Terima kasih sudah membaca!
Melihat Louis di ujung lorong, Sky hanya bisa tersenyum. Langkah kakinya terasa ringan dan lambat. Entah bagaimana, waktu terasa seperti bergulir ke belakang. Walaupun itu sudah sangat lama, ia masih ingat wajah Louis saat pertama kali menyapanya. Dirinya baru berusia 4 tahun saat itu, menangis karena tidak bisa menghubungi Edmund. Bocah laki-laki itulah yang dulu menguatkan pundaknya. Ia datang menawarkan harapan dengan meminjamkan telepon satelit kepadanya. Bocah itulah yang berhasil mengembalikan senyumnya. Bagi seorang gadis kecil yang masih rapuh dan lemah, Louis adalah pahlawannya. Lalu, mereka mulai akrab. Sky masih ingat bagaimana mereka berpelukan di awal dan akhir pertemuan kedua, begitu pula dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Louis menjadi orang yang paling ia nantikan, apalagi setiap masa liburan tiba. Bagi Sky, Louis adalah teman perjalanan terbaiknya. Kini, pria itu akan selalu menemaninya, menjadi pendamping hidupnya. Perjalanan panjang mereka akan s
"Para mempelai ternyata betul-betul tak sabar. Kalau begitu," sang pendeta merentangkan tangan, "mempelai pria, Anda sudah boleh mencium pengantin Anda!" Louis langsung mengecup bibir Sky dalam-dalam. Padahal, Sky belum sempat menarik napas. Alhasil, wajahnya dengan cepat memerah. Melihat pemandangan indah itu, Summer melompat dari kursi. Ia berjoget-joget sebentar, lalu meninju-ninju udara di atas kepalanya. Ia tidak peduli lagi jika mahkota bunganya miring dan hampir lepas. "Woohoo! Mama dan Papa akhirnya menikah! Aku punya Papa sekarang. Aku punya Papa!" Mendengar sorakan manis itu, Louis dan Sky berbagi tawa. Masih dalam posisi berpelukan, mereka berdua menoleh ke arah putri kecil mereka. "Lihatlah, dia sangat bahagia," bisik Sky penuh keharuan. "Ya, aku senang bisa memenuhi keinginannya. Kau tahu? Itu adalah permintaan pertamanya kepadaku," bisik Louis mesra. Sky menyatukan pandang dengan senyum tipisnya. "Permintaan agar kamu menikahiku?" Louis mengangguk. "Tapi se
Sky melirik Louis dengan senyum penuh makna. Selang keheningan singkat, ia kembali menatap Grace. "Bukan cuma dirimu yang perlu meminta maaf. Aku juga. Maaf aku telah mengacaukan impianmu," Sky menjabat tangan mantan kekasih suaminya itu. Grace mendengus. "Impian apa? Menikah dengan Louis? Itu sudah bukan impianku lagi. Seseorang berkata padaku bahwa di luar sana, pasti ada laki-laki yang lebih tepat untukku." "Itu kata-kataku lagi!" ujar Summer dengan tawa khasnya. "Kau suka sekali mengutip omonganku, Nona Evans. Apakah karena kita sudah menjadi bestie?" Grace mengedikkan sebelah bahu. "Ya, mau bagaimana lagi? Suara melengkingmu terus berdenging di telingaku. Kau memang berbakat membuatku risih." "Jadi," Sky menyela obrolan Grace dengan sang balita, "kau tidak marah kepadaku lagi, kan?" "Tentu saja tidak. Seseorang bilang kalau aku justru harus berterima kasih atas apa yang sudah terjadi. Kalau aku menikah dengan Louis, aku mungkin saja tidak merasakan kebahagiaan dari cinta
Summer sedang tengkurap di atas kasur. Dagunya ditopang dengan kedua tangan, dan kakinya bergerak-gerak seperti perenang. Berapa lama pun ia menatap foto pernikahan di depannya, senyumnya tetap lebar. "Ini indah sekali. Foto terbaik yang pernah kupunya," gumamnya untuk kesekian kali. Mendengar itu, pasangan yang mengenakan piama sama dengannya melangkah masuk. Lengkung bibir mereka juga manis. "Sayang, kau sedang apa?" Menyadari kehadiran mereka, Summer berhenti memperhatikan wajah-wajah di dalam gambar. Ia berguling sedikit, mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi. "Mama, Papa! Apakah kalian sudah selesai dengan urusan orang dewasa kalian?" tanyanya dengan nada riang. Wajah Louis dan Sky sontak berubah tegang. Kecanggungan mewarnai pipi mereka. "Urusan orang dewasa apanya? Kami hanya mengatur jadwal untuk besok pagi hingga seminggu ke depan, Sayang," jawab Sky canggung. "Ya, tapi aku tidak ikutan. Hanya kalian berdua yang menyusunnya. Tanpa anak kecil, itu urus
Louis dan Sky mengangguk kompak. "Di sekolah, kamu bisa belajar bersama teman-teman. Itu terasa lebih menyenangkan. Kamu juga bisa bermain dan mengobrol tentang banyak hal bersama mereka di waktu istirahat," terang Louis, memberi gambaran. "Dan kamu tahu?" bisik Sky, berharap dapat memancing ketertarikan sang putri. "Di sekolah ada banyak fasilitas untuk belajar dan mengembangkan diri. Kamu bisa membaca buku di perpustakaan, bereksperimen di laboratorium, berolahraga di lapangan, bahkan ruang kesenian juga ada. Kamu bisa mencoba banyak hal baru bersama teman-teman baru." Akan tetapi, Summer berkedip-kedip seolah tak tak tertarik. "Apakah aku harus bersekolah?" Harapan Louis agak luntur. Ia berpikir sejenak. "Tidak juga. Papa hanya mau memberimu pilihan, Sayang. Mungkin saja, kau juga mau bersekolah seperti anak-anak kebanyakan. Sekolah itu bisa menjadi sarana untuk kamu mewujudkan cita-cita. Kamu ingin menjadi penulis buku best seller, kan?" "Bolehkah aku belajar mandiri seper
"B-bukankah besok kita harus berangkat pagi-pagi, Louis? Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya sekarang?" tanya Sky kaku. Padahal, ia sudah berusaha untuk menekan kegugupannya. Akan tetapi, sarafnya tetap saja tegang. Melihat gelagat lucu Sky, Louis tersenyum simpul. "Masalah bagaimana? Bukankah kau bilang tidak takut padaku? Kau juga mengaku tidak keberatan kalau kita melakukan hal itu. Atau jangan-jangan ...." Ekspresi Louis mendadak berubah serius. Matanya yang bulat membuat Sky semakin terpaku. "Jangan-jangan apa?" "Kau berkata begitu hanya untuk menyenangkan hatiku? Kau sebetulnya takut padaku?" Sky ternganga. Tangannya bergerak-gerak, melambai dengan cepat. "Tidak. Bukan begitu. Aku tidak takut padamu. Hanya saja ...." Bola matanya kembali bergerak-gerak ragu. Wajahnya agak tertunduk. "Kau sudah banyak menunda pekerjaan akhir-akhir ini. Mungkin, kau ingin beristirahat saja malam ini agar besok kau tetap fit dan bisa lebih fokus." "Kalau kita tidak melakukannya mal
Demi mengatasi kecanggungan, Sky melepas tawa. "Mama hanya sedang menahan geli, Sayang, bukan kesakitan. Kamu sudah salah paham." "Begitukah?" Summer masih tidak percaya. "Ya. Lagi pula, mana mungkin Papa-mu mengganggu Mama? Mama adalah istrinya, dan dia sangat menyayangi Mama. Karena itulah, dia membantu Mama tadi," Sky mengangguk-angguk, berharap sang putri menirunya. Akan tetapi, gadis kecil itu hanya mematung. Lirikan matanya masih tajam ke arah Louis. "Kalau begitu, kenapa Mama mendorong Papa sampai terjatuh dari sofa? Mama terlihat seperti sedang membalas dendam." Sky kembali tercengang. Selang satu kedipan, barulah akal sehatnya kembali lancar. "Dari mana kamu mempelajari kata itu, Sayang? Dendam bukankah sesuatu yang baik." "Lalu, kenapa Mama mendorong Papa begitu keras?" Bibir Summer menguncup. "Itu terlihat seperti pembalasan dendam bagiku." "Itu karena ...." Sky melirik Louis, mencari petunjuk untuk kebohongan lain. "Mama terkejut saat melihatmu. Di pik
Sky mengernyitkan alis. Ia masih ingin tidur, tetapi tangan-tangan usil terus mengganggunya. "Summer," gumamnya tak jelas. Kepalanya bergerak sedikit, mencoba menghindar dari sentuhan yang menggelitik wajahnya. Bukannya berhenti, sentuhan tersebut malah merambat ke lehernya. Jemari yang semula hanya bermain di atas piamanya kini malah menelusup ke dalam. "Summer, jangan ganggu Mama," bisiknya lirih. "Summer?" Sky menepis apa yang menggelitik dadanya. Mendapati tangan orang dewasa, ia terkesiap. "Louis?" Ia berkedip-kedip menatap pelakunya. Sang suami tersenyum manis. Raut wajahnya lugu seperti tak kenal dosa. "Selamat pagi, Istriku. Apakah tidurmu nyenyak? Maaf aku membangunkanmu. Aku sebetulnya sudah mencoba untuk menahan diri. Tapi ternyata, hatiku tidak bisa dikendalikan. Aku terlalu bahagia memiliki istri secantik bidadari." Sky tertegun. Pujian dari Louis memang terkesan berlebihan. Namun, pipinya tetap saja memerah. Apalagi, masih ada jemari bermain-main di ba
Setibanya di kediaman River, Summer dan kedua orang tuanya langsung disambut hangat. Mereka berkenalan sebentar, lalu beralih ke ruang makan. Summer terbelalak melihat banyaknya hidangan yang tersaji di sana. "Wow, makanannya banyak sekali, Nyonya Young. Apakah ada tamu lain yang kalian undang?" seru balita itu dengan raut hebohnya. Melihat betapa bulat mata Summer, Renata Young terkekeh. "Tidak, Summer. Semua ini untuk menyambut kamu dan orang tuamu. Kami sengaja menyiapkan banyak hidangan karena River bilang kamu suka makan." "Ya!" Summer melompat kecil. "Aku memang suka makan. Aku butuh banyak asupan gizi supaya cepat besar dan bertambah cerdas. Terima kasih banyak atas perhatian kalian, Nyonya Young." Merasa gemas, Renata mencubit pipi sang balita. "Justru kamilah yang seharusnya berterima kasih padamu, Summer. Sejak berteman denganmu, River berubah menjadi jauh lebih baik." Bukan hanya Summer, tetapi Sky dan Louis juga terbelalak. Mereka penasaran dengan penjelasan detailn
"Mama, Papa! Cepat kemari! Aku sudah menemukan bukuku! Kalian tidak akan menyangka di mana dia dipajang!" Summer melompat-lompat sembari menggoyang tangan ayah dan ibunya. Melihat semangat putri kecilnya itu, Sky kembali menatap Louis. "Mungkinkah ...." "Ayo cepat, Mama, Papa! Jangan bengong saja," desak Summer lagi. Saking tak sabarnya, kakinya sampai berlari di tempat. Dengan raut penuh tanya, Sky pun berjalan mengikuti sang balita. Sesekali, ia melirik suaminya. Louis hanya tersenyum penuh makna. Ternyata, Summer membawa mereka menuju rak best-seller. Setibanya di sana, balita itu langsung melompat, mempersembahkan apa yang tersaji di hadapannya dengan tangan terentang lebar. "Ta-da! Lihat ini, Mama, Papa! Akhirnya, bukuku berada di rak best-seller, sama seperti buku Mama!" serunya dengan suara melengking yang menghangatkan. Senyumnya sangat lebar. Matanya berkaca-kaca. Melihat tumpukan buku tersebut, Sky terkesiap. Air matanya ikut menggenang. "Sayang?" Ia meng
"Mama berencana untuk membuat kampanye lingkungan. Mungkin, Mama bisa bekerja sama dengan ayahmu, bibimu, dan yang lain. Konsep kampanye ini juga bisa dikemas dalam marketing di sektor mereka," terang Sky dengan suara mantap. "Bagaimana menurut kalian?" "Itu bagus, Sky," sahut Emily cepat. "Aku memang selalu mengusahakan produk fashion-ku ramah lingkungan. Tapi hal itu masih kurang disebarluaskan. Desainer lain juga memandang hal ini sebelah mata. Padahal, menurutku, fashion bukan hanya soal gaya, tapi juga tentang pesan yang ingin kita tunjukkan kepada orang lain lewat penampilan. Salah satunya, dampak terhadap lingkungan. Untuk apa tampil keren kalau apa yang kita kenakan merugikan bumi dan lingkungan?" Louis pun menambahkan, "Kurasa, perusahaan kita memang perlu kampanye semacam itu. Apalagi, hal tersebut memang sering menjadi poin plus dalam hal-hal yang kita kembangkan. Apartemen terbaru Savior, contohnya. Orang-orang membeli bukan karena konsep green-building, tapi karena m
"Ya, aku memang senang belajar bersama teman-teman di sekolah. Aku juga suka bertemu guru-guru, makan siang di kantin bersama River, dan bermain di sisa waktu istirahat. Semua itu menyenangkan!" ungkap Summer dengan suara manisnya. "Lalu, kenapa kamu tidak mau terus bersekolah Summer?" selidik Louis, penasaran. Bibir Summer mengerucut. Pundaknya naik lagi menjepit leher. "Karena aku merasa, akan lebih baik kalau aku belajar mandiri saja." "Apakah ini karena Gigi?" tanya Louis, hati-hati. "Tidak, Papa. Aku tidak mungkin membiarkan orang lain memengaruhi keputusanku," jawab Summer mantap. "Lalu kenapa, Sayang? Kenapa kamu merasa lebih baik kalau kamu belajar sendiri?" tanya Sky, tidak sabar. Summer menggigit bibir. Ia agak ragu untuk mengutarakan pemikirannya. "Aku merasa kalau aku akan lebih cepat maju jika belajar mandiri. Meskipun aku sekarang belajar di kelas 2, aku merasa sudah menguasai semua materinya, Mama. Yang kulakukan selama beberapa hari terakhir adalah
"Selamat pagi, semuanya!" sapa Summer saat memasuki ruang makan. Semua yang telah berada di sana sontak menoleh ke arahnya. "Selamat pagi, Summer," sapa mereka ramah. Namun, detik berikutnya, mereka semua mengerjap. Gigi Summer terlihat begitu putih di antara kulit wajahnya yang dipenuhi coretan hitam. "Astaga, Summer! Apa yang terjadi pada wajahmu?" seru Kara spontan. Sambil memeluk sang nenek, Summer terkekeh. "Maaf, Nenek. Aku tidak bermaksud menakutimu. Apakah kau terkejut?" "Tentu saja. Cucuku biasanya sudah bersih dan wangi jam segini. Tapi sekarang, kenapa wajahmu dipenuhi coretan? Apa ini? Cat? Kau habis melukis?" selidik Kara sembari memeriksa noda di pipi sang cucu. "Bukan, Nenek. Kemarin aku mengobrol dengan Kakek Lucas. Dia mengajariku tentang pentingnya ber-kamu-flase saat mengamati hewan-hewan di alam. Caranya adalah dengan menggunakan pakaian berwarna sama dengan lingkungan sekitar, dan mencoret wajah dengan arang. Karena aku tidak punya arang, aku menggun
"Louis, kau dengar itu? Sepertinya, Summer mengetuk pintu. Dia memanggil kita," bisik Sky di sela desah napasnya. Bukannya berhenti untuk menyimak, Louis malah melanjutkan kegiatannya di bawah selimut. "Itu halusinasimu saja, Sayang. Dia tidak mungkin mencari kita sepagi ini. Paling-paling, dia sedang di pekarangan belakang mengintai Papoy," balas Louis dengan suara yang menggelitik telinga. "Louis, aku serius. Coba dengar! Summer memanggil kita," bisik Sky, mulai mengernyitkan wajah. Tak mendapat respons dari suaminya, ia pun mengangkat tangan. Namun, belum sempat ia menyibak selimut yang menutupi mereka, Louis menangkap pergelangan tangannya dan menekannya ke bantal. "Jangan bergerak. Aku sedikit lagi klimaks," pintanya serak. "Tapi—" "Tenang saja. Kalaupun itu Summer, dia tidak akan masuk. Kurasa aku sudah mengunci pintu semalam. Jadi, mari kita lanjutkan. Satu menit saja." Sementara Louis membungkam mulut Sky, di luar pintu, Summer menunggu dengan raut kebing
"Lihatlah putri kita, Louis. Bukankah dia sangat lucu? Dia terlihat begitu kecil dibandingkan anak-anak lain, dan cara duduknya manis sekali," bisik Sky sembari mengintip dari jendela. Louis yang berdiri di sisi Sky pun melebarkan senyum. Matanya juga tertuju pada satu-satunya balita di kelas itu. "Ya, dia sangat menggemaskan. Apakah kamu yang mengajarinya untuk duduk seperti itu?" bisiknya seraya melirik wajah haru sang istri. Sky menggeleng. "Tidak. Tapi Summer memang sering melipat tangan di atas meja kalau sedang menyimak sesuatu. Tidak kusangka dia akan membawa kebiasaannya ke dalam kelas. Oh, lihat! Dia mengangkat tangan." Sky menepuk-nepuk lengan Louis. Pandangan Louis pun kembali ke depan. Menyaksikan bagaimana Summer menjawab pertanyaan guru dan mendapat tepuk tangan dari murid-murid lain, rasa bangga juga terbit dalam hatinya. "Putri kita bukan hanya lucu, tapi juga cerdas. Kamu berhasil mengajarinya. Terima kasih, Sayang," Louis mengecup pelipis sang istri. "Ka
"Sepertinya, bukan hanya Gigi yang perlu meminta maaf kepada Summer di sini, tapi ibunya juga. Bukankah Anda juga sempat menghina putri saya, Nyonya?" Louis menaikkan sebelah alis. Mulut Gloria ternganga. Ia masih kesulitan mengucapkan kata. "Y-ya, saya juga bersalah." Ia menghampiri Summer, membungkuk untuk memeluk tubuh mungilnya. "Tolong maafkan aku, Summer. Aku tidak seharusnya mengajarkan putriku untuk menyudutkanmu. Maaf karena aku telah meremehkanmu." Berbeda dari perlakuannya terhadap Gigi, Summer tidak langsung memaafkan wanita itu. Ia melepaskan diri dari pelukannya. Sambil menjauh sedikit, ia berkacak pinggang. "Apakah Anda sungguh-sungguh menyesal, Nyonya?" tanyanya membuat Gloria tersentak. "T-tentu saja," jawab wanita itu dengan wajah memelas. "Entah kenapa, aku merasa kalau kamu meminta maaf hanya karena takut kepada Papa," tutur Summer sembari memicingkan mata. Mendengar penilaian tersebut, Gloria membeku. Matanya berkedip-kedip, mencari petunjuk.
"Siapa nama Anda?" tanya Louis sembari memicingkan mata. Bibir Gloria bergetar saat menjawabnya, "Gloria Brown." Sambil tersenyum miring, Louis mengangguk-angguk. Tatapannya kemudian bergeser turun. "Dan kamu? Siapa namamu?" tanya Louis dengan sebelah alis naik mendesak dahi. "Georgina Brown. Semua orang biasanya memanggilku Gigi," jawab gadis kecil itu tanpa rasa takut. Ia terlalu bodoh untuk mengerti konsekuensi apa yang sedang menantinya. "Georgina Brown," gumam Louis seraya bergerak maju. Setibanya di hadapan anak itu, ia memiringkan kepala. "Siapa yang mengajarimu untuk berbicara seperti itu?" "Mama yang mengajariku. Mama bilang, semua orang punya status yang berbeda-beda. Aku hanya boleh berteman dengan anak-anak dari level atas." Summer terkesiap. Ia mendongak menatap Sky, berbisik, "Mama, bukankah itu ajaran yang salah?" Sky menempatkan telunjuk di depan mulut. "Sayang, mari kita serahkan hal ini kepada Papa. Saat ini, kita simak saja," bisiknya. "Oh, oke,"