Siapa yang gak sabar nungguin Sky dan Louis nikah? Pasti lucu banget ya mereka nanti. Terus kira-kira, Summer lagi ngapain ya di kamar? Ayo tebak!
Di kamarnya, Summer sedang tengkurap. Ia terlihat lucu dengan sebelah tangan menopang dagu dan kaki yang terus bergerak seperti perenang. "Toby, dengarkan ini baik-baik. Burung pipit adalah burung kecil seukuran bola tenis. Warna mereka cokelat dengan sedikit tanda hitam dan abu-abu di beberapa bagian," tutur Summer, membacakan artikel yang ia temukan untuk boneka harimaunya. Sedetik kemudian, ia menempelkan ujung telunjuk mungilnya ke layar. "Lihat! Ini foto salah satu burungnya. Dia terlihat lucu. Kenapa Mama harus takut? Apakah dia burung yang jahat?" Sambil mengerutkan alis, Summer menggulirkan layar sedikit. Matanya menyapu paragraf lain. "Burung pipit sering ditemukan di daerah pertanian, pedesaan, dan bahkan perkotaan. Mereka adalah salah satu jenis burung yang paling sering ditemui di perkotaan. Tidak heran jika banyak orang menyukai mereka. Apalagi, peran mereka bagi ekosistem adalah sebagai pengendali hama dan penyebar biji-bijian." Mata dan mulut Summer membulat.
"B-burung pipitku tidak suka makanan yang aneh-aneh, Summer. Dia suka biji-bijian saja," ujar Louis dengan pangkal alis tertaut. Mendengar jawaban tersebut, dahi Summer ikut berkerut. "Begitukah? Biji apa yang dia suka?" Pikiran Louis langsung tertuju pada Sky. Namun, sadar bahwa anak kecil sedang duduk di hadapannya, ia cepat-cepat mengusir pemikiran kotor itu. "Nanti biar aku saja yang menyiapkan makanannya. Kamu hanya perlu berlatih untuk berjalan tanpa suara. Burung pipitku sangat peka. Sedikit getaran saja sudah cukup untuk membuatnya kabur." Mulut Summer membulat lagi. "Oh, kurasa itu tantangan yang sangat sulit. Tapi tidak masalah. Aku akan berlatih dengan giat. Saat kembali ke L City nanti, aku harus sudah bisa berjalan seperti ninja," angguknya mantap. Tak ingin memperpanjang perbincangan itu, Louis mengelus rambut Summer. "Bagus. Sekarang, pergilah ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Ibumu sedang menyiapkan sarapan. Sebentar lagi selesai." "Oke, Paman!" Setel
"Summer?" desah Louis sembari beranjak dari kursi. Masih dengan mulut ternganga, ia menekuk lutut di hadapan sang balita. Ia raih pundak mungilnya. "Ini sungguh Summer, putri kecilku yang hebat?" Mendapati ekspresi takjub Louis yang lucu, Summer terkikik. Kedua pundaknya naik sambil menjepit leher. "Ya, ini aku, Paman. Summer, putrimu! Apakah kau sudah tidak mengenaliku lagi?" balas sang balita sambil berjinjit sedikit. Louis menggeleng, meloloskan tawa. "Kau tampak berbeda!" Tawa Summer semakin ringan dan menghangatkan. Sambil memegangi mahkota bunga di atas kepalanya, ia melompat kecil. "Ya! Aku memang tampil beda hari ini. Bagaimana penampilanku, Paman?" Ia merentangkan tangan. "Bukankah gaun yang kukenakan sangat indah? Bibi Emily memang desainer yang hebat! Aku suka setiap bagian dari gaun ini, terutama butiran manik-manik ini. Aku jadi merasa seperti es krim vanila yang ditaburi meses warna-warni!" Dengan senyum yang lebih lebar, gadis kecil itu menunduk. Tang
"Omega, apakah aku tidak salah lihat? Bukankah itu Grace?" tanya Summer dengan alis berkerut dan mata terbelalak. Mendengar nama itu, Omega cepat-cepat menoleh. Ternyata, di dekat gerbang masuk, Grace sedang berdiri dengan raut santai. Ia seperti sedang menunggu sesuatu. Tak lama kemudian, seorang penjaga mengembalikan kertas undangannya. Ia dipersilakan masuk. "Gawat!" seru Summer dengan raut panik yang menggemaskan. "Kenapa para penjaga membiarkannya masuk? Mereka seharusnya menahan Grace." "Kurasa, itu karena dia punya undangan, Nona." "Tapi sepanjang pengetahuanku, Mama dan Paman Louis tidak mengundangnya. Dia tidak seharusnya berada di sini. Karena itu, kita harus menghentikannya. Ayo, Omega! Ikuti aku! Kita harus beraksi!" Belum sempat Omega menjawab, Summer sudah berlari. Mau tidak mau, ia mengekor. Ia baru berhenti saat gadis kecil itu berkacak pinggang dan mengentakkan kaki. "Berhenti, Nona Evans! Acara ini tidak terbuka untuk publik. Hanya orang-orang tertentu y
"Menurutmu, apakah kita bisa berdamai? Perselisihan di antara kita sudah terlampau besar," bisik Grace sambil menaikkan bahunya sedikit. Tampak jelas bahwa ia sedang menjaga gengsi. "Tentu saja bisa. Berdamai itu adalah hal yang mudah. Kita hanya perlu membuka hati untuk saling menerima dan memaafkan," tutur Summer dengan sebelah tangan ditempelkan ke dada. Ekspresinya yang sok bijak membuat sudut bibir Grace terangkat lebih ringan. "Kau pikir aku bisa memaafkanmu? Kau sudah membuat aku kehilangan calon suamiku," tutur Grace dengan nada ketus. Bukannya terintimidasi, Summer malah terkekeh. "Tolong jangan membenciku Nona Evans. Kau mungkin masih kesal sekarang. Tapi, suatu hari nanti, kau pasti akan sadar atau bahkan berterima kasih kepadaku." Kepala Grace tertekan mundur. " Aku? Berterima kasih kepadamu? Untuk apa?" "Karena aku sudah menyelamatkanmu dari kehidupan yang tidak bahagia. Apakah kau masih belum sadar, Nona Evans? Papa-ku tidak cocok denganmu. Kalau kau menikah d
"Summer, ada apa ini? Apakah kau baik-baik saja?" tanya Louis dengan raut resah. Summer pun menoleh. Mendapati Louis dan yang lain, ia terkesiap. "Apakah aku sudah membuat keributan? Maaf, Paman Louis. Aku hanya sedang berusaha menghentikan kesalahpahaman antara Grace dan Paman Fred." Louis menggendong sang balita. "Kesalahpahaman apa?" Summer menunjuk Grace. "Aku sedang menginterogasi Grace tadi. Aku menanyakan maksud kedatangannya kemari. Kubilang, dia boleh mengikuti acara kita kalau dia punya maksud baik. Lalu ...." Ia menggeser telunjuk mungilnya ke bawah. "Grace mengeluarkan itu dari tasnya. Dia bilang itu hadiah perdamaian. Kurasa dia hendak meminta maaf. Tapi ternyata, Paman Fred salah paham. Dia mengira Grace berniat menyakitiku. Jadi dia menyerangnya. Dia menekuk lengan Grace seperti ini sampai Grace meringis kesakitan." Sang balita memutar lengannya ke belakang, memperagakan posisi Grace tadi. Sementara itu, Emily terbelalak. "Grace ingin meminta maaf?" guma
Sky sudah selesai dirias. Akan tetapi, ia masih duduk di tempatnya, menunggu panggilan. "Mama, apakah kamu gugup?" bisik Summer sembari menggenggam tangan Sky. Sky mengangkat alis. Sebisa mungkin, ia menyingkirkan kekakuan dari wajahnya. "Kenapa kamu bertanya begitu, Sayang? Apakah Mama terlihat gugup?" Summer mengangguk lucu. "Ya, Mama tidak pernah sediam ini. Mama juga sesekali menarik napas panjang. Seperti ini!" Summer memperagakan gelagat sang ibu. Melihat wajah lucunya, Sky akhirnya bisa tersenyum lebih lebar. "Ya, Mama sedikit gugup, tapi tidak masalah. Ini momen penting untuk kita. Gugup itu adalah perasaan yang wajar," terang Sky sembari mengelus pipi gembul putrinya. "Sayang, kamu sudah siap?" Suara Alice tiba-tiba menyapa. Sky menoleh. Melihat kehadiran ayah dan ibunya, ia bangkit berdiri. Saat itulah, Alice dan Edmund tercengang. Mereka sadar bahwa putri mereka memang cantik. Hanya saja, mereka tidak pernah menyangka bahwa Sky bisa terlihat begitu be
Melihat Louis di ujung lorong, Sky hanya bisa tersenyum. Langkah kakinya terasa ringan dan lambat. Entah bagaimana, waktu terasa seperti bergulir ke belakang. Walaupun itu sudah sangat lama, ia masih ingat wajah Louis saat pertama kali menyapanya. Dirinya baru berusia 4 tahun saat itu, menangis karena tidak bisa menghubungi Edmund. Bocah laki-laki itulah yang dulu menguatkan pundaknya. Ia datang menawarkan harapan dengan meminjamkan telepon satelit kepadanya. Bocah itulah yang berhasil mengembalikan senyumnya. Bagi seorang gadis kecil yang masih rapuh dan lemah, Louis adalah pahlawannya. Lalu, mereka mulai akrab. Sky masih ingat bagaimana mereka berpelukan di awal dan akhir pertemuan kedua, begitu pula dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Louis menjadi orang yang paling ia nantikan, apalagi setiap masa liburan tiba. Bagi Sky, Louis adalah teman perjalanan terbaiknya. Kini, pria itu akan selalu menemaninya, menjadi pendamping hidupnya. Perjalanan panjang mereka akan s
"Mama, Papa! Cepat kemari! Aku sudah menemukan bukuku! Kalian tidak akan menyangka di mana dia dipajang!" Summer melompat-lompat sembari menggoyang tangan ayah dan ibunya. Melihat semangat putri kecilnya itu, Sky kembali menatap Louis. "Mungkinkah ...." "Ayo cepat, Mama, Papa! Jangan bengong saja," desak Summer lagi. Saking tak sabarnya, kakinya sampai berlari di tempat. Dengan raut penuh tanya, Sky pun berjalan mengikuti sang balita. Sesekali, ia melirik suaminya. Louis hanya tersenyum penuh makna. Ternyata, Summer membawa mereka menuju rak best-seller. Setibanya di sana, balita itu langsung melompat, mempersembahkan apa yang tersaji di hadapannya dengan tangan terentang lebar. "Ta-da! Lihat ini, Mama, Papa! Akhirnya, bukuku berada di rak best-seller, sama seperti buku Mama!" serunya dengan suara melengking yang menghangatkan. Senyumnya sangat lebar. Matanya berkaca-kaca. Melihat tumpukan buku tersebut, Sky terkesiap. Air matanya ikut menggenang. "Sayang?" Ia menggengga
"Mama berencana untuk membuat kampanye lingkungan. Mungkin, Mama bisa bekerja sama dengan ayahmu, bibimu, dan yang lain. Konsep kampanye ini juga bisa dikemas dalam marketing di sektor mereka," terang Sky dengan suara mantap. "Bagaimana menurut kalian?" "Itu bagus, Sky," sahut Emily cepat. "Aku memang selalu mengusahakan produk fashion-ku ramah lingkungan. Tapi hal itu masih kurang disebarluaskan. Desainer lain juga memandang hal ini sebelah mata. Padahal, menurutku, fashion bukan hanya soal gaya, tapi juga tentang pesan yang ingin kita tunjukkan kepada orang lain lewat penampilan. Salah satunya, dampak terhadap lingkungan. Untuk apa tampil keren kalau apa yang kita kenakan merugikan bumi dan lingkungan?" Louis pun menambahkan, "Kurasa, perusahaan kita memang perlu kampanye semacam itu. Apalagi, hal tersebut memang sering menjadi poin plus dalam hal-hal yang kita kembangkan. Apartemen terbaru Savior, contohnya. Orang-orang membeli bukan karena konsep green-building, tapi karena me
"Ya, aku memang senang belajar bersama teman-teman di sekolah. Aku juga suka bertemu guru-guru, makan siang di kantin bersama River, dan bermain di sisa waktu istirahat. Semua itu menyenangkan!" ungkap Summer dengan suara manisnya. "Lalu, kenapa kamu tidak mau terus bersekolah Summer?" selidik Louis, penasaran. Bibir Summer mengerucut. Pundaknya naik lagi menjepit leher. "Karena aku merasa, akan lebih baik kalau aku belajar mandiri saja." "Apakah ini karena Gigi?" tanya Louis, hati-hati. "Tidak, Papa. Aku tidak mungkin membiarkan orang lain memengaruhi keputusanku," jawab Summer mantap. "Lalu kenapa, Sayang? Kenapa kamu merasa lebih baik kalau kamu belajar sendiri?" tanya Sky, tidak sabar. Summer menggigit bibir. Ia agak ragu untuk mengutarakan pemikirannya. "Aku merasa kalau aku akan lebih cepat maju jika belajar mandiri. Meskipun aku sekarang belajar di kelas 2, aku merasa sudah menguasai semua materinya, Mama. Yang kulakukan selama beberapa hari terakhir adalah
"Selamat pagi, semuanya!" sapa Summer saat memasuki ruang makan. Semua yang telah berada di sana sontak menoleh ke arahnya. "Selamat pagi, Summer," sapa mereka ramah. Namun, detik berikutnya, mereka semua mengerjap. Gigi Summer terlihat begitu putih di antara kulit wajahnya yang dipenuhi coretan hitam. "Astaga, Summer! Apa yang terjadi pada wajahmu?" seru Kara spontan. Sambil memeluk sang nenek, Summer terkekeh. "Maaf, Nenek. Aku tidak bermaksud menakutimu. Apakah kau terkejut?" "Tentu saja. Cucuku biasanya sudah bersih dan wangi jam segini. Tapi sekarang, kenapa wajahmu dipenuhi coretan? Apa ini? Cat? Kau habis melukis?" selidik Kara sembari memeriksa noda di pipi sang cucu. "Bukan, Nenek. Kemarin aku mengobrol dengan Kakek Lucas. Dia mengajariku tentang pentingnya ber-kamu-flase saat mengamati hewan-hewan di alam. Caranya adalah dengan menggunakan pakaian berwarna sama dengan lingkungan sekitar, dan mencoret wajah dengan arang. Karena aku tidak punya arang, aku menggun
"Louis, kau dengar itu? Sepertinya, Summer mengetuk pintu. Dia memanggil kita," bisik Sky di sela desah napasnya. Bukannya berhenti untuk menyimak, Louis malah melanjutkan kegiatannya di bawah selimut. "Itu halusinasimu saja, Sayang. Dia tidak mungkin mencari kita sepagi ini. Paling-paling, dia sedang di pekarangan belakang mengintai Papoy," balas Louis dengan suara yang menggelitik telinga. "Louis, aku serius. Coba dengar! Summer memanggil kita," bisik Sky, mulai mengernyitkan wajah. Tak mendapat respons dari suaminya, ia pun mengangkat tangan. Namun, belum sempat ia menyibak selimut yang menutupi mereka, Louis menangkap pergelangan tangannya dan menekannya ke bantal. "Jangan bergerak. Aku sedikit lagi klimaks," pintanya serak. "Tapi—" "Tenang saja. Kalaupun itu Summer, dia tidak akan masuk. Kurasa aku sudah mengunci pintu semalam. Jadi, mari kita lanjutkan. Satu menit saja." Sementara Louis membungkam mulut Sky, di luar pintu, Summer menunggu dengan raut kebing
"Lihatlah putri kita, Louis. Bukankah dia sangat lucu? Dia terlihat begitu kecil dibandingkan anak-anak lain, dan cara duduknya manis sekali," bisik Sky sembari mengintip dari jendela. Louis yang berdiri di sisi Sky pun melebarkan senyum. Matanya juga tertuju pada satu-satunya balita di kelas itu. "Ya, dia sangat menggemaskan. Apakah kamu yang mengajarinya untuk duduk seperti itu?" bisiknya seraya melirik wajah haru sang istri. Sky menggeleng. "Tidak. Tapi Summer memang sering melipat tangan di atas meja kalau sedang menyimak sesuatu. Tidak kusangka dia akan membawa kebiasaannya ke dalam kelas. Oh, lihat! Dia mengangkat tangan." Sky menepuk-nepuk lengan Louis. Pandangan Louis pun kembali ke depan. Menyaksikan bagaimana Summer menjawab pertanyaan guru dan mendapat tepuk tangan dari murid-murid lain, rasa bangga juga terbit dalam hatinya. "Putri kita bukan hanya lucu, tapi juga cerdas. Kamu berhasil mengajarinya. Terima kasih, Sayang," Louis mengecup pelipis sang istri. "Ka
"Sepertinya, bukan hanya Gigi yang perlu meminta maaf kepada Summer di sini, tapi ibunya juga. Bukankah Anda juga sempat menghina putri saya, Nyonya?" Louis menaikkan sebelah alis. Mulut Gloria ternganga. Ia masih kesulitan mengucapkan kata. "Y-ya, saya juga bersalah." Ia menghampiri Summer, membungkuk untuk memeluk tubuh mungilnya. "Tolong maafkan aku, Summer. Aku tidak seharusnya mengajarkan putriku untuk menyudutkanmu. Maaf karena aku telah meremehkanmu." Berbeda dari perlakuannya terhadap Gigi, Summer tidak langsung memaafkan wanita itu. Ia melepaskan diri dari pelukannya. Sambil menjauh sedikit, ia berkacak pinggang. "Apakah Anda sungguh-sungguh menyesal, Nyonya?" tanyanya membuat Gloria tersentak. "T-tentu saja," jawab wanita itu dengan wajah memelas. "Entah kenapa, aku merasa kalau kamu meminta maaf hanya karena takut kepada Papa," tutur Summer sembari memicingkan mata. Mendengar penilaian tersebut, Gloria membeku. Matanya berkedip-kedip, mencari petunjuk.
"Siapa nama Anda?" tanya Louis sembari memicingkan mata. Bibir Gloria bergetar saat menjawabnya, "Gloria Brown." Sambil tersenyum miring, Louis mengangguk-angguk. Tatapannya kemudian bergeser turun. "Dan kamu? Siapa namamu?" tanya Louis dengan sebelah alis naik mendesak dahi. "Georgina Brown. Semua orang biasanya memanggilku Gigi," jawab gadis kecil itu tanpa rasa takut. Ia terlalu bodoh untuk mengerti konsekuensi apa yang sedang menantinya. "Georgina Brown," gumam Louis seraya bergerak maju. Setibanya di hadapan anak itu, ia memiringkan kepala. "Siapa yang mengajarimu untuk berbicara seperti itu?" "Mama yang mengajariku. Mama bilang, semua orang punya status yang berbeda-beda. Aku hanya boleh berteman dengan anak-anak dari level atas." Summer terkesiap. Ia mendongak menatap Sky, berbisik, "Mama, bukankah itu ajaran yang salah?" Sky menempatkan telunjuk di depan mulut. "Sayang, mari kita serahkan hal ini kepada Papa. Saat ini, kita simak saja," bisiknya. "Oh, oke,"
Gloria mendengus jijik. Sorot matanya penuh hinaan. "Apakah kau mengatakan bahwa status orang tuamu lebih tinggi dariku?" Summer menggeleng lugu. "Tidak. Aku tidak suka membanding-bandingkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau kau tidak bisa meremehkan Papa begitu saja." Gloria tertawa kesal. Sambil melipat tangan di depan dada, ia menantang, "Memangnya siapa ayahmu?" "Orang-orang menyebutnya pria nomor satu di L City!" sahut Summer dengan mata berbinar. Semua orang tahu ia merasa bangga karena senyumnya sangat lebar. Sementara itu, mata Gloria menyipit. "Maksudmu, Louis Harper?" Summer mengangguk mantap. "Ya, itulah nama papaku. Apakah kau mengenalnya? Mungkin kalian berteman. Papaku dan suamimu sama-sama memimpin perusahaan besar." Bukannya takut, Gloria malah tertawa datar. "Louis Harper? Yang benar saja? Tuan kepala sekolah, Anda percaya dengan kebohongannya?" "Nyonya, apakah Anda tidak mengikuti berita selama liburan? Tuan Louis Harper memang ayah dari Summer," tutur sang