Keesokan harinya, Julia bangun penuh semangat. Ini perayaan natal pertamanya dengan keluarga Westwood.
"Aunty, aku dan Jim akan membantumu menghias pohon natal," tawar JillJhon yang kebetulan baru bangun, ikut menimpali. "Bagaimana dengan Papa?""Kau urus saja semua yang berkaitan dengan pertukangan." Julia memberi perintah.Jadi, dengan semua tugas sudah terbagi, keluarga Westwood sibuk benar pagi itu. Perempuan paruh baya yang datang untuk membersihkan cottage, sampai kebingungan."Nyonya Westwood, keluarga Anda sangat kompak," ujarnya.Pujian ini bikin senyum lebar terbit di wajah Julia. Dirinya benar-benar merasa utuh."Ya, meski anak-anak terkadang usil, mereka sebenarnya sangat baik."Perempuan itu ikut tersenyum. Matanya yang bulat menatap sekeliling, sebelum bertanya dengan nada penuh konspirasi. "Maaf, kalau aku lancang. Seingatku, nyonya Westwood adalah perempuan cantik dengan tubuh jangkung dan kJulia tak kuasa lagi mendengar sisa pembicaraan mantan suami istri tersebut. Tangannya membekap mulut rapat-rapat agar isaknya tak terdengar. Betapa tega mereka membicarakannya seperti itu. Jhon suka bersamanya gara-gara perkara ranjang sedangkan Vivienne memandangnya bagai kotoran. Senista itukah dia? Sepanjang malam dia tak bisa tidur memikirkan semua tindakan suaminya. Diam-diam, dia mengambil keputusan nekat. Besok paginya ketika bangun, hal pertama yang dia cari adalah wanita paruh baya yang membersihkan cottage mereka semalam. "Ma'am, dimana aku bisa menemukan kapal tercepat ke Honolulu?" tanyanya"Akan ada kapal yang berangkat lima menit lagi. Tapi, buat apa Anda ke sana?""Jhon memintaku membeli sesuatu."Wanita tua itu tampak berpikir, sebelum melanjutkan, "apakah yang mau Anda beli ini untuk keperluan nyonya yang baru datang tadi malam?"Tangan Julia mengepal. Seluruh dunia mengejeknya te
Mendengar kata-katanya, pria yang menyiapkan alat, menjatuhkan pisau dari tangan. "Apa kau bilang?" ujarnya kaget. "Westwood? Maksudmu, keluarga pengacara?"Julia menatapnya sinis. Kini, dengan tetesan darah di sudut bibir, ditambah mata yang memerah, dia seperti ratu yang akan bangkit untuk pembalasan. "Memangnya ada berapa Westwood di Manhattan, hmph?"Supir taksi menatap Jose tak berdaya. "Kau bilang dia hanya perempuan yatim yang tak punya apa-apa. Kenapa ada hubungannya dengan Westwood?""Sial!" Jose menendang tulang kering Julia sekali lagi, sebelum menoleh pada partner kerjanya. "Apa yang kau takutkan? Pelacur ini hanya mainan bedebah itu. Dia tak berharga apa-apa.""Mainan atau bukan, hanya dia yang tahu." Pria bertampang sangar itu menoleh pada Julia. "Kalian punya sertipikat perkawinan, Lass?"Julia meludah ke lantai. "Cek saja di situs kota."Pria itu mulai gelagapan, sepertinya percaya be
Dalam keputus-asaan, Jose makin menggila. Dia membanting berbagai benda membabi-buta, hingga sebagian pecahannya mengenai muka Julia. Demi keselamatan, Julia bergeming, mengabaikan segenap rasa sakit yang mendera tubuhnya. Sepertinya polisi di luar sana mulai meringsek maju, sebab bunyi pengeras suara makin dekat."Siapa pun yang di dalam sana, menyerahlah! Tempat ini sudah dikepung. Jangan harap bisa lari."Seperti orang tuli, Jose mengabaikan segalanya dan malah duduk sambil menenggak sisa minuman.Sementara itu, lewat sedikit kesadaran yang masih tersisa, Julia bisa mendengar mantannya itu bergumam lirih. "Hah, akhirnya kita berdua akan mati July. Kita berdua akan sama-sama di neraka, hahahah..."Usai bergumam demikian, Julia mendengar bunyi pelatuk pistol yang ditarik. Sepertinya, Jose yang keji berniat bunuh diri. Apakah dia akan membiarkan hal ini terjadi? Tentu saja tidak! Lagi pula, pelajar
Rahang Jhon mengeras. Murka tergambar jelas di mukanya. "July, kau pikir pernikahan kita main-main?"Sang istri menyeringai sinis. "Lantas kalau bukan main-main, apa namanya? Jangankan upacara, cincin saja pun tak ada."Jhon menatap tak berdaya. Selama ini dia berpikir kalau Julia tak mempersoalkan semua itu. Ternyata, dia salah besar. Julia tak berbeda dengan yang lain. Dangkal dan suka drama. "Baiklah kalau itu maumu. Aku pergi dulu."Begitu daun pintu tertutup, barulah Julia merasakan kekosongan yang sakit. Seperti ada bagian dari hatinya yang tercabut. Sementara itu, tak jauh berbeda dengan istrinya, Jhon juga amat frustasi. Untuk pertama kali, dia mengemudi ugal-ugalan sampai mobil yang di belakangnya mulai membunyikan klakson berkali-kali. Tak ingin jadi korban kecerobohannya, dia menepi lalu mematikan mesin mobil. Setelahnya, menelepon seseorang yang bisa meringankan sedikit luka di hatinya.
Sementara itu, hari berjalan sangat lambat bagi Julia. Selama dirawat, dia hanya menatap langit kota yang mendung lewat jendela kamar, pada waktu senggang. Pikirannya makin was-was tatkala mengingat hubungan asmara yang kandas begitu saja setelah pertaruhan besar. Diam-diam, dia jadi meragukan keputusannya. Apakah ada yang salah dengan caranya bersikap hingga Jhon pergi begitu saja? Apakah hubungan yang kandas ini terkait dengan rasa ragu yang selalu menghimpit hidupnya? "Hai Sweety, kenapa melamun terus? Setiap kali aku datang, kau pasti sedang menatap ke luar sana."Julia memalingkan muka dan matanya bersitatap dengan Luke. Pria tampan itu datang dengan sebuket besar bunga. Setelah itu, cekatan dia mengganti bunga yang di vas, lalu mengupas sebiji jeruk sunkist dan menyuapkannya pada Julia. "Aku bisa makan sendiri," ujar Julia berusaha meraih piring namun harus meringis lantaran pedih di tangannya. "Makanya janga
"Aku sudah terlalu lama di sini. Bosan betul hanya melihat tembok rumah sakit."Luke menatap skeptis. "Benarkah? Bukan karena biaya, kan?"Julia tersipu. Terkadang keterus-terangan Luke membuatnya takut. Ada orang yang tak ingin terlihat miskin meski sebenarnya sangat miskin. "Tentu saja tak kupikirkan soal biaya ketika ada yang mau membayarnya.""Maksudmu?""Yah, semua biaya rumah sakitku yang ratusan ribu dolar sudah dilunasi."Luke mengumpat pelan di bawah nafasnya. Tindakan ini bikin Julia bingung. "Kenapa kesal? Bukannya bagus kalau semua sudah dibayar?""Ehm, ya memang bagus. Hanya saja bukan aku yang membayarnya."Entah Julia harus tertawa atau marah. Tingkah Luke persis bocah yang mainannya direbut. "Sudahlah, masih banyak orang lain yang layak menerima kebaikanmu. Kalau begitu, bisa kita berangkat sekarang?""Tentu saja."Mereka berkendara beberapa saat lamanya hin
Wilayah Pantai Timur Tengah diguncang oleh kabar penggeledahan bisnis keluarga Antonietti. Selain itu, putra sang Don, Mateo Antonietti juga ditangkap ketika sedang pesta narkoba bersama rekan-rekannya. Menyusul berita penangkapan, bukti-bukti kejahatan keluarga Antonietti yang selama ini terkubur rapat-rapat mulai muncul ke permukaan. "Akhirnya, orang-orang jahat tumbang juga," gumam Julia saat mendengar penggalan berita lewat TV di kantin kampus. "Ya, kurasa sesuatu yang besar sedang terjadi dibalik layar. Kalau tidak, mana mungkin keluarga mereka ditangkap," cetus Luke. "Entahlah, yang jelas aku senang kalau orang-orang jahat dapat ganjaran."Luke cuma mengangguk. Julia kembali fokus melanjutkan makannya seraya menonton TV. Sudah seminggu dia tinggal di sebuah kontrakan dekat kampus, dan selama itu pula tak bertemu anak-anak. Tak kuat menahan rindu, dia sering berjalan-jalan dengan Luke, walau cuma ke tempat umum: kampus,
Julia terbelalak, terlalu kaget untuk bicara. Sebagian dirinya ingin segera berlari ke pelukan John, mengatakan betapa dirinya sangat rindu kembali ke mansion. Akan tetapi, sebagian lain menolak gagasan ini. Tak seharusnya dia bersikap terlalu murah sesudah semua perlakuan Jhon, kan?"Aku tak bisa," ujarnya memaksakan suara terdengar lebih tegas dari biasa. Jhon tak nampak kaget. Sepertinya, dia sudah menduga reaksi ini. "Tapi kau tak aman di luar. Keadaan tak baik. Pihak keamanan sedang bentrok dengan para mafia.""Apa urusannya denganku?"Rasa frustasi mulai menggerogoti Jhon. Bagaimana cara mengatakan pada istrinya bila dia terlibat dengan mafia gara-gara Jose? "Aku pernah punya masalah dengan mereka. Orang-orang jahat itu tak akan melepas siapa pun yang dekat denganku.""Tapi kita tak dekat, lagipula... sudah mau cerai."Kata singkat yang menyakitkan ini memukul perasaan Jhon telak. Ba
Lima tahun kemudianJulia duduk santai di tepi danau. Matanya tak luput memandang suami dan kedua anaknya yang sedang naik perahu di tengah sana. Cahaya mentari memantul indah, membuat permukaan air seperti permata yang berkilauan. "Mom, lihat! Aku bisa mengayuh."Seruan si bungsu Jill membuat senyum lebar terbit di wajahnya. Ya, beberapa tahun terakhir, si kembar memutuskan untuk memanggilnya Mommy, sementara Vivienne mereka panggil Mother. Hal ini bikin hidup Julia terasa lengkap. Dia bisa saja kehilangan dua anak, tetapi dia mendapat dua anak juga sebagai gantinya. "Mom, aku jauh lebih kuat dari pada Jim." Seruan si bungsu terdengar lagi.Julia balas melambai sembari meneriakkan kata-kata penyemangat. Saat perahu makin jauh berlayar, barulah dia melirik pesan yang sudah sejak tadi singgah di gawainya. Pengirim pesan ini adalah Luke. [Dear July, aku bangga dengan pencapaianmu. Kulihat beberapa bukumu mas
Besok paginya, setelah memutuskan dengan penuh pertimbangan, Julia berangkat bersama Jhon. Saat akan naik ke mobil, Olivia tak hentinya menangis seraya berpesan. "Kalau suatu saat nanti hidupmu tak baik-baik saja, kembalilah kemari. Bibi akan selalu menerima."Tak ada yang bisa diucapkannya selain memeluk Olivia lebih erat. Setelah keduanya selesai melepas haru, Jhon pun pamit pada Olivia. "Kami pergi dulu. Di masa mendatang, kami akan berkunjung lagi."Usai berpamitan, mobil pun menderu, meninggalkan rumah pertanian semakin jauh. Julia terus menoleh ke belakang, hingga rumah tempatnya lahir dan menghabiskan masa muda, lenyap dari pandangan. "Kau sedih, Sayang?" tukas Jhon. "Sedikit. Bagaimana pun, aku sudah sebulan tinggal di sana.""Kapan-kapan kita kemari lagi."Jauh dalam hatinya, Julia tahu bahwa janji ini sulit ditepati. Begitu kembali ke Manhattan, sudah pasti Jhon akan kembali jadi robot gila kerja.
Sudah lewat waktunya makan siang saat mereka sampai di sana. Suasana agak gelap karena tempat yang mereka datangi tertutup pepohonan besar. "Jadi, tempat ini yang kau maksud?" tanya Jhon seraya memandang sekelilingnya takjub. "Tentu saja. Waktu kecil, aku sering bersembunyi di sini agar tak disuruh mencuci piring."Dengan gesit, Julia masuk ke dalam celah bebatuan tersembunyi, lalu duduk pada ceruk yang dalam. Tak butuh waktu lama bagi Jhon menyusul sang istri. Pria itu langsung duduk di sisi Julia dan melanjutkan asmara yang sempat terjeda. Api kerinduan membuat keduanya terbakar gairah. Beberapa saat berselang, ketika mereka terbaring bersimbah peluh, barulah hasrat yang menggelora itu padam. "Terima kasih, Sayang." Jhon berbisik lembut seraya mengecup kening istrinya. Perlakuan yang begitu manis membuat Julia makin larut dalam dekapan Jhon. Hari ini, dia mempertaruhkan segenap keyakinan demi bisa mereg
Kata-kata bibinya tempo hari masih terngiang di benak Julia. Meski demikian, hatinya masih dilema, antara kembali ke Manhattan atau menetap di tanah kelahiran. Saat ini, dia sedang serius menekuni laptopnya, namun jumlah kata yang diketik pada jendela aplikasi, tak bertambah satu huruf pun. Alih-alih berpikir, dia malah sibuk berandai-andai, bagaimana jadinya jika dia tak bersama Jhon lagi untuk selamanya. Dia menarik nafas kesekian kali, dalam upaya sia-sia untuk mengumpulkan niat menulis. Tetapi, belum sempat terlaksana, deru halus mobil terdengar di pekarangan rumah, diikuti Ketukan pada daun pintu sejurus kemudian. "Siapa?!" serunya seraya beranjak dari duduknya. Orang asing yang berdiri di balik sana tidak menyahut. Hal ini bikin Julia was-was, sebab bukan cuma sekali dia nyaris mati dalam percobaan pembunuhan. "Siapa di sana?" ujarnya lagi. Kali ini lebih keras dari yang tadi. Ketika tamu tak diundang ini bu
"Papa, aku datang hari ini... ."Tangis Julia tak bisa dibendung saat berkunjung ke pusara laki-laki yang sangat dia kasihi. Pada nisan yang usang, tertulis nama Sebastian Hernandez beserta tahun kelahiran dan kematian. Sedangkan di baris paling akhir tertera kutipan ayat kitab suci : Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjianNya dan peringatan-peringatanNyaJulia tersenyum getir. Menjelang kematiannya, Sebastian memang kerap menyendiri di kamar, mengerjakan entah apa. Dan saat ajalnya tiba, Julia hanya menemukan tubuh yang terbujur beserta ayat yang ditandai dengan stabilo kuning pada kitab yang terbuka di sebelah tubuh kaku sang ayah. Apakah ayahnya tidak berpegang pada perintahNya sehingga Dia tidak menunjukkan belas kasihan? Pertanyaan ini berputar-putar di benak Julia untuk waktu yang lama, tetapi hingga detik ini dia belum menemukan jawaban. "Ah, Papa." Dia be
Dua pasang mata saling tatap, mencoba menyelami pikiran masing-masing. Sudah sepuluh menit berlalu, namun belum ada yang mulai bicara. Saat keheningan makin canggung, Jhon akhirnya menyerah. "July... kau sudah makan?"Dari begitu banyak kalimat yang mau diucapkan, yang keluar justru yang paling garing. Jhon langsung menyesal begitu mengatakannya. "Sudah."Hatinya melonjak girang saat Julia menyahut. Walau bukan jawaban paling ramah, setidaknya sudah mau bicara. Harap-harap cemas, Jhon melanjutkan lagi. "Kau mau keluar? Udara segar bisa bikin kesehatanmu cepat pulih."Julia tak mengangguk, tetapi bahasa tubuhnya menunjukkan bila dia tak keberatan. Jhon bergegas melepas selang dari kantung cairan infus, lalu memapah Julia ke atas kursi roda. Hatinya sakit saat menyadari betapa ringkih badan istrinya. Sudah memasuki musim gugur, namun udara di luar masih agak dingin. Jhon melepas coat panjangnya, lal
Jhon membuang nafas berkali-kali. Sudah seminggu Julia tak mau bicara. Setiap kali dia datang, istrinya cuma diam lalu memalingkan wajah. Sebagai pria, Jhon tak keberatan jika istrinya marah atau bahkan memukulnya. Tetapi sikap diam adalah sesuatu yang tak bisa dia pahami. "Kau punya pacar, Tim?"Pria muda yang tengah merapikan beberapa berkas itu terperangah. Tak biasanya sang atasan membahas masalah pribadi. "Punya, Mr Westwood.""Kalau begitu, apa yang kau lakukan saat dia marah?" selidik Jhon terang-terangan. Kegiatan merapikan berkas jadi terhenti. Tim menatap bos-nya serius. "Anda bertengkar dengan nyonya Westwood?""Jawab saja pertanyaanku.""Biasanya aku membujuknya. Kalau tak berhasil juga, kudiamkan saja beberapa saat. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir."Meski tak menyahut, Jhon mencatat penjelasan Tim dalam benaknya. Apakah benar bahwa Julia butuh waktu sendiri? Kalau begit
Sementara itu, Jhon tak kalah panik di mansion. Dia lalu-lalang seperti cacing kepanasan. Tiap sebentar, ponselnya berdering menyampaikan info terbaru pelacakan Julia. Apa yang membuat kepalanya hampir pecah adalah kenyataan bahwa si kembar juga nyaris diculik dari sekolah. Kalau saja pihak keamanan lengah sedikit, Jim dan Jill akan bernasib seperti Julia. "Sudah dapat jejak terakhir GPS-nya?" Dia kembali bicara pada seseorang lewat panggilan telepon. "Sudah, Bos. Sekitar dua kilometer ke arah timur laut.""Baik. Lacak semua kendaraan yang melintas, dan kabari aku kalau sudah dapat titik terangnya."Begitu panggilan usai, Jhon kembali menghubungi nomor lain. Kali ini dia meminta orang tersebut mencari semua gambar yang sempat tertangkap kamera pengawas di sepanjang jalur yang mungkin dilewati Julia. Selanjutnya, dia juga menghubungi orang lain untuk melacak nomor taksi yang ditumpangi Julia siang tadi. Begitu juga dengan mobi
Jhon menatap kejauhan, lewat terali jendela yang terbuka, dia bisa melihat keramaian di bawah sana. Meski raga bersama Julia, pikirannya mengawang entah kemana. "Jhon, kau tak percaya padaku?"Suara Julia terdengar lagi, lebih memelas dari sebelumnya. Jhon sungguh tak tega, dia hendak merengkuhnya dalam dekapan. Namun, sebagian besar dari dirinya menolak. Rasa trauma akibat perbuatan Vivienne, membekas sangat dalam. Sekarang, dia baru sadar bahwa dirinya pun belum lepas sepenuhnya dari bayang-bayang masa lalu. "Akan kuminta Tim mengantarmu. Kurasa kita perlu menenangkan diri," ujarnya lelah. "Tidak, Jhon. Aku tak punya apapun untuk disembunyikan. Aku tak butuh menenangkan diri. Aku butuh kepercayaanmu," sahut Julia keras kepala.Saat melihat Jhon bergeming, akhirnya dia menyerah. Wanita yang tengah hamil empat bulan itu mengambil tas-nya lalu beranjak pergi."Aku naik taksi saja."Dia sengaja berja