Rahang Jhon mengeras. Murka tergambar jelas di mukanya.
"July, kau pikir pernikahan kita main-main?"Sang istri menyeringai sinis. "Lantas kalau bukan main-main, apa namanya? Jangankan upacara, cincin saja pun tak ada."Jhon menatap tak berdaya. Selama ini dia berpikir kalau Julia tak mempersoalkan semua itu. Ternyata, dia salah besar.Julia tak berbeda dengan yang lain. Dangkal dan suka drama."Baiklah kalau itu maumu. Aku pergi dulu."Begitu daun pintu tertutup, barulah Julia merasakan kekosongan yang sakit. Seperti ada bagian dari hatinya yang tercabut.Sementara itu, tak jauh berbeda dengan istrinya, Jhon juga amat frustasi. Untuk pertama kali, dia mengemudi ugal-ugalan sampai mobil yang di belakangnya mulai membunyikan klakson berkali-kali.Tak ingin jadi korban kecerobohannya, dia menepi lalu mematikan mesin mobil. Setelahnya, menelepon seseorang yang bisa meringankan sedikit luka di hatinya.Sementara itu, hari berjalan sangat lambat bagi Julia. Selama dirawat, dia hanya menatap langit kota yang mendung lewat jendela kamar, pada waktu senggang. Pikirannya makin was-was tatkala mengingat hubungan asmara yang kandas begitu saja setelah pertaruhan besar. Diam-diam, dia jadi meragukan keputusannya. Apakah ada yang salah dengan caranya bersikap hingga Jhon pergi begitu saja? Apakah hubungan yang kandas ini terkait dengan rasa ragu yang selalu menghimpit hidupnya? "Hai Sweety, kenapa melamun terus? Setiap kali aku datang, kau pasti sedang menatap ke luar sana."Julia memalingkan muka dan matanya bersitatap dengan Luke. Pria tampan itu datang dengan sebuket besar bunga. Setelah itu, cekatan dia mengganti bunga yang di vas, lalu mengupas sebiji jeruk sunkist dan menyuapkannya pada Julia. "Aku bisa makan sendiri," ujar Julia berusaha meraih piring namun harus meringis lantaran pedih di tangannya. "Makanya janga
"Aku sudah terlalu lama di sini. Bosan betul hanya melihat tembok rumah sakit."Luke menatap skeptis. "Benarkah? Bukan karena biaya, kan?"Julia tersipu. Terkadang keterus-terangan Luke membuatnya takut. Ada orang yang tak ingin terlihat miskin meski sebenarnya sangat miskin. "Tentu saja tak kupikirkan soal biaya ketika ada yang mau membayarnya.""Maksudmu?""Yah, semua biaya rumah sakitku yang ratusan ribu dolar sudah dilunasi."Luke mengumpat pelan di bawah nafasnya. Tindakan ini bikin Julia bingung. "Kenapa kesal? Bukannya bagus kalau semua sudah dibayar?""Ehm, ya memang bagus. Hanya saja bukan aku yang membayarnya."Entah Julia harus tertawa atau marah. Tingkah Luke persis bocah yang mainannya direbut. "Sudahlah, masih banyak orang lain yang layak menerima kebaikanmu. Kalau begitu, bisa kita berangkat sekarang?""Tentu saja."Mereka berkendara beberapa saat lamanya hin
Wilayah Pantai Timur Tengah diguncang oleh kabar penggeledahan bisnis keluarga Antonietti. Selain itu, putra sang Don, Mateo Antonietti juga ditangkap ketika sedang pesta narkoba bersama rekan-rekannya. Menyusul berita penangkapan, bukti-bukti kejahatan keluarga Antonietti yang selama ini terkubur rapat-rapat mulai muncul ke permukaan. "Akhirnya, orang-orang jahat tumbang juga," gumam Julia saat mendengar penggalan berita lewat TV di kantin kampus. "Ya, kurasa sesuatu yang besar sedang terjadi dibalik layar. Kalau tidak, mana mungkin keluarga mereka ditangkap," cetus Luke. "Entahlah, yang jelas aku senang kalau orang-orang jahat dapat ganjaran."Luke cuma mengangguk. Julia kembali fokus melanjutkan makannya seraya menonton TV. Sudah seminggu dia tinggal di sebuah kontrakan dekat kampus, dan selama itu pula tak bertemu anak-anak. Tak kuat menahan rindu, dia sering berjalan-jalan dengan Luke, walau cuma ke tempat umum: kampus,
Julia terbelalak, terlalu kaget untuk bicara. Sebagian dirinya ingin segera berlari ke pelukan John, mengatakan betapa dirinya sangat rindu kembali ke mansion. Akan tetapi, sebagian lain menolak gagasan ini. Tak seharusnya dia bersikap terlalu murah sesudah semua perlakuan Jhon, kan?"Aku tak bisa," ujarnya memaksakan suara terdengar lebih tegas dari biasa. Jhon tak nampak kaget. Sepertinya, dia sudah menduga reaksi ini. "Tapi kau tak aman di luar. Keadaan tak baik. Pihak keamanan sedang bentrok dengan para mafia.""Apa urusannya denganku?"Rasa frustasi mulai menggerogoti Jhon. Bagaimana cara mengatakan pada istrinya bila dia terlibat dengan mafia gara-gara Jose? "Aku pernah punya masalah dengan mereka. Orang-orang jahat itu tak akan melepas siapa pun yang dekat denganku.""Tapi kita tak dekat, lagipula... sudah mau cerai."Kata singkat yang menyakitkan ini memukul perasaan Jhon telak. Ba
Pertemuan dengan Jhon dan si kembar tak membuat perasaan Julia membaik. Sebaliknya, dia makin gamang menghadapi masa depannya. Sebagai penutup hari yang kelabu, dia menulis sebuah lagi puisi, lalu mengirimnya ke situs seni. Keesokan hari, dia kembali bertemu Luke di salah satu tempat paling populer di Manhattan, Harlem Street. Adapun kunjungan mereka kemari dalam rangka penelitian, terkait budaya Afro-Amerika. "Aku tak terlambat, kan?" ujarnya seraya berjalan tergesa menghampiri rekan kuliahnya. Pria itu tengah duduk santai di salah satu coffee shop. Seorang pria berkulit gelap, yang tampaknya peranakan Afro-Amerika, duduk di depannya. "Mana mungkin seorang ratu datang terlambat, pelayannya saja yang datang kecepatan," kelakar Luke. Julia tersenyum masam. Di telinganya, kalimat ini terdengar seperti sindiran. Demi etika, dia tak memperpanjang masalah dan ikut duduk di sisi Luke. "Bro, kenalkan ini temanku Julia,"
Luke acuh tak acuh, tetap fokus mengamati jalanan di depan sana. "Itu belum seberapa, karena aku mau menunjukkan tempat istimewa," ujarnya sesaat sebelum mendadak belok ke kiri. "Kemana? Sepertinya, tak ada yang terlalu istimewa di sini.""Kau boleh berkomentar kalau sudah sampai di sana."Akhirnya mereka terus menyusuri jalanan, hingga Luke menghentikan mobil di depan sebuah taman hiburan. Sontak Julia menggerutu. "Apa-apaan? Kau pikir aku tak pernah ke taman bermain?"Luke mengedikkan bahu, lalu menyentuh pipi Julia sekilas. "Tentu saja kau pernah. Tapi ini bukan sembarang taman. Ayo ikut aku."Lagi-lagi, Julia cuma bisa menurut dan mengikuti langkah Luke dengan gamang. Sepertinya taman bermain ini sudah terbengkalai, sebab tak tampak aktifitas apapun. Satu-satunya hal yang bikin menarik cuma sebuah rumah-rumahan yang terletak di tengah taman. Dengan sedikit tanaman serta air mancur di sisinya, r
Tim salah tingkah, namun tetap bicara sedatar mungkin. "Sejak Anda pergi, Mr Westwood meminta saya menjaga Anda."Menjaga berarti mematai-matai, kan? Biasanya Julia tak suka dikekang, tetapi tindakan suaminya kali ini, bikin perasaan haru menyeruak dari dalam. "Dasar bodoh," gumamnya tanpa sadar. "Jadi, dimana dia sekarang?""Sebenarnya beliau meminta saya merahasiakan ini, tetapi sebagai istri Anda berhak tahu." Tim mendekat ke arah Julia, dan berucap lirih, "dua hari lalu, beliau ditembak orang tak dikenal. Sekarang sedang istirahat di mansion."Jantung Julia berdegup sangat kencang. Ada yang bilang bahwa sesuatu terasa berharga saat kita kehilangan. Akan tetapi, kenapa mendengar Jhon terluka saja, hatinya sudah sakit? "Bawa aku ke mansion sekarang."Julia yang masih dirasuki berbagai pikiran, segera berkendara bersama Tim. Rasanya, sudah lama sekali dia tak bicara dengan sang penjaga. "Jadi, bag
"Ehem, baiklah aku mengkhawatirkanmu. Tapi... itu semua karena anak-anak. Bagaimana nasib mereka kalau kau tak ada lagi?"Jhon bergerak tak nyaman. Bagaimana pun, dirinya sudah janji bakal menyelesaikan berkas perceraian minggu ini. "Jadi, kenapa kau datang kemari malam-malam?" ujarnya mengalihkan perhatian. "Tim yang memintaku datang. Kalau bukan karena dia, aku tak sudi menginjakkan kaki di rumah ini."Kesedihan tergambar jelas di muka Jhon. Beberapa bulan lalu, Julia adalah pihak yang harap-harap cemas menanti jawabannya. Sekarang, posisi mereka berubah, akankah ada kesempatan untuk memperbaiki segalanya? "Ya, akan lebih baik bila kau tinggal di sini setidaknya... sampai situasi lebih baik.""Hanya sampai situasi kondusif," pungkas Julia seraya bangkit dari duduknya. "Kalau begitu, aku tidur dulu. Kau pun... istirahatlah."Tanpa menunggu jawaban Jhon, dia segera beranjak ke kamar tidurnya.Sement
Dua pasang mata saling tatap, mencoba menyelami pikiran masing-masing. Sudah sepuluh menit berlalu, namun belum ada yang mulai bicara. Saat keheningan makin canggung, Jhon akhirnya menyerah. "July... kau sudah makan?"Dari begitu banyak kalimat yang mau diucapkan, yang keluar justru yang paling garing. Jhon langsung menyesal begitu mengatakannya. "Sudah."Hatinya melonjak girang saat Julia menyahut. Walau bukan jawaban paling ramah, setidaknya sudah mau bicara. Harap-harap cemas, Jhon melanjutkan lagi. "Kau mau keluar? Udara segar bisa bikin kesehatanmu cepat pulih."Julia tak mengangguk, tetapi bahasa tubuhnya menunjukkan bila dia tak keberatan. Jhon bergegas melepas selang dari kantung cairan infus, lalu memapah Julia ke atas kursi roda. Hatinya sakit saat menyadari betapa ringkih badan istrinya. Sudah memasuki musim gugur, namun udara di luar masih agak dingin. Jhon melepas coat panjangnya, lal
Jhon membuang nafas berkali-kali. Sudah seminggu Julia tak mau bicara. Setiap kali dia datang, istrinya cuma diam lalu memalingkan wajah. Sebagai pria, Jhon tak keberatan jika istrinya marah atau bahkan memukulnya. Tetapi sikap diam adalah sesuatu yang tak bisa dia pahami. "Kau punya pacar, Tim?"Pria muda yang tengah merapikan beberapa berkas itu terperangah. Tak biasanya sang atasan membahas masalah pribadi. "Punya, Mr Westwood.""Kalau begitu, apa yang kau lakukan saat dia marah?" selidik Jhon terang-terangan. Kegiatan merapikan berkas jadi terhenti. Tim menatap bos-nya serius. "Anda bertengkar dengan nyonya Westwood?""Jawab saja pertanyaanku.""Biasanya aku membujuknya. Kalau tak berhasil juga, kudiamkan saja beberapa saat. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir."Meski tak menyahut, Jhon mencatat penjelasan Tim dalam benaknya. Apakah benar bahwa Julia butuh waktu sendiri? Kalau begit
Sementara itu, Jhon tak kalah panik di mansion. Dia lalu-lalang seperti cacing kepanasan. Tiap sebentar, ponselnya berdering menyampaikan info terbaru pelacakan Julia. Apa yang membuat kepalanya hampir pecah adalah kenyataan bahwa si kembar juga nyaris diculik dari sekolah. Kalau saja pihak keamanan lengah sedikit, Jim dan Jill akan bernasib seperti Julia. "Sudah dapat jejak terakhir GPS-nya?" Dia kembali bicara pada seseorang lewat panggilan telepon. "Sudah, Bos. Sekitar dua kilometer ke arah timur laut.""Baik. Lacak semua kendaraan yang melintas, dan kabari aku kalau sudah dapat titik terangnya."Begitu panggilan usai, Jhon kembali menghubungi nomor lain. Kali ini dia meminta orang tersebut mencari semua gambar yang sempat tertangkap kamera pengawas di sepanjang jalur yang mungkin dilewati Julia. Selanjutnya, dia juga menghubungi orang lain untuk melacak nomor taksi yang ditumpangi Julia siang tadi. Begitu juga dengan mobi
Jhon menatap kejauhan, lewat terali jendela yang terbuka, dia bisa melihat keramaian di bawah sana. Meski raga bersama Julia, pikirannya mengawang entah kemana. "Jhon, kau tak percaya padaku?"Suara Julia terdengar lagi, lebih memelas dari sebelumnya. Jhon sungguh tak tega, dia hendak merengkuhnya dalam dekapan. Namun, sebagian besar dari dirinya menolak. Rasa trauma akibat perbuatan Vivienne, membekas sangat dalam. Sekarang, dia baru sadar bahwa dirinya pun belum lepas sepenuhnya dari bayang-bayang masa lalu. "Akan kuminta Tim mengantarmu. Kurasa kita perlu menenangkan diri," ujarnya lelah. "Tidak, Jhon. Aku tak punya apapun untuk disembunyikan. Aku tak butuh menenangkan diri. Aku butuh kepercayaanmu," sahut Julia keras kepala.Saat melihat Jhon bergeming, akhirnya dia menyerah. Wanita yang tengah hamil empat bulan itu mengambil tas-nya lalu beranjak pergi."Aku naik taksi saja."Dia sengaja berja
Seisi ruangan hening, sebelum akhirnya kasak-kusuk pecah lagi, bahkan lebih riuh dari sebelumnya. a Ketika suasana makin tak terkendali, anggota yang paling senior akhirnya buka mulut. "Sebaiknya kita tunggu saja sepuluh menit lagi. Kalau sampai saat itu Mr David tak muncul juga, maka wacana untuk mengganti direktur utama, dianulir saja." Beberapa peserta rapat langsung protes, sebagian setuju, tetapi mayoritas memilih diam. Jadi pengamat selalu lebih baik. Ketika ruang rapat kembali gaduh untuk memutuskan, anggota senior tadi bicara lagi. "Dari pada ribut seperti bocah, kenapa tidak voting saja?" Perundingan berlangsung beberapa saat lagi, sebelum semua akhirnya setuju. Sejurus kemudian, hasil pemungutan suara pun keluar. Mayoritas peserta setuju membatalkan wacana penggantian direktur utama apabila David tak muncul sepuluh menit lagi. Detik demi detik berlalu sangat lambat, terutama bagi para pendukung W
Belum sempat George beranjak, pintu ruangan sudah terbuka lebar. Julia berdiri disana dengan pesona tak tertandingi. Biasanya, dia suka memakai outfit berwarna pastel, tetapi dalam kesempatan ini, wrap dress merah membungkus tubuhnya dengan sempurna. Dan meski perutnya membuncit, bagian-bagian lain juga membesar dengan sendirinya. Daripada perempuan bertubuh gembrot, dia lebih cocok jadi wanita hamil yang seksi. "Sayang, kenapa kemari?"Suara Jhon terdengar parau, bahkan di telinganya sendiri. Perilaku istrinya memang selalu di luar dugaan. "Aku tak bisa membiarkanmu berperang sendirian. Apapun yang terjadi, kita hadapi sama-sama."Jhon langsung berdiri, lalu meraih istrinya dalam dekapan. Kemesraan pasangan suami istri ini bikin situasi George makin canggung. Sebab itu, dia langsung pamit untuk memanggil David. "Apa George tak punya istri?" selidik Julia setelah supir mereka berlalu. "Aku tak mencampuri u
Setelah pertemuan singkat dengan teman lama, Julia sampai di mansion dengan perasaan kacau. Akibatnya, makanan yang dia buat kurang maksimal, hingga juru masak di kediaman Westwood harus membantu. Ketika waktu nyaris pukul delapan malam, barulah Jhon sampai di rumah. Keningnya agak mengernyit tatkala melihat anak istrinya baru bersiap di meja makan. "Kenapa kalian belum makan? Ini sudah terlalu malam."Jim langsung menyambut teguran sang ayah. "Makanya jangan pulang kelamaan."Kalau jadwal kerjanya sudah dibawa-bawa, Jhon tak berani lagi berkutik. Dalam hal ini, dia memang kalah telak dibanding ayah lain. Sebab itu, dia duduk dengan patuh di hadapan Julia, dan mulai menyendok beberapa menu ke piringnya. "Kau yang masak, Sayang?" tanyanya"Ya, kenapa bisa tahu?""Hanya kau yang suka membuat makanan pedas."Julia tersenyum penuh makna. Suaminya memang bukan orang yang suka makan pedas. Sebaliknya, lahir dan bes
Mendadak suara seorang pria terdengar dari seberang. Sepertinya, hakim Stewart sedang menceramahi sang istri. Tak lama, panggilan pun diputus begitu saja. "Merusak mood saja," gumam Julia sebal. Buru-buru dia menghapus foto lunch buffet mewah di atas kapal pesiar, gambar norak yang baru saja dikirim Saoirse. Setelah episode perdebatan dengan ibunya usai, dia kembali fokus pada naskah yang sedang ditulisnya. Saat kehabisan ide, dia berjalan-jalan sejenak di sekitar rumah, kadang mendiamkan naskah yang ditulisnya berhari-hari sebelum menggarapnya lagi. Biasanya, gagasan baru bisa muncul begitu saja. Tiga minggu berselang, naskah pun selesai. Dengan penuh semangat, dia menghadiri undangan Rebecca di kediaman keluarga Wilson. "Wah, penulis hebat kita akhirnya datang," gurau Rebecca sambil lalu. "Aku salut kau bisa menyelesaikannya lebih cepat dari tenggat waktu padahal sedang hamil.""Ah, kau bisa saja, Bec. Aku cuma
Atas desakan Julia, besoknya mereka pergi ke rumah tahanan. Vivienne yang dulu nampak glamor, sekarang tak ubahnya daun layu. Meski mukanya masih cantik, tapi aura sang bintang lenyap sudah. Tanpa riasan dan baju karya desainer, Vivienne hanyalah perempuan biasa. "Kenapa kau kemari? Mana Jhon?" ujarnya saat melihat kedatangan Julia. "Jhon pergi ke sekolah, melihat pertandingan Baseball anak-anak."Sebenarnya alasan ini dibuat-buat sebab pada kenyataannya Jhon tengah duduk di mobil sambil mengetik sesuatu di laptopnya. Akan tetapi, apalah gunanya menambah garam pada luka orang? "Katakan saja mau ngapain kemari? Aku tak punya waktu meladeni manusia sepertimu."Mengabaikan sarkasme dalam suaranya, Julia meletakkan satu kotak kecil di depan Vivienne. "Silakan membukanya nanti. Kalau tak suka, buang saja."Rasa penasaran membuat Vivienne jadi bertanya. "Kau bawa apa memangnya? Pikirmu aku tak bisa membeli apa ya