Kira-kira, Summer nanti di sekolah gimana ya?
"Rencana apa, Sayang?" selidik Sky sambil merapikan rambut sang balita. Langkah kakinya santai di sisi Louis. "River bilang kalau sekolah itu seru, Mama. Karena itu, dia mengajakku untuk ikut dia bersekolah," terang Summer antusias. "Apakah kamu menerima ajakannya?" Louis berpura-pura tidak tahu. Mata Summer berkilat lebih terang. "Itulah rencana yang kami buat! Aku mau mencoba untuk bersekolah bersamanya selama beberapa hari. Kalau aku betah, mungkin aku akan terus bersekolah. Kalau tidak, aku akan kembali ke rencana awal. Apakah Papa dan Mama mengizinkan?" Louis mengulum senyum. "Tentu saja mengizinkan." Namun ternyata, Summer menangkap kegembiraannya. Ia terkekeh, "Papa pasti senang dengan keputusanku." "Apa pun keputusanmu, Papa tetap senang, Sayang. Yang terpenting adalah kamu bahagia," Louis mengecup pipi gembul putrinya. "Bagaimana dengan Mama? Apakah Mama juga senang dengan keputusanku?" Summer tersenyum manis kepada sang ibu. Sky ikut terpanggil untuk memb
Setibanya di kelas, Summer dan River langsung membungkuk dan mengatur napas. Tawa kecil sesekali terdengar. Summer merasa senang karena ia tidak terlambat di hari pertamanya masuk sekolah. "Untung saja kita cepat! Lain kali, bagaimana kalau kita latihan lari bersama? Itu mungkin berguna di masa depan," usul Summer dengan mata berbinar. Sambil menyeka kening, River mengangguk. "Itu ide bagus, Summer. Mari mengatur jadwalnya nanti. Sekarang, ayo cepat duduk! Aku sudah menyiapkan tempat untukmu." River menggandeng tangan Summer, hendak mengantarnya ke kursi yang dimaksud. Namun, belum sempat ia melangkah, anak-anak lain menghadang. "Hei, River, siapa yang kau bawa itu? Apakah dia pacarmu?" celetuk seorang bocah laki-laki, disambut tawa oleh anak-anak lain. "Kurasa mereka memang berpacaran. Karena itulah mereka berpegangan tangan," ledek bocah lain. Mendengar hal tersebut, bibir Summer mengerucut. Matanya berkedip-kedip lugu. "Maaf, Teman-Teman. Kalian sudah salah paham.
Mrs. Ross dan Miss Jasmine tersenyum mendengar perkenalan yang manis dari Summer. Saat mereka bertepuk tangan, murid-murid mengikuti dengan penuh semangat. Bahkan Summer ikut bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Ia bangga karena telah berhasil memberikan “penampilan” yang baik. Hanya Gigi yang bertepuk tangan dengan malas. Ia terpaksa melakukannya karena takut dipertanyakan oleh guru. Dan sebetulnya, ia memang selalu malas bertepuk tangan untuk orang lain. Ia hanya ingin dirinya yang menjadi pusat perhatian. Di samping itu, Gigi juga tidak pernah suka mendengar anak lain dipuji oleh guru, kecuali River. Ia menyukai bocah itu. Jika River sedang mempresentasikan sesuatu atau mendapat pujian, maka Gigi akan bertepuk tangan paling kencang. Ia ingin River tahu bahwa ia adalah pendukungnya yang nomor satu. Namun kini, posisinya terancam. River lebih sering tersenyum kepada anak lain. Ia bahkan tidak lagi meliriknya. Karena itu, ia berharap Summer cepat pergi dari kelas mereka. D
"Maaf, Mrs. Ross. Semua anak sudah menjawab pertanyaan, kecuali Summer. Kurasa dia belum mengerti," tutur Gigi dengan nada iba. Mendengar itu, semua orang kompak menatap Summer. River yang sejak tadi fokus dengan dirinya sendiri mendadak merasa bersalah. Padahal, ia sudah berjanji untuk membantu Summer kalau ia mengalami kesulitan di kelas. "Summer, apakah kamu belum mengerti?" tanya River, mendahului Mrs. Ross yang baru sempat membuka mulut. Summer berkedip lugu. Senyumnya manis. "Aku mengerti," angguknya. "Summer," panggil Mrs. Ross dengan penuh perhatian, "kalau kamu memang belum mengerti, tidak apa-apa. Ibu guru bisa menjelaskannya lagi padamu." "Tidak usah, Mrs. Ross. Anda tidak perlu menjelaskan ulang. Aku sungguh sudah mengerti," Summer mengangguk-angguk lebih cepat. "Kalau kau memang sudah mengerti, kenapa kau diam saja sejak tadi?" celetuk Gigi, nyinyir. Summer mengedikkan bahu ringan. "Aku tidak mau menghambat pembelajaran. Aku hanya murid sementara di kelas ini.
Sementara anak-anak dari meja sebelah kembali ke tempat masing-masing, River berbisik, "Summer, apakah kamu mempelajari itu dari rekening bank-mu?" "Ya!" seru Summer dengan mata bulat. "Aku melihat bagaimana nilai tabunganku di buku bank berubah. Aku meminta Mama untuk menjelaskannya." River mendesah takjub. "Wah, kurasa kau benar. Belajar itu tidak harus di sekolah, tapi bisa di mana saja. Buktinya, kau bisa mempelajari banyak hal dari satu buku bank." Summer terkikik geli. Ia suka dipuji, dan ia senang pengetahuannya berguna untuk membantu teman-teman yang lain. Sementara itu, Gigi tertunduk dan mulai meremas jemarinya sendiri. Kekesalannya sudah tidak bisa diatasi. "Summer betul-betul jahat. Dia telah merebut guru-guru dan teman-temanku. Gara-gara dia, semua orang mengabaikan aku hari ini. Dia perlu diberi peringatan," pikirnya sebal. Karena itu, begitu jam istirahat tiba, ia membuntuti Summer dan River. "Ayo, Summer. Kita harus cepat. Waktu kita terbatas, sedangka
Melihat bagaimana Summer lanjut makan dengan tenang, Gigi tercengang. Ia tidak terima Summer berani membantah peringatannya. Namun, saat ia hendak mengungkapkan kekesalan, River sudah telanjur datang. Alhasil, ia hanya bisa tertunduk, menelan kejengkelannya bulat-bulat. "Summer, apakah kamu sudah selesai makan?" tanya River sambil duduk di kursinya tadi. Melihat makanan yang tersisa di baki si gadis kecil, ia menepuk-nepuk pundaknya. "Tidak apa-apa, Summer. Tidak perlu tergesa-gesa. Kunyah makananmu dengan benar. Jangan sampai tersedak," tuturnya, seperti orang dewasa. "Dan setelah makan, jangan lupa membersihkan wajahmu." Summer mengangguk-angguk. Begitu ia selesai makan, ia mengelap mulut dengan teliti. River membantunya membersihkan noda di hidung dan pipi. Menyaksikan hal itu, kekesalan Gigi semakin membara. Saat Summer dan River pergi melancarkan rencana, ia hanya bisa menatap punggung mereka dengan mata berkaca-kaca yang dihiasi guratan merah. "Lihat saja nanti. Aku
Louis dan Sky bertukar pandang. Mereka sama-sama khawatir pada putri kecil mereka. "Apa saja yang anak bernama Gigi itu katakan padamu, Sayang?" selidik Sky dengan nada serius. Summer pun berkacak pinggang. Ia ulangi semua perkataan Gigi dengan nada suara dan mimik wajah yang sama. Yang lain dengan serius memperhatikan. "Lalu, apa lagi yang dia katakan selain itu?" tanya Louis setelah Summer berhenti. "Tidak ada, Papa. Dia hanya mengatakan itu saja," geleng Summer lugu. "Apakah dia melakukan sesuatu yang buruk padamu?" selidik Sky lagi. Bibir Summer menguncup. Kepalanya condong ke kiri sedikit. "Tidak ada, Mama. Dia hanya menegaskan itu saja. Dia mau aku berhenti datang ke sekolah." "Lalu, apa yang kamu katakan padanya?" River juga penasaran. Tiba-tiba, suara Summer terdengar garang, "Aku berkata dengan tegas kalau dia tidak berhak mengatur hidupku. Meskipun dia melarangku untuk belajar di Sekolah Savior, aku tetap akan datang. Karena itu sudah menjadi rencanaku. Aku mem
Bibir Summer menguncup. Sorot matanya tampak bingung. "Kenapa kamu berpikir kalau aku miskin?" "Bajumu jelek. Tasmu juga sepertinya sudah tua. Kamu harus pulang dengan menumpang mobil River karena orang tuamu malu menampakkan diri," terang Gigi dengan nada meremehkan. Summer mendesah berat seperti orang dewasa. "Gigi, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Itu bukan perbuatan baik. Selain itu, kita juga tidak boleh membeda-bedakan teman berdasarkan kekayaan. Mama bilang, yang harus kita lihat dari diri seseorang itu adalah kepribadiannya. Kita seharusnya mencari teman yang baik, bukan teman yang kaya." Gigi memasang raut angkuh. "Kamu berani menasihatiku? Apakah kamu tidak tahu siapa aku?" Summer mengangguk. "Aku tahu. Kamu Gigi. Georgina Brown." "Apakah kamu tahu siapa ayahku?" Gigi menaikkan sebelah alis. "Kalau itu, aku tidak tahu. Haruskah aku berkenalan dengannya?" jawab Summer santai. "Ayahku adalah pemimpin Brown Group! Dia salah satu pengusaha p
"Louis, mau berapa lama lagi kita di sini?" tanya Sky manis. Ia sedang duduk di depan Louis sambil bersandar di dadanya. Dengan pose berendam seperti itu, mereka terlihat sangat mesra. "Apakah kau sudah bosan?" tanya Louis serak. Sky menggeleng manja. "Tidak. Hanya saja, kita sudah selesai bergulat. Apa lagi yang mau kau lakukan di sini?" "Aku masih mau melakukan ini," Louis lanjut memainkan titik sensitif sang istri. Melihat betapa nakal jemari Louis, Sky mendengus geli. "Itu bisa kau lakukan di kamar, Louis. Tidak harus di sini." "Ya, tapi kalau kita keluar dari air, aku tidak bisa melakukan ini," Louis mengambil setangkup air. Saat ia menuangkannya di tubuh Sky, air tersebut mengalir dengan indah. Sky hanya bisa menggeleng tak habis pikir. Ternyata, bukan hanya dirinya yang tak banyak berubah. Louis juga. Mereka berdua masih kekanakan. Selagi Louis bersenang-senang dengan tubuhnya, Sky mulai mencari kesibukan. Ia menatap sekeliling. Tak lama kemudian, ia bertanya, "Louis,
"Maaf, Louis. Aku sebetulnya tidak mau melanggar kesepakatan, tapi aku harus mengangkat telepon. Siapa tahu ini penting," tutur Sky seraya memeriksa panggilan. "Oh, ternyata ini ayahku. Halo, Papa." Sky berbincang dengan sang ayah selama beberapa saat. Sesekali ia melirik Louis. Raut sang suami lagi-lagi menggelitik hatinya. Saat percakapan mereka usai, Louis langsung menyita ponselnya. "Demi kenyamanan bersama, bagaimana kalau kita mematikan ponselmu juga? Kita boleh menyalakannya lagi setelah aku selesai memanjakanmu." "Bagaimana kalau ada sesuatu yang penting?" Louis menggeleng ringan. Ia matikan ponsel Sky dan meletakkannya di atas meja. "Semua orang tahu kita sedang berbulan madu. Mereka seharusnya mengerti kalau kita sedang tidak mau diganggu. Lagi pula, yang terpenting saat ini adalah kita." Sembari tersenyum manis, Louis menyodorkan tangan. "Apakah kau sudah siap untuk dimanjakan?" "Ya! Walaupun aku sudah bukan anak kecil, aku masih suka dimanjakan," Sky meleta
Beberapa saat yang lalu, Louis dan Sky memasuki kapal. Mereka langsung berjalan menuju kabin mereka. Sepanjang jalan, Sky terus berceloteh tentang apa saja yang dilihatnya. Louis dengan senang hati mendengarkan. Ia merasa seperti kembali ke masa kecil mereka. "Louis, lihat! Itu koper kita!" Sambil tertawa, Sky mempercepat langkah. Meski demikian, ia tetap menjaga tangan Louis dalam genggamannya. Louis pun mengikuti dengan langkah ringan. "Akhirnya, kita sampai di kamar kita. Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya. Perlukah kita merekam momen ini? Kurasa Summer juga pasti senang melihatnya," tutur Sky dengan mata berbinar. Louis selalu suka melihatnya. Ia tersenyum manis. "Sky, bagaimana kalau saat ini, kita nikmati saja momen-momen sepenuhnya? Lupakan tentang orang lain. Fokus saja pada kita berdua." "Tapi Summer bukan orang lain. Dia putri kita," timpal Sky dengan alis melengkung tinggi. Kebingungan yang terukir di wajahnya membuat Louis tertawa gemas. Apalagi, gelengan ke
Setibanya di kediaman Harper, perhatian Orion langsung tertuju pada dua bocah di ruang tamu. Mereka sedang duduk bersampingan di sebuah sofa. Tatapan mereka serius, terpaku pada ponsel. "Selamat pagi, Summer, River," sapa Orion sembari mendekat. Para bocah akhirnya mengangkat pandangan. "Selamat pagi, Paman Orion." Namun kemudian, mata mereka kembali pada ponsel. Merasa diabaikan, kening Orion berkerut. "Apa yang sedang kalian lakukan?" "Tolong jangan ganggu kami, Paman Orion. Kami sedang serius," gerutu Summer. Alisnya tertaut lucu. Penasaran, Orion berdiri di belakang sofa. Ia membungkuk, memperhatikan apa yang sedang dikerjakan para bocah. "Siapa perempuan itu?" tanyanya ketika mendapati media sosial milik seseorang yang tidak ia kenal. Summer menghela napas panjang. Gayanya sudah seperti orang dewasa. "Paman Orion, bukankah sudah kubilang untuk tidak mengganggu kami?" "Aku tidak mengganggu. Hanya bertanya. Siapa perempuan itu? Kenapa kalian mengamati media sos
"Tunggu," Summer menahan kedua orang tuanya agar tidak membalikkan badan. "Mama dan Papa jangan menoleh. Nanti dia tahu kalau kita sedang membicarakan dirinya. Coba Papa geser kamera ke arah kiri. Oh, maksudku kanan. Nah, itu dia! Zoom sekarang!" Louis memenuhi perintah sang putri. Mendapati seorang wanita tinggi semampai yang sejak tadi memang berkeliaran di dekat mereka, ia melirik ke samping. Sesuai dugaan, Sky sedang mengerucutkan bibir. "Perempuan itu lagi," gerutu Sky dengan nada tak senang. Summer seketika terbelalak. "Apakah Mama mengenalnya?" Sky mengedikkan bahu. "Tidak. Hanya saja, sejak kami tiba di sini, dia terus mondar-mandir di sekitar Papa. Mama rasa dia sedang tebar pesona untuk mendapatkan perhatian Papa." Louis merasa gemas dengan tingkah istrinya itu. Ia menggosok-gosok lengannya, berbisik dengan senyum tertahan, "Sky, kenapa raut wajahmu manyun begitu? Apakah kau cemburu?" "Cemburu?" Mata Sky membulat. "Tidak. Aku tahu kau tidak akan terpesona oleh
"Kau tidak jadi memberi mereka pelajaran?" bisik Brandon di sisi Briony. Matanya juga terpaku pada dua bocah yang saling berpelukan. Briony menghela napas panjang. Dahinya mengernyit. "Apakah mereka sengaja berpose lucu seperti itu agar aku tidak memarahi mereka?" gumam Briony, curiga. Brandon menggeleng santai. "Kurasa tidak. Mereka memang masih tidur. Lihatlah, wajah mereka tampak begitu damai." Mata Briony memicing. "Mereka tidak berpura-pura, kan? Kau tahu, dua bocah ini cerdas. Mereka bisa saja bersandiwara untuk menyelamatkan diri. Mereka sudah menjebak kita." Tiba-tiba, alarm dari ponsel River berbunyi. Bocah itu tersentak. Karena River bergerak, Summer ikut terbangun. "Apakah ini sudah pagi?" tanyanya dengan suara serak. Matanya memicing karena silau. "Ya, alarmku sudah berbunyi. Itu artinya ini sudah pagi," jawab River sembari meraih ponsel yang berada di dekat kepalanya. Summer pun meregangkan badan. Ia menjadi semakin mirip dengan ulat yang menggeliat.
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,