Jreng jreng jreng .... Bagaimanakah tanggapan Summer nanti? Tunggu bab selanjutnya!
"Memangnya kenapa kalau kamu adalah ayahku? Apakah ada masalah dengan itu?" jawab Summer tanpa mengubah ekspresi. Semua orang tersentak. Bahkan kepala Louis sampai terdorong ke belakang. "K-kamu ... tidak mempermasalahkan itu?" Summer berkedip lugu. "Kenapa aku harus mempermasalahkan itu? Bukankah bagus kalau kamu adalah ayahku?" Louis mematung dengan mata terbelalak lebar. Kebingungan masih menahan kedipannya. "B-bukankah kamu bilang kepada Kendrick bahwa kamu sangat marah kepada ayahmu? Kamu ingin menuntut dan menghukumnya karena sudah melalaikan tanggung jawab?" "Ya, memang. Orang yang melalaikan tanggung jawab harus dihukum," angguk Summer mantap. Keheranan orang-orang di sekitarnya semakin pekat. "Bagaimana kalau ternyata ... orang itu aku? Bagaimana kalau aku adalah ayahmu? Kamu tetap akan marah dan mengambil tindakan tegas semacam itu?" Suara Louis semakin tipis dan lirih. Summer mengangguk santai. "Ya. Aku akan marah dan memberimu hukuman berat," jawabnya, tid
Sky tertegun menyaksikan Louis dan Summer berpelukan seperti itu. Ia sadar, penyebab utama dari permasalahan ayah dan anak itu adalah dirinya. Kalau saja dulu ia berani untuk mengungkapkan kebenaran, Louis dan Summer tidak akan terpisah begitu lama. Mereka mungkin saja sudah menjadi keluarga yang utuh sejak awal. Usai mengusap air mata di pipinya, Sky pun memeluk Summer dari belakang. "Maafkan Mama juga, Sayang. Mama telah bersikap egois dan tidak berpikir panjang. Kalau saja dulu Mama lebih bijak ...." Suara Sky tersekat. Sembari memejamkan mata lebih rapat, ia memeluk putrinya lebih erat. "Maaf Mama membuatmu tidak bahagia." Dengan gerak yang terbatas, Summer menepuk-nepuk lengan ibunya. "Tidak apa-apa, Mama. Tolong jangan bersedih. Selama ini, hidupku bahagia. Aku bersyukur punya Mama yang sangat sayang kepadaku. Sekarang, karena Paman Louis sudah bersama kita, aku akan lebih bahagia. Hidupku pasti akan terasa lebih lengkap. Tidak ada yang perlu disesali, Mama." "Jadi,
Dada Sky kini penuh dengan bunga-bunga. Keharuan nyaris jatuh dari pelupuknya. Ia tidak pernah menduga bahwa dirinya juga akan mendapatkan lamaran romantis seperti gadis-gadis lain. Apalagi, orang yang melamarnya adalah Louis! Louis adalah laki-laki dambaannya sejak kecil. Selama ini, ia selalu bermimpi untuk bisa bersama Louis. Kemarin saja, saat Louis mengutarakan perasaan dan niat untuk menikahinya, hatinya sudah melayang ke awan. Apa lagi sekarang? Hatinya bisa sampai ke bulan! "Ya!" sahut Summer, tanpa terduga. Untung saja, Edmund kuat menopang bobotnya. Kalau tidak, kehebohan pasti sudah membuatnya terjatuh dari gendongan. Mendengar suara lucu yang penuh semangat itu, Sky pun menoleh ke arah putrinya. "Sayang, Louis sedang melamar Mama. Kenapa kamu yang menjawab?" Summer terkekeh. "Itu karena Mama sangat lambat! Apa lagi yang Mama pikirkan? Cepat jawab iya! Lutut Paman Louis bisa sakit kalau menekuk terlalu lama, dan jantungku sudah sangat berkeringat. Dadaku bisa gata
"Mama, bagaimana kalau ternyata itu adalah penjahat? Haruskah kita masuk ke rumah sekarang? Kita tidak memegang senjata!" bisik Summer dengan mata bulat yang memancarkan keseriusan. "Tidak, Sayang. Mereka belum tentu orang jahat," sahut Sky sembari mengelus pipi sang balita. "Kita lihat dulu siapa yang datang." "Dan kau tidak perlu takut, Manusia Mungil," sambung Louis dengan nada meyakinkan. "Kau sudah punya aku. Aku pasti melindungimu." "Tapi kamu tidak punya senjata, Paman Louis. Bagaimana caranya kamu melindungiku? Dan juga Mama! Kamu harus melindungi Mama juga, Paman. Dia adalah calon istrimu." Louis terkekeh. "Aku menguasai ilmu bela diri. Jadi, jangan khawatir. Kau dan ibumu aman. Lagi pula," ia melirik ke arah mobil yang sudah terparkir rapi di pekarangan, "kurasa, aku tahu siapa yang datang. Mereka bukan orang jahat." Mata bulat Summer memantulkan cahaya yang berbeda. "Benarkah? Siapa?" Tiba-tiba, segerombolan pria bersetelan hitam turun dari mobil. Mereka lan
Sky menghampiri Summer. Sambil tersenyum lembut, ia memberinya pengertian, "Itu terlalu cepat, Sayang. Pernikahan itu butuh persiapan. Apalagi, ayahmu adalah laki-laki nomor satu di kotanya. Dia akan sangat malu kalau pernikahannya biasa-biasa saja." "Sebetulnya ...." Louis berdeham. Dengan langkah lambat, ia bergeser ke sisi calon istrinya. "Aku sudah tidak peduli dengan penilaian orang lain terhadapku. Aku merasa bodoh karena selama ini ingin dianggap keren dan sempurna oleh orang-orang yang bahkan tidak kukenal. Aku seharusnya tidak menggantungkan kebahagiaanku kepada siapa pun. Apalagi sekarang," Louis meraih jemari Sky. "Aku sudah punya kau dan Summer. Kalianlah kebahagiaanku. Aku ingin terlihat sempurna dan keren di depan kalian saja." Bukannya terenyuh, Sky malah menaikkan alis. "Kau yakin? Bagaimana kalau orang-orang menganggapmu payah dan tidak keren lagi? Kau tahu? Itu bisa saja terjadi. Sampai detik ini pun, sebagian orang masih berpikir kalau kau bodoh karena memi
"Lihatlah! Ini adalah rancangan gaun pengantin yang kubuat untuk ibumu. Apakah kau suka?" Emily menyodorkan tabletnya kepada Summer. Melihat apa yang ditampilkan pada layar, mulut Summer membulat. Louis dan Sky yang memperhatikan ekspresinya dari sofa lain jadi semakin penasaran. "Bagaimana, Sayang? Kau suka?" selidik Sky. Summer mengangguk cepat. "Ya! Mama tidak pernah mengenakan gaun seperti ini. Mama pasti akan sangat cantik. Paman Louis pasti akan semakin cinta dan tidak bisa melirik wanita lain." Mendengar komentar akhir si gadis kecil, semua orang mendengus geli. "Dari mana kau belajar kalimat itu, Summer? Itu tidak sesuai dengan umurmu," celetuk Emily sambil mencubit pipi gembulnya yang lucu. Summer terkekeh ringan. "Aku mendengarnya dari Gerry. Dia bilang Merry sangat cantik sampai-sampai dia tidak bisa melirik wanita lain. Dia bahkan sampai lupa berkedip." "Gerry benar. Ketika seorang pria mencintai wanita, dia tidak akan melirik yang lain. Matanya hanya aka
Sementara Sky tersenyum kecil, Emily menghela napas panjang. "Baiklah. Aku akan membuatnya sesuai keinginanmu, Calon Pengantin yang Protektif. Gaun tertutup yang melindungi calon istrimu dari angin." Louis mengangguk penuh kemenangan. "Terima kasih, Emily. Kau memang saudara perempuan terbaik!" "Kau hanya punya satu orang saudara perempuan, Louis. Wajar kalau aku yang terbaik," celetuk Emily, nyinyir. Saat itu pula, Cayden masuk ke ruang tamu. Ia baru saja kembali dari mengantar yang lain. "Princess, apakah urusanmu sudah selesai?" "Sudah. Aku bisa pergi ke hotel sekarang," jawab Emily sembari beranjak dari sofa. Summer dengan sigap membantunya berdiri. "Terima kasih atas bantuanmu, Bibi. Maaf kami sudah merepotkanmu," tuturnya manis. "Sama-sama, Summer Sayang. Mari kita lanjutkan persiapannya besok pagi. Malam ini, beristirahatlah. Kamu pasti sudah sangat lelah." "Ya!" angguknya mantap. "Bibi juga. Jangan sampai terlalu letih. Adik-adik bayi harus tetap sehat." Sementara Sum
Summer mengangguk. "Dulu, aku sering merasa kasihan kepada Mama. Setiap pulang dari memandu, Mama harus mengurusku. Setelah aku tidur, Mama masih harus bekerja di depan laptop, menerjemahkan naskah atau membuat buku." "Kalau kau sudah tidur, bagaimana kau bisa tahu?" selidik Louis, agak heran. "Aku tahu karena aku sering terbangun dan melihat Mama duduk di mejanya. Terkadang dia mengurut pelipis. Mungkin untuk menahan rasa kantuk atau pusing. Terkadang dia menangis. Mungkin karena terlalu lelah atau tertekan karena pekerjaannya tidak habis-habis. Makanya badan Mama kurus. Dan karena itu ...." Summer melirik Sky dengan wajah sendu. "Aku memutuskan untuk menjadi anak yang mandiri. Kalau aku bisa mengurus diriku sendiri, Mama tidak akan terlalu letih. Karena itu juga, aku ikut menulis dan meminta tip kepada wisatawan yang baik hati. Kalau aku bisa mendapat uang, beban Mama pasti banyak berkurang." Sky tertegun mendengar pengakuan sang putri. Hatinya terasa hangat sekaligus peri
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,
"Paman Brandon dan Bibi Briony kan sudah dewasa. Kalian sama-sama belum mempunyai pasangan. Bukankah tidak apa-apa kalau kalian berdua berciuman?" tanya Summer sambil menahan tawa. Meski demikian, kegelian tetap lolos dari mulutnya.Mendengar pernyataan semacam itu, Briony menghela napas tak percaya. "Summer, apakah kau lupa berapa umurmu? Kamu itu masih kecil. Belum saatnya kamu membicarakan tentang pasangan dan ciuman!""Apa masalahnya, Bibi? Bukan aku yang akan berciuman, tapi Bibi dan Paman Brandon!"Pipi Briony semakin memanas. "Kami tidak akan berciuman, Summer. Kami hanya berteman!" tegasnya, kesal.Sementara itu, Brandon melirik River. Ia merasa ulah keponakannya itu sudah melewati batas. "River, apakah ini idemu? Kau mengajari Summer hal yang tidak pantas lagi?" "Tidak, Paman. Bukan aku! Itu ide Summer!" Sambil tertawa, Summer mengaku. "Tolong jangan memarahi River, Paman. Ini memang ideku. Aku sedang bereksperimen tentang cinta. Aku ingin membuktikan apakah dua orang yang
"Wow! Eksperimen kalian memang keren! Selamat, Summer, River. Kalian berhasil melakukannya dengan benar. Menyusun stik es krim agar reaksi berantainya tidak putus bukanlah hal yang mudah," puji Brandon, membuat mata para bocah berbinar-binar. "Paman benar! Susunan stiknya memang rumit dan sulit untuk dilakukan!" seru River sambil mengangguk yakin. "Untung saja kerja sama kami baik. Eksperimen terselesaikan dengan sempurna!" lanjut Summer bangga. "Omong-omong, Paman, Bibi, apakah kalian punya waktu untuk kami? Masih ada satu eksperimen yang perlu kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukannya berdua." Brandon dan Briony mengangkat alis. "Eksperimen apa?" tanya mereka bersamaan. Summer dan River saling lirik dan bertukar senyum. Selang beberapa saat, Brandon dan Briony telah berdiri di tengah pekarangan. Mereka menghadap satu sama lain dengan jarak sekitar 10 meter. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung dari seutas tali. "Hei, Summer, apakah tali itu tidak kepanjanga
Selama beberapa saat, Summer membiarkan River mengamati hasil eksperimennya. Setiap bocah laki-laki itu berdecak kagum, hati Summer berbunga-bunga. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil membuat percobaan yang mengagumkan. "Wow, apakah ini kertas daur ulang?" River menyentuhkan telunjuk mungilnya pada sebuah kertas tebal dengan permukaan tak rata dan warna yang agak kusam. Summer mengangguk mantap. "Ya, itu adalah percobaan ketigaku, tapi hasilnya belum memuaskan. Aku akan mencoba untuk membuatnya lagi sampai hasilnya sebagus kertas biasa." "Apakah kalau sudah berhasil, kau mau menjualnya?" Bibir Summer mengerucut. "Entahlah, aku belum yakin tentang itu. Mungkin, aku akan menggunakannya untuk mencetak buku-bukuku terlebih dahulu. Setelah itu, baru aku akan memperluas penggunaannya. Aku berharap, dengan adanya kertas daur ulang ini, penebangan pohon bisa berkurang. Orang-orang tidak perlu menggunakan kertas baru. Kertas-kertas lama juga bisa." River men
Tiba-tiba, Summer dan River melangkah mundur. Namun, setelah hitungan ketiga, mereka malah berlari maju. Mereka tanpa ragu menabrak Brandon dan Briony. Saat mereka terpental dan jatuh ke lantai, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. "Summer, kamu benar! Kita terpental karena gaya dorong yang kita berikan kembali kepada kita!" ujar River seraya mengatur napas. "Itulah Hukum Newton ke-3. Aksi sama dengan reaksi! Sekarang, bagaimana kalau kita beralih ke agenda selanjutnya? Ayo ke ruang eksperimen dan memulai eksperimen yang sesungguhnya!" "Ayo!" Kedua bocah itu bergegas bangkit dan berlari ke pekarangan barat. Melihat kecepatan mereka, Brandon dan Briony hanya bisa berkedip-kedip dengan mulut ternganga. "Astaga .... Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka mengira kita ini benda mati? Mereka bahkan tidak sempat meminta maaf sebelum pergi," desah Briony, tak habis pikir. Ia tidak sadar jika tubuhnya masih menempel pada Brandon. Sambil menghela napas, Brandon mengusi
"Sampai jumpa, Mama, Papa! Semoga perjalanan kalian lancar! Bersenang-senanglah bersama penguin di Kutub Selatan!" ujar Summer sembari melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Senyumnya semringah, kakinya sesekali melompat. Louis dan Sky balas melambai dari jendela mobil mereka. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jangan lupa pesan Mama! Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama Mama dan Papa pergi, oke?" pesan Sky dengan mata berkaca-kaca. "Tenang, Mama. Aku ini anak baik. Aku tidak mungkin membuat masalah. Mama dan Papa fokus pada bulan madu saja!" angguk Summer sambil berkacak pinggang. Dari sisi Sky, Louis menunjuk sepupunya. "Briony, tolong awasi Summer dengan baik. Kami percayakan dia kepadamu," tuturnya serius. "Kurasa tidak ada yang perlu kuawasi, Louis. Putrimu adalah anak yang cerdas dan manis. Lagi pula, bukan hanya aku orang dewasa yang ada di rumah ini," celetuk Briony ringan. "Ya, ada Kakek, Nenek, Bibi Emily, Paman Cayden, Paman Russell, dan Paman Brand
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya