Terima kasih sudah membaca!
"Summer, ada apa ini? Apakah kau baik-baik saja?" tanya Louis dengan raut resah. Summer pun menoleh. Mendapati Louis dan yang lain, ia terkesiap. "Apakah aku sudah membuat keributan? Maaf, Paman Louis. Aku hanya sedang berusaha menghentikan kesalahpahaman antara Grace dan Paman Fred." Louis menggendong sang balita. "Kesalahpahaman apa?" Summer menunjuk Grace. "Aku sedang menginterogasi Grace tadi. Aku menanyakan maksud kedatangannya kemari. Kubilang, dia boleh mengikuti acara kita kalau dia punya maksud baik. Lalu ...." Ia menggeser telunjuk mungilnya ke bawah. "Grace mengeluarkan itu dari tasnya. Dia bilang itu hadiah perdamaian. Kurasa dia hendak meminta maaf. Tapi ternyata, Paman Fred salah paham. Dia mengira Grace berniat menyakitiku. Jadi dia menyerangnya. Dia menekuk lengan Grace seperti ini sampai Grace meringis kesakitan." Sang balita memutar lengannya ke belakang, memperagakan posisi Grace tadi. Sementara itu, Emily terbelalak. "Grace ingin meminta maaf?" guma
Sky sudah selesai dirias. Akan tetapi, ia masih duduk di tempatnya, menunggu panggilan. "Mama, apakah kamu gugup?" bisik Summer sembari menggenggam tangan Sky. Sky mengangkat alis. Sebisa mungkin, ia menyingkirkan kekakuan dari wajahnya. "Kenapa kamu bertanya begitu, Sayang? Apakah Mama terlihat gugup?" Summer mengangguk lucu. "Ya, Mama tidak pernah sediam ini. Mama juga sesekali menarik napas panjang. Seperti ini!" Summer memperagakan gelagat sang ibu. Melihat wajah lucunya, Sky akhirnya bisa tersenyum lebih lebar. "Ya, Mama sedikit gugup, tapi tidak masalah. Ini momen penting untuk kita. Gugup itu adalah perasaan yang wajar," terang Sky sembari mengelus pipi gembul putrinya. "Sayang, kamu sudah siap?" Suara Alice tiba-tiba menyapa. Sky menoleh. Melihat kehadiran ayah dan ibunya, ia bangkit berdiri. Saat itulah, Alice dan Edmund tercengang. Mereka sadar bahwa putri mereka memang cantik. Hanya saja, mereka tidak pernah menyangka bahwa Sky bisa terlihat begitu be
Melihat Louis di ujung lorong, Sky hanya bisa tersenyum. Langkah kakinya terasa ringan dan lambat. Entah bagaimana, waktu terasa seperti bergulir ke belakang. Walaupun itu sudah sangat lama, ia masih ingat wajah Louis saat pertama kali menyapanya. Dirinya baru berusia 4 tahun saat itu, menangis karena tidak bisa menghubungi Edmund. Bocah laki-laki itulah yang dulu menguatkan pundaknya. Ia datang menawarkan harapan dengan meminjamkan telepon satelit kepadanya. Bocah itulah yang berhasil mengembalikan senyumnya. Bagi seorang gadis kecil yang masih rapuh dan lemah, Louis adalah pahlawannya. Lalu, mereka mulai akrab. Sky masih ingat bagaimana mereka berpelukan di awal dan akhir pertemuan kedua, begitu pula dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Louis menjadi orang yang paling ia nantikan, apalagi setiap masa liburan tiba. Bagi Sky, Louis adalah teman perjalanan terbaiknya. Kini, pria itu akan selalu menemaninya, menjadi pendamping hidupnya. Perjalanan panjang mereka akan s
"Para mempelai ternyata betul-betul tak sabar. Kalau begitu," sang pendeta merentangkan tangan, "mempelai pria, Anda sudah boleh mencium pengantin Anda!" Louis langsung mengecup bibir Sky dalam-dalam. Padahal, Sky belum sempat menarik napas. Alhasil, wajahnya dengan cepat memerah. Melihat pemandangan indah itu, Summer melompat dari kursi. Ia berjoget-joget sebentar, lalu meninju-ninju udara di atas kepalanya. Ia tidak peduli lagi jika mahkota bunganya miring dan hampir lepas. "Woohoo! Mama dan Papa akhirnya menikah! Aku punya Papa sekarang. Aku punya Papa!" Mendengar sorakan manis itu, Louis dan Sky berbagi tawa. Masih dalam posisi berpelukan, mereka berdua menoleh ke arah putri kecil mereka. "Lihatlah, dia sangat bahagia," bisik Sky penuh keharuan. "Ya, aku senang bisa memenuhi keinginannya. Kau tahu? Itu adalah permintaan pertamanya kepadaku," bisik Louis mesra. Sky menyatukan pandang dengan senyum tipisnya. "Permintaan agar kamu menikahiku?" Louis mengangguk. "Tapi se
Sky melirik Louis dengan senyum penuh makna. Selang keheningan singkat, ia kembali menatap Grace. "Bukan cuma dirimu yang perlu meminta maaf. Aku juga. Maaf aku telah mengacaukan impianmu," Sky menjabat tangan mantan kekasih suaminya itu. Grace mendengus. "Impian apa? Menikah dengan Louis? Itu sudah bukan impianku lagi. Seseorang berkata padaku bahwa di luar sana, pasti ada laki-laki yang lebih tepat untukku." "Itu kata-kataku lagi!" ujar Summer dengan tawa khasnya. "Kau suka sekali mengutip omonganku, Nona Evans. Apakah karena kita sudah menjadi bestie?" Grace mengedikkan sebelah bahu. "Ya, mau bagaimana lagi? Suara melengkingmu terus berdenging di telingaku. Kau memang berbakat membuatku risih." "Jadi," Sky menyela obrolan Grace dengan sang balita, "kau tidak marah kepadaku lagi, kan?" "Tentu saja tidak. Seseorang bilang kalau aku justru harus berterima kasih atas apa yang sudah terjadi. Kalau aku menikah dengan Louis, aku mungkin saja tidak merasakan kebahagiaan dari cinta
Summer sedang tengkurap di atas kasur. Dagunya ditopang dengan kedua tangan, dan kakinya bergerak-gerak seperti perenang. Berapa lama pun ia menatap foto pernikahan di depannya, senyumnya tetap lebar. "Ini indah sekali. Foto terbaik yang pernah kupunya," gumamnya untuk kesekian kali. Mendengar itu, pasangan yang mengenakan piama sama dengannya melangkah masuk. Lengkung bibir mereka juga manis. "Sayang, kau sedang apa?" Menyadari kehadiran mereka, Summer berhenti memperhatikan wajah-wajah di dalam gambar. Ia berguling sedikit, mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi. "Mama, Papa! Apakah kalian sudah selesai dengan urusan orang dewasa kalian?" tanyanya dengan nada riang. Wajah Louis dan Sky sontak berubah tegang. Kecanggungan mewarnai pipi mereka. "Urusan orang dewasa apanya? Kami hanya mengatur jadwal untuk besok pagi hingga seminggu ke depan, Sayang," jawab Sky canggung. "Ya, tapi aku tidak ikutan. Hanya kalian berdua yang menyusunnya. Tanpa anak kecil, itu urus
Louis dan Sky mengangguk kompak. "Di sekolah, kamu bisa belajar bersama teman-teman. Itu terasa lebih menyenangkan. Kamu juga bisa bermain dan mengobrol tentang banyak hal bersama mereka di waktu istirahat," terang Louis, memberi gambaran. "Dan kamu tahu?" bisik Sky, berharap dapat memancing ketertarikan sang putri. "Di sekolah ada banyak fasilitas untuk belajar dan mengembangkan diri. Kamu bisa membaca buku di perpustakaan, bereksperimen di laboratorium, berolahraga di lapangan, bahkan ruang kesenian juga ada. Kamu bisa mencoba banyak hal baru bersama teman-teman baru." Akan tetapi, Summer berkedip-kedip seolah tak tak tertarik. "Apakah aku harus bersekolah?" Harapan Louis agak luntur. Ia berpikir sejenak. "Tidak juga. Papa hanya mau memberimu pilihan, Sayang. Mungkin saja, kau juga mau bersekolah seperti anak-anak kebanyakan. Sekolah itu bisa menjadi sarana untuk kamu mewujudkan cita-cita. Kamu ingin menjadi penulis buku best seller, kan?" "Bolehkah aku belajar mandiri seper
"B-bukankah besok kita harus berangkat pagi-pagi, Louis? Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya sekarang?" tanya Sky kaku. Padahal, ia sudah berusaha untuk menekan kegugupannya. Akan tetapi, sarafnya tetap saja tegang. Melihat gelagat lucu Sky, Louis tersenyum simpul. "Masalah bagaimana? Bukankah kau bilang tidak takut padaku? Kau juga mengaku tidak keberatan kalau kita melakukan hal itu. Atau jangan-jangan ...." Ekspresi Louis mendadak berubah serius. Matanya yang bulat membuat Sky semakin terpaku. "Jangan-jangan apa?" "Kau berkata begitu hanya untuk menyenangkan hatiku? Kau sebetulnya takut padaku?" Sky ternganga. Tangannya bergerak-gerak, melambai dengan cepat. "Tidak. Bukan begitu. Aku tidak takut padamu. Hanya saja ...." Bola matanya kembali bergerak-gerak ragu. Wajahnya agak tertunduk. "Kau sudah banyak menunda pekerjaan akhir-akhir ini. Mungkin, kau ingin beristirahat saja malam ini agar besok kau tetap fit dan bisa lebih fokus." "Kalau kita tidak melakukannya mal
Emily hanya bisa mengangguk. Sambil menggenggam tangan Sky, ia menggigit bibir. Summer dan River pun berhenti bercanda. Mereka menghampiri Emily. "Ada apa, Bibi?" tanya mereka kompak. "Dia mengalami kontraksi lagi," sahut Sky pelan. Wajah Summer berubah sendu. Ia berjongkok di dekat kaki Emily. "Apakah ini bisa membuat Bibi lebih baik?" tanyanya seraya memijat. Di sisi Emily yang lain, River melakukan hal yang sama. "Mungkin para bayi merasa gerah akibat senam tadi. Jadi, mereka meronta. Perut Bibi jadi berkontraksi?" "Kalau begitu, Bibi jangan melanjutkan senam lagi," simpul Summer tegas. "Istirahat saja di sini. Anggap kita sedang piknik. Mama, kita membawa bekal, kan? Bagaimana kalau kita membentang karpet dan mulai menata? Begitu Bibi selesai kontraksi, dia bisa menikmati makanan dan minuman yang kita siapkan." Sky mengangguk kecil. "Terima kasih, Sayang. Idemu brilian sekali." "Kalau begitu, River, ayo kita ke mobil!" ajak Summer, penuh semangat. Akan tetapi
"Yuck! Itu sangat menjijikkan! Kenapa kalian menginjaknya? Apakah kalian tidak tahu bahwa itu kotoran penguin?" tanya River, tak habis pikir. "Itulah rute yang harus kami lalui kalau mau mengelilingi pulau," Sky mengedikkan bahu. "Kalau kalian berkunjung ke sana nanti, kalian juga akan melewatinya," ujar Louis dengan nada menakut-nakuti. Summer mengerucutkan bibir. "Kalau begini, kita harus menggencarkan kampanye perubahan iklim. Saat kita ke sana nanti, kuharap es dan salju sudah menebal lagi. Dengan begitu, para penguin punya lebih banyak tempat untuk membuang kotoran. Tidak perlu menumpuk di satu pulau!" "Apakah tidak ada rute yang aman dari kotoran? Itu sangat licin dan lengket. Bisa berbahaya kalau kita terpeleset di sana. Aku tidak bisa membayangkan betapa kotor dan bau baju kita," gumam River, was-was. "Tenang, River," Summer memegangi pundaknya lagi. "Kita bisa membeli sepatu roda dan berlatih keseimbangan setelah ini. Jadi, begitu kita ke sana nanti, kita tidak ak
Summer mengamati oleh-oleh yang ia dapat selama beberapa saat. Begitu ia selesai, ia langsung berlari menuju Sky yang kebetulan baru kembali dari membagikan hadiah. "Mama, terima kasih banyak! Aku suka semua barang yang Mama beli!" serunya seraya memberikan pelukan hangat. River mengangguk sepakat. "Ya, terima kasih banyak, Nyonya Harper. Oleh-oleh ini sangat keren! Terima kasih juga, Paman Louis." Dari sofanya, Louis terkekeh. "Sama-sama, River." Sedetik kemudian, Summer berlari dan melompat ke pangkuan sang ayah. Louis dengan sigap menangkapnya. "Terima kasih, Papa! Aku tahu, Papa pasti membantu Mama memilih barang-barangnya," ujar Summer sembari menempelkan pipinya di pundak sang ayah. "Ya, beberapa barang itu adalah pilihan Papa. Mana yang paling kamu suka?" Bibir Summer mengerucut. Telunjuknya mulai mengetuk dagu. "Itu pertanyaan sulit. Tapi kalau harus memilih, kalender itu yang paling berguna bagiku. Aku bisa memakainya untuk menentukan jadwal bersama River.
"Ya, kau sebaiknya fokus saja dengan kegiatan di penjara ini, Kendrick. Siapa tahu, kau bisa mendapat keringanan karena perilaku baik," Summer mengedikkan bahu santai. Akan tetapi, Kendrick malah semakin menggila. Ia mulai mengguncang pintu, memohon kepada para petugas untuk membukanya. Saat Orion mendekat, ia berteriak ketakutan. "Tidak! Menjauhlah dariku! Aku masih mau hidup! Jangan kau apa-apakan kepalaku!" Tiba-tiba, bunyi aneh terdengar dari pantat Kendrick. Bau busuk pun menyebar. Summer dan River cepat-cepat memencet hidung mereka. "Uuuh, Kendrik, kau jorok sekali!" tutur Summer, meledek. "Cepat sana ke kamar mandi! Dan jangan lupa dengan chipmu!" River terkekeh usil. "Dia tidak perlu membawanya, River. Chip ini yang akan datang sendiri kepadanya. Maksudku, petugas kepolisian yang akan memasukkan chip ke dalam otaknya!" Membayangkan kepalanya dibelah, Kendrick terkesiap. Mulutnya mulai bergetar. Saat pintu besi dibuka, lututnya ikut gemetar. Ia mencoba untuk melari
Khawatir sandiwaranya terbongkar, Summer cepat-cepat mengobrol dengan River. Ia bertanya tentang penilaiannya terhadap roti lapis itu dan apa yang perlu mereka perbaiki ke depannya. Setelah Kendrick menghabiskan makanan dan minumannya, barulah ia meraih kotak besar di atas meja. "Apakah kau sudah kenyang?" tanya Summer yang kini berlutut di atas kursi. Kalau tidak, kotak besar itu pasti sudah menutupi wajahnya dari Kendrick. Narapidana itu mendengus. "Apa pedulimu?" "Apakah kau lupa? Aku sudah menjawab pertanyaan itu. Berapa kali pun kau bertanya, jawabanku akan tetap sama. Aku mengkhawatirkan kondisimu karena keluargakulah yang memasukkanmu ke dalam penjara itu," Summer menunjuk pintu besi yang dijaga oleh dua orang petugas kepolisian. Kendrick memutar bola mata. "Jangan berpura-pura peduli padaku. Aku tahu, kau dan orang tua berengsekmu itu berpesta setelah kalian melemparku ke tempat terkutuk ini." Summer terkesiap. Mata bulatnya berkilat oleh keterkejutan. "Tolong perhat
"Tolong jangan disebut. Itu berbahaya!" ujar Summer lantang. River menyingkirkan tangan Summer dari mulutnya. "Kenapa?" "Pokoknya, itu berbahaya. Mari kita masukkan itu sebagai kata terlarang. Jangan membahasnya lagi sampai kita dewasa," tutur Summer dengan penuh keseriusan. River pun menghela napas kesal. Namun, melihat ketegasan di wajah Summer, ia akhirnya mengalah. "Baiklah, aku akan melupakannya. Anggap itu tidak pernah kudengar," ia memutar telinga seolah sedang memutar pita kaset ke belakang. Louis akhirnya bisa kembali bernapas lega. Sky terkekeh melihatnya mengelus dada. Setelah itu, perbincangan berlangsung normal. Tidak ada hal aneh lagi yang mereka bahas. Mereka hanya bertukar kabar. Saat perbincangan mereka berakhir, Summer memekik gembira, "Oh, aku sungguh tidak sabar ingin menyambut Papa dan Mama pulang! Mereka pasti akan membawa banyak cerita!" "Ya, aku juga. Aku tidak sabar ingin melihat oleh-oleh apa yang mereka bawa dari Antartika!" sahut River, tak
Sang kapten tersenyum simpul. "Dia mengaku bernama Summer." Louis dan Sky terbelalak. "Summer?" Lengkung bibir sang kapten melebar. "Ya. Summer Harper. Awalnya, saya berpikir bahwa itu hanyalah panggilan iseng. Tapi setelah mendengar caranya berbicara dan mengetahui namanya, saya percaya bahwa situasinya serius. Saya sarankan Anda untuk segera menghubunginya. Dia sangat resah." Sky mengangguk cepat. Di sisinya, Louis berkata, "Terima kasih, Kapten Alvarez. Kami akan segera menghubungi putri kami." Seperginya sang kapten, Sky melakukan panggilan video. Begitu Summer menerimanya, suara manisnya langsung bergema, "Mama, kenapa baru meneleponku sekarang? Ke mana saja dari tadi? Apakah Angelica mengganggu kalian lagi?" Melihat wajah cemberut sang putri, Sky dan Louis tertawa lirih. Mata mereka berkaca-kaca, terlapisi oleh keharuan sekaligus rasa bangga. "Maaf, Sayang. Mama dan Papa ada urusan mendesak. Kami terpaksa menghidupkan mode pesawat sebentar," timpal Sky, agak serak. "A
Pablo kembali tertawa. Sambil menggaruk alis, ia bergumam lirih, "Mengapa orang kaya suka sekali semena-mena?" Detik berikutnya, ia menatap Louis dengan kesan meremehkan. "Anda pikir dengan kekayaan yang Anda miliki, Anda bisa bertindak sesuka hati di sini? Maaf, Tuan Harper. Ini bukan L City. Di sini, Kapten Alvarez-lah yang memegang kendali. Dan lewat saya, beliau sudah menyampaikan perintah. Tahan Louis Harper dan sang istri. Karena itu ...." Pablo melihat rekan-rekannya dan menggerakkan kepala sekali. Para petugas mendekati Louis dan Sky lagi. Secepat kilat, Louis menarik Sky ke balik punggungnya. "Siapa yang berani menyentuh istriku, akan kupastikan dia tidak bisa berjalan lagi!" hardiknya, mengancam. Para petugas seketika menahan langkah. Louis pun menambahkan, "Daripada kalian bersikeras ingin menangkap kami, kalian lebih baik menghubungi kapten kalian." "Untuk apa?" sela Pablo dengan nada menjengkelkan. "Untuk mengulur waktu? Maaf, Tuan Harper. Kami sudah menghabi
Draco menggertakkan geraham. Ia ingin sekali menghajar Louis. Saat itulah, Sky berbisik, "Apakah Pablo, si petugas keamanan itu? Dia yang membantu kau dan Angelica melancarkan misi untuk menggangguku dan Louis?" Draco tersentak. Mulutnya tanpa sadar menimpali, "Dari mana kau tahu kalau itu Pablo?" Sky tersenyum lebar. Ia sumpal mulut Draco dengan kain. "Terima kasih atas kejujuranmu." Kemudian, ia bangkit berdiri. Sementara Louis menahan Draco agar tidak macam-macam, Sky berhenti merekam suara di ponselnya. Saat ia memutarnya ulang, pengakuan Draco terekam jelas. "Emmhh .... Emm emmmh ...." Draco terus meronta-ronta. Louis yang masih berlutut di dekatnya pun berdesus. Telunjuknya teracung meminta waktu. "Apa yang kau ributkan?" gerutu Louis. "Kau takut Pablo membunuhmu karena gagal menjaga rahasianya? Tenang. Kami akan menangkapnya sebelum dia bisa membunuhmu." Setelah menepuk pipi Draco dengan kasar dua kali, Louis bangkit berdiri. Ia menghampiri Sky. Sang istr