Menurut kalian, Summer bakal sekolah atau enggak nih, guys? Dia bakal ngikutin jejak Louis jadi bintang di sekolah, atau jejak Sky jadi pembelajar alami lewat petualangan-petualangan?
Louis dan Sky mengangguk kompak. "Di sekolah, kamu bisa belajar bersama teman-teman. Itu terasa lebih menyenangkan. Kamu juga bisa bermain dan mengobrol tentang banyak hal bersama mereka di waktu istirahat," terang Louis, memberi gambaran. "Dan kamu tahu?" bisik Sky, berharap dapat memancing ketertarikan sang putri. "Di sekolah ada banyak fasilitas untuk belajar dan mengembangkan diri. Kamu bisa membaca buku di perpustakaan, bereksperimen di laboratorium, berolahraga di lapangan, bahkan ruang kesenian juga ada. Kamu bisa mencoba banyak hal baru bersama teman-teman baru." Akan tetapi, Summer berkedip-kedip seolah tak tak tertarik. "Apakah aku harus bersekolah?" Harapan Louis agak luntur. Ia berpikir sejenak. "Tidak juga. Papa hanya mau memberimu pilihan, Sayang. Mungkin saja, kau juga mau bersekolah seperti anak-anak kebanyakan. Sekolah itu bisa menjadi sarana untuk kamu mewujudkan cita-cita. Kamu ingin menjadi penulis buku best seller, kan?" "Bolehkah aku belajar mandiri seper
"B-bukankah besok kita harus berangkat pagi-pagi, Louis? Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya sekarang?" tanya Sky kaku. Padahal, ia sudah berusaha untuk menekan kegugupannya. Akan tetapi, sarafnya tetap saja tegang. Melihat gelagat lucu Sky, Louis tersenyum simpul. "Masalah bagaimana? Bukankah kau bilang tidak takut padaku? Kau juga mengaku tidak keberatan kalau kita melakukan hal itu. Atau jangan-jangan ...." Ekspresi Louis mendadak berubah serius. Matanya yang bulat membuat Sky semakin terpaku. "Jangan-jangan apa?" "Kau berkata begitu hanya untuk menyenangkan hatiku? Kau sebetulnya takut padaku?" Sky ternganga. Tangannya bergerak-gerak, melambai dengan cepat. "Tidak. Bukan begitu. Aku tidak takut padamu. Hanya saja ...." Bola matanya kembali bergerak-gerak ragu. Wajahnya agak tertunduk. "Kau sudah banyak menunda pekerjaan akhir-akhir ini. Mungkin, kau ingin beristirahat saja malam ini agar besok kau tetap fit dan bisa lebih fokus." "Kalau kita tidak melakukannya mal
Demi mengatasi kecanggungan, Sky melepas tawa. "Mama hanya sedang menahan geli, Sayang, bukan kesakitan. Kamu sudah salah paham." "Begitukah?" Summer masih tidak percaya. "Ya. Lagi pula, mana mungkin Papa-mu mengganggu Mama? Mama adalah istrinya, dan dia sangat menyayangi Mama. Karena itulah, dia membantu Mama tadi," Sky mengangguk-angguk, berharap sang putri menirunya. Akan tetapi, gadis kecil itu hanya mematung. Lirikan matanya masih tajam ke arah Louis. "Kalau begitu, kenapa Mama mendorong Papa sampai terjatuh dari sofa? Mama terlihat seperti sedang membalas dendam." Sky kembali tercengang. Selang satu kedipan, barulah akal sehatnya kembali lancar. "Dari mana kamu mempelajari kata itu, Sayang? Dendam bukankah sesuatu yang baik." "Lalu, kenapa Mama mendorong Papa begitu keras?" Bibir Summer menguncup. "Itu terlihat seperti pembalasan dendam bagiku." "Itu karena ...." Sky melirik Louis, mencari petunjuk untuk kebohongan lain. "Mama terkejut saat melihatmu. Di pik
Sky mengernyitkan alis. Ia masih ingin tidur, tetapi tangan-tangan usil terus mengganggunya. "Summer," gumamnya tak jelas. Kepalanya bergerak sedikit, mencoba menghindar dari sentuhan yang menggelitik wajahnya. Bukannya berhenti, sentuhan tersebut malah merambat ke lehernya. Jemari yang semula hanya bermain di atas piamanya kini malah menelusup ke dalam. "Summer, jangan ganggu Mama," bisiknya lirih. "Summer?" Sky menepis apa yang menggelitik dadanya. Mendapati tangan orang dewasa, ia terkesiap. "Louis?" Ia berkedip-kedip menatap pelakunya. Sang suami tersenyum manis. Raut wajahnya lugu seperti tak kenal dosa. "Selamat pagi, Istriku. Apakah tidurmu nyenyak? Maaf aku membangunkanmu. Aku sebetulnya sudah mencoba untuk menahan diri. Tapi ternyata, hatiku tidak bisa dikendalikan. Aku terlalu bahagia memiliki istri secantik bidadari." Sky tertegun. Pujian dari Louis memang terkesan berlebihan. Namun, pipinya tetap saja memerah. Apalagi, masih ada jemari bermain-main di ba
"Tidak, Sayang. Papa-mu bukan memegang bagian pribadi Mama," tutur Sky, mencoba mengelak. Sambil mengernyitkan alis, ia memaksa otaknya untuk bekerja lebih cepat. "Perut Mama sempat sakit saat bangun tidur. Jadi Papa mencoba mengobatinya dengan menggosok-gosoknya. Kamu ingat waktu kamu sakit perut dulu? Kamu sembuh karena Mama menggosok-gosok perutmu, kan?" Alih-alih percaya, Summer malah memicingkan mata. "Kenapa Mama tidak mau mengaku? Apakah Mama malu?" "Tidak—" "Jangan berbohong padaku, Mama," sela Summer dengan gaya bicara seperti orang dewasa. "Aku melihatnya dengan jelas. Tangan Papa keluar dari celana Mama. Mama sebaiknya jujur padaku. Kalau tidak, aku terpaksa melaporkan hal ini kepada Nenek dan Kakek. Biar mereka yang menyelesaikan masalah ini." Mendapat ancaman semacam itu, mata Sky membulat. Sambil menggeleng, ia menangkup pipi putrinya. "Tidak, Sayang. Tidak ada yang perlu kamu laporkan. Itu bukanlah masalah," ujarnya, memberi pengertian. Akan tetapi, ekspre
Setibanya di kediaman keluarga Harper, Summer terbelalak maksimal. Beberapa orang pelayan telah berbaris di sisi pintu utama. Beberapa dari mereka memegang kotak yang mengundang rasa penasaran sang balita. "Wow! Apa itu, Papa? Mereka seperti pegawai hotel yang bersiap menyambut rombongan wisatawan!" seru Summer dengan suara melengkingnya yang menggemaskan. Louis ikut mengintip ke luar jendela mobil. Melihat para pelayan sedang melaksanakan tugas darinya, senyumnya mengembang. "Kamu memang akan segera disambut, Manusia Mungil," bisiknya sembari mengusap pundak sang putri. "Tunggulah sebentar. Begitu kita turun nanti, kamu akan merasakannya." "Oh, aku jadi semakin tidak sabar. Ayo ngebut, Pak Sopir!" Ia menepuk-nepuk jok depan. Sky langsung mengernyitkan dahi. "Ngebut bagaimana, Sayang? Kita sudah hampir tiba." Summer terkikik geli. Saat mobil berhenti dua detik kemudian, ia langsung mendahului kedua orang tuanya, berlari menemui para pelayan yang berbaris rapi. "Sela
"Kupikir kamarku ada di lantai atas. Ternyata tidak?" gumam Summer sambil berjalan di sisi sang ayah. Louis melirik putri kecilnya dengan senyum tipis. "Apakah kamu kecewa?" "Tidak," geleng Summer cepat. "Di lantai dasar justru lebih bagus. Aku bisa ke mana-mana lebih cepat tanpa takut terjatuh." Setuju dengan pemikiran sang putri, Sky mengelus rambutnya. "Kau bijak sekali, Sayang. Tapi, meskipun tidak melewati tangga, kamu harus tetap berhati-hati, hmm?" "Oke, Mama. Aku akan selalu memperhatikan langkahku. Jangan khawatir. Oh?" Summer tiba-tiba berlari. Ia berhenti di depan dinding lorong yang penuh dengan gambar hewan. "Kenapa bisa ada Otter di sini? Toby juga! Dan ini ...." Summer bergeser ke kanan tiga langkah. "Dia mirip Canis, anjing yang Mama pelihara di rumah hutan dulu! Lalu ini Felis, si kucing pemalas. Oh, Gusi dan Gigi juga ada!" Ia memegangi gambar angsa yang sejajar dengan tingginya. "Kau mengenali mereka?" tanya Louis dengan nada tak percaya. "Bukan
"Ayo, Papa, Mama!" Summer berlari ke pekarangan belakang sambil menarik tangan ayah dan ibunya. "Mumpung Bibi Emily dan yang lain tiba, kita harus sudah memeriksa sarang Papoy! Kalau tidak, nanti mereka curiga!" bisiknya kemudian, tak kalah antusias. Merasakan semangat Summer yang begitu membara, Louis dan Sky bertukar pandang. "Apakah burungnya sudah ada?" tanya Sky tanpa suara. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu," ia juga hanya menggerakkan mulutnya. "Lalu bagaimana?" Tiba-tiba, Summer menghentikan langkah. Ia berbalik menghadap orang tuanya, berbisik, "Papa, di sebelah mana sarangnya?" Louis berkedip-kedip sambil memasang senyum lebar. Sejujurnya, ia sendiri tidak tahu itu di mana. "Di mana, ya?" Ia melipat tangan di belakang pinggang. Setelah memicingkan mata sesaaat, ia menggeleng samar. "Maaf, Sayang. Papa tidak bisa memberitahumu. Itu rahasia. Kau harus menemukan sendiri sarangnya." Bibir Summer mengerucut. Alisnya berkerut. "Apakah Papa ingin meng
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,
"Paman Brandon dan Bibi Briony kan sudah dewasa. Kalian sama-sama belum mempunyai pasangan. Bukankah tidak apa-apa kalau kalian berdua berciuman?" tanya Summer sambil menahan tawa. Meski demikian, kegelian tetap lolos dari mulutnya.Mendengar pernyataan semacam itu, Briony menghela napas tak percaya. "Summer, apakah kau lupa berapa umurmu? Kamu itu masih kecil. Belum saatnya kamu membicarakan tentang pasangan dan ciuman!""Apa masalahnya, Bibi? Bukan aku yang akan berciuman, tapi Bibi dan Paman Brandon!"Pipi Briony semakin memanas. "Kami tidak akan berciuman, Summer. Kami hanya berteman!" tegasnya, kesal.Sementara itu, Brandon melirik River. Ia merasa ulah keponakannya itu sudah melewati batas. "River, apakah ini idemu? Kau mengajari Summer hal yang tidak pantas lagi?" "Tidak, Paman. Bukan aku! Itu ide Summer!" Sambil tertawa, Summer mengaku. "Tolong jangan memarahi River, Paman. Ini memang ideku. Aku sedang bereksperimen tentang cinta. Aku ingin membuktikan apakah dua orang yang
"Wow! Eksperimen kalian memang keren! Selamat, Summer, River. Kalian berhasil melakukannya dengan benar. Menyusun stik es krim agar reaksi berantainya tidak putus bukanlah hal yang mudah," puji Brandon, membuat mata para bocah berbinar-binar. "Paman benar! Susunan stiknya memang rumit dan sulit untuk dilakukan!" seru River sambil mengangguk yakin. "Untung saja kerja sama kami baik. Eksperimen terselesaikan dengan sempurna!" lanjut Summer bangga. "Omong-omong, Paman, Bibi, apakah kalian punya waktu untuk kami? Masih ada satu eksperimen yang perlu kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukannya berdua." Brandon dan Briony mengangkat alis. "Eksperimen apa?" tanya mereka bersamaan. Summer dan River saling lirik dan bertukar senyum. Selang beberapa saat, Brandon dan Briony telah berdiri di tengah pekarangan. Mereka menghadap satu sama lain dengan jarak sekitar 10 meter. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung dari seutas tali. "Hei, Summer, apakah tali itu tidak kepanjanga
Selama beberapa saat, Summer membiarkan River mengamati hasil eksperimennya. Setiap bocah laki-laki itu berdecak kagum, hati Summer berbunga-bunga. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil membuat percobaan yang mengagumkan. "Wow, apakah ini kertas daur ulang?" River menyentuhkan telunjuk mungilnya pada sebuah kertas tebal dengan permukaan tak rata dan warna yang agak kusam. Summer mengangguk mantap. "Ya, itu adalah percobaan ketigaku, tapi hasilnya belum memuaskan. Aku akan mencoba untuk membuatnya lagi sampai hasilnya sebagus kertas biasa." "Apakah kalau sudah berhasil, kau mau menjualnya?" Bibir Summer mengerucut. "Entahlah, aku belum yakin tentang itu. Mungkin, aku akan menggunakannya untuk mencetak buku-bukuku terlebih dahulu. Setelah itu, baru aku akan memperluas penggunaannya. Aku berharap, dengan adanya kertas daur ulang ini, penebangan pohon bisa berkurang. Orang-orang tidak perlu menggunakan kertas baru. Kertas-kertas lama juga bisa." River men
Tiba-tiba, Summer dan River melangkah mundur. Namun, setelah hitungan ketiga, mereka malah berlari maju. Mereka tanpa ragu menabrak Brandon dan Briony. Saat mereka terpental dan jatuh ke lantai, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. "Summer, kamu benar! Kita terpental karena gaya dorong yang kita berikan kembali kepada kita!" ujar River seraya mengatur napas. "Itulah Hukum Newton ke-3. Aksi sama dengan reaksi! Sekarang, bagaimana kalau kita beralih ke agenda selanjutnya? Ayo ke ruang eksperimen dan memulai eksperimen yang sesungguhnya!" "Ayo!" Kedua bocah itu bergegas bangkit dan berlari ke pekarangan barat. Melihat kecepatan mereka, Brandon dan Briony hanya bisa berkedip-kedip dengan mulut ternganga. "Astaga .... Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka mengira kita ini benda mati? Mereka bahkan tidak sempat meminta maaf sebelum pergi," desah Briony, tak habis pikir. Ia tidak sadar jika tubuhnya masih menempel pada Brandon. Sambil menghela napas, Brandon mengusi
"Sampai jumpa, Mama, Papa! Semoga perjalanan kalian lancar! Bersenang-senanglah bersama penguin di Kutub Selatan!" ujar Summer sembari melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Senyumnya semringah, kakinya sesekali melompat. Louis dan Sky balas melambai dari jendela mobil mereka. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jangan lupa pesan Mama! Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama Mama dan Papa pergi, oke?" pesan Sky dengan mata berkaca-kaca. "Tenang, Mama. Aku ini anak baik. Aku tidak mungkin membuat masalah. Mama dan Papa fokus pada bulan madu saja!" angguk Summer sambil berkacak pinggang. Dari sisi Sky, Louis menunjuk sepupunya. "Briony, tolong awasi Summer dengan baik. Kami percayakan dia kepadamu," tuturnya serius. "Kurasa tidak ada yang perlu kuawasi, Louis. Putrimu adalah anak yang cerdas dan manis. Lagi pula, bukan hanya aku orang dewasa yang ada di rumah ini," celetuk Briony ringan. "Ya, ada Kakek, Nenek, Bibi Emily, Paman Cayden, Paman Russell, dan Paman Brand
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya