Sky tersenyum kecut. "Aku baik-baik saja, Em."
"Kau yakin? Kantung matamu begitu tebal. Kau pasti tidak bisa tidur semalam. Apakah kau memikirkan Louis?" "Tidak. Untuk apa aku memikirkannya?" sangkal Sky dengan dahi mengernyit. "Kau tidak perlu berbohong lagi, Sky. Kau pasti mengalami sesuatu di sana. Kalau tidak, mana mungkin kau dan Summer ada di sini? Apakah kalian pergi karena berita yang viral itu?" Sky termenung. Ia tidak mungkin menceritakan bagaimana Grace mendesak mereka pergi. Ia tidak mau Emily mengasihaninya. "Aku dan Summer memang berencana meninggalkan T City pagi ini," sahutnya santai. "Kau dan Summer atau kau saja?" Sky dan Emily beradu pandang. Tidak ingin terlihat goyah, Sky melepas tawa. "Kami berdua, Em." "Bagaimana bisa? Bukankah Summer ingin Louis menjadi ayahnya? Dia tidak setuju kalau Louis menikah dengan Grace? Kurasa mustahil dia mau pergi meninggalkan Louis seorang diri di T City b"Sky," panggil Louis dengan nada rendah yang menggetarkan, "bisa kita bicara sebentar?" "Tidak," tolak Sky tegas walau dengan suara pelan. "Kau tidak seharusnya berada di sini, Louis. Untuk apa kau menemui aku?" Louis menatapnya lekat-lekat. "Ada hal penting yang perlu kita bahas." "Apa lagi yang perlu kita bahas? Bukankah semuanya sudah jelas? Kau akan segera menikah dengan Grace. Demi menghindari kesalahpahaman, aku dan Summer tidak boleh berada di dekatmu. Karena itu," Sky mengambil jeda untuk mengatur napas. Ia tidak mau kesabarannya terkuras. "Kami angkat kaki dari rumahmu secepat mungkin. Kami bahkan tidak sempat pamit. Tapi apa yang kau lakukan sekarang? Kenapa kau malah menyusul kami ke sini? Kau sengaja ingin membuat namaku jelek?" desahnya sembari meringis. "Tidak," geleng Louis cepat. "Aku tidak pernah bermaksud jahat padamu, Sky." "Kalau begitu, lepaskan tanganku. Biarkan aku keluar dari sini. Aku tidak mau orang-orang menganggapku menggodamu. Summer dan orang tuaku
Setelah menyelesaikan kata-katanya, Sky berjalan menuju pintu. Louis lagi-lagi menahan lengannya. Namun, kali ini, Sky memberontak. "Lepaskan aku, Louis! Tolong jangan mempersulit hidupku!" ringis Sky dengan wajah penuh kerutan. "Apakah kau tidak sadar berapa banyak orang yang menghujatku sekarang? Beberapa dari mereka bahkan menghina Summer. Coba saja kau baca komentar-komentar yang mereka buat! Tidak ada satu pun yang enak didengar." Sambil membendung air mata, telunjuk Sky meruncing seolah menunjuk seseorang. "Mereka menyebut kami tidak tahu malu dan tidak punya harga diri, Louis. Mereka menyebutku gadis yang tidak sadar diri. Padahal—" Sky tersedak oleh kesedihan. Sambil mengepalkan tangan, ia berusaha meredam emosi. "Aku tahu betul bahwa aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekasihmu yang sempurna itu. Karena itulah, aku mendesak Summer untuk pulang secepatnya, tapi kau menahan kami dan lihat akibatnya. Aku tidak mau hal itu terulang. Jadi sekarang," Sky meninggik
"Summer ...." Louis berjalan menghampiri sang balita dengan tangan terentang lebar. Melihat itu, tawa Summer langsung mengudara. Ia berlari menuju sang pria. Namun, belum sempat mereka berpelukan, Sky berdiri di antara mereka. "Sayang?" Sky memegangi pundak sang putri dan menatapnya dengan penuh tanya. "Apa yang sedang kau lakukan? Kau mau memeluknya? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi dekat-dekat dengannya? Kau ingat? Grace melarang kita." Melihat raut kusut sang ibu, senyum Summer menciut. Wajahnya berubah bingung. "Ya, Mama. Tapi dia sedang tidak di sini. Dia tidak akan tahu kalau aku memeluk Paman Louis. Lagi pula, kita tidak sempat berpamitan saat akan berangkat ke sini. Apa salahnya jika aku memeluk Paman Louis sekarang? Anggap saja, itu salam perpisahan yang tertunda," gerutunya. Mendengar itu, Louis tersentak. "Grace melarang kalian? Karena itukah kalian pergi tanpa bilang? Apa yang sudah dia katakan kepada kalian?" selidik Louis, penuh keseriusan. Alih
"Apa yang kita takutkan itu belum tentu benar, Sky. Itu bisa saja hanya hasil pemikiran kita yang berlebihan, seperti yang terjadi padaku dulu. Aku takut Frank menyakiti si Kembar karena dianggapnya sebagai aib. Tapi kenyataannya?" Kara menaikkan alis. Senyumnya manis. "Frank justru melindungi si Kembar dari semua ancaman yang datang, termasuk dari kakeknya sendiri. Aku merasa bodoh setelah menyaksikan semua itu. Awalnya, aku berpikir, akulah satu-satunya orang yang bisa melindungi anak-anak. Tapi ternyata, mereka punya ayah yang bisa diandalkan." Tiba-tiba, wajah Sky kembali meredup. Ia sadar, Kara ingin menyatakan secara tersirat bahwa Louis juga bisa melindungi Summer. "Apakah Anda mengatakan bahwa aku bodoh, Nyonya?" gumamnya samar. "Aku bodoh karena telah menghalangi anakku bersatu dengan ayahnya?" Kara menggeleng lambat. "Aku mau mengingatkan bahwa kamu tidak boleh diperdaya oleh rasa takut. Jangan sampai kau mengorbankan kebahagiaan putrimu karena kekhawatiran yang
"Aku juga mau mengetahui pengalamanmu setiap hari. Bisakah kamu mengirimkan jurnalmu kepadaku juga, Summer?" pinta Kara dengan mata berkaca-kaca. "Aku juga," celetuk Emily dan Frank kompak. Summer terkekeh geli. "Baiklah, aku akan mengirimnya kepada kalian semua. Apakah aku perlu mengirimkan fotoku juga?" "Ya!" jawab semuanya, bersamaan. Suara tawa Summer kembali bergema. Ia bahagia karena semua orang menyayanginya. "Oh, kurasa, anak-anak Bibi Emily sangatlah beruntung," celetuknya kemudian. Semua orang mengernyitkan dahi, heran. "Kenapa kamu tiba-tiba berkata begitu?" selidik Louis, mewakili yang lain. Summer memutar duduknya agar menghadap Louis. Sebelah tangannya terulur, meraih perut Emily. "Karena begitu mereka lahir, mereka akan langsung dikelilingi oleh orang-orang baik yang sangat menyayangi mereka," sahut Summer lugu. "Mereka akan disambut oleh kakek-nenek yang sudah tidak sabar ingin bertemu mereka. Mereka akan disapa oleh paman-paman dan bibi-bibi yan
"Mama sudah selesai menenangkan diri? Apakah perasaan Mama sudah jauh lebih baik? Mama sudah tidak marah lagi?" tanya Summer penuh perhatian. Padahal, kerut alisnya masih melukiskan kegelisahan. Sky menarik napas. Ia hendak menjawab, tetapi Summer malah lanjut bicara, "Mama tahu? Paman Louis tadi bertanya apa yang akan aku lakukan kalau aku bertemu ayahku. Aku bilang, aku akan menanyakan kabarnya terlebih dahulu. Lalu, aku akan memeluknya dan mengecup pipinya banyak-banyak." Tiba-tiba, Summer melangkah maju. Ia meraih tangan Sky. Kepalanya mendongak dengan mata berkaca-kaca. "Karena itu, aku harap Mama tidak marah. Aku memeluk Paman Louis bukan karena aku ingin dia menjadi papaku. Tapi dia memintaku untuk menganggapnya sebagai ayah. Aku menggunakannya untuk memperagakan jawabanku saja, Mama. Dan dia bilang, Grace tidak akan marah. Jadi kurasa, itu bukan masalah." Semua orang kompak menghela napas iba. Mereka bisa membayangkan ketakutan yang membayangi sang balita. Sky pun s
"Paman Louis, kenapa kalian berbisik-bisik? Apakah kalian tidak mendengarkan aku? Dan mau sampai kapan kamu memeluk Mama?" tanya Summer dengan bibir mencebik. Malangnya, Louis dan Sky tidak menanggapi. Merasa dirinya tidak digubris, Summer pun mengentakkan kaki ke lantai. "Mama, ini tidak adil. Aku juga mau dipeluk oleh Paman Louis!" Sambil menggembungkan pipi, balita itu mencoba untuk memisahkan Sky dan Louis. "Mama, ayo ... menjauhlah dari Paman Louis! Sekarang giliran aku untuk memeluknya." Merasakan dorongan dari tangan mungil itu, Louis akhirnya menunduk. Bukannya merasa malu, ia malah tertawa. Raut kesal Summer telah menggelitik hatinya. "Maaf, Manusia Mungil. Kami bukannya mengabaikanmu. Hanya saja, perbincangan kami belum selesai tadi." "Itu pasti obrolan orang dewasa. Kalian berbisik-bisik supaya aku tidak bisa mendengar, kan?" gerutu Summer dengan bibir mungilnya yang menguncup. Merasa gemas, Louis pun menggendongnya. "Tapi sekarang, obrolanku dengan ibumu sudah s
Setibanya di kediaman Harper, semua orang antusias menyambut kedatangan Summer. Kara bergegas membuat salad spesial untuk makan malam. Ia berjanji akan membuatkan roti lapis untuk sarapan besok pagi dan biskuit untuk kudapan siangnya. Summer awalnya berniat membantu. Namun, karena Kara melarang, ia akhirnya bermain bersama para pria di pekarangan belakang. Mereka adu lari, bermain lempar bola, dan kejar-kejaran. Walaupun keringat bercucuran di tubuhnya, tawa Summer tidak ada putus-putusnya. Saat sebuah sepeda baru tiba, Summer tercengang melihatnya. Ukurannya yang kecil sangat pas untuk tubuhnya. "Apakah sepeda itu untukku?" desahnya dengan mata bulat yang bercahaya. Begitu Frank mengangguk, tawanya bergema. Ia langsung menghampiri hadiahnya, mengamati barang baru itu dengan penuh kekaguman. "Mama, lihat apa yang Tuan Harper berikan kepadaku. Sebuah sepeda baru! Ini sangat keren! Lihatlah warna birunya. Ini warna kesukaanku! Dan keranjangnya, aku bisa menaruh Toby di sini dan
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,
"Paman Brandon dan Bibi Briony kan sudah dewasa. Kalian sama-sama belum mempunyai pasangan. Bukankah tidak apa-apa kalau kalian berdua berciuman?" tanya Summer sambil menahan tawa. Meski demikian, kegelian tetap lolos dari mulutnya.Mendengar pernyataan semacam itu, Briony menghela napas tak percaya. "Summer, apakah kau lupa berapa umurmu? Kamu itu masih kecil. Belum saatnya kamu membicarakan tentang pasangan dan ciuman!""Apa masalahnya, Bibi? Bukan aku yang akan berciuman, tapi Bibi dan Paman Brandon!"Pipi Briony semakin memanas. "Kami tidak akan berciuman, Summer. Kami hanya berteman!" tegasnya, kesal.Sementara itu, Brandon melirik River. Ia merasa ulah keponakannya itu sudah melewati batas. "River, apakah ini idemu? Kau mengajari Summer hal yang tidak pantas lagi?" "Tidak, Paman. Bukan aku! Itu ide Summer!" Sambil tertawa, Summer mengaku. "Tolong jangan memarahi River, Paman. Ini memang ideku. Aku sedang bereksperimen tentang cinta. Aku ingin membuktikan apakah dua orang yang
"Wow! Eksperimen kalian memang keren! Selamat, Summer, River. Kalian berhasil melakukannya dengan benar. Menyusun stik es krim agar reaksi berantainya tidak putus bukanlah hal yang mudah," puji Brandon, membuat mata para bocah berbinar-binar. "Paman benar! Susunan stiknya memang rumit dan sulit untuk dilakukan!" seru River sambil mengangguk yakin. "Untung saja kerja sama kami baik. Eksperimen terselesaikan dengan sempurna!" lanjut Summer bangga. "Omong-omong, Paman, Bibi, apakah kalian punya waktu untuk kami? Masih ada satu eksperimen yang perlu kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukannya berdua." Brandon dan Briony mengangkat alis. "Eksperimen apa?" tanya mereka bersamaan. Summer dan River saling lirik dan bertukar senyum. Selang beberapa saat, Brandon dan Briony telah berdiri di tengah pekarangan. Mereka menghadap satu sama lain dengan jarak sekitar 10 meter. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung dari seutas tali. "Hei, Summer, apakah tali itu tidak kepanjanga
Selama beberapa saat, Summer membiarkan River mengamati hasil eksperimennya. Setiap bocah laki-laki itu berdecak kagum, hati Summer berbunga-bunga. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil membuat percobaan yang mengagumkan. "Wow, apakah ini kertas daur ulang?" River menyentuhkan telunjuk mungilnya pada sebuah kertas tebal dengan permukaan tak rata dan warna yang agak kusam. Summer mengangguk mantap. "Ya, itu adalah percobaan ketigaku, tapi hasilnya belum memuaskan. Aku akan mencoba untuk membuatnya lagi sampai hasilnya sebagus kertas biasa." "Apakah kalau sudah berhasil, kau mau menjualnya?" Bibir Summer mengerucut. "Entahlah, aku belum yakin tentang itu. Mungkin, aku akan menggunakannya untuk mencetak buku-bukuku terlebih dahulu. Setelah itu, baru aku akan memperluas penggunaannya. Aku berharap, dengan adanya kertas daur ulang ini, penebangan pohon bisa berkurang. Orang-orang tidak perlu menggunakan kertas baru. Kertas-kertas lama juga bisa." River men
Tiba-tiba, Summer dan River melangkah mundur. Namun, setelah hitungan ketiga, mereka malah berlari maju. Mereka tanpa ragu menabrak Brandon dan Briony. Saat mereka terpental dan jatuh ke lantai, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. "Summer, kamu benar! Kita terpental karena gaya dorong yang kita berikan kembali kepada kita!" ujar River seraya mengatur napas. "Itulah Hukum Newton ke-3. Aksi sama dengan reaksi! Sekarang, bagaimana kalau kita beralih ke agenda selanjutnya? Ayo ke ruang eksperimen dan memulai eksperimen yang sesungguhnya!" "Ayo!" Kedua bocah itu bergegas bangkit dan berlari ke pekarangan barat. Melihat kecepatan mereka, Brandon dan Briony hanya bisa berkedip-kedip dengan mulut ternganga. "Astaga .... Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka mengira kita ini benda mati? Mereka bahkan tidak sempat meminta maaf sebelum pergi," desah Briony, tak habis pikir. Ia tidak sadar jika tubuhnya masih menempel pada Brandon. Sambil menghela napas, Brandon mengusi
"Sampai jumpa, Mama, Papa! Semoga perjalanan kalian lancar! Bersenang-senanglah bersama penguin di Kutub Selatan!" ujar Summer sembari melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Senyumnya semringah, kakinya sesekali melompat. Louis dan Sky balas melambai dari jendela mobil mereka. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jangan lupa pesan Mama! Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama Mama dan Papa pergi, oke?" pesan Sky dengan mata berkaca-kaca. "Tenang, Mama. Aku ini anak baik. Aku tidak mungkin membuat masalah. Mama dan Papa fokus pada bulan madu saja!" angguk Summer sambil berkacak pinggang. Dari sisi Sky, Louis menunjuk sepupunya. "Briony, tolong awasi Summer dengan baik. Kami percayakan dia kepadamu," tuturnya serius. "Kurasa tidak ada yang perlu kuawasi, Louis. Putrimu adalah anak yang cerdas dan manis. Lagi pula, bukan hanya aku orang dewasa yang ada di rumah ini," celetuk Briony ringan. "Ya, ada Kakek, Nenek, Bibi Emily, Paman Cayden, Paman Russell, dan Paman Brand
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya