Sementara itu, hari berjalan sangat lambat bagi Julia. Selama dirawat, dia hanya menatap langit kota yang mendung lewat jendela kamar, pada waktu senggang.
Pikirannya makin was-was tatkala mengingat hubungan asmara yang kandas begitu saja setelah pertaruhan besar. Diam-diam, dia jadi meragukan keputusannya.Apakah ada yang salah dengan caranya bersikap hingga Jhon pergi begitu saja? Apakah hubungan yang kandas ini terkait dengan rasa ragu yang selalu menghimpit hidupnya?"Hai Sweety, kenapa melamun terus? Setiap kali aku datang, kau pasti sedang menatap ke luar sana."Julia memalingkan muka dan matanya bersitatap dengan Luke. Pria tampan itu datang dengan sebuket besar bunga.Setelah itu, cekatan dia mengganti bunga yang di vas, lalu mengupas sebiji jeruk sunkist dan menyuapkannya pada Julia."Aku bisa makan sendiri," ujar Julia berusaha meraih piring namun harus meringis lantaran pedih di tangannya."Makanya janga"Aku sudah terlalu lama di sini. Bosan betul hanya melihat tembok rumah sakit."Luke menatap skeptis. "Benarkah? Bukan karena biaya, kan?"Julia tersipu. Terkadang keterus-terangan Luke membuatnya takut. Ada orang yang tak ingin terlihat miskin meski sebenarnya sangat miskin. "Tentu saja tak kupikirkan soal biaya ketika ada yang mau membayarnya.""Maksudmu?""Yah, semua biaya rumah sakitku yang ratusan ribu dolar sudah dilunasi."Luke mengumpat pelan di bawah nafasnya. Tindakan ini bikin Julia bingung. "Kenapa kesal? Bukannya bagus kalau semua sudah dibayar?""Ehm, ya memang bagus. Hanya saja bukan aku yang membayarnya."Entah Julia harus tertawa atau marah. Tingkah Luke persis bocah yang mainannya direbut. "Sudahlah, masih banyak orang lain yang layak menerima kebaikanmu. Kalau begitu, bisa kita berangkat sekarang?""Tentu saja."Mereka berkendara beberapa saat lamanya hin
Wilayah Pantai Timur Tengah diguncang oleh kabar penggeledahan bisnis keluarga Antonietti. Selain itu, putra sang Don, Mateo Antonietti juga ditangkap ketika sedang pesta narkoba bersama rekan-rekannya. Menyusul berita penangkapan, bukti-bukti kejahatan keluarga Antonietti yang selama ini terkubur rapat-rapat mulai muncul ke permukaan. "Akhirnya, orang-orang jahat tumbang juga," gumam Julia saat mendengar penggalan berita lewat TV di kantin kampus. "Ya, kurasa sesuatu yang besar sedang terjadi dibalik layar. Kalau tidak, mana mungkin keluarga mereka ditangkap," cetus Luke. "Entahlah, yang jelas aku senang kalau orang-orang jahat dapat ganjaran."Luke cuma mengangguk. Julia kembali fokus melanjutkan makannya seraya menonton TV. Sudah seminggu dia tinggal di sebuah kontrakan dekat kampus, dan selama itu pula tak bertemu anak-anak. Tak kuat menahan rindu, dia sering berjalan-jalan dengan Luke, walau cuma ke tempat umum: kampus,
Julia terbelalak, terlalu kaget untuk bicara. Sebagian dirinya ingin segera berlari ke pelukan John, mengatakan betapa dirinya sangat rindu kembali ke mansion. Akan tetapi, sebagian lain menolak gagasan ini. Tak seharusnya dia bersikap terlalu murah sesudah semua perlakuan Jhon, kan?"Aku tak bisa," ujarnya memaksakan suara terdengar lebih tegas dari biasa. Jhon tak nampak kaget. Sepertinya, dia sudah menduga reaksi ini. "Tapi kau tak aman di luar. Keadaan tak baik. Pihak keamanan sedang bentrok dengan para mafia.""Apa urusannya denganku?"Rasa frustasi mulai menggerogoti Jhon. Bagaimana cara mengatakan pada istrinya bila dia terlibat dengan mafia gara-gara Jose? "Aku pernah punya masalah dengan mereka. Orang-orang jahat itu tak akan melepas siapa pun yang dekat denganku.""Tapi kita tak dekat, lagipula... sudah mau cerai."Kata singkat yang menyakitkan ini memukul perasaan Jhon telak. Ba
Pertemuan dengan Jhon dan si kembar tak membuat perasaan Julia membaik. Sebaliknya, dia makin gamang menghadapi masa depannya. Sebagai penutup hari yang kelabu, dia menulis sebuah lagi puisi, lalu mengirimnya ke situs seni. Keesokan hari, dia kembali bertemu Luke di salah satu tempat paling populer di Manhattan, Harlem Street. Adapun kunjungan mereka kemari dalam rangka penelitian, terkait budaya Afro-Amerika. "Aku tak terlambat, kan?" ujarnya seraya berjalan tergesa menghampiri rekan kuliahnya. Pria itu tengah duduk santai di salah satu coffee shop. Seorang pria berkulit gelap, yang tampaknya peranakan Afro-Amerika, duduk di depannya. "Mana mungkin seorang ratu datang terlambat, pelayannya saja yang datang kecepatan," kelakar Luke. Julia tersenyum masam. Di telinganya, kalimat ini terdengar seperti sindiran. Demi etika, dia tak memperpanjang masalah dan ikut duduk di sisi Luke. "Bro, kenalkan ini temanku Julia,"
Luke acuh tak acuh, tetap fokus mengamati jalanan di depan sana. "Itu belum seberapa, karena aku mau menunjukkan tempat istimewa," ujarnya sesaat sebelum mendadak belok ke kiri. "Kemana? Sepertinya, tak ada yang terlalu istimewa di sini.""Kau boleh berkomentar kalau sudah sampai di sana."Akhirnya mereka terus menyusuri jalanan, hingga Luke menghentikan mobil di depan sebuah taman hiburan. Sontak Julia menggerutu. "Apa-apaan? Kau pikir aku tak pernah ke taman bermain?"Luke mengedikkan bahu, lalu menyentuh pipi Julia sekilas. "Tentu saja kau pernah. Tapi ini bukan sembarang taman. Ayo ikut aku."Lagi-lagi, Julia cuma bisa menurut dan mengikuti langkah Luke dengan gamang. Sepertinya taman bermain ini sudah terbengkalai, sebab tak tampak aktifitas apapun. Satu-satunya hal yang bikin menarik cuma sebuah rumah-rumahan yang terletak di tengah taman. Dengan sedikit tanaman serta air mancur di sisinya, r
Tim salah tingkah, namun tetap bicara sedatar mungkin. "Sejak Anda pergi, Mr Westwood meminta saya menjaga Anda."Menjaga berarti mematai-matai, kan? Biasanya Julia tak suka dikekang, tetapi tindakan suaminya kali ini, bikin perasaan haru menyeruak dari dalam. "Dasar bodoh," gumamnya tanpa sadar. "Jadi, dimana dia sekarang?""Sebenarnya beliau meminta saya merahasiakan ini, tetapi sebagai istri Anda berhak tahu." Tim mendekat ke arah Julia, dan berucap lirih, "dua hari lalu, beliau ditembak orang tak dikenal. Sekarang sedang istirahat di mansion."Jantung Julia berdegup sangat kencang. Ada yang bilang bahwa sesuatu terasa berharga saat kita kehilangan. Akan tetapi, kenapa mendengar Jhon terluka saja, hatinya sudah sakit? "Bawa aku ke mansion sekarang."Julia yang masih dirasuki berbagai pikiran, segera berkendara bersama Tim. Rasanya, sudah lama sekali dia tak bicara dengan sang penjaga. "Jadi, bag
"Ehem, baiklah aku mengkhawatirkanmu. Tapi... itu semua karena anak-anak. Bagaimana nasib mereka kalau kau tak ada lagi?"Jhon bergerak tak nyaman. Bagaimana pun, dirinya sudah janji bakal menyelesaikan berkas perceraian minggu ini. "Jadi, kenapa kau datang kemari malam-malam?" ujarnya mengalihkan perhatian. "Tim yang memintaku datang. Kalau bukan karena dia, aku tak sudi menginjakkan kaki di rumah ini."Kesedihan tergambar jelas di muka Jhon. Beberapa bulan lalu, Julia adalah pihak yang harap-harap cemas menanti jawabannya. Sekarang, posisi mereka berubah, akankah ada kesempatan untuk memperbaiki segalanya? "Ya, akan lebih baik bila kau tinggal di sini setidaknya... sampai situasi lebih baik.""Hanya sampai situasi kondusif," pungkas Julia seraya bangkit dari duduknya. "Kalau begitu, aku tidur dulu. Kau pun... istirahatlah."Tanpa menunggu jawaban Jhon, dia segera beranjak ke kamar tidurnya.Sement
Dalam perjalanan menuju tempat pertemuan dengan Luke, tak sedikit pun Julia bisa fokus, sebab otaknya sibuk menerka-nerka seperti apa reaksi Jhon terhadap komentarnya tadi. Masih jelas di benaknya betapa datar raut muka Jhon saat mendengar permintaannya. Dia tak kuat menunggu respon pria itu, makanya langsung kabur sebelum Jhon sempat bilang apa-apa. Setengah jam berkendara, akhirnya Julia sampai di kafetaria langganan, yang lokasinya tak begitu jauh dari kampus. "Hai Luke, sudah lama?" sapanya ramahPria muda yang biasanya enerjik itu menatap lesu, seperti kehilangan semangat hidup. "Ada apa Luke?" tanya Julia lagi. "Lagi banyak masalah, kah?""Tak ada. Aku cuma penasaran, kemana dirimu semalam sampai tak pulang ke kontrakan.""Dari mana kau tahu? Kau memata-mataiku?"Pikiran buruk mulai menghantui Julia. Akibat tindakan Jose, dia punya trauma tersendiri terhadap sikap posesif. "Tidak, aku tak beg
Lima tahun kemudianJulia duduk santai di tepi danau. Matanya tak luput memandang suami dan kedua anaknya yang sedang naik perahu di tengah sana. Cahaya mentari memantul indah, membuat permukaan air seperti permata yang berkilauan. "Mom, lihat! Aku bisa mengayuh."Seruan si bungsu Jill membuat senyum lebar terbit di wajahnya. Ya, beberapa tahun terakhir, si kembar memutuskan untuk memanggilnya Mommy, sementara Vivienne mereka panggil Mother. Hal ini bikin hidup Julia terasa lengkap. Dia bisa saja kehilangan dua anak, tetapi dia mendapat dua anak juga sebagai gantinya. "Mom, aku jauh lebih kuat dari pada Jim." Seruan si bungsu terdengar lagi.Julia balas melambai sembari meneriakkan kata-kata penyemangat. Saat perahu makin jauh berlayar, barulah dia melirik pesan yang sudah sejak tadi singgah di gawainya. Pengirim pesan ini adalah Luke. [Dear July, aku bangga dengan pencapaianmu. Kulihat beberapa bukumu mas
Besok paginya, setelah memutuskan dengan penuh pertimbangan, Julia berangkat bersama Jhon. Saat akan naik ke mobil, Olivia tak hentinya menangis seraya berpesan. "Kalau suatu saat nanti hidupmu tak baik-baik saja, kembalilah kemari. Bibi akan selalu menerima."Tak ada yang bisa diucapkannya selain memeluk Olivia lebih erat. Setelah keduanya selesai melepas haru, Jhon pun pamit pada Olivia. "Kami pergi dulu. Di masa mendatang, kami akan berkunjung lagi."Usai berpamitan, mobil pun menderu, meninggalkan rumah pertanian semakin jauh. Julia terus menoleh ke belakang, hingga rumah tempatnya lahir dan menghabiskan masa muda, lenyap dari pandangan. "Kau sedih, Sayang?" tukas Jhon. "Sedikit. Bagaimana pun, aku sudah sebulan tinggal di sana.""Kapan-kapan kita kemari lagi."Jauh dalam hatinya, Julia tahu bahwa janji ini sulit ditepati. Begitu kembali ke Manhattan, sudah pasti Jhon akan kembali jadi robot gila kerja.
Sudah lewat waktunya makan siang saat mereka sampai di sana. Suasana agak gelap karena tempat yang mereka datangi tertutup pepohonan besar. "Jadi, tempat ini yang kau maksud?" tanya Jhon seraya memandang sekelilingnya takjub. "Tentu saja. Waktu kecil, aku sering bersembunyi di sini agar tak disuruh mencuci piring."Dengan gesit, Julia masuk ke dalam celah bebatuan tersembunyi, lalu duduk pada ceruk yang dalam. Tak butuh waktu lama bagi Jhon menyusul sang istri. Pria itu langsung duduk di sisi Julia dan melanjutkan asmara yang sempat terjeda. Api kerinduan membuat keduanya terbakar gairah. Beberapa saat berselang, ketika mereka terbaring bersimbah peluh, barulah hasrat yang menggelora itu padam. "Terima kasih, Sayang." Jhon berbisik lembut seraya mengecup kening istrinya. Perlakuan yang begitu manis membuat Julia makin larut dalam dekapan Jhon. Hari ini, dia mempertaruhkan segenap keyakinan demi bisa mereg
Kata-kata bibinya tempo hari masih terngiang di benak Julia. Meski demikian, hatinya masih dilema, antara kembali ke Manhattan atau menetap di tanah kelahiran. Saat ini, dia sedang serius menekuni laptopnya, namun jumlah kata yang diketik pada jendela aplikasi, tak bertambah satu huruf pun. Alih-alih berpikir, dia malah sibuk berandai-andai, bagaimana jadinya jika dia tak bersama Jhon lagi untuk selamanya. Dia menarik nafas kesekian kali, dalam upaya sia-sia untuk mengumpulkan niat menulis. Tetapi, belum sempat terlaksana, deru halus mobil terdengar di pekarangan rumah, diikuti Ketukan pada daun pintu sejurus kemudian. "Siapa?!" serunya seraya beranjak dari duduknya. Orang asing yang berdiri di balik sana tidak menyahut. Hal ini bikin Julia was-was, sebab bukan cuma sekali dia nyaris mati dalam percobaan pembunuhan. "Siapa di sana?" ujarnya lagi. Kali ini lebih keras dari yang tadi. Ketika tamu tak diundang ini bu
"Papa, aku datang hari ini... ."Tangis Julia tak bisa dibendung saat berkunjung ke pusara laki-laki yang sangat dia kasihi. Pada nisan yang usang, tertulis nama Sebastian Hernandez beserta tahun kelahiran dan kematian. Sedangkan di baris paling akhir tertera kutipan ayat kitab suci : Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjianNya dan peringatan-peringatanNyaJulia tersenyum getir. Menjelang kematiannya, Sebastian memang kerap menyendiri di kamar, mengerjakan entah apa. Dan saat ajalnya tiba, Julia hanya menemukan tubuh yang terbujur beserta ayat yang ditandai dengan stabilo kuning pada kitab yang terbuka di sebelah tubuh kaku sang ayah. Apakah ayahnya tidak berpegang pada perintahNya sehingga Dia tidak menunjukkan belas kasihan? Pertanyaan ini berputar-putar di benak Julia untuk waktu yang lama, tetapi hingga detik ini dia belum menemukan jawaban. "Ah, Papa." Dia be
Dua pasang mata saling tatap, mencoba menyelami pikiran masing-masing. Sudah sepuluh menit berlalu, namun belum ada yang mulai bicara. Saat keheningan makin canggung, Jhon akhirnya menyerah. "July... kau sudah makan?"Dari begitu banyak kalimat yang mau diucapkan, yang keluar justru yang paling garing. Jhon langsung menyesal begitu mengatakannya. "Sudah."Hatinya melonjak girang saat Julia menyahut. Walau bukan jawaban paling ramah, setidaknya sudah mau bicara. Harap-harap cemas, Jhon melanjutkan lagi. "Kau mau keluar? Udara segar bisa bikin kesehatanmu cepat pulih."Julia tak mengangguk, tetapi bahasa tubuhnya menunjukkan bila dia tak keberatan. Jhon bergegas melepas selang dari kantung cairan infus, lalu memapah Julia ke atas kursi roda. Hatinya sakit saat menyadari betapa ringkih badan istrinya. Sudah memasuki musim gugur, namun udara di luar masih agak dingin. Jhon melepas coat panjangnya, lal
Jhon membuang nafas berkali-kali. Sudah seminggu Julia tak mau bicara. Setiap kali dia datang, istrinya cuma diam lalu memalingkan wajah. Sebagai pria, Jhon tak keberatan jika istrinya marah atau bahkan memukulnya. Tetapi sikap diam adalah sesuatu yang tak bisa dia pahami. "Kau punya pacar, Tim?"Pria muda yang tengah merapikan beberapa berkas itu terperangah. Tak biasanya sang atasan membahas masalah pribadi. "Punya, Mr Westwood.""Kalau begitu, apa yang kau lakukan saat dia marah?" selidik Jhon terang-terangan. Kegiatan merapikan berkas jadi terhenti. Tim menatap bos-nya serius. "Anda bertengkar dengan nyonya Westwood?""Jawab saja pertanyaanku.""Biasanya aku membujuknya. Kalau tak berhasil juga, kudiamkan saja beberapa saat. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir."Meski tak menyahut, Jhon mencatat penjelasan Tim dalam benaknya. Apakah benar bahwa Julia butuh waktu sendiri? Kalau begit
Sementara itu, Jhon tak kalah panik di mansion. Dia lalu-lalang seperti cacing kepanasan. Tiap sebentar, ponselnya berdering menyampaikan info terbaru pelacakan Julia. Apa yang membuat kepalanya hampir pecah adalah kenyataan bahwa si kembar juga nyaris diculik dari sekolah. Kalau saja pihak keamanan lengah sedikit, Jim dan Jill akan bernasib seperti Julia. "Sudah dapat jejak terakhir GPS-nya?" Dia kembali bicara pada seseorang lewat panggilan telepon. "Sudah, Bos. Sekitar dua kilometer ke arah timur laut.""Baik. Lacak semua kendaraan yang melintas, dan kabari aku kalau sudah dapat titik terangnya."Begitu panggilan usai, Jhon kembali menghubungi nomor lain. Kali ini dia meminta orang tersebut mencari semua gambar yang sempat tertangkap kamera pengawas di sepanjang jalur yang mungkin dilewati Julia. Selanjutnya, dia juga menghubungi orang lain untuk melacak nomor taksi yang ditumpangi Julia siang tadi. Begitu juga dengan mobi
Jhon menatap kejauhan, lewat terali jendela yang terbuka, dia bisa melihat keramaian di bawah sana. Meski raga bersama Julia, pikirannya mengawang entah kemana. "Jhon, kau tak percaya padaku?"Suara Julia terdengar lagi, lebih memelas dari sebelumnya. Jhon sungguh tak tega, dia hendak merengkuhnya dalam dekapan. Namun, sebagian besar dari dirinya menolak. Rasa trauma akibat perbuatan Vivienne, membekas sangat dalam. Sekarang, dia baru sadar bahwa dirinya pun belum lepas sepenuhnya dari bayang-bayang masa lalu. "Akan kuminta Tim mengantarmu. Kurasa kita perlu menenangkan diri," ujarnya lelah. "Tidak, Jhon. Aku tak punya apapun untuk disembunyikan. Aku tak butuh menenangkan diri. Aku butuh kepercayaanmu," sahut Julia keras kepala.Saat melihat Jhon bergeming, akhirnya dia menyerah. Wanita yang tengah hamil empat bulan itu mengambil tas-nya lalu beranjak pergi."Aku naik taksi saja."Dia sengaja berja