Hai, guys! Bab ini agak panjang. Semoga kalian suka. Terima kasih sudah membaca. Have a nice day!
Sky mengernyitkan alis. Ia masih ingin tidur, tetapi tangan-tangan usil terus mengganggunya. "Summer," gumamnya tak jelas. Kepalanya bergerak sedikit, mencoba menghindar dari sentuhan yang menggelitik wajahnya. Bukannya berhenti, sentuhan tersebut malah merambat ke lehernya. Jemari yang semula hanya bermain di atas piamanya kini malah menelusup ke dalam. "Summer, jangan ganggu Mama," bisiknya lirih. "Summer?" Sky menepis apa yang menggelitik dadanya. Mendapati tangan orang dewasa, ia terkesiap. "Louis?" Ia berkedip-kedip menatap pelakunya. Sang suami tersenyum manis. Raut wajahnya lugu seperti tak kenal dosa. "Selamat pagi, Istriku. Apakah tidurmu nyenyak? Maaf aku membangunkanmu. Aku sebetulnya sudah mencoba untuk menahan diri. Tapi ternyata, hatiku tidak bisa dikendalikan. Aku terlalu bahagia memiliki istri secantik bidadari." Sky tertegun. Pujian dari Louis memang terkesan berlebihan. Namun, pipinya tetap saja memerah. Apalagi, masih ada jemari bermain-main di ba
"Tidak, Sayang. Papa-mu bukan memegang bagian pribadi Mama," tutur Sky, mencoba mengelak. Sambil mengernyitkan alis, ia memaksa otaknya untuk bekerja lebih cepat. "Perut Mama sempat sakit saat bangun tidur. Jadi Papa mencoba mengobatinya dengan menggosok-gosoknya. Kamu ingat waktu kamu sakit perut dulu? Kamu sembuh karena Mama menggosok-gosok perutmu, kan?" Alih-alih percaya, Summer malah memicingkan mata. "Kenapa Mama tidak mau mengaku? Apakah Mama malu?" "Tidak—" "Jangan berbohong padaku, Mama," sela Summer dengan gaya bicara seperti orang dewasa. "Aku melihatnya dengan jelas. Tangan Papa keluar dari celana Mama. Mama sebaiknya jujur padaku. Kalau tidak, aku terpaksa melaporkan hal ini kepada Nenek dan Kakek. Biar mereka yang menyelesaikan masalah ini." Mendapat ancaman semacam itu, mata Sky membulat. Sambil menggeleng, ia menangkup pipi putrinya. "Tidak, Sayang. Tidak ada yang perlu kamu laporkan. Itu bukanlah masalah," ujarnya, memberi pengertian. Akan tetapi, ekspre
Setibanya di kediaman keluarga Harper, Summer terbelalak maksimal. Beberapa orang pelayan telah berbaris di sisi pintu utama. Beberapa dari mereka memegang kotak yang mengundang rasa penasaran sang balita. "Wow! Apa itu, Papa? Mereka seperti pegawai hotel yang bersiap menyambut rombongan wisatawan!" seru Summer dengan suara melengkingnya yang menggemaskan. Louis ikut mengintip ke luar jendela mobil. Melihat para pelayan sedang melaksanakan tugas darinya, senyumnya mengembang. "Kamu memang akan segera disambut, Manusia Mungil," bisiknya sembari mengusap pundak sang putri. "Tunggulah sebentar. Begitu kita turun nanti, kamu akan merasakannya." "Oh, aku jadi semakin tidak sabar. Ayo ngebut, Pak Sopir!" Ia menepuk-nepuk jok depan. Sky langsung mengernyitkan dahi. "Ngebut bagaimana, Sayang? Kita sudah hampir tiba." Summer terkikik geli. Saat mobil berhenti dua detik kemudian, ia langsung mendahului kedua orang tuanya, berlari menemui para pelayan yang berbaris rapi. "Sela
"Kupikir kamarku ada di lantai atas. Ternyata tidak?" gumam Summer sambil berjalan di sisi sang ayah. Louis melirik putri kecilnya dengan senyum tipis. "Apakah kamu kecewa?" "Tidak," geleng Summer cepat. "Di lantai dasar justru lebih bagus. Aku bisa ke mana-mana lebih cepat tanpa takut terjatuh." Setuju dengan pemikiran sang putri, Sky mengelus rambutnya. "Kau bijak sekali, Sayang. Tapi, meskipun tidak melewati tangga, kamu harus tetap berhati-hati, hmm?" "Oke, Mama. Aku akan selalu memperhatikan langkahku. Jangan khawatir. Oh?" Summer tiba-tiba berlari. Ia berhenti di depan dinding lorong yang penuh dengan gambar hewan. "Kenapa bisa ada Otter di sini? Toby juga! Dan ini ...." Summer bergeser ke kanan tiga langkah. "Dia mirip Canis, anjing yang Mama pelihara di rumah hutan dulu! Lalu ini Felis, si kucing pemalas. Oh, Gusi dan Gigi juga ada!" Ia memegangi gambar angsa yang sejajar dengan tingginya. "Kau mengenali mereka?" tanya Louis dengan nada tak percaya. "Bukan
"Ayo, Papa, Mama!" Summer berlari ke pekarangan belakang sambil menarik tangan ayah dan ibunya. "Mumpung Bibi Emily dan yang lain tiba, kita harus sudah memeriksa sarang Papoy! Kalau tidak, nanti mereka curiga!" bisiknya kemudian, tak kalah antusias. Merasakan semangat Summer yang begitu membara, Louis dan Sky bertukar pandang. "Apakah burungnya sudah ada?" tanya Sky tanpa suara. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu," ia juga hanya menggerakkan mulutnya. "Lalu bagaimana?" Tiba-tiba, Summer menghentikan langkah. Ia berbalik menghadap orang tuanya, berbisik, "Papa, di sebelah mana sarangnya?" Louis berkedip-kedip sambil memasang senyum lebar. Sejujurnya, ia sendiri tidak tahu itu di mana. "Di mana, ya?" Ia melipat tangan di belakang pinggang. Setelah memicingkan mata sesaaat, ia menggeleng samar. "Maaf, Sayang. Papa tidak bisa memberitahumu. Itu rahasia. Kau harus menemukan sendiri sarangnya." Bibir Summer mengerucut. Alisnya berkerut. "Apakah Papa ingin meng
Summer terkikik saat Louis menggendongnya. Rumah burung itu ternyata cukup tinggi. Ia masih terlalu pendek untuk mengintai ke dalamnya. "Kurasa aku harus lebih rajin meminum susu supaya cepat tinggi. Aku tidak bisa terus mengandalkan orang lain untuk melihat Papoy," gelengnya lucu. "Tenang, Sayang. Papa bisa menyediakan tangga untukmu nanti. Sekarang diamlah. Kalau kamu berisik, nanti Papoy kabur," bisik Louis. Summer spontan menutup mulut dengan sebelah tangan. Namun kemudian, ia berbisik, "Melangkahlah dengan hati-hati, Papa. Jangan sampai menginjak ranting pohon. Aku pernah melakukannya. Suaranya cukup kencang." Louis mengangguk. Ia mulai berjalan mengendap-endap. Sky yang mengekor, tertawa geli di belakang mereka. Ia tidak menduga bahwa Louis juga pandai berakting di depan sang putri. "Mama, jangan berisik," omel Summer sambil melirik sinis. Sky cepat-cepat menggigit bibir dan mengangkat sebelah tangan. "Oke. Maaf, Sayang." Namun, setibanya di depan rumah burun
"Summer, begitu kita tiba di kantor nanti, kamu harus langsung mengenakan ini, mengerti?" ujar Louis seraya menyerahkan sebuah kacamata hitam ke tangan sang putri. Melihat benda tersebut, alis Summer berkerut. "Untuk apa ini, Papa? Bukankah dunia menjadi lebih gelap kalau kita memakai ini? Apakah karena aku sudah menjadi bagian dari keluarga Harper? Ini adalah ciri khas kalian? Aku sering melihat Bibi Emily memakainya." Louis tersenyum miring. "Nanti kau akan tahu. Sekarang kita sudah mau sampai. Kau sudah boleh memakainya." Di sisi Summer yang lain, Sky telah mengenakan kacamata hitam. Penampilannya berbeda hari ini. Ia tidak lagi mengenakan sweater dan jumpsuit, melainkan blus cantik dan celana panjang. "Ayo, Sayang. Cepat pakai kacamata hitammu," ujar Sky lembut. Melihat kedua orang tuanya telah mengenakan kacamata hitam, Summer pun menurut. Kemudian, sambil berkedip-kedip, ia melihat pemandangan di sekitarnya. Ia merasa berada di dunia yang berbeda. Tak lama kemudia
Mendengar pertanyaan seserius itu, senyum Sky menciut. Ia melirik Louis, memeriksa reaksinya. Ternyata, Louis juga meliriknya. Guratan kekhawatiran serupa terukir di wajahnya. Mereka sama-sama sepakat bahwa pertanyaan tersebut terlalu berat untuk Summer. Sky pun meraih pundak sang putri, berbisik, "Sayang, kamu tidak perlu menjawab—" "Kurasa," Summer sudah telanjur buka suara, "terlalu cepat untuk kita membicarakan tentang itu sekarang." Semua orang tersentak. Tidak ada yang menduga bahwa jawaban sang balita akan sangat bijak. "Anak-anak di keluarga Harper bukan cuma aku. Sebentar lagi, Bibi Emily akan melahirkan tiga orang adik bayi. Mama dan Papa juga akan memberiku seorang adik. Paman Russell, Paman Orion, dan Bibi Briony bahkan belum menikah. Kalau mereka sudah punya pasangan, mereka pasti akan memiliki anak-anak. Karena itu ...." Summer menarik napas dalam-dalam, bersiap melanjutkan penjelasan. "Perusahaan Savior belum tentu diwariskan kepadaku. Aku memang anak tertu
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya akan
"Kenapa perempuan tidak boleh menyatakan perasaan, sedangkan laki-laki boleh? Bukankah itu tidak adil?" tanya Summer dengan bibir mengerucut. Mendapat pertanyaan semacam itu, sebelah pipi River mengembung. "Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi kenyataannya seperti itu. Di semua film yang kutonton, selalu laki-laki yang menyatakan cintanya kepada wanita. Di kehidupan nyata juga, selalu laki-laki yang berlutut melamar pacarnya untuk menikah." Alis Summer tertaut lebih erat. Matanya berkedip-kedip bingung. "Benar juga. Dulu, Papa-lah yang melamar Mama. Paman Cayden melamar Bibi Emily, dan Kakek melamar Nenek. Kenapa selalu laki-laki yang melamar?" "Summer, River, kalian terlalu kecil untuk membahas itu," tutur Renata bijak. "Fokus saja pada masa kanak-kanak kalian." "Ya, Mama. Aku dan Summer tidak akan memikirkan tentang itu lagi. Kami akan fokus pada sekolah saja," angguk River mantap. Mendengar pernyataan tersebut, Louis dan Sky bertukar pandang. Mereka merasa iba kepada bo
Setibanya di kediaman River, Summer dan kedua orang tuanya langsung disambut hangat. Mereka berkenalan sebentar, lalu beralih ke ruang makan. Summer terbelalak melihat banyaknya hidangan yang tersaji di sana. "Wow, makanannya banyak sekali, Nyonya Young. Apakah ada tamu lain yang kalian undang?" seru balita itu dengan raut hebohnya. Melihat betapa bulat mata Summer, Renata Young terkekeh. "Tidak, Summer. Semua ini untuk menyambut kamu dan orang tuamu. Kami sengaja menyiapkan banyak hidangan karena River bilang kamu suka makan." "Ya!" Summer melompat kecil. "Aku memang suka makan. Aku butuh banyak asupan gizi supaya cepat besar dan bertambah cerdas. Terima kasih banyak atas perhatian kalian, Nyonya Young." Merasa gemas, Renata mencubit pipi sang balita. "Justru kamilah yang seharusnya berterima kasih padamu, Summer. Sejak berteman denganmu, River berubah menjadi jauh lebih baik." Bukan hanya Summer, tetapi Sky dan Louis juga terbelalak. Mereka penasaran dengan penjelasan det
"Mama, Papa! Cepat kemari! Aku sudah menemukan bukuku! Kalian tidak akan menyangka di mana dia dipajang!" Summer melompat-lompat sembari menggoyang tangan ayah dan ibunya. Melihat semangat putri kecilnya itu, Sky kembali menatap Louis. "Mungkinkah ...." "Ayo cepat, Mama, Papa! Jangan bengong saja," desak Summer lagi. Saking tak sabarnya, kakinya sampai berlari di tempat. Dengan raut penuh tanya, Sky pun berjalan mengikuti sang balita. Sesekali, ia melirik suaminya. Louis hanya tersenyum penuh makna. Ternyata, Summer membawa mereka menuju rak best-seller. Setibanya di sana, balita itu langsung melompat, mempersembahkan apa yang tersaji di hadapannya dengan tangan terentang lebar. "Ta-da! Lihat ini, Mama, Papa! Akhirnya, bukuku berada di rak best-seller, sama seperti buku Mama!" serunya dengan suara melengking yang menghangatkan. Senyumnya sangat lebar. Matanya berkaca-kaca. Melihat tumpukan buku tersebut, Sky terkesiap. Air matanya ikut menggenang. "Sayang?" Ia meng
"Mama berencana untuk membuat kampanye lingkungan. Mungkin, Mama bisa bekerja sama dengan ayahmu, bibimu, dan yang lain. Konsep kampanye ini juga bisa dikemas dalam marketing di sektor mereka," terang Sky dengan suara mantap. "Bagaimana menurut kalian?" "Itu bagus, Sky," sahut Emily cepat. "Aku memang selalu mengusahakan produk fashion-ku ramah lingkungan. Tapi hal itu masih kurang disebarluaskan. Desainer lain juga memandang hal ini sebelah mata. Padahal, menurutku, fashion bukan hanya soal gaya, tapi juga tentang pesan yang ingin kita tunjukkan kepada orang lain lewat penampilan. Salah satunya, dampak terhadap lingkungan. Untuk apa tampil keren kalau apa yang kita kenakan merugikan bumi dan lingkungan?" Louis pun menambahkan, "Kurasa, perusahaan kita memang perlu kampanye semacam itu. Apalagi, hal tersebut memang sering menjadi poin plus dalam hal-hal yang kita kembangkan. Apartemen terbaru Savior, contohnya. Orang-orang membeli bukan karena konsep green-building, tapi karena m
"Ya, aku memang senang belajar bersama teman-teman di sekolah. Aku juga suka bertemu guru-guru, makan siang di kantin bersama River, dan bermain di sisa waktu istirahat. Semua itu menyenangkan!" ungkap Summer dengan suara manisnya. "Lalu, kenapa kamu tidak mau terus bersekolah Summer?" selidik Louis, penasaran. Bibir Summer mengerucut. Pundaknya naik lagi menjepit leher. "Karena aku merasa, akan lebih baik kalau aku belajar mandiri saja." "Apakah ini karena Gigi?" tanya Louis, hati-hati. "Tidak, Papa. Aku tidak mungkin membiarkan orang lain memengaruhi keputusanku," jawab Summer mantap. "Lalu kenapa, Sayang? Kenapa kamu merasa lebih baik kalau kamu belajar sendiri?" tanya Sky, tidak sabar. Summer menggigit bibir. Ia agak ragu untuk mengutarakan pemikirannya. "Aku merasa kalau aku akan lebih cepat maju jika belajar mandiri. Meskipun aku sekarang belajar di kelas 2, aku merasa sudah menguasai semua materinya, Mama. Yang kulakukan selama beberapa hari terakhir adalah
"Selamat pagi, semuanya!" sapa Summer saat memasuki ruang makan. Semua yang telah berada di sana sontak menoleh ke arahnya. "Selamat pagi, Summer," sapa mereka ramah. Namun, detik berikutnya, mereka semua mengerjap. Gigi Summer terlihat begitu putih di antara kulit wajahnya yang dipenuhi coretan hitam. "Astaga, Summer! Apa yang terjadi pada wajahmu?" seru Kara spontan. Sambil memeluk sang nenek, Summer terkekeh. "Maaf, Nenek. Aku tidak bermaksud menakutimu. Apakah kau terkejut?" "Tentu saja. Cucuku biasanya sudah bersih dan wangi jam segini. Tapi sekarang, kenapa wajahmu dipenuhi coretan? Apa ini? Cat? Kau habis melukis?" selidik Kara sembari memeriksa noda di pipi sang cucu. "Bukan, Nenek. Kemarin aku mengobrol dengan Kakek Lucas. Dia mengajariku tentang pentingnya ber-kamu-flase saat mengamati hewan-hewan di alam. Caranya adalah dengan menggunakan pakaian berwarna sama dengan lingkungan sekitar, dan mencoret wajah dengan arang. Karena aku tidak punya arang, aku menggun
"Louis, kau dengar itu? Sepertinya, Summer mengetuk pintu. Dia memanggil kita," bisik Sky di sela desah napasnya. Bukannya berhenti untuk menyimak, Louis malah melanjutkan kegiatannya di bawah selimut. "Itu halusinasimu saja, Sayang. Dia tidak mungkin mencari kita sepagi ini. Paling-paling, dia sedang di pekarangan belakang mengintai Papoy," balas Louis dengan suara yang menggelitik telinga. "Louis, aku serius. Coba dengar! Summer memanggil kita," bisik Sky, mulai mengernyitkan wajah. Tak mendapat respons dari suaminya, ia pun mengangkat tangan. Namun, belum sempat ia menyibak selimut yang menutupi mereka, Louis menangkap pergelangan tangannya dan menekannya ke bantal. "Jangan bergerak. Aku sedikit lagi klimaks," pintanya serak. "Tapi—" "Tenang saja. Kalaupun itu Summer, dia tidak akan masuk. Kurasa aku sudah mengunci pintu semalam. Jadi, mari kita lanjutkan. Satu menit saja." Sementara Louis membungkam mulut Sky, di luar pintu, Summer menunggu dengan raut kebing
"Lihatlah putri kita, Louis. Bukankah dia sangat lucu? Dia terlihat begitu kecil dibandingkan anak-anak lain, dan cara duduknya manis sekali," bisik Sky sembari mengintip dari jendela. Louis yang berdiri di sisi Sky pun melebarkan senyum. Matanya juga tertuju pada satu-satunya balita di kelas itu. "Ya, dia sangat menggemaskan. Apakah kamu yang mengajarinya untuk duduk seperti itu?" bisiknya seraya melirik wajah haru sang istri. Sky menggeleng. "Tidak. Tapi Summer memang sering melipat tangan di atas meja kalau sedang menyimak sesuatu. Tidak kusangka dia akan membawa kebiasaannya ke dalam kelas. Oh, lihat! Dia mengangkat tangan." Sky menepuk-nepuk lengan Louis. Pandangan Louis pun kembali ke depan. Menyaksikan bagaimana Summer menjawab pertanyaan guru dan mendapat tepuk tangan dari murid-murid lain, rasa bangga juga terbit dalam hatinya. "Putri kita bukan hanya lucu, tapi juga cerdas. Kamu berhasil mengajarinya. Terima kasih, Sayang," Louis mengecup pelipis sang istri. "Ka