Hayoo .... Ada atau enggak nih Papoy di dalam situ?
"Ayo, Papa, Mama!" Summer berlari ke pekarangan belakang sambil menarik tangan ayah dan ibunya. "Mumpung Bibi Emily dan yang lain tiba, kita harus sudah memeriksa sarang Papoy! Kalau tidak, nanti mereka curiga!" bisiknya kemudian, tak kalah antusias. Merasakan semangat Summer yang begitu membara, Louis dan Sky bertukar pandang. "Apakah burungnya sudah ada?" tanya Sky tanpa suara. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu," ia juga hanya menggerakkan mulutnya. "Lalu bagaimana?" Tiba-tiba, Summer menghentikan langkah. Ia berbalik menghadap orang tuanya, berbisik, "Papa, di sebelah mana sarangnya?" Louis berkedip-kedip sambil memasang senyum lebar. Sejujurnya, ia sendiri tidak tahu itu di mana. "Di mana, ya?" Ia melipat tangan di belakang pinggang. Setelah memicingkan mata sesaaat, ia menggeleng samar. "Maaf, Sayang. Papa tidak bisa memberitahumu. Itu rahasia. Kau harus menemukan sendiri sarangnya." Bibir Summer mengerucut. Alisnya berkerut. "Apakah Papa ingin meng
Summer terkikik saat Louis menggendongnya. Rumah burung itu ternyata cukup tinggi. Ia masih terlalu pendek untuk mengintai ke dalamnya. "Kurasa aku harus lebih rajin meminum susu supaya cepat tinggi. Aku tidak bisa terus mengandalkan orang lain untuk melihat Papoy," gelengnya lucu. "Tenang, Sayang. Papa bisa menyediakan tangga untukmu nanti. Sekarang diamlah. Kalau kamu berisik, nanti Papoy kabur," bisik Louis. Summer spontan menutup mulut dengan sebelah tangan. Namun kemudian, ia berbisik, "Melangkahlah dengan hati-hati, Papa. Jangan sampai menginjak ranting pohon. Aku pernah melakukannya. Suaranya cukup kencang." Louis mengangguk. Ia mulai berjalan mengendap-endap. Sky yang mengekor, tertawa geli di belakang mereka. Ia tidak menduga bahwa Louis juga pandai berakting di depan sang putri. "Mama, jangan berisik," omel Summer sambil melirik sinis. Sky cepat-cepat menggigit bibir dan mengangkat sebelah tangan. "Oke. Maaf, Sayang." Namun, setibanya di depan rumah burun
"Summer, begitu kita tiba di kantor nanti, kamu harus langsung mengenakan ini, mengerti?" ujar Louis seraya menyerahkan sebuah kacamata hitam ke tangan sang putri. Melihat benda tersebut, alis Summer berkerut. "Untuk apa ini, Papa? Bukankah dunia menjadi lebih gelap kalau kita memakai ini? Apakah karena aku sudah menjadi bagian dari keluarga Harper? Ini adalah ciri khas kalian? Aku sering melihat Bibi Emily memakainya." Louis tersenyum miring. "Nanti kau akan tahu. Sekarang kita sudah mau sampai. Kau sudah boleh memakainya." Di sisi Summer yang lain, Sky telah mengenakan kacamata hitam. Penampilannya berbeda hari ini. Ia tidak lagi mengenakan sweater dan jumpsuit, melainkan blus cantik dan celana panjang. "Ayo, Sayang. Cepat pakai kacamata hitammu," ujar Sky lembut. Melihat kedua orang tuanya telah mengenakan kacamata hitam, Summer pun menurut. Kemudian, sambil berkedip-kedip, ia melihat pemandangan di sekitarnya. Ia merasa berada di dunia yang berbeda. Tak lama kemudia
Mendengar pertanyaan seserius itu, senyum Sky menciut. Ia melirik Louis, memeriksa reaksinya. Ternyata, Louis juga meliriknya. Guratan kekhawatiran serupa terukir di wajahnya. Mereka sama-sama sepakat bahwa pertanyaan tersebut terlalu berat untuk Summer. Sky pun meraih pundak sang putri, berbisik, "Sayang, kamu tidak perlu menjawab—" "Kurasa," Summer sudah telanjur buka suara, "terlalu cepat untuk kita membicarakan tentang itu sekarang." Semua orang tersentak. Tidak ada yang menduga bahwa jawaban sang balita akan sangat bijak. "Anak-anak di keluarga Harper bukan cuma aku. Sebentar lagi, Bibi Emily akan melahirkan tiga orang adik bayi. Mama dan Papa juga akan memberiku seorang adik. Paman Russell, Paman Orion, dan Bibi Briony bahkan belum menikah. Kalau mereka sudah punya pasangan, mereka pasti akan memiliki anak-anak. Karena itu ...." Summer menarik napas dalam-dalam, bersiap melanjutkan penjelasan. "Perusahaan Savior belum tentu diwariskan kepadaku. Aku memang anak tertu
"Papa, apakah tadi aku keren?" tanya Summer saat ia dan kedua orang tuanya berjalan menuju lift. Melihat senyum manis sang balita, sudut bibir Louis ikut naik. "Ya, kamu sangat keren, Summer. Caramu menjawab setiap pertanyaan sangat profesional. Papa bahkan sempat berpikir kalau kamu sudah dewasa." "Mama juga," angguk Sky ringan. "Kamu terdengar sangat bijak dan cerdas. Kalau mereka tidak melihatmu, wartawan-wartawan itu pasti tidak akan percaya kalau kamu masih berumur empat tahun." Mendapat pujian sehangat itu, Summer terkekeh. "Kalau begitu, tidak sia-sia aku berlatih kemarin." Alis Sky terangkat sedikit. "Kamu sempat berlatih? Kapan?" "Kemarin sore. Setelah aku bosan mengintai Papoy, aku mencari video tentang bagaimana caranya menjawab pertanyaan dari wartawan di depan publik. Pembicara dalam video itu memberikan beberapa tips, lalu aku mempraktikkannya di depan cermin," ungkap Summer dengan nada bangga. Merasa gemas, Sky menggusap kepala sang balita. "Kamu memang
Louis mengelus rambut ikal Sky yang terkuncir rapi. Sorot matanya lembut. Meskipun ia belum bicara lagi, kasih sayangnya terungkap begitu nyata. "Kau juga sudah menjadi bagian dari keluarga Harper, Sky. Tentu saja kamu berhak mendapat ruangan," bisiknya mesra. Bibir Sky melengkung tipis. Hatinya dipenuhi keharuan yang menghangatkan. "Pekerjaanku hanya menulis atau menerjemahkan buku, Louis. Itu tidak butuh banyak ruang. Aku bisa bekerja dari ruanganmu atau ruangan Summer." Mata Louis menyipit. "Apakah hanya itu? Kamu tidak berencana melakukan sesuatu yang lain?" Kepala Sky terdesak mundur. Pelupuk matanya ikut turun. "Sesuatu yang lain?" Lengkung bibir Louis berubah kecut. Sambil tertunduk, ia meraih tangan Sky, menggenggamnya lembut. "Aku sadar, kehadiran Summer telah menyita banyak kebebasanmu. Apalagi, kamu mengurusnya seorang diri. Kamu memegang peranan bukan hanya sebagai seorang ibu, tapi ayah juga. Karena itu ...." Louis menghela napas berat. Penyesalan yang tel
Selama beberapa detik, Summer dan anak laki-laki itu bertatapan. Summer tidak pernah melihat wajah tampan yang manis itu sebelumnya. Namun, penampilannya yang rapi membuatnya terkesan familiar. Dengan jas biru dan celana panjang, anak laki-laki itu terlihat seperti pebisnis andal. "Kenapa bisa ada anak kecil di sini? Apakah kamu tersesat?" tanya Summer dengan kepala condong ke kiri. Bocah laki-laki itu tersentak. Ia terlihat lebih lucu dengan mata yang bulat. "Apakah aku tidak salah dengar? Kamu menyebutku anak kecil? Apakah kamu tidak sadar kalau kamu juga masih kecil? Kamu bahkan lebih muda dariku." Alis Summer tertaut. Bibirnya menguncup. "Kupikir, hanya aku anak kecil yang ada di kantor ini. Aku tidak pernah dengar ada anak lain di sini. Karena itulah, aku menduga kalau kau tersesat." "Aku tidak tersesat." Anak laki-laki itu melangkah maju. Ia berhenti dua langkah dari Summer. "Bukankah kamu Summer Harper?" tanyanya lantang. Summer terbelalak. "Dari mana kamu tahu n
"Papa, Mama, kenapa kalian tertawa?" Summer mengguncang kaki kedua orang tuanya. "Ini sama sekali tidak lucu. Ini masalah serius! Kalian harus menyelamatkan aku. Aku belum mau menikah," rengeknga kemudian. Mendengar kekhawatiran sang balita, Sky mengelus rambutnya. "Sayang, tenanglah. Kamu dan River masih kecil. Mana mungkin kalian menikah dalam waktu dekat?" "Tapi River terdengar yakin sekali. Dia bahkan menyebutku calon istrinya," Summer melirik si bocah laki-laki dengan perasaan sebal. Sambil meredam sisa tawa, Louis menggosok pundak putrinya. "Sayang, Mama benar. Kalian masih terlalu kecil untuk menikah. Apakah kamu juga berpikir begitu, River?" Louis mengalihkan pandangan ke arah sang bocah. "Kamu tidak mungkin menikahi Summer dalam waktu dekat, kan?" Sebelah pipi River menggembung. Matanya menyipit, mengamati Summer. "Setelah kupikir-pikir, ya. Aku dan Summer masih terlalu muda untuk menikah. Kalaupun kami berjodoh, butuh beberapa tahun lagi untuk kami bisa mela
"Louis, kau dengar itu? Sepertinya, Summer mengetuk pintu. Dia memanggil kita," bisik Sky di sela desah napasnya. Bukannya berhenti untuk menyimak, Louis malah melanjutkan kegiatannya di bawah selimut. "Itu halusinasimu saja, Sayang. Dia tidak mungkin mencari kita sepagi ini. Paling-paling, dia sedang di pekarangan belakang mengintai Papoy," balas Louis dengan suara yang menggelitik telinga. "Louis, aku serius. Coba dengar! Summer memanggil kita," bisik Sky, mulai mengernyitkan wajah. Tak mendapat respons dari suaminya, ia pun mengangkat tangan. Namun, belum sempat ia menyibak selimut yang menutupi mereka, Louis menangkap pergelangan tangannya dan menekannya ke bantal. "Jangan bergerak. Aku sedikit lagi klimaks," pintanya serak. "Tapi—" "Tenang saja. Kalaupun itu Summer, dia tidak akan masuk. Kurasa aku sudah mengunci pintu semalam. Jadi, mari kita lanjutkan. Satu menit saja." Sementara Louis membungkam mulut Sky, di luar pintu, Summer menunggu dengan raut kebingungan.
"Lihatlah putri kita, Louis. Bukankah dia sangat lucu? Dia terlihat begitu kecil dibandingkan anak-anak lain, dan cara duduknya manis sekali," bisik Sky sembari mengintip dari jendela. Louis yang berdiri di sisi Sky pun melebarkan senyum. Matanya juga tertuju pada satu-satunya balita di kelas itu. "Ya, dia sangat menggemaskan. Apakah kamu yang mengajarinya untuk duduk seperti itu?" bisiknya seraya melirik wajah haru sang istri. Sky menggeleng. "Tidak. Tapi Summer memang sering melipat tangan di atas meja kalau sedang menyimak sesuatu. Tidak kusangka dia akan membawa kebiasaannya ke dalam kelas. Oh, lihat! Dia mengangkat tangan." Sky menepuk-nepuk lengan Louis. Pandangan Louis pun kembali ke depan. Menyaksikan bagaimana Summer menjawab pertanyaan guru dan mendapat tepuk tangan dari murid-murid lain, rasa bangga juga terbit dalam hatinya. "Putri kita bukan hanya lucu, tapi juga cerdas. Kamu berhasil mengajarinya. Terima kasih, Sayang," Louis mengecup pelipis sang istri. "Kamu m
"Sepertinya, bukan hanya Gigi yang perlu meminta maaf kepada Summer di sini, tapi ibunya juga. Bukankah Anda juga sempat menghina putri saya, Nyonya?" Louis menaikkan sebelah alis. Mulut Gloria ternganga. Ia masih kesulitan mengucapkan kata. "Y-ya, saya juga bersalah." Ia menghampiri Summer, membungkuk untuk memeluk tubuh mungilnya. "Tolong maafkan aku, Summer. Aku tidak seharusnya mengajarkan putriku untuk menyudutkanmu. Maaf karena aku telah meremehkanmu." Berbeda dari perlakuannya terhadap Gigi, Summer tidak langsung memaafkan wanita itu. Ia melepaskan diri dari pelukannya. Sambil menjauh sedikit, ia berkacak pinggang. "Apakah Anda sungguh-sungguh menyesal, Nyonya?" tanyanya membuat Gloria tersentak. "T-tentu saja," jawab wanita itu dengan wajah memelas. "Entah kenapa, aku merasa kalau kamu meminta maaf hanya karena takut kepada Papa," tutur Summer sembari memicingkan mata. Mendengar penilaian tersebut, Gloria membeku. Matanya berkedip-kedip, mencari petunjuk.
"Siapa nama Anda?" tanya Louis sembari memicingkan mata. Bibir Gloria bergetar saat menjawabnya, "Gloria Brown." Sambil tersenyum miring, Louis mengangguk-angguk. Tatapannya kemudian bergeser turun. "Dan kamu? Siapa namamu?" tanya Louis dengan sebelah alis naik mendesak dahi. "Georgina Brown. Semua orang biasanya memanggilku Gigi," jawab gadis kecil itu tanpa rasa takut. Ia terlalu bodoh untuk mengerti konsekuensi apa yang sedang menantinya. "Georgina Brown," gumam Louis seraya bergerak maju. Setibanya di hadapan anak itu, ia memiringkan kepala. "Siapa yang mengajarimu untuk berbicara seperti itu?" "Mama yang mengajariku. Mama bilang, semua orang punya status yang berbeda-beda. Aku hanya boleh berteman dengan anak-anak dari level atas." Summer terkesiap. Ia mendongak menatap Sky, berbisik, "Mama, bukankah itu ajaran yang salah?" Sky menempatkan telunjuk di depan mulut. "Sayang, mari kita serahkan hal ini kepada Papa. Saat ini, kita simak saja," bisiknya. "Oh, oke,"
Gloria mendengus jijik. Sorot matanya penuh hinaan. "Apakah kau mengatakan bahwa status orang tuamu lebih tinggi dariku?" Summer menggeleng lugu. "Tidak. Aku tidak suka membanding-bandingkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau kau tidak bisa meremehkan Papa begitu saja." Gloria tertawa kesal. Sambil melipat tangan di depan dada, ia menantang, "Memangnya siapa ayahmu?" "Orang-orang menyebutnya pria nomor satu di L City!" sahut Summer dengan mata berbinar. Semua orang tahu ia merasa bangga karena senyumnya sangat lebar. Sementara itu, mata Gloria menyipit. "Maksudmu, Louis Harper?" Summer mengangguk mantap. "Ya, itulah nama papaku. Apakah kau mengenalnya? Mungkin kalian berteman. Papaku dan suamimu sama-sama memimpin perusahaan besar." Bukannya takut, Gloria malah tertawa datar. "Louis Harper? Yang benar saja? Tuan kepala sekolah, Anda percaya dengan kebohongannya?" "Nyonya, apakah Anda tidak mengikuti berita selama liburan? Tuan Louis Harper memang ayah dari Summer," tutur sang
Summer duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya saling meremas di depan perut. Sekilas, ia tampak bersalah. Namun sebenarnya, ia sedang menahan kesal. Itu adalah hari kedua ia bersekolah. Ia berniat untuk belajar dengan sungguh-sungguh, membuat orang tuanya bangga. Namun ternyata, ia malah terlibat masalah. Saat ia sedang merenung itulah, tiba-tiba, suara berisik datang dari luar. "Di mana anak itu? Mana anak yang sudah berani mengganggu putriku?" Semua orang sontak menoleh ke arah pintu. Beberapa detik kemudian, Gloria Brown masuk dengan raut tak senang. Saat itu pula, tangisan Gigi kembali bergema. "Mama," ia berlari menuju Gloria. Belum sempat ia memeluk sang ibu, kedua lengannya ditahan. "Astaga, Sayang. Apa yang terjadi pada gaunmu?" tanya Gloria dengan mata terpelotot. Gigi meruncingkan telunjuk ke arah Summer. "Dia menumpahkan yogurt di gaunku. Guru-guru sudah berusaha untuk membersihkannya, tapi nodanya tidak mau hilang." Gloria sontak melirik
Bibir Summer menguncup. Sorot matanya tampak bingung. "Kenapa kamu berpikir kalau aku miskin?" "Bajumu jelek. Tasmu juga sepertinya sudah tua. Kamu harus pulang dengan menumpang mobil River karena orang tuamu malu menampakkan diri," terang Gigi dengan nada meremehkan. Summer mendesah berat seperti orang dewasa. "Gigi, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Itu bukan perbuatan baik. Selain itu, kita juga tidak boleh membeda-bedakan teman berdasarkan kekayaan. Mama bilang, yang harus kita lihat dari diri seseorang itu adalah kepribadiannya. Kita seharusnya mencari teman yang baik, bukan teman yang kaya." Gigi memasang raut angkuh. "Kamu berani menasihatiku? Apakah kamu tidak tahu siapa aku?" Summer mengangguk. "Aku tahu. Kamu Gigi. Georgina Brown." "Apakah kamu tahu siapa ayahku?" Gigi menaikkan sebelah alis. "Kalau itu, aku tidak tahu. Haruskah aku berkenalan dengannya?" jawab Summer santai. "Ayahku adalah pemimpin Brown Group! Dia salah satu pengusaha p
Louis dan Sky bertukar pandang. Mereka sama-sama khawatir pada putri kecil mereka. "Apa saja yang anak bernama Gigi itu katakan padamu, Sayang?" selidik Sky dengan nada serius. Summer pun berkacak pinggang. Ia ulangi semua perkataan Gigi dengan nada suara dan mimik wajah yang sama. Yang lain dengan serius memperhatikan. "Lalu, apa lagi yang dia katakan selain itu?" tanya Louis setelah Summer berhenti. "Tidak ada, Papa. Dia hanya mengatakan itu saja," geleng Summer lugu. "Apakah dia melakukan sesuatu yang buruk padamu?" selidik Sky lagi. Bibir Summer menguncup. Kepalanya condong ke kiri sedikit. "Tidak ada, Mama. Dia hanya menegaskan itu saja. Dia mau aku berhenti datang ke sekolah." "Lalu, apa yang kamu katakan padanya?" River juga penasaran. Tiba-tiba, suara Summer terdengar garang, "Aku berkata dengan tegas kalau dia tidak berhak mengatur hidupku. Meskipun dia melarangku untuk belajar di Sekolah Savior, aku tetap akan datang. Karena itu sudah menjadi rencanaku. Aku mem
Melihat bagaimana Summer lanjut makan dengan tenang, Gigi tercengang. Ia tidak terima Summer berani membantah peringatannya. Namun, saat ia hendak mengungkapkan kekesalan, River sudah telanjur datang. Alhasil, ia hanya bisa tertunduk, menelan kejengkelannya bulat-bulat. "Summer, apakah kamu sudah selesai makan?" tanya River sambil duduk di kursinya tadi. Melihat makanan yang tersisa di baki si gadis kecil, ia menepuk-nepuk pundaknya. "Tidak apa-apa, Summer. Tidak perlu tergesa-gesa. Kunyah makananmu dengan benar. Jangan sampai tersedak," tuturnya, seperti orang dewasa. "Dan setelah makan, jangan lupa membersihkan wajahmu." Summer mengangguk-angguk. Begitu ia selesai makan, ia mengelap mulut dengan teliti. River membantunya membersihkan noda di hidung dan pipi. Menyaksikan hal itu, kekesalan Gigi semakin membara. Saat Summer dan River pergi melancarkan rencana, ia hanya bisa menatap punggung mereka dengan mata berkaca-kaca yang dihiasi guratan merah. "Lihat saja nanti. Aku