Summer kini berbaring sambil menatap langit-langit. Wajahnya mengernyit, mulutnya meringis.
Bokong dan pinggangnya terasa sakit, begitu pula dengan kedua sikunya yang tadi membentur lantai. Kalau saja tidak ada ransel di punggung, kepalanya pasti sudah ikut terbentur. "Astaga, Frank! Anak siapa yang kau tabrak ini?" Kara berlutut, memeriksa keadaan sang balita. Sementara itu, Frank berdiri dengan mulut ternganga. Bola matanya bergetar, ingatannya tertarik ke masa silam. Dulu, pertama kali ia bertemu Emily, ia mengalami hal serupa. Emily kecil juga menabraknya dan terpelanting seperti itu. Ia terjatuh dengan pose yang sama. Arah jatuh bonekanya juga. Yang lebih mengejutkan, bocah itu tampak mirip dengan Emily! Warna matanya bahkan abu-abu juga. Hanya rambutnya yang berbeda. Bocah itu berambut keriting, persis seperti .... "Sky?" Frank tanpa sadar menyuarakan isi pikirannya. Mendengar nama sang ibu, Summer mengerjap.Summer tersenyum melihat betapa lembut Kara mengoles salep di sikunya. Ia bisa merasakan kasih sayang yang tulus. Hal itu mengingatkannya kepada Alice. "Terima kasih, Nyonya Harper. Kau baik sekali, persis seperti nenekku. Oh, aku jadi mendadak rindu kepadanya," ucap Summer manis. Mendapat pujian semacam itu, hati Kara menghangat. "Apakah Alice juga sering mengobatimu seperti ini?" "Ya, aku lebih suka Nenek yang mengobatiku. Kalau Mama yang melakukannya, dia pasti mengomel." Kara terkekeh gemas. "Itu karena ibumu terlalu sayang padamu. Dia sedih karena kamu terluka, tapi dia tidak mau menampakkannya. Jadi dia mengomel." "Apakah dulu kamu juga mengomel setiap kali Bibi Emily terjatuh?" Kara mengangguk. "Ya. Kurasa, setiap ibu yang terlalu sayang kepada anaknya pasti begitu. Kami mengomel supaya anak-anak kami lebih berhati-hati lain kali. Sekarang," Kara menunjukkan beberapa plester lucu di telapak tangannya. "Mana yang harus kita gunakan untuk menutupi lukamu?" Selagi Kar
"Louis benar-benar sudah keterlaluan. Bisa-bisanya dia menggunakan kehamilanku sebagai tameng? Apakah dia lupa bahwa ucapan adalah doa? Bagaimana kalau kebohongannya menjadi kenyataan? Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan bayi-bayiku," omel Emily setelah keluar dari lift. Sudah sejak tadi Emily berusaha menahan amarahnya. Sekarang, karena tidak ada orang asing di sekitar mereka lagi, ia sudah bisa meluapkannya. "Dan lihat efek sampingnya. Aku jadi harus membuang waktu demi bersandiwara di rumah sakit. Aku seharusnya sudah bekerja sejak tadi. Tapi sekarang, agenda-agendaku jadi mundur semua." "Sabar, Princess. Mungkin Louis melakukan itu karena terdesak. Dia sudah tidak bisa memikirkan alasan lain," Cayden mengelus punggungnya. Akan tetapi, Emily tetap cemberut. Matanya kini melirik Orion dengan sinis. "Ini juga salahmu. Kalau saja kau memberitahuku sejak awal, kegemparan ini tidak akan terjadi. Kita bisa bertindak lebih awal, dan Louis tidak akan meninggalkan pers," geru
"Sayang," Kara mengguncang tangan sang putri, "jaga bicaramu. Ada Cayden di sini. Kau lupa kalau Grace adalah sepupunya? Di samping itu, kita juga wanita. Kita tahu rasa sakit yang akan dideritanya kalau Louis memilih Sky." "Aku bukannya ingin Grace terluka, Ma. Tapi memang begitulah seharusnya. Dia justru akan lebih menderita kalau menikah dengan pria yang tidak mencintainya. Apalagi, jika pria itu sudah punya anak di luar nikah. Itu pasti sangat menyakitkan." Kara melirik Cayden. Ia merasa tidak enak hati terhadap menantunya. Namun, sebelum ia sempat meminta maaf, Cayden berkata, "Tenang, Ma. Aku sepakat dengan Emily. Aku bahkan pernah meminta Louis untuk menimbang ulang hubungannya, karena aku tahu, dia dan Grace sebetulnya tidak saling cinta. Mereka hanya terjebak dalam logika tentang pernikahan yang ideal. Lagi pula ...." Cayden tersenyum kecut. "Aku juga sudah curiga saat pertama kali melihat Summer. Dia mirip dengan Louis kecil." Kara menghela napas panjang. Ia sed
Sky tersenyum kecut. "Aku baik-baik saja, Em." "Kau yakin? Kantung matamu begitu tebal. Kau pasti tidak bisa tidur semalam. Apakah kau memikirkan Louis?" "Tidak. Untuk apa aku memikirkannya?" sangkal Sky dengan dahi mengernyit. "Kau tidak perlu berbohong lagi, Sky. Kau pasti mengalami sesuatu di sana. Kalau tidak, mana mungkin kau dan Summer ada di sini? Apakah kalian pergi karena berita yang viral itu?" Sky termenung. Ia tidak mungkin menceritakan bagaimana Grace mendesak mereka pergi. Ia tidak mau Emily mengasihaninya. "Aku dan Summer memang berencana meninggalkan T City pagi ini," sahutnya santai. "Kau dan Summer atau kau saja?" Sky dan Emily beradu pandang. Tidak ingin terlihat goyah, Sky melepas tawa. "Kami berdua, Em." "Bagaimana bisa? Bukankah Summer ingin Louis menjadi ayahnya? Dia tidak setuju kalau Louis menikah dengan Grace? Kurasa mustahil dia mau pergi meninggalkan Louis seorang diri di T City b
"Sky," panggil Louis dengan nada rendah yang menggetarkan, "bisa kita bicara sebentar?" "Tidak," tolak Sky tegas walau dengan suara pelan. "Kau tidak seharusnya berada di sini, Louis. Untuk apa kau menemui aku?" Louis menatapnya lekat-lekat. "Ada hal penting yang perlu kita bahas." "Apa lagi yang perlu kita bahas? Bukankah semuanya sudah jelas? Kau akan segera menikah dengan Grace. Demi menghindari kesalahpahaman, aku dan Summer tidak boleh berada di dekatmu. Karena itu," Sky mengambil jeda untuk mengatur napas. Ia tidak mau kesabarannya terkuras. "Kami angkat kaki dari rumahmu secepat mungkin. Kami bahkan tidak sempat pamit. Tapi apa yang kau lakukan sekarang? Kenapa kau malah menyusul kami ke sini? Kau sengaja ingin membuat namaku jelek?" desahnya sembari meringis. "Tidak," geleng Louis cepat. "Aku tidak pernah bermaksud jahat padamu, Sky." "Kalau begitu, lepaskan tanganku. Biarkan aku keluar dari sini. Aku tidak mau orang-orang menganggapku menggodamu. Summer dan orang tuaku
Setelah menyelesaikan kata-katanya, Sky berjalan menuju pintu. Louis lagi-lagi menahan lengannya. Namun, kali ini, Sky memberontak. "Lepaskan aku, Louis! Tolong jangan mempersulit hidupku!" ringis Sky dengan wajah penuh kerutan. "Apakah kau tidak sadar berapa banyak orang yang menghujatku sekarang? Beberapa dari mereka bahkan menghina Summer. Coba saja kau baca komentar-komentar yang mereka buat! Tidak ada satu pun yang enak didengar." Sambil membendung air mata, telunjuk Sky meruncing seolah menunjuk seseorang. "Mereka menyebut kami tidak tahu malu dan tidak punya harga diri, Louis. Mereka menyebutku gadis yang tidak sadar diri. Padahal—" Sky tersedak oleh kesedihan. Sambil mengepalkan tangan, ia berusaha meredam emosi. "Aku tahu betul bahwa aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekasihmu yang sempurna itu. Karena itulah, aku mendesak Summer untuk pulang secepatnya, tapi kau menahan kami dan lihat akibatnya. Aku tidak mau hal itu terulang. Jadi sekarang," Sky meninggik
"Summer ...." Louis berjalan menghampiri sang balita dengan tangan terentang lebar. Melihat itu, tawa Summer langsung mengudara. Ia berlari menuju sang pria. Namun, belum sempat mereka berpelukan, Sky berdiri di antara mereka. "Sayang?" Sky memegangi pundak sang putri dan menatapnya dengan penuh tanya. "Apa yang sedang kau lakukan? Kau mau memeluknya? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi dekat-dekat dengannya? Kau ingat? Grace melarang kita." Melihat raut kusut sang ibu, senyum Summer menciut. Wajahnya berubah bingung. "Ya, Mama. Tapi dia sedang tidak di sini. Dia tidak akan tahu kalau aku memeluk Paman Louis. Lagi pula, kita tidak sempat berpamitan saat akan berangkat ke sini. Apa salahnya jika aku memeluk Paman Louis sekarang? Anggap saja, itu salam perpisahan yang tertunda," gerutunya. Mendengar itu, Louis tersentak. "Grace melarang kalian? Karena itukah kalian pergi tanpa bilang? Apa yang sudah dia katakan kepada kalian?" selidik Louis, penuh keseriusan. Alih
"Apa yang kita takutkan itu belum tentu benar, Sky. Itu bisa saja hanya hasil pemikiran kita yang berlebihan, seperti yang terjadi padaku dulu. Aku takut Frank menyakiti si Kembar karena dianggapnya sebagai aib. Tapi kenyataannya?" Kara menaikkan alis. Senyumnya manis. "Frank justru melindungi si Kembar dari semua ancaman yang datang, termasuk dari kakeknya sendiri. Aku merasa bodoh setelah menyaksikan semua itu. Awalnya, aku berpikir, akulah satu-satunya orang yang bisa melindungi anak-anak. Tapi ternyata, mereka punya ayah yang bisa diandalkan." Tiba-tiba, wajah Sky kembali meredup. Ia sadar, Kara ingin menyatakan secara tersirat bahwa Louis juga bisa melindungi Summer. "Apakah Anda mengatakan bahwa aku bodoh, Nyonya?" gumamnya samar. "Aku bodoh karena telah menghalangi anakku bersatu dengan ayahnya?" Kara menggeleng lambat. "Aku mau mengingatkan bahwa kamu tidak boleh diperdaya oleh rasa takut. Jangan sampai kau mengorbankan kebahagiaan putrimu karena kekhawatiran yang
"Ya, kau sebaiknya fokus saja dengan kegiatan di penjara ini, Kendrick. Siapa tahu, kau bisa mendapat keringanan karena perilaku baik," Summer mengedikkan bahu santai. Akan tetapi, Kendrick malah semakin menggila. Ia mulai mengguncang pintu, memohon kepada para petugas untuk membukanya. Saat Orion mendekat, ia berteriak ketakutan. "Tidak! Menjauhlah dariku! Aku masih mau hidup! Jangan kau apa-apakan kepalaku!" Tiba-tiba, bunyi aneh terdengar dari pantat Kendrick. Bau busuk pun menyebar. Summer dan River cepat-cepat memencet hidung mereka. "Uuuh, Kendrik, kau jorok sekali!" tutur Summer, meledek. "Cepat sana ke kamar mandi! Dan jangan lupa dengan chipmu!" River terkekeh usil. "Dia tidak perlu membawanya, River. Chip ini yang akan datang sendiri kepadanya. Maksudku, petugas kepolisian yang akan memasukkan chip ke dalam otaknya!" Membayangkan kepalanya dibelah, Kendrick terkesiap. Mulutnya mulai bergetar. Saat pintu besi dibuka, lututnya ikut gemetar. Ia mencoba untuk melari
Khawatir sandiwaranya terbongkar, Summer cepat-cepat mengobrol dengan River. Ia bertanya tentang penilaiannya terhadap roti lapis itu dan apa yang perlu mereka perbaiki ke depannya. Setelah Kendrick menghabiskan makanan dan minumannya, barulah ia meraih kotak besar di atas meja. "Apakah kau sudah kenyang?" tanya Summer yang kini berlutut di atas kursi. Kalau tidak, kotak besar itu pasti sudah menutupi wajahnya dari Kendrick. Narapidana itu mendengus. "Apa pedulimu?" "Apakah kau lupa? Aku sudah menjawab pertanyaan itu. Berapa kali pun kau bertanya, jawabanku akan tetap sama. Aku mengkhawatirkan kondisimu karena keluargakulah yang memasukkanmu ke dalam penjara itu," Summer menunjuk pintu besi yang dijaga oleh dua orang petugas kepolisian. Kendrick memutar bola mata. "Jangan berpura-pura peduli padaku. Aku tahu, kau dan orang tua berengsekmu itu berpesta setelah kalian melemparku ke tempat terkutuk ini." Summer terkesiap. Mata bulatnya berkilat oleh keterkejutan. "Tolong perhat
"Tolong jangan disebut. Itu berbahaya!" ujar Summer lantang. River menyingkirkan tangan Summer dari mulutnya. "Kenapa?" "Pokoknya, itu berbahaya. Mari kita masukkan itu sebagai kata terlarang. Jangan membahasnya lagi sampai kita dewasa," tutur Summer dengan penuh keseriusan. River pun menghela napas kesal. Namun, melihat ketegasan di wajah Summer, ia akhirnya mengalah. "Baiklah, aku akan melupakannya. Anggap itu tidak pernah kudengar," ia memutar telinga seolah sedang memutar pita kaset ke belakang. Louis akhirnya bisa kembali bernapas lega. Sky terkekeh melihatnya mengelus dada. Setelah itu, perbincangan berlangsung normal. Tidak ada hal aneh lagi yang mereka bahas. Mereka hanya bertukar kabar. Saat perbincangan mereka berakhir, Summer memekik gembira, "Oh, aku sungguh tidak sabar ingin menyambut Papa dan Mama pulang! Mereka pasti akan membawa banyak cerita!" "Ya, aku juga. Aku tidak sabar ingin melihat oleh-oleh apa yang mereka bawa dari Antartika!" sahut River, tak
Sang kapten tersenyum simpul. "Dia mengaku bernama Summer." Louis dan Sky terbelalak. "Summer?" Lengkung bibir sang kapten melebar. "Ya. Summer Harper. Awalnya, saya berpikir bahwa itu hanyalah panggilan iseng. Tapi setelah mendengar caranya berbicara dan mengetahui namanya, saya percaya bahwa situasinya serius. Saya sarankan Anda untuk segera menghubunginya. Dia sangat resah." Sky mengangguk cepat. Di sisinya, Louis berkata, "Terima kasih, Kapten Alvarez. Kami akan segera menghubungi putri kami." Seperginya sang kapten, Sky melakukan panggilan video. Begitu Summer menerimanya, suara manisnya langsung bergema, "Mama, kenapa baru meneleponku sekarang? Ke mana saja dari tadi? Apakah Angelica mengganggu kalian lagi?" Melihat wajah cemberut sang putri, Sky dan Louis tertawa lirih. Mata mereka berkaca-kaca, terlapisi oleh keharuan sekaligus rasa bangga. "Maaf, Sayang. Mama dan Papa ada urusan mendesak. Kami terpaksa menghidupkan mode pesawat sebentar," timpal Sky, agak serak. "A
Pablo kembali tertawa. Sambil menggaruk alis, ia bergumam lirih, "Mengapa orang kaya suka sekali semena-mena?" Detik berikutnya, ia menatap Louis dengan kesan meremehkan. "Anda pikir dengan kekayaan yang Anda miliki, Anda bisa bertindak sesuka hati di sini? Maaf, Tuan Harper. Ini bukan L City. Di sini, Kapten Alvarez-lah yang memegang kendali. Dan lewat saya, beliau sudah menyampaikan perintah. Tahan Louis Harper dan sang istri. Karena itu ...." Pablo melihat rekan-rekannya dan menggerakkan kepala sekali. Para petugas mendekati Louis dan Sky lagi. Secepat kilat, Louis menarik Sky ke balik punggungnya. "Siapa yang berani menyentuh istriku, akan kupastikan dia tidak bisa berjalan lagi!" hardiknya, mengancam. Para petugas seketika menahan langkah. Louis pun menambahkan, "Daripada kalian bersikeras ingin menangkap kami, kalian lebih baik menghubungi kapten kalian." "Untuk apa?" sela Pablo dengan nada menjengkelkan. "Untuk mengulur waktu? Maaf, Tuan Harper. Kami sudah menghabi
Draco menggertakkan geraham. Ia ingin sekali menghajar Louis. Saat itulah, Sky berbisik, "Apakah Pablo, si petugas keamanan itu? Dia yang membantu kau dan Angelica melancarkan misi untuk menggangguku dan Louis?" Draco tersentak. Mulutnya tanpa sadar menimpali, "Dari mana kau tahu kalau itu Pablo?" Sky tersenyum lebar. Ia sumpal mulut Draco dengan kain. "Terima kasih atas kejujuranmu." Kemudian, ia bangkit berdiri. Sementara Louis menahan Draco agar tidak macam-macam, Sky berhenti merekam suara di ponselnya. Saat ia memutarnya ulang, pengakuan Draco terekam jelas. "Emmhh .... Emm emmmh ...." Draco terus meronta-ronta. Louis yang masih berlutut di dekatnya pun berdesus. Telunjuknya teracung meminta waktu. "Apa yang kau ributkan?" gerutu Louis. "Kau takut Pablo membunuhmu karena gagal menjaga rahasianya? Tenang. Kami akan menangkapnya sebelum dia bisa membunuhmu." Setelah menepuk pipi Draco dengan kasar dua kali, Louis bangkit berdiri. Ia menghampiri Sky. Sang istr
Begitu Pablo pergi, Sky dan Louis keluar menghampiri pelayan tadi. "Kami sudah siap," seru Sky, ceria. Sang pelayan menyambut mereka dengan tawa. "Kalian memang sangat unik. Baru kali ini ada pasangan bulan madu yang ingin belajar menjadi pelayan." "Kami ingin mencoba pengalaman baru. Setelah ini, kami berencana untuk pergi ke ruang kemudi. Kapan lagi kami bisa belajar menjadi nahkoda di perairan Antartika. Benar begitu, Louis?" "Ya, benar. Sebelum lanjut ke situ, ayo kita selesaikan misi ini," Louis memakaikan masker di wajah Sky. "Kami tidak ingin membuat kehebohan di sini. Orang-orang bisa histeris kalau tahu kami yang mengantarkan makanan mereka," terangnya seraya mengernyit. Sang pelayan mengangguk. "Ya, saya paham. Memang lebih baik begitu. Nanti, tolong ikuti arahan saya." "Siap, Tuan!" Sky menegakkan badan dan mengentak lantai dengan sepatu. Melihat semangat sang istri, Louis tersenyum geli. Didampingi oleh pelayan baik hati itu, mereka mulai menjalankan misi
Sky pun menyimak apa yang dikerjakan oleh Louis. Ternyata, Louis memeriksa data individu yang pernah berinteraksi dengan akun Angelica dan Kendrick. Setelah menemukan beberapa nama, ia mencocokkannya dengan data penumpang kapal. Begitu hasilnya keluar, mereka terkesiap. "Bukankah dia petugas keamanan itu?" desah Sky, penuh keterkejutan. Louis mendengus tak senang. "Sekarang semuanya jelas. Kenapa mereka bisa membawaku ke kamar Angelica dengan cepat, kenapa mereka sempat membela Angelica, dan kenapa Draco menghilang tanpa jejak. Semua itu karena laki-laki bernama Pablo ini." "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Louis?" tanya Sky dengan nada serius. "Ayo kita modifikasi perangkap yang sudah kita rancang." Sky dan Louis berdiskusi selama beberapa saat. Begitu strategi mereka matang, Sky kembali keluar kamar. Ia pergi ke ruang security. Sesuai dugaan, tangan kanan Kendrick berada di sana. "Apakah sudah ada perkembangan tentang Draco?" tanya Sky dengan wajah resah. Pablo meng
"Aku tidak punya banyak waktu di sini. Jadi, cepat sampaikan keputusanmu. Mau, ya mau. Tidak, ya tidak. Tapi satu hal yang harus kau ingat. Siapa pun orang yang membayarmu, dia tidak akan lebih berkuasa dibandingkan Louis. Suamiku adalah pebisnis nomor satu di L City, dan dia termasuk yang paling berpengaruh di muka bumi," tutur Sky seraya mengedikkan bahu. Angelica termenung. Diamnya membuat Sky tidak sabar. "Ayolah .... Jangan sok jual mahal. Kau sadar bahwa tawaran ini terlalu bagus untukmu, kan?" pancing Sky. Angelica kembali cemberut. "Apa maksudmu? Kau merendahkan aku lagi?" "Tidakkah kau sadar dengan posisimu sekarang? Kau terancam masuk penjara. Dengan adanya tawaran ini, kau jadi punya pilihan. Uang dan peningkatan karier, atau kehilangan semuanya?" Angelica menggertakkan geraham. Ia sedang berhadapan dengan pilihan sulit sekarang. "Kau berniat membayar berapa kali lipat?" tanyanya selang perenungan singkat. "Apakah dua kali lipat belum cukup?" Sky terbelalak. A