Halo, guys! Selamat hari Senin! Tetap semangat!
Summer mengangguk. "Dulu, aku sering merasa kasihan kepada Mama. Setiap pulang dari memandu, Mama harus mengurusku. Setelah aku tidur, Mama masih harus bekerja di depan laptop, menerjemahkan naskah atau membuat buku." "Kalau kau sudah tidur, bagaimana kau bisa tahu?" selidik Louis, agak heran. "Aku tahu karena aku sering terbangun dan melihat Mama duduk di mejanya. Terkadang dia mengurut pelipis. Mungkin untuk menahan rasa kantuk atau pusing. Terkadang dia menangis. Mungkin karena terlalu lelah atau tertekan karena pekerjaannya tidak habis-habis. Makanya badan Mama kurus. Dan karena itu ...." Summer melirik Sky dengan wajah sendu. "Aku memutuskan untuk menjadi anak yang mandiri. Kalau aku bisa mengurus diriku sendiri, Mama tidak akan terlalu letih. Karena itu juga, aku ikut menulis dan meminta tip kepada wisatawan yang baik hati. Kalau aku bisa mendapat uang, beban Mama pasti banyak berkurang." Sky tertegun mendengar pengakuan sang putri. Hatinya terasa hangat sekaligus peri
Di dalam kamar, Sky sedang tengkurap di atas kasur. Ia sudah mengenakan piama sekarang, sama seperti dua orang yang duduk bersila di sisi kiri dan kanannya. Mereka bertiga terlihat lucu dengan piama seragam pemberian Emily itu. "Summer, apakah kamu sering memijat ibumu begini?" tanya Louis kepada gadis kecil yang duduk berhadapan dengannya. Sambil terus memijat, Summer menggeleng. "Dulu tidak. Mama jarang punya waktu bersantai. Tapi semenjak kami tinggal di rumah ini, Mama punya lebih banyak waktu senggang. Sesekali aku memijatnya. Mama suka dipijat." Ia melengkungkan bibirnya manis. Louis ikut tersenyum melihat tingkah sang putri. Ia merasa gemas melihat tangan-tangan mungilnya menekan-nekan betis Sky. "Berapa lama biasanya kamu melakukan ini?" tanyanya lagi. "Tergantung. Biasanya, aku baru selesai kalau sudah memijat seluruh badan Mama." Alis Louis sontak naik mendesak dahi. "Seluruh badan?" Sudut bibirnya terdongkrak sedikit. Mengetahui isi pikiran Louis, Sky cepa
"Louis? Sejak kapan kamu berdiri di situ?" tanya Sky, berbisik. Matanya masih membulat seperti sedang melihat hantu. Louis tersenyum miring. Ia merasa gemas dengan ekspresi calon istrinya itu. "Baru beberapa detik. Kenapa? Apakah ada gumamanmu yang tidak boleh terdengar olehku selain yang baru saja kau sebut?" Bibir Sky mengerucut. "Tidak. Memangnya aku bergumam apa? Aku tidak merasa mengeluarkan suara. Kau pasti salah dengar. Kapan terakhir kau membersihkan telinga?" Senyum Louis berubah kecut. Ia ingat bahwa Sky pernah berencana untuk mengungkapkan perasaannya. Namun kini, mengapa ia malu-malu? Mungkinkah pengalaman lima tahun lalu telah mengubah pemikirannya? Apakah cinta Sky kepadanya telah berkurang? Louis tidak mau kehilangan cintanya sedikit pun. "Aku memang sudah lama tidak membersihkan telinga. Mau melakukannya untukku?" timpal Louis, bercanda. Wajah Sky mengernyit. Pipinya tanpa sadar memerah. Ia ingat dulu mereka pernah saling membersihkan telinga. "Kenapa
Beberapa tahun yang lalu, di Sabana Doro Ncanga, Sumbawa, Indonesia .... Sky sedang duduk di atas campervan. Kepalanya mendongak menatap langit. Kedua lengannya mendekap lutut, menjaga diri dari terpaan angin. "Hei, apa yang kau lakukan di situ?" Sky menurunkan pandangan ke arah tangga. Mendapati kehadiran Louis, sudut bibirnya terangkat ringan. "Hei, kenapa kau belum tidur?" Ia bergeser sedikit, memberi tempat untuk Louis. "Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kenapa kau tiba-tiba naik ke atas campervan malam-malam begini?" bisik Louis sembari duduk di samping Sky. "Kau tidak bisa tidur?" Sky mengangguk. "Mungkin karena tempat ini terlalu indah, aku merasa rugi kalau tidak menikmatinya dengan maksimal." "Padahal, kita sudah beberapa jam di sini. Kita sudah melihat hamparan rumput kekuningan yang begitu luas, matahari terbenam yang begitu indah, dan langit malam yang begitu cerah. Apa lagi yang mau kau nikmati, Sky? Kau seharusnya beristirahat." Mendapat sentuhan dari
Masih dalam posisi berbaring di pangkuan sang cinta, Louis mengelus rambut keritingnya yang menjuntai. "Begitulah ceritanya, Sky. Aku melamarmu. Aku sudah bicara panjang lebar, tapi kau tidak menjawab. Ternyata, kau tertidur di sampingku," ucapnya lembut. Sky sedikit ternganga. Matanya berkedip-kedip. "Apakah itu cerita nyata?" "Tentu saja. Kalau kau tidak percaya, coba saja tanya Emily dan Russell. Kurasa mereka menguping semua pembicaraan kita." "Itu bukan bukti konkret. Mereka bisa saja berbohong untuk menutupi kebohonganmu. Apakah ada bukti lain?" Bibir Louis mengerucut. "Kenapa kau meragukan aku? Apakah tindakanku selama mengenalmu belum cukup untuk menunjukkan rasa cintaku kepadamu? Menurutmu, kenapa aku selalu memelukmu begitu erat setiap kali kita bertemu dan akan berpisah?" "Kupikir kau melakukan itu karena kau sudah menganggapku sebagai adikmu," Sky mengedikkan bahu. "Tidak, Sky. Aku melakukannya karena aku sayang padamu." Mata Sky menyipit. Ia masih ter
"Louis, kenapa kau bicara begitu padaku? Itu tidak sopan," tutur Sky sambil berkedip-kedip menghindari tatapan Louis. Ia sadar, wajahnya pasti sudah sangat merah. "Kenapa? Kau malu membicarakan tentang itu?" tanya Louis dengan senyum terkulum. Ia merasa gemas dengan ekspresi Sky. Kerutan di pangkal alis dan bibirnya tampak lucu. Sky mengendurkan otot-otot pundaknya yang terlalu tegang. "Y-ya. Kita belum resmi menjadi suami istri, Louis. Kau harus tahu batasan." "Justru karena sebentar lagi kita akan menikah, kita akan sering membicarakannya. Kau tidak perlu malu. Lagi pula ...." Louis berdeham. Senyumnya agak mengendur sekarang. "Aku perlu tahu apakah kau pernah trauma terhadap perlakuanku," sambungnya dengan volume suara yang lebih pelan. Mendengar itu, Sky melirik sedikit. "Trauma?" Louis tiba-tiba beranjak dari pangkuan Sky. Sambil menggenggam tangan kiri sang wanita, ia menundukkan kepala. Penyesalannya terlukis jelas di wajah tampannya. "Aku tidak ingat apa-apa
Di kamarnya, Summer sedang tengkurap. Ia terlihat lucu dengan sebelah tangan menopang dagu dan kaki yang terus bergerak seperti perenang. "Toby, dengarkan ini baik-baik. Burung pipit adalah burung kecil seukuran bola tenis. Warna mereka cokelat dengan sedikit tanda hitam dan abu-abu di beberapa bagian," tutur Summer, membacakan artikel yang ia temukan untuk boneka harimaunya. Sedetik kemudian, ia menempelkan ujung telunjuk mungilnya ke layar. "Lihat! Ini foto salah satu burungnya. Dia terlihat lucu. Kenapa Mama harus takut? Apakah dia burung yang jahat?" Sambil mengerutkan alis, Summer menggulirkan layar sedikit. Matanya menyapu paragraf lain. "Burung pipit sering ditemukan di daerah pertanian, pedesaan, dan bahkan perkotaan. Mereka adalah salah satu jenis burung yang paling sering ditemui di perkotaan. Tidak heran jika banyak orang menyukai mereka. Apalagi, peran mereka bagi ekosistem adalah sebagai pengendali hama dan penyebar biji-bijian." Mata dan mulut Summer membulat.
"B-burung pipitku tidak suka makanan yang aneh-aneh, Summer. Dia suka biji-bijian saja," ujar Louis dengan pangkal alis tertaut. Mendengar jawaban tersebut, dahi Summer ikut berkerut. "Begitukah? Biji apa yang dia suka?" Pikiran Louis langsung tertuju pada Sky. Namun, sadar bahwa anak kecil sedang duduk di hadapannya, ia cepat-cepat mengusir pemikiran kotor itu. "Nanti biar aku saja yang menyiapkan makanannya. Kamu hanya perlu berlatih untuk berjalan tanpa suara. Burung pipitku sangat peka. Sedikit getaran saja sudah cukup untuk membuatnya kabur." Mulut Summer membulat lagi. "Oh, kurasa itu tantangan yang sangat sulit. Tapi tidak masalah. Aku akan berlatih dengan giat. Saat kembali ke L City nanti, aku harus sudah bisa berjalan seperti ninja," angguknya mantap. Tak ingin memperpanjang perbincangan itu, Louis mengelus rambut Summer. "Bagus. Sekarang, pergilah ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Ibumu sedang menyiapkan sarapan. Sebentar lagi selesai." "Oke, Paman!" Setel
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,
"Paman Brandon dan Bibi Briony kan sudah dewasa. Kalian sama-sama belum mempunyai pasangan. Bukankah tidak apa-apa kalau kalian berdua berciuman?" tanya Summer sambil menahan tawa. Meski demikian, kegelian tetap lolos dari mulutnya.Mendengar pernyataan semacam itu, Briony menghela napas tak percaya. "Summer, apakah kau lupa berapa umurmu? Kamu itu masih kecil. Belum saatnya kamu membicarakan tentang pasangan dan ciuman!""Apa masalahnya, Bibi? Bukan aku yang akan berciuman, tapi Bibi dan Paman Brandon!"Pipi Briony semakin memanas. "Kami tidak akan berciuman, Summer. Kami hanya berteman!" tegasnya, kesal.Sementara itu, Brandon melirik River. Ia merasa ulah keponakannya itu sudah melewati batas. "River, apakah ini idemu? Kau mengajari Summer hal yang tidak pantas lagi?" "Tidak, Paman. Bukan aku! Itu ide Summer!" Sambil tertawa, Summer mengaku. "Tolong jangan memarahi River, Paman. Ini memang ideku. Aku sedang bereksperimen tentang cinta. Aku ingin membuktikan apakah dua orang yang
"Wow! Eksperimen kalian memang keren! Selamat, Summer, River. Kalian berhasil melakukannya dengan benar. Menyusun stik es krim agar reaksi berantainya tidak putus bukanlah hal yang mudah," puji Brandon, membuat mata para bocah berbinar-binar. "Paman benar! Susunan stiknya memang rumit dan sulit untuk dilakukan!" seru River sambil mengangguk yakin. "Untung saja kerja sama kami baik. Eksperimen terselesaikan dengan sempurna!" lanjut Summer bangga. "Omong-omong, Paman, Bibi, apakah kalian punya waktu untuk kami? Masih ada satu eksperimen yang perlu kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukannya berdua." Brandon dan Briony mengangkat alis. "Eksperimen apa?" tanya mereka bersamaan. Summer dan River saling lirik dan bertukar senyum. Selang beberapa saat, Brandon dan Briony telah berdiri di tengah pekarangan. Mereka menghadap satu sama lain dengan jarak sekitar 10 meter. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung dari seutas tali. "Hei, Summer, apakah tali itu tidak kepanjanga
Selama beberapa saat, Summer membiarkan River mengamati hasil eksperimennya. Setiap bocah laki-laki itu berdecak kagum, hati Summer berbunga-bunga. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil membuat percobaan yang mengagumkan. "Wow, apakah ini kertas daur ulang?" River menyentuhkan telunjuk mungilnya pada sebuah kertas tebal dengan permukaan tak rata dan warna yang agak kusam. Summer mengangguk mantap. "Ya, itu adalah percobaan ketigaku, tapi hasilnya belum memuaskan. Aku akan mencoba untuk membuatnya lagi sampai hasilnya sebagus kertas biasa." "Apakah kalau sudah berhasil, kau mau menjualnya?" Bibir Summer mengerucut. "Entahlah, aku belum yakin tentang itu. Mungkin, aku akan menggunakannya untuk mencetak buku-bukuku terlebih dahulu. Setelah itu, baru aku akan memperluas penggunaannya. Aku berharap, dengan adanya kertas daur ulang ini, penebangan pohon bisa berkurang. Orang-orang tidak perlu menggunakan kertas baru. Kertas-kertas lama juga bisa." River men
Tiba-tiba, Summer dan River melangkah mundur. Namun, setelah hitungan ketiga, mereka malah berlari maju. Mereka tanpa ragu menabrak Brandon dan Briony. Saat mereka terpental dan jatuh ke lantai, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. "Summer, kamu benar! Kita terpental karena gaya dorong yang kita berikan kembali kepada kita!" ujar River seraya mengatur napas. "Itulah Hukum Newton ke-3. Aksi sama dengan reaksi! Sekarang, bagaimana kalau kita beralih ke agenda selanjutnya? Ayo ke ruang eksperimen dan memulai eksperimen yang sesungguhnya!" "Ayo!" Kedua bocah itu bergegas bangkit dan berlari ke pekarangan barat. Melihat kecepatan mereka, Brandon dan Briony hanya bisa berkedip-kedip dengan mulut ternganga. "Astaga .... Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka mengira kita ini benda mati? Mereka bahkan tidak sempat meminta maaf sebelum pergi," desah Briony, tak habis pikir. Ia tidak sadar jika tubuhnya masih menempel pada Brandon. Sambil menghela napas, Brandon mengusi
"Sampai jumpa, Mama, Papa! Semoga perjalanan kalian lancar! Bersenang-senanglah bersama penguin di Kutub Selatan!" ujar Summer sembari melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Senyumnya semringah, kakinya sesekali melompat. Louis dan Sky balas melambai dari jendela mobil mereka. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jangan lupa pesan Mama! Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama Mama dan Papa pergi, oke?" pesan Sky dengan mata berkaca-kaca. "Tenang, Mama. Aku ini anak baik. Aku tidak mungkin membuat masalah. Mama dan Papa fokus pada bulan madu saja!" angguk Summer sambil berkacak pinggang. Dari sisi Sky, Louis menunjuk sepupunya. "Briony, tolong awasi Summer dengan baik. Kami percayakan dia kepadamu," tuturnya serius. "Kurasa tidak ada yang perlu kuawasi, Louis. Putrimu adalah anak yang cerdas dan manis. Lagi pula, bukan hanya aku orang dewasa yang ada di rumah ini," celetuk Briony ringan. "Ya, ada Kakek, Nenek, Bibi Emily, Paman Cayden, Paman Russell, dan Paman Brand
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya