Dalam keputus-asaan, Jose makin menggila. Dia membanting berbagai benda membabi-buta, hingga sebagian pecahannya mengenai muka Julia.
Demi keselamatan, Julia bergeming, mengabaikan segenap rasa sakit yang mendera tubuhnya.Sepertinya polisi di luar sana mulai meringsek maju, sebab bunyi pengeras suara makin dekat."Siapa pun yang di dalam sana, menyerahlah! Tempat ini sudah dikepung. Jangan harap bisa lari."Seperti orang tuli, Jose mengabaikan segalanya dan malah duduk sambil menenggak sisa minuman.Sementara itu, lewat sedikit kesadaran yang masih tersisa, Julia bisa mendengar mantannya itu bergumam lirih."Hah, akhirnya kita berdua akan mati July. Kita berdua akan sama-sama di neraka, hahahah..."Usai bergumam demikian, Julia mendengar bunyi pelatuk pistol yang ditarik. Sepertinya, Jose yang keji berniat bunuh diri.Apakah dia akan membiarkan hal ini terjadi? Tentu saja tidak!Lagi pula, pelajarRahang Jhon mengeras. Murka tergambar jelas di mukanya. "July, kau pikir pernikahan kita main-main?"Sang istri menyeringai sinis. "Lantas kalau bukan main-main, apa namanya? Jangankan upacara, cincin saja pun tak ada."Jhon menatap tak berdaya. Selama ini dia berpikir kalau Julia tak mempersoalkan semua itu. Ternyata, dia salah besar. Julia tak berbeda dengan yang lain. Dangkal dan suka drama. "Baiklah kalau itu maumu. Aku pergi dulu."Begitu daun pintu tertutup, barulah Julia merasakan kekosongan yang sakit. Seperti ada bagian dari hatinya yang tercabut. Sementara itu, tak jauh berbeda dengan istrinya, Jhon juga amat frustasi. Untuk pertama kali, dia mengemudi ugal-ugalan sampai mobil yang di belakangnya mulai membunyikan klakson berkali-kali. Tak ingin jadi korban kecerobohannya, dia menepi lalu mematikan mesin mobil. Setelahnya, menelepon seseorang yang bisa meringankan sedikit luka di hatinya.
Sementara itu, hari berjalan sangat lambat bagi Julia. Selama dirawat, dia hanya menatap langit kota yang mendung lewat jendela kamar, pada waktu senggang. Pikirannya makin was-was tatkala mengingat hubungan asmara yang kandas begitu saja setelah pertaruhan besar. Diam-diam, dia jadi meragukan keputusannya. Apakah ada yang salah dengan caranya bersikap hingga Jhon pergi begitu saja? Apakah hubungan yang kandas ini terkait dengan rasa ragu yang selalu menghimpit hidupnya? "Hai Sweety, kenapa melamun terus? Setiap kali aku datang, kau pasti sedang menatap ke luar sana."Julia memalingkan muka dan matanya bersitatap dengan Luke. Pria tampan itu datang dengan sebuket besar bunga. Setelah itu, cekatan dia mengganti bunga yang di vas, lalu mengupas sebiji jeruk sunkist dan menyuapkannya pada Julia. "Aku bisa makan sendiri," ujar Julia berusaha meraih piring namun harus meringis lantaran pedih di tangannya. "Makanya janga
"Aku sudah terlalu lama di sini. Bosan betul hanya melihat tembok rumah sakit."Luke menatap skeptis. "Benarkah? Bukan karena biaya, kan?"Julia tersipu. Terkadang keterus-terangan Luke membuatnya takut. Ada orang yang tak ingin terlihat miskin meski sebenarnya sangat miskin. "Tentu saja tak kupikirkan soal biaya ketika ada yang mau membayarnya.""Maksudmu?""Yah, semua biaya rumah sakitku yang ratusan ribu dolar sudah dilunasi."Luke mengumpat pelan di bawah nafasnya. Tindakan ini bikin Julia bingung. "Kenapa kesal? Bukannya bagus kalau semua sudah dibayar?""Ehm, ya memang bagus. Hanya saja bukan aku yang membayarnya."Entah Julia harus tertawa atau marah. Tingkah Luke persis bocah yang mainannya direbut. "Sudahlah, masih banyak orang lain yang layak menerima kebaikanmu. Kalau begitu, bisa kita berangkat sekarang?""Tentu saja."Mereka berkendara beberapa saat lamanya hin
Wilayah Pantai Timur Tengah diguncang oleh kabar penggeledahan bisnis keluarga Antonietti. Selain itu, putra sang Don, Mateo Antonietti juga ditangkap ketika sedang pesta narkoba bersama rekan-rekannya. Menyusul berita penangkapan, bukti-bukti kejahatan keluarga Antonietti yang selama ini terkubur rapat-rapat mulai muncul ke permukaan. "Akhirnya, orang-orang jahat tumbang juga," gumam Julia saat mendengar penggalan berita lewat TV di kantin kampus. "Ya, kurasa sesuatu yang besar sedang terjadi dibalik layar. Kalau tidak, mana mungkin keluarga mereka ditangkap," cetus Luke. "Entahlah, yang jelas aku senang kalau orang-orang jahat dapat ganjaran."Luke cuma mengangguk. Julia kembali fokus melanjutkan makannya seraya menonton TV. Sudah seminggu dia tinggal di sebuah kontrakan dekat kampus, dan selama itu pula tak bertemu anak-anak. Tak kuat menahan rindu, dia sering berjalan-jalan dengan Luke, walau cuma ke tempat umum: kampus,
Julia terbelalak, terlalu kaget untuk bicara. Sebagian dirinya ingin segera berlari ke pelukan John, mengatakan betapa dirinya sangat rindu kembali ke mansion. Akan tetapi, sebagian lain menolak gagasan ini. Tak seharusnya dia bersikap terlalu murah sesudah semua perlakuan Jhon, kan?"Aku tak bisa," ujarnya memaksakan suara terdengar lebih tegas dari biasa. Jhon tak nampak kaget. Sepertinya, dia sudah menduga reaksi ini. "Tapi kau tak aman di luar. Keadaan tak baik. Pihak keamanan sedang bentrok dengan para mafia.""Apa urusannya denganku?"Rasa frustasi mulai menggerogoti Jhon. Bagaimana cara mengatakan pada istrinya bila dia terlibat dengan mafia gara-gara Jose? "Aku pernah punya masalah dengan mereka. Orang-orang jahat itu tak akan melepas siapa pun yang dekat denganku.""Tapi kita tak dekat, lagipula... sudah mau cerai."Kata singkat yang menyakitkan ini memukul perasaan Jhon telak. Ba
Pertemuan dengan Jhon dan si kembar tak membuat perasaan Julia membaik. Sebaliknya, dia makin gamang menghadapi masa depannya. Sebagai penutup hari yang kelabu, dia menulis sebuah lagi puisi, lalu mengirimnya ke situs seni. Keesokan hari, dia kembali bertemu Luke di salah satu tempat paling populer di Manhattan, Harlem Street. Adapun kunjungan mereka kemari dalam rangka penelitian, terkait budaya Afro-Amerika. "Aku tak terlambat, kan?" ujarnya seraya berjalan tergesa menghampiri rekan kuliahnya. Pria itu tengah duduk santai di salah satu coffee shop. Seorang pria berkulit gelap, yang tampaknya peranakan Afro-Amerika, duduk di depannya. "Mana mungkin seorang ratu datang terlambat, pelayannya saja yang datang kecepatan," kelakar Luke. Julia tersenyum masam. Di telinganya, kalimat ini terdengar seperti sindiran. Demi etika, dia tak memperpanjang masalah dan ikut duduk di sisi Luke. "Bro, kenalkan ini temanku Julia,"
Luke acuh tak acuh, tetap fokus mengamati jalanan di depan sana. "Itu belum seberapa, karena aku mau menunjukkan tempat istimewa," ujarnya sesaat sebelum mendadak belok ke kiri. "Kemana? Sepertinya, tak ada yang terlalu istimewa di sini.""Kau boleh berkomentar kalau sudah sampai di sana."Akhirnya mereka terus menyusuri jalanan, hingga Luke menghentikan mobil di depan sebuah taman hiburan. Sontak Julia menggerutu. "Apa-apaan? Kau pikir aku tak pernah ke taman bermain?"Luke mengedikkan bahu, lalu menyentuh pipi Julia sekilas. "Tentu saja kau pernah. Tapi ini bukan sembarang taman. Ayo ikut aku."Lagi-lagi, Julia cuma bisa menurut dan mengikuti langkah Luke dengan gamang. Sepertinya taman bermain ini sudah terbengkalai, sebab tak tampak aktifitas apapun. Satu-satunya hal yang bikin menarik cuma sebuah rumah-rumahan yang terletak di tengah taman. Dengan sedikit tanaman serta air mancur di sisinya, r
Tim salah tingkah, namun tetap bicara sedatar mungkin. "Sejak Anda pergi, Mr Westwood meminta saya menjaga Anda."Menjaga berarti mematai-matai, kan? Biasanya Julia tak suka dikekang, tetapi tindakan suaminya kali ini, bikin perasaan haru menyeruak dari dalam. "Dasar bodoh," gumamnya tanpa sadar. "Jadi, dimana dia sekarang?""Sebenarnya beliau meminta saya merahasiakan ini, tetapi sebagai istri Anda berhak tahu." Tim mendekat ke arah Julia, dan berucap lirih, "dua hari lalu, beliau ditembak orang tak dikenal. Sekarang sedang istirahat di mansion."Jantung Julia berdegup sangat kencang. Ada yang bilang bahwa sesuatu terasa berharga saat kita kehilangan. Akan tetapi, kenapa mendengar Jhon terluka saja, hatinya sudah sakit? "Bawa aku ke mansion sekarang."Julia yang masih dirasuki berbagai pikiran, segera berkendara bersama Tim. Rasanya, sudah lama sekali dia tak bicara dengan sang penjaga. "Jadi, bag
Sontak semua mata mengarah ke pintu, dan Julia nyaris pingsan. Dia tak mungkin salah, tak mungkin silap sebab di kamar ayahnya foto calon anggota baru tersebut masih terpajang rapi. Bagaimana mungkin ibu kandungnya, Saoirse McGregor ada di sini? Ketika akhirnya wanita itu ikut bergabung, mata birunya yang cerah langsung bersirobok dengan netra gelap Julia. Dan bila Julia masih seperti orang linglung, wanita tersebut bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. "Hai semua, aku Saoirse, kalian boleh memanggilku Sasha," sapanya manja dan ceria. Sejak dulu ibunya memang agak centil. Suara dan postur tubuhnya yang mungil, menunjang tabiatnya ini. Hingga sekarang, Julia masih mengingatnya. Meski guratan tipis mulai tampak di wajah, Saoirse tetap berlagak seperti sosok perempuan muda, sebagaimana yang terekam dalam ingatan Julia. Hal ini menimbulkan cibiran dari beberapa perempuan aristokrat yang seumur hidup terbias
Sejak perdebatan dengan Jhon malam itu, suasana dingin kembali menyelimuti mansion Westwood. Julia memilih menjaga jarak dengan suaminya. Kalau bukan karena kasus penangkapan mafia yang melibatkan keluarga Antonietti, mungkin dia sudah pindah sekarang juga. Hari ini, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Julia bergegas ke rumah. Istirahat dan membaca buku yang dikirim Rebecca, sebab siang nanti akan ada pertemuan klub baca buku. "July, kau ada acara hari ini?"Suara Jhon di ambang pintu berhasil mengalihkan matanya dari halaman buku. "Ya, kenapa?"Alih-alih menyahut, Jhon malah menghampirinya. "Adakah tempat yang ingin kau kunjungi?""Tak ada. Aku sedang sibuk, tak sempat kemana-mana."Jhon mengangguk paham. "Besok jadwal sidang terakhir Jose."Untuk sesaat, Julia berhenti membaca deretan huruf di depannya. Nyaris dua bulan tak mendengar nama yang pernah menggores kenangan manis dan kengerian dalam hidupny
"Kau mau merokok, July?" ujar Vivienne tiba-tiba Memikirkan betapa besar kemarahan wanita ini tadi, sebelum menampilkan keramahan yang terasa palsu, membuat Julia tak ragu lagi bila Vivienne adalah psikopat yang sebenarnya. Tak punya rasa takut, perasaan yang sukar ditebak, serta standar nilai moral yang kacau. "Tidak, aku tak biasa merokok," tolaknya. "Hmph, dasar perempuan naif." Vivienne melanjutkan kegiatannya seraya meniup-niup asap rokok dalam lingkaran besar. Aromanya segera memenuhi ruangan, bikin Julia mulai tak nyaman. "Kau tahu, Chayenne suka sekali merokok sembunyi-sembunyi tetapi karena orang tua kami tak tahu, mereka selalu berpikir bahwa dia gadis polos." "Karena sangat membencinya, mengapa kau tak cerita?" Vivienne memadamkan puntung rokok di asbak. "Kau pikir mereka percaya? Seperti yang kau bilang, aku cuma pecundang, hahahaha..."
Keheningan membeku di udara, sebelum Vivienne akhirnya terbahak-bahak. Matanya sampai berair akibat gelak yang hebat. "Ternyata kau punya bakat melawak. Menurutmu, Jhon bisa ditipu dengan mudah?" ujarnya kemudian. Tampilan Vivienne yang begitu meyakinkan, tidak membuat hati Julia gentar. Bertaruh atas keyakinan, dia mengemukakan dugaannya. "Tentu saja Jhon tak mudah ditipu, kecuali bila kau punya stuntman luar biasa, seperti... saudara kembar yang sudah mati misalnya."Ekspresi geli di muka Vivienne langsung lenyap. "Apa maksudmu?""Bahwa yang menolong Jhon adalah Chayenne, bukan kau."Secepat kilat Vivienne maju, hendak menerjang lawannya. Akan tetapi Julia yang sudah sering berlatih bela diri bersama Tim, lebih dulu mengelak. Tubuh rampingnya meliuk ke samping hingga tangan Vivienne mengenai udara kosong. "Kenapa kau marah ketika aku menyebutkan fakta?" ujarnya seraya merapikan rambut yang tergerai. "Aku
Julia bingung mau ketawa atau marah. Singa betina? Apa segarang itu mukanya saat menantang para nyonya tadi? Dia memundurkan tubuh hingga jarak mereka makin lebar. Aroma Jhon yang tercium samar-samar adalah godaan yang jahat. "Kau berlebihan, Jhon. Aku cuma membalas kata-kata mereka.""Memang. Sebab itulah kau terlihat sangat cantik malam ini. Semata-mata bukan karena apa yang kau pakai, tetapi kepercayaan diri yang terpancar dari wajahmu.Kurasa, itu juga yang membuat Rebecca berniat mengenalmu."Sebagian diri Julia mengamini kata-kata Jhon.Waktu percakapannya dengan Rebecca tadi, terlihat benar bila wanita itu sudi memanggilnya karena berani mendebat para nyonya kaya. Kalau saja dia tetap diam, mungkin Rebecca tak akan sudi mengenalnya. Julia tengah hanyut dengan pikirannya ketika mobil berhenti di depan mansion. "Baiklah, kita sudah sampai Jhon. Selamat malam dan terima kasih buat gaunnya."Usai mengatak
Nostalgia adalah hal menyenangkan bila yang diingat kenangan indah. Demikian pula yang terjadi pada Rebecca. Sembari menerawang jauh, matanya dipenuhi sinar teduh. "Sebastian dan aku sangat dekat, bahkan banyak orang berpikir suatu saat nanti kami akan menikah."Rebecca memulai ceritanya. Matanya yang sewarna zamrud menatap Julia lekat-lekat. "Dan memang begitulah adanya. Siapa sangka, dia malah jatuh cinta dan menikah dengan ibumu. Gara-gara patah hati, aku akhirnya kabur ke New York."Sungguh Julia bingung harus menanggapi cerita ini seperti apa. Ayahnya adalah pria tak beruntung. Melepas wanita yang mencintainya, lalu menikah dengan dia yang meninggalkannya. "Pada akhirnya, kau bernasib lebih baik dari Papa," cetus Julia sendu. "Ya, tentu saja. Suamiku sangat tergila-gila padaku, makanya perkawinan kami awet sampai sekarang."Amy yang duduk di sebelah Rebecca menambahkan, "tak hanya tergila, dia juga mengizinkanmu menguasai
Sontak semuanya bungkam.Di tengah keheningan ini, Julia segera beranjak. Baru satu langkah berjalan, hal mengejutkan terjadi lagi. "Prok, prok, prok!"Tepukan nyaring membuat langkahnya berhenti. Dia menoleh ke belakang, dan melihat bahwa pelakunya adalah perempuan yang sejak tadi duduk tenang. Pada saat dia kebingungan, wanita itu kembali berkata, "impressive! Nyonya Westwood ternyata lebih menarik dari yang kukira. Kalau tak keberatan, kau boleh duduk di sini."Ketika perempuan lain saling tatap, Julia melangkah menuju perempuan asing tersebut. Meski belum bertegur sapa, firasatnya bilang jika yang satu ini tidak bermaksud jahat. "Kenalkan, aku Rebecca Wilson," ujar wanita itu lalu menoleh pada teman di sebelahnya. "Sedangkan dia Emy Warren."Setelah menjabat mereka bergantian, Julia pun duduk di hadapan Rebecca. Samar-samar otaknya mulai mengingat nama ini. Bukankah penerbit yang menerima bukunya adalah Wilson Pub
Jhon menatap curiga, setidaknya itu yang dirasakan Julia. "Kenapa harus kuizinkan? Memangnya ada yang salah kalau dia mengekoriku?"Pengacara perempuan itu tergelak kecil. "Oh, ayolah Jhon. Bukan zamannya lagi kami, wanita harus mengekor di belakang kalian, iya kan Julia?"Sekarang, ketika namanya pun terseret, mau tak mau Julia harus terjun ke arena. Menilik dari rupa si pengacara, sepertinya ada niat terselubung. Meski sejak tadi terselip senyum lebar di wajah itu, namun tak ada kehangatan di sana. Sebaliknya, tercium aroma persekongkolan. Akan tetapi, sampai kapan dia harus berlindung di belakang Jhon? Jika terus begini, para wanita kalangan atas, akan terus meremehkannya. "Tentu saja itu benar." Julia menyahut mantap. "Jhon, kau pergilah dengan teman-temanmu. Biarkan para wanita memiliki acara sendiri.""Kau yakin?" Kekhawatiran Jhon tergambar jelas lewat tatapan matanya. "Sangat yakin. Tak mu
Jika dibilang Jhon tak terpengaruh suasana, jelas bohong besar. Sudah lama sejak terakhir kali dirinya merasakan kehangatan Julia. Akan tetapi, sebagai manusia waras, dia juga sadar bahwa sekarang bukan saat yang tepat memikirkan hal primitif. Maka dari itu, perlahan dia menjauhkan tubuh Julia hingga kedua pasang netra mereka saling tatap. "Tak apa, Sayang. Itu sudah jadi tugasku sebagai suami. Aku bangga bisa berbuat sesuatu untukmu."Mereka saling tatap sejenak, sebelum Jhon kembali menambahkan, "sebenarnya... aku juga punya permintaan. Tetapi kau boleh menolak kalau tak nyaman.""Katakan.""Lusa ada pertemuan para pengacara dan entah orang tolol mana yang kasih gagasan bahwa kami semua harus datang ... berpasangan."Terdengar sederhana, namun menimbulkan masalah dalam situasi mereka sekarang. Walau secara teknis, masih berstatus suami istri, pembicaraan untuk cerai sudah sempat keluar. Lagi pula, Julia masih trauma