Duh duh duh .... Apa yang bakal dilakukan Orion? Mungkinkah dia membiarkan Louis tutup kuping soal itu? Apa yang akan terjadi di konferensi pers nanti? Kasih gems dan komen kalau kalian udah gak sabar pengen tauuu!
"Orion menelepon?" selidik Grace dengan sebelah alis berkerut. Louis mengangguk. "Dia bilang di sana juga heboh. Dia menyarankan aku untuk segera menanganinya." "Jadi, keputusanku untuk memajukan jadwal tepat, kan?" Grace meminta konfirmasi. "Ya," sahut Louis kaku, "kurasa itu tepat. Sekarang tugas kita adalah bagaimana caranya membuat para wartawan percaya. Mereka tidak boleh lagi meragukan hubungan kita." "Kau tahu, Louis? Aku punya ide yang sangat bagus untuk mengendalikan opini publik dengan cepat dan efisien." Louis menaikkan alis, tertarik. "Bagaimana caranya?" Tepat ketika Grace hendak menjawab, ponsel Louis berdering lagi. Louis pun menoleh. Mendapati nama Orion di layar ponselnya, wajahnya berubah kusut. Sementara itu, Grace berkedip kaku. Kecurigaannya muncul. "Kenapa dia meneleponmu lagi?" selidiknya. Louis menghela napas berat. "Entahlah." Ia tolak panggilan Orion. "Memangnya, apa yang kalian bicarakan tadi? Bukankah obrolan kalian sudah selesai? Ka
Melihat wajah pucat sang kekasih, Grace berbisik, "Louis, ada apa? Apakah ada masalah? Apa yang baru saja kau baca?" Louis menggeleng singkat. Masih dengan raut kaku, ia memasukkan kertas yang telah bergumpal itu ke dalam saku. Ia telah memutuskan. Ia tidak bisa terus mengabaikan hatinya, dan kali ini, logikanya sepakat. Ia memang harus membereskan masa lalu sebelum melangkah ke masa depan. "Ace, maaf. Ada urusan genting yang perlu kulakukan di L City. Aku harus pergi ke sana sekarang," tutur Louis dengan ekspresi tegang. Wajah Grace langsung mengernyit tak senang. "Sekarang? Kau lupa kita sedang apa?" bisiknya, penuh penekanan. Louis melirik ke arah para wartawan yang berbisik-bisik kebingungan. Ia tahu, mereka pasti akan gempar kalau ia pergi begitu saja. Namun, ia tidak mungkin mengabaikan Sky lagi. Ia tidak mau menjalani sisa hidupnya dengan rasa bersalah. Penyesalannya tidak boleh terlambat. "Ace," ia memegangi pundak sang kekasih dengan berat hati, "maaf. Aku tahu
"Jelaskan kepadaku, apa yang terjadi kepada Emily?" tanya Grace setelah ia berdiri di hadapan Louis. Tatapannya dingin, seolah siap membekukan siapa pun yang membohonginya. Louis menatap Grace lekat-lekat. Rautnya juga kaku, tarikan napasnya berat. "Sesuatu terjadi pada Emily. Dia ingin aku segera menemuinya," jawabnya datar. Grace bersedekap. Dagunya sedikit diangkat, sama seperti sebelah alisnya. "Kau sudah mengatakan itu tadi. Aku ingin penjelasan yang lebih lengkap." "Aku belum tahu cerita rincinya. Yang kutahu, aku harus segera ke sana." Grace melirik saku jas Louis. "Memangnya apa yang tertulis di kertas tadi?" "Pesan agar aku kembali ke L City demi Emily," takut Louis sembari mengedikkan bahu. Alih-alih percaya, Grace mengulurkan tangan. "Tunjukkan kepadaku." Dahi Louis mengerenyit tak senang. "Kau meragukan aku?" "Terus terang saja, kau mulai mencurigakan sejak bocah itu datang. Kalau kau memang jujur, tunjukkan saja buktinya," tantang Grace tanpa meninggikan na
Summer kini berbaring sambil menatap langit-langit. Wajahnya mengernyit, mulutnya meringis. Bokong dan pinggangnya terasa sakit, begitu pula dengan kedua sikunya yang tadi membentur lantai. Kalau saja tidak ada ransel di punggung, kepalanya pasti sudah ikut terbentur. "Astaga, Frank! Anak siapa yang kau tabrak ini?" Kara berlutut, memeriksa keadaan sang balita. Sementara itu, Frank berdiri dengan mulut ternganga. Bola matanya bergetar, ingatannya tertarik ke masa silam. Dulu, pertama kali ia bertemu Emily, ia mengalami hal serupa. Emily kecil juga menabraknya dan terpelanting seperti itu. Ia terjatuh dengan pose yang sama. Arah jatuh bonekanya juga. Yang lebih mengejutkan, bocah itu tampak mirip dengan Emily! Warna matanya bahkan abu-abu juga. Hanya rambutnya yang berbeda. Bocah itu berambut keriting, persis seperti .... "Sky?" Frank tanpa sadar menyuarakan isi pikirannya. Mendengar nama sang ibu, Summer mengerjap.
Summer tersenyum melihat betapa lembut Kara mengoles salep di sikunya. Ia bisa merasakan kasih sayang yang tulus. Hal itu mengingatkannya kepada Alice. "Terima kasih, Nyonya Harper. Kau baik sekali, persis seperti nenekku. Oh, aku jadi mendadak rindu kepadanya," ucap Summer manis. Mendapat pujian semacam itu, hati Kara menghangat. "Apakah Alice juga sering mengobatimu seperti ini?" "Ya, aku lebih suka Nenek yang mengobatiku. Kalau Mama yang melakukannya, dia pasti mengomel." Kara terkekeh gemas. "Itu karena ibumu terlalu sayang padamu. Dia sedih karena kamu terluka, tapi dia tidak mau menampakkannya. Jadi dia mengomel." "Apakah dulu kamu juga mengomel setiap kali Bibi Emily terjatuh?" Kara mengangguk. "Ya. Kurasa, setiap ibu yang terlalu sayang kepada anaknya pasti begitu. Kami mengomel supaya anak-anak kami lebih berhati-hati lain kali. Sekarang," Kara menunjukkan beberapa plester lucu di telapak tangannya. "Mana yang harus kita gunakan untuk menutupi lukamu?" Selagi Kar
"Louis benar-benar sudah keterlaluan. Bisa-bisanya dia menggunakan kehamilanku sebagai tameng? Apakah dia lupa bahwa ucapan adalah doa? Bagaimana kalau kebohongannya menjadi kenyataan? Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan bayi-bayiku," omel Emily setelah keluar dari lift. Sudah sejak tadi Emily berusaha menahan amarahnya. Sekarang, karena tidak ada orang asing di sekitar mereka lagi, ia sudah bisa meluapkannya. "Dan lihat efek sampingnya. Aku jadi harus membuang waktu demi bersandiwara di rumah sakit. Aku seharusnya sudah bekerja sejak tadi. Tapi sekarang, agenda-agendaku jadi mundur semua." "Sabar, Princess. Mungkin Louis melakukan itu karena terdesak. Dia sudah tidak bisa memikirkan alasan lain," Cayden mengelus punggungnya. Akan tetapi, Emily tetap cemberut. Matanya kini melirik Orion dengan sinis. "Ini juga salahmu. Kalau saja kau memberitahuku sejak awal, kegemparan ini tidak akan terjadi. Kita bisa bertindak lebih awal, dan Louis tidak akan meninggalkan pers," geru
"Sayang," Kara mengguncang tangan sang putri, "jaga bicaramu. Ada Cayden di sini. Kau lupa kalau Grace adalah sepupunya? Di samping itu, kita juga wanita. Kita tahu rasa sakit yang akan dideritanya kalau Louis memilih Sky." "Aku bukannya ingin Grace terluka, Ma. Tapi memang begitulah seharusnya. Dia justru akan lebih menderita kalau menikah dengan pria yang tidak mencintainya. Apalagi, jika pria itu sudah punya anak di luar nikah. Itu pasti sangat menyakitkan." Kara melirik Cayden. Ia merasa tidak enak hati terhadap menantunya. Namun, sebelum ia sempat meminta maaf, Cayden berkata, "Tenang, Ma. Aku sepakat dengan Emily. Aku bahkan pernah meminta Louis untuk menimbang ulang hubungannya, karena aku tahu, dia dan Grace sebetulnya tidak saling cinta. Mereka hanya terjebak dalam logika tentang pernikahan yang ideal. Lagi pula ...." Cayden tersenyum kecut. "Aku juga sudah curiga saat pertama kali melihat Summer. Dia mirip dengan Louis kecil." Kara menghela napas panjang. Ia sed
Sky tersenyum kecut. "Aku baik-baik saja, Em." "Kau yakin? Kantung matamu begitu tebal. Kau pasti tidak bisa tidur semalam. Apakah kau memikirkan Louis?" "Tidak. Untuk apa aku memikirkannya?" sangkal Sky dengan dahi mengernyit. "Kau tidak perlu berbohong lagi, Sky. Kau pasti mengalami sesuatu di sana. Kalau tidak, mana mungkin kau dan Summer ada di sini? Apakah kalian pergi karena berita yang viral itu?" Sky termenung. Ia tidak mungkin menceritakan bagaimana Grace mendesak mereka pergi. Ia tidak mau Emily mengasihaninya. "Aku dan Summer memang berencana meninggalkan T City pagi ini," sahutnya santai. "Kau dan Summer atau kau saja?" Sky dan Emily beradu pandang. Tidak ingin terlihat goyah, Sky melepas tawa. "Kami berdua, Em." "Bagaimana bisa? Bukankah Summer ingin Louis menjadi ayahnya? Dia tidak setuju kalau Louis menikah dengan Grace? Kurasa mustahil dia mau pergi meninggalkan Louis seorang diri di T City b
"Louis, mau berapa lama lagi kita di sini?" tanya Sky manis. Ia sedang duduk di depan Louis sambil bersandar di dadanya. Dengan pose berendam seperti itu, mereka terlihat sangat mesra. "Apakah kau sudah bosan?" tanya Louis serak. Sky menggeleng manja. "Tidak. Hanya saja, kita sudah selesai bergulat. Apa lagi yang mau kau lakukan di sini?" "Aku masih mau melakukan ini," Louis lanjut memainkan titik sensitif sang istri. Melihat betapa nakal jemari Louis, Sky mendengus geli. "Itu bisa kau lakukan di kamar, Louis. Tidak harus di sini." "Ya, tapi kalau kita keluar dari air, aku tidak bisa melakukan ini," Louis mengambil setangkup air. Saat ia menuangkannya di tubuh Sky, air tersebut mengalir dengan indah. Sky hanya bisa menggeleng tak habis pikir. Ternyata, bukan hanya dirinya yang tak banyak berubah. Louis juga. Mereka berdua masih kekanakan. Selagi Louis bersenang-senang dengan tubuhnya, Sky mulai mencari kesibukan. Ia menatap sekeliling. Tak lama kemudian, ia bertanya, "Louis,
"Maaf, Louis. Aku sebetulnya tidak mau melanggar kesepakatan, tapi aku harus mengangkat telepon. Siapa tahu ini penting," tutur Sky seraya memeriksa panggilan. "Oh, ternyata ini ayahku. Halo, Papa." Sky berbincang dengan sang ayah selama beberapa saat. Sesekali ia melirik Louis. Raut sang suami lagi-lagi menggelitik hatinya. Saat percakapan mereka usai, Louis langsung menyita ponselnya. "Demi kenyamanan bersama, bagaimana kalau kita mematikan ponselmu juga? Kita boleh menyalakannya lagi setelah aku selesai memanjakanmu." "Bagaimana kalau ada sesuatu yang penting?" Louis menggeleng ringan. Ia matikan ponsel Sky dan meletakkannya di atas meja. "Semua orang tahu kita sedang berbulan madu. Mereka seharusnya mengerti kalau kita sedang tidak mau diganggu. Lagi pula, yang terpenting saat ini adalah kita." Sembari tersenyum manis, Louis menyodorkan tangan. "Apakah kau sudah siap untuk dimanjakan?" "Ya! Walaupun aku sudah bukan anak kecil, aku masih suka dimanjakan," Sky meleta
Beberapa saat yang lalu, Louis dan Sky memasuki kapal. Mereka langsung berjalan menuju kabin mereka. Sepanjang jalan, Sky terus berceloteh tentang apa saja yang dilihatnya. Louis dengan senang hati mendengarkan. Ia merasa seperti kembali ke masa kecil mereka. "Louis, lihat! Itu koper kita!" Sambil tertawa, Sky mempercepat langkah. Meski demikian, ia tetap menjaga tangan Louis dalam genggamannya. Louis pun mengikuti dengan langkah ringan. "Akhirnya, kita sampai di kamar kita. Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya. Perlukah kita merekam momen ini? Kurasa Summer juga pasti senang melihatnya," tutur Sky dengan mata berbinar. Louis selalu suka melihatnya. Ia tersenyum manis. "Sky, bagaimana kalau saat ini, kita nikmati saja momen-momen sepenuhnya? Lupakan tentang orang lain. Fokus saja pada kita berdua." "Tapi Summer bukan orang lain. Dia putri kita," timpal Sky dengan alis melengkung tinggi. Kebingungan yang terukir di wajahnya membuat Louis tertawa gemas. Apalagi, gelengan ke
Setibanya di kediaman Harper, perhatian Orion langsung tertuju pada dua bocah di ruang tamu. Mereka sedang duduk bersampingan di sebuah sofa. Tatapan mereka serius, terpaku pada ponsel. "Selamat pagi, Summer, River," sapa Orion sembari mendekat. Para bocah akhirnya mengangkat pandangan. "Selamat pagi, Paman Orion." Namun kemudian, mata mereka kembali pada ponsel. Merasa diabaikan, kening Orion berkerut. "Apa yang sedang kalian lakukan?" "Tolong jangan ganggu kami, Paman Orion. Kami sedang serius," gerutu Summer. Alisnya tertaut lucu. Penasaran, Orion berdiri di belakang sofa. Ia membungkuk, memperhatikan apa yang sedang dikerjakan para bocah. "Siapa perempuan itu?" tanyanya ketika mendapati media sosial milik seseorang yang tidak ia kenal. Summer menghela napas panjang. Gayanya sudah seperti orang dewasa. "Paman Orion, bukankah sudah kubilang untuk tidak mengganggu kami?" "Aku tidak mengganggu. Hanya bertanya. Siapa perempuan itu? Kenapa kalian mengamati media sos
"Tunggu," Summer menahan kedua orang tuanya agar tidak membalikkan badan. "Mama dan Papa jangan menoleh. Nanti dia tahu kalau kita sedang membicarakan dirinya. Coba Papa geser kamera ke arah kiri. Oh, maksudku kanan. Nah, itu dia! Zoom sekarang!" Louis memenuhi perintah sang putri. Mendapati seorang wanita tinggi semampai yang sejak tadi memang berkeliaran di dekat mereka, ia melirik ke samping. Sesuai dugaan, Sky sedang mengerucutkan bibir. "Perempuan itu lagi," gerutu Sky dengan nada tak senang. Summer seketika terbelalak. "Apakah Mama mengenalnya?" Sky mengedikkan bahu. "Tidak. Hanya saja, sejak kami tiba di sini, dia terus mondar-mandir di sekitar Papa. Mama rasa dia sedang tebar pesona untuk mendapatkan perhatian Papa." Louis merasa gemas dengan tingkah istrinya itu. Ia menggosok-gosok lengannya, berbisik dengan senyum tertahan, "Sky, kenapa raut wajahmu manyun begitu? Apakah kau cemburu?" "Cemburu?" Mata Sky membulat. "Tidak. Aku tahu kau tidak akan terpesona oleh
"Kau tidak jadi memberi mereka pelajaran?" bisik Brandon di sisi Briony. Matanya juga terpaku pada dua bocah yang saling berpelukan. Briony menghela napas panjang. Dahinya mengernyit. "Apakah mereka sengaja berpose lucu seperti itu agar aku tidak memarahi mereka?" gumam Briony, curiga. Brandon menggeleng santai. "Kurasa tidak. Mereka memang masih tidur. Lihatlah, wajah mereka tampak begitu damai." Mata Briony memicing. "Mereka tidak berpura-pura, kan? Kau tahu, dua bocah ini cerdas. Mereka bisa saja bersandiwara untuk menyelamatkan diri. Mereka sudah menjebak kita." Tiba-tiba, alarm dari ponsel River berbunyi. Bocah itu tersentak. Karena River bergerak, Summer ikut terbangun. "Apakah ini sudah pagi?" tanyanya dengan suara serak. Matanya memicing karena silau. "Ya, alarmku sudah berbunyi. Itu artinya ini sudah pagi," jawab River sembari meraih ponsel yang berada di dekat kepalanya. Summer pun meregangkan badan. Ia menjadi semakin mirip dengan ulat yang menggeliat.
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,