat keluar. Lagi pula, Julia masih trauma