Nah looo, siapa itu??? Eng ing eeng .... Btw, maaf baru sempat jam segini up-nya. Semoga suka dengan bab ini, ya. Terima kasih sudah membaca.
Selama beberapa detik, Summer dan anak laki-laki itu bertatapan. Summer tidak pernah melihat wajah tampan yang manis itu sebelumnya. Namun, penampilannya yang rapi membuatnya terkesan familiar. Dengan jas biru dan celana panjang, anak laki-laki itu terlihat seperti pebisnis andal. "Kenapa bisa ada anak kecil di sini? Apakah kamu tersesat?" tanya Summer dengan kepala condong ke kiri. Bocah laki-laki itu tersentak. Ia terlihat lebih lucu dengan mata yang bulat. "Apakah aku tidak salah dengar? Kamu menyebutku anak kecil? Apakah kamu tidak sadar kalau kamu juga masih kecil? Kamu bahkan lebih muda dariku." Alis Summer tertaut. Bibirnya menguncup. "Kupikir, hanya aku anak kecil yang ada di kantor ini. Aku tidak pernah dengar ada anak lain di sini. Karena itulah, aku menduga kalau kau tersesat." "Aku tidak tersesat." Anak laki-laki itu melangkah maju. Ia berhenti dua langkah dari Summer. "Bukankah kamu Summer Harper?" tanyanya lantang. Summer terbelalak. "Dari mana kamu tahu n
"Papa, Mama, kenapa kalian tertawa?" Summer mengguncang kaki kedua orang tuanya. "Ini sama sekali tidak lucu. Ini masalah serius! Kalian harus menyelamatkan aku. Aku belum mau menikah," rengeknga kemudian. Mendengar kekhawatiran sang balita, Sky mengelus rambutnya. "Sayang, tenanglah. Kamu dan River masih kecil. Mana mungkin kalian menikah dalam waktu dekat?" "Tapi River terdengar yakin sekali. Dia bahkan menyebutku calon istrinya," Summer melirik si bocah laki-laki dengan perasaan sebal. Sambil meredam sisa tawa, Louis menggosok pundak putrinya. "Sayang, Mama benar. Kalian masih terlalu kecil untuk menikah. Apakah kamu juga berpikir begitu, River?" Louis mengalihkan pandangan ke arah sang bocah. "Kamu tidak mungkin menikahi Summer dalam waktu dekat, kan?" Sebelah pipi River menggembung. Matanya menyipit, mengamati Summer. "Setelah kupikir-pikir, ya. Aku dan Summer masih terlalu muda untuk menikah. Kalaupun kami berjodoh, butuh beberapa tahun lagi untuk kami bisa mela
Di ruang eksplorasi, suasana begitu hening. Summer fokus dengan buku jurnalnya, sedangkan River fokus dengan buku cerita yang Summer pinjamkan kepadanya. Sesekali, Summer bersenandung kecil. Sesekali, River terkikik. Meski demikian, tidak ada interaksi yang mereka lakukan hingga akhirnya, River menutup buku yang sudah selesai ia baca. "Summer, apakah kamu sudah selesai?" tanya River sembari memajukan kepala, memeriksa apa yang Summer tulis. Summer menggeleng. "Belum. Aku tinggal menulis beberapa hal lagi. Apakah kau sudah selesai membaca bukuku?" River mengangguk. "Ya, ini buku yang sangat bagus. Aku tidak percaya kalau kau bilang bukumu tidak laku. Menurutku, bukumu layak dipajang di rak best seller. Petualanganmu sangat seru dan lucu. Benarkah bulu domba kesayanganmu itu keriting?" "Semua domba berbulu keriting, River. Hanya saja, domba yang kuceritakan itu punya bulu yang paling keriting dan panjang. Beberapa helainya menjuntai di depan wajah sehingga terlihat seperti ram
"Rencana apa, Sayang?" selidik Sky sambil merapikan rambut sang balita. Langkah kakinya santai di sisi Louis. "River bilang kalau sekolah itu seru, Mama. Karena itu, dia mengajakku untuk ikut dia bersekolah," terang Summer antusias. "Apakah kamu menerima ajakannya?" Louis berpura-pura tidak tahu. Mata Summer berkilat lebih terang. "Itulah rencana yang kami buat! Aku mau mencoba untuk bersekolah bersamanya selama beberapa hari. Kalau aku betah, mungkin aku akan terus bersekolah. Kalau tidak, aku akan kembali ke rencana awal. Apakah Papa dan Mama mengizinkan?" Louis mengulum senyum. "Tentu saja mengizinkan." Namun ternyata, Summer menangkap kegembiraannya. Ia terkekeh, "Papa pasti senang dengan keputusanku." "Apa pun keputusanmu, Papa tetap senang, Sayang. Yang terpenting adalah kamu bahagia," Louis mengecup pipi gembul putrinya. "Bagaimana dengan Mama? Apakah Mama juga senang dengan keputusanku?" Summer tersenyum manis kepada sang ibu. Sky ikut terpanggil untuk memb
Setibanya di kelas, Summer dan River langsung membungkuk dan mengatur napas. Tawa kecil sesekali terdengar. Summer merasa senang karena ia tidak terlambat di hari pertamanya masuk sekolah. "Untung saja kita cepat! Lain kali, bagaimana kalau kita latihan lari bersama? Itu mungkin berguna di masa depan," usul Summer dengan mata berbinar. Sambil menyeka kening, River mengangguk. "Itu ide bagus, Summer. Mari mengatur jadwalnya nanti. Sekarang, ayo cepat duduk! Aku sudah menyiapkan tempat untukmu." River menggandeng tangan Summer, hendak mengantarnya ke kursi yang dimaksud. Namun, belum sempat ia melangkah, anak-anak lain menghadang. "Hei, River, siapa yang kau bawa itu? Apakah dia pacarmu?" celetuk seorang bocah laki-laki, disambut tawa oleh anak-anak lain. "Kurasa mereka memang berpacaran. Karena itulah mereka berpegangan tangan," ledek bocah lain. Mendengar hal tersebut, bibir Summer mengerucut. Matanya berkedip-kedip lugu. "Maaf, Teman-Teman. Kalian sudah salah paham.
Mrs. Ross dan Miss Jasmine tersenyum mendengar perkenalan yang manis dari Summer. Saat mereka bertepuk tangan, murid-murid mengikuti dengan penuh semangat. Bahkan Summer ikut bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Ia bangga karena telah berhasil memberikan “penampilan” yang baik. Hanya Gigi yang bertepuk tangan dengan malas. Ia terpaksa melakukannya karena takut dipertanyakan oleh guru. Dan sebetulnya, ia memang selalu malas bertepuk tangan untuk orang lain. Ia hanya ingin dirinya yang menjadi pusat perhatian. Di samping itu, Gigi juga tidak pernah suka mendengar anak lain dipuji oleh guru, kecuali River. Ia menyukai bocah itu. Jika River sedang mempresentasikan sesuatu atau mendapat pujian, maka Gigi akan bertepuk tangan paling kencang. Ia ingin River tahu bahwa ia adalah pendukungnya yang nomor satu. Namun kini, posisinya terancam. River lebih sering tersenyum kepada anak lain. Ia bahkan tidak lagi meliriknya. Karena itu, ia berharap Summer cepat pergi dari kelas mereka. D
"Maaf, Mrs. Ross. Semua anak sudah menjawab pertanyaan, kecuali Summer. Kurasa dia belum mengerti," tutur Gigi dengan nada iba. Mendengar itu, semua orang kompak menatap Summer. River yang sejak tadi fokus dengan dirinya sendiri mendadak merasa bersalah. Padahal, ia sudah berjanji untuk membantu Summer kalau ia mengalami kesulitan di kelas. "Summer, apakah kamu belum mengerti?" tanya River, mendahului Mrs. Ross yang baru sempat membuka mulut. Summer berkedip lugu. Senyumnya manis. "Aku mengerti," angguknya. "Summer," panggil Mrs. Ross dengan penuh perhatian, "kalau kamu memang belum mengerti, tidak apa-apa. Ibu guru bisa menjelaskannya lagi padamu." "Tidak usah, Mrs. Ross. Anda tidak perlu menjelaskan ulang. Aku sungguh sudah mengerti," Summer mengangguk-angguk lebih cepat. "Kalau kau memang sudah mengerti, kenapa kau diam saja sejak tadi?" celetuk Gigi, nyinyir. Summer mengedikkan bahu ringan. "Aku tidak mau menghambat pembelajaran. Aku hanya murid sementara di kelas ini.
Sementara anak-anak dari meja sebelah kembali ke tempat masing-masing, River berbisik, "Summer, apakah kamu mempelajari itu dari rekening bank-mu?" "Ya!" seru Summer dengan mata bulat. "Aku melihat bagaimana nilai tabunganku di buku bank berubah. Aku meminta Mama untuk menjelaskannya." River mendesah takjub. "Wah, kurasa kau benar. Belajar itu tidak harus di sekolah, tapi bisa di mana saja. Buktinya, kau bisa mempelajari banyak hal dari satu buku bank." Summer terkikik geli. Ia suka dipuji, dan ia senang pengetahuannya berguna untuk membantu teman-teman yang lain. Sementara itu, Gigi tertunduk dan mulai meremas jemarinya sendiri. Kekesalannya sudah tidak bisa diatasi. "Summer betul-betul jahat. Dia telah merebut guru-guru dan teman-temanku. Gara-gara dia, semua orang mengabaikan aku hari ini. Dia perlu diberi peringatan," pikirnya sebal. Karena itu, begitu jam istirahat tiba, ia membuntuti Summer dan River. "Ayo, Summer. Kita harus cepat. Waktu kita terbatas, sedangka
Emily hanya bisa mengangguk. Sambil menggenggam tangan Sky, ia menggigit bibir. Summer dan River pun berhenti bercanda. Mereka menghampiri Emily. "Ada apa, Bibi?" tanya mereka kompak. "Dia mengalami kontraksi lagi," sahut Sky pelan. Wajah Summer berubah sendu. Ia berjongkok di dekat kaki Emily. "Apakah ini bisa membuat Bibi lebih baik?" tanyanya seraya memijat. Di sisi Emily yang lain, River melakukan hal yang sama. "Mungkin para bayi merasa gerah akibat senam tadi. Jadi, mereka meronta. Perut Bibi jadi berkontraksi?" "Kalau begitu, Bibi jangan melanjutkan senam lagi," simpul Summer tegas. "Istirahat saja di sini. Anggap kita sedang piknik. Mama, kita membawa bekal, kan? Bagaimana kalau kita membentang karpet dan mulai menata? Begitu Bibi selesai kontraksi, dia bisa menikmati makanan dan minuman yang kita siapkan." Sky mengangguk kecil. "Terima kasih, Sayang. Idemu brilian sekali." "Kalau begitu, River, ayo kita ke mobil!" ajak Summer, penuh semangat. Akan tetapi, River
"Yuck! Itu sangat menjijikkan! Kenapa kalian menginjaknya? Apakah kalian tidak tahu bahwa itu kotoran penguin?" tanya River, tak habis pikir. "Itulah rute yang harus kami lalui kalau mau mengelilingi pulau," Sky mengedikkan bahu. "Kalau kalian berkunjung ke sana nanti, kalian juga akan melewatinya," ujar Louis dengan nada menakut-nakuti. Summer mengerucutkan bibir. "Kalau begini, kita harus menggencarkan kampanye perubahan iklim. Saat kita ke sana nanti, kuharap es dan salju sudah menebal lagi. Dengan begitu, para penguin punya lebih banyak tempat untuk membuang kotoran. Tidak perlu menumpuk di satu pulau!" "Apakah tidak ada rute yang aman dari kotoran? Itu sangat licin dan lengket. Bisa berbahaya kalau kita terpeleset di sana. Aku tidak bisa membayangkan betapa kotor dan bau baju kita," gumam River, was-was. "Tenang, River," Summer memegangi pundaknya lagi. "Kita bisa membeli sepatu roda dan berlatih keseimbangan setelah ini. Jadi, begitu kita ke sana nanti, kita tidak ak
Summer mengamati oleh-oleh yang ia dapat selama beberapa saat. Begitu ia selesai, ia langsung berlari menuju Sky yang kebetulan baru kembali dari membagikan hadiah. "Mama, terima kasih banyak! Aku suka semua barang yang Mama beli!" serunya seraya memberikan pelukan hangat. River mengangguk sepakat. "Ya, terima kasih banyak, Nyonya Harper. Oleh-oleh ini sangat keren! Terima kasih juga, Paman Louis." Dari sofanya, Louis terkekeh. "Sama-sama, River." Sedetik kemudian, Summer berlari dan melompat ke pangkuan sang ayah. Louis dengan sigap menangkapnya. "Terima kasih, Papa! Aku tahu, Papa pasti membantu Mama memilih barang-barangnya," ujar Summer sembari menempelkan pipinya di pundak sang ayah. "Ya, beberapa barang itu adalah pilihan Papa. Mana yang paling kamu suka?" Bibir Summer mengerucut. Telunjuknya mulai mengetuk dagu. "Itu pertanyaan sulit. Tapi kalau harus memilih, kalender itu yang paling berguna bagiku. Aku bisa memakainya untuk menentukan jadwal bersama River.
"Ya, kau sebaiknya fokus saja dengan kegiatan di penjara ini, Kendrick. Siapa tahu, kau bisa mendapat keringanan karena perilaku baik," Summer mengedikkan bahu santai. Akan tetapi, Kendrick malah semakin menggila. Ia mulai mengguncang pintu, memohon kepada para petugas untuk membukanya. Saat Orion mendekat, ia berteriak ketakutan. "Tidak! Menjauhlah dariku! Aku masih mau hidup! Jangan kau apa-apakan kepalaku!" Tiba-tiba, bunyi aneh terdengar dari pantat Kendrick. Bau busuk pun menyebar. Summer dan River cepat-cepat memencet hidung mereka. "Uuuh, Kendrik, kau jorok sekali!" tutur Summer, meledek. "Cepat sana ke kamar mandi! Dan jangan lupa dengan chipmu!" River terkekeh usil. "Dia tidak perlu membawanya, River. Chip ini yang akan datang sendiri kepadanya. Maksudku, petugas kepolisian yang akan memasukkan chip ke dalam otaknya!" Membayangkan kepalanya dibelah, Kendrick terkesiap. Mulutnya mulai bergetar. Saat pintu besi dibuka, lututnya ikut gemetar. Ia mencoba untuk melari
Khawatir sandiwaranya terbongkar, Summer cepat-cepat mengobrol dengan River. Ia bertanya tentang penilaiannya terhadap roti lapis itu dan apa yang perlu mereka perbaiki ke depannya. Setelah Kendrick menghabiskan makanan dan minumannya, barulah ia meraih kotak besar di atas meja. "Apakah kau sudah kenyang?" tanya Summer yang kini berlutut di atas kursi. Kalau tidak, kotak besar itu pasti sudah menutupi wajahnya dari Kendrick. Narapidana itu mendengus. "Apa pedulimu?" "Apakah kau lupa? Aku sudah menjawab pertanyaan itu. Berapa kali pun kau bertanya, jawabanku akan tetap sama. Aku mengkhawatirkan kondisimu karena keluargakulah yang memasukkanmu ke dalam penjara itu," Summer menunjuk pintu besi yang dijaga oleh dua orang petugas kepolisian. Kendrick memutar bola mata. "Jangan berpura-pura peduli padaku. Aku tahu, kau dan orang tua berengsekmu itu berpesta setelah kalian melemparku ke tempat terkutuk ini." Summer terkesiap. Mata bulatnya berkilat oleh keterkejutan. "Tolong perhat
"Tolong jangan disebut. Itu berbahaya!" ujar Summer lantang. River menyingkirkan tangan Summer dari mulutnya. "Kenapa?" "Pokoknya, itu berbahaya. Mari kita masukkan itu sebagai kata terlarang. Jangan membahasnya lagi sampai kita dewasa," tutur Summer dengan penuh keseriusan. River pun menghela napas kesal. Namun, melihat ketegasan di wajah Summer, ia akhirnya mengalah. "Baiklah, aku akan melupakannya. Anggap itu tidak pernah kudengar," ia memutar telinga seolah sedang memutar pita kaset ke belakang. Louis akhirnya bisa kembali bernapas lega. Sky terkekeh melihatnya mengelus dada. Setelah itu, perbincangan berlangsung normal. Tidak ada hal aneh lagi yang mereka bahas. Mereka hanya bertukar kabar. Saat perbincangan mereka berakhir, Summer memekik gembira, "Oh, aku sungguh tidak sabar ingin menyambut Papa dan Mama pulang! Mereka pasti akan membawa banyak cerita!" "Ya, aku juga. Aku tidak sabar ingin melihat oleh-oleh apa yang mereka bawa dari Antartika!" sahut River, tak
Sang kapten tersenyum simpul. "Dia mengaku bernama Summer." Louis dan Sky terbelalak. "Summer?" Lengkung bibir sang kapten melebar. "Ya. Summer Harper. Awalnya, saya berpikir bahwa itu hanyalah panggilan iseng. Tapi setelah mendengar caranya berbicara dan mengetahui namanya, saya percaya bahwa situasinya serius. Saya sarankan Anda untuk segera menghubunginya. Dia sangat resah." Sky mengangguk cepat. Di sisinya, Louis berkata, "Terima kasih, Kapten Alvarez. Kami akan segera menghubungi putri kami." Seperginya sang kapten, Sky melakukan panggilan video. Begitu Summer menerimanya, suara manisnya langsung bergema, "Mama, kenapa baru meneleponku sekarang? Ke mana saja dari tadi? Apakah Angelica mengganggu kalian lagi?" Melihat wajah cemberut sang putri, Sky dan Louis tertawa lirih. Mata mereka berkaca-kaca, terlapisi oleh keharuan sekaligus rasa bangga. "Maaf, Sayang. Mama dan Papa ada urusan mendesak. Kami terpaksa menghidupkan mode pesawat sebentar," timpal Sky, agak serak. "A
Pablo kembali tertawa. Sambil menggaruk alis, ia bergumam lirih, "Mengapa orang kaya suka sekali semena-mena?" Detik berikutnya, ia menatap Louis dengan kesan meremehkan. "Anda pikir dengan kekayaan yang Anda miliki, Anda bisa bertindak sesuka hati di sini? Maaf, Tuan Harper. Ini bukan L City. Di sini, Kapten Alvarez-lah yang memegang kendali. Dan lewat saya, beliau sudah menyampaikan perintah. Tahan Louis Harper dan sang istri. Karena itu ...." Pablo melihat rekan-rekannya dan menggerakkan kepala sekali. Para petugas mendekati Louis dan Sky lagi. Secepat kilat, Louis menarik Sky ke balik punggungnya. "Siapa yang berani menyentuh istriku, akan kupastikan dia tidak bisa berjalan lagi!" hardiknya, mengancam. Para petugas seketika menahan langkah. Louis pun menambahkan, "Daripada kalian bersikeras ingin menangkap kami, kalian lebih baik menghubungi kapten kalian." "Untuk apa?" sela Pablo dengan nada menjengkelkan. "Untuk mengulur waktu? Maaf, Tuan Harper. Kami sudah menghabi
Draco menggertakkan geraham. Ia ingin sekali menghajar Louis. Saat itulah, Sky berbisik, "Apakah Pablo, si petugas keamanan itu? Dia yang membantu kau dan Angelica melancarkan misi untuk menggangguku dan Louis?" Draco tersentak. Mulutnya tanpa sadar menimpali, "Dari mana kau tahu kalau itu Pablo?" Sky tersenyum lebar. Ia sumpal mulut Draco dengan kain. "Terima kasih atas kejujuranmu." Kemudian, ia bangkit berdiri. Sementara Louis menahan Draco agar tidak macam-macam, Sky berhenti merekam suara di ponselnya. Saat ia memutarnya ulang, pengakuan Draco terekam jelas. "Emmhh .... Emm emmmh ...." Draco terus meronta-ronta. Louis yang masih berlutut di dekatnya pun berdesus. Telunjuknya teracung meminta waktu. "Apa yang kau ributkan?" gerutu Louis. "Kau takut Pablo membunuhmu karena gagal menjaga rahasianya? Tenang. Kami akan menangkapnya sebelum dia bisa membunuhmu." Setelah menepuk pipi Draco dengan kasar dua kali, Louis bangkit berdiri. Ia menghampiri Sky. Sang istr