Kapan nih, guys? Summer udah gak sabar. Kira-kira, di mana ya Louis dan Sky bakal nyelenggarain acara?
Sky menghampiri Summer. Sambil tersenyum lembut, ia memberinya pengertian, "Itu terlalu cepat, Sayang. Pernikahan itu butuh persiapan. Apalagi, ayahmu adalah laki-laki nomor satu di kotanya. Dia akan sangat malu kalau pernikahannya biasa-biasa saja." "Sebetulnya ...." Louis berdeham. Dengan langkah lambat, ia bergeser ke sisi calon istrinya. "Aku sudah tidak peduli dengan penilaian orang lain terhadapku. Aku merasa bodoh karena selama ini ingin dianggap keren dan sempurna oleh orang-orang yang bahkan tidak kukenal. Aku seharusnya tidak menggantungkan kebahagiaanku kepada siapa pun. Apalagi sekarang," Louis meraih jemari Sky. "Aku sudah punya kau dan Summer. Kalianlah kebahagiaanku. Aku ingin terlihat sempurna dan keren di depan kalian saja." Bukannya terenyuh, Sky malah menaikkan alis. "Kau yakin? Bagaimana kalau orang-orang menganggapmu payah dan tidak keren lagi? Kau tahu? Itu bisa saja terjadi. Sampai detik ini pun, sebagian orang masih berpikir kalau kau bodoh karena memi
"Lihatlah! Ini adalah rancangan gaun pengantin yang kubuat untuk ibumu. Apakah kau suka?" Emily menyodorkan tabletnya kepada Summer. Melihat apa yang ditampilkan pada layar, mulut Summer membulat. Louis dan Sky yang memperhatikan ekspresinya dari sofa lain jadi semakin penasaran. "Bagaimana, Sayang? Kau suka?" selidik Sky. Summer mengangguk cepat. "Ya! Mama tidak pernah mengenakan gaun seperti ini. Mama pasti akan sangat cantik. Paman Louis pasti akan semakin cinta dan tidak bisa melirik wanita lain." Mendengar komentar akhir si gadis kecil, semua orang mendengus geli. "Dari mana kau belajar kalimat itu, Summer? Itu tidak sesuai dengan umurmu," celetuk Emily sambil mencubit pipi gembulnya yang lucu. Summer terkekeh ringan. "Aku mendengarnya dari Gerry. Dia bilang Merry sangat cantik sampai-sampai dia tidak bisa melirik wanita lain. Dia bahkan sampai lupa berkedip." "Gerry benar. Ketika seorang pria mencintai wanita, dia tidak akan melirik yang lain. Matanya hanya aka
Sementara Sky tersenyum kecil, Emily menghela napas panjang. "Baiklah. Aku akan membuatnya sesuai keinginanmu, Calon Pengantin yang Protektif. Gaun tertutup yang melindungi calon istrimu dari angin." Louis mengangguk penuh kemenangan. "Terima kasih, Emily. Kau memang saudara perempuan terbaik!" "Kau hanya punya satu orang saudara perempuan, Louis. Wajar kalau aku yang terbaik," celetuk Emily, nyinyir. Saat itu pula, Cayden masuk ke ruang tamu. Ia baru saja kembali dari mengantar yang lain. "Princess, apakah urusanmu sudah selesai?" "Sudah. Aku bisa pergi ke hotel sekarang," jawab Emily sembari beranjak dari sofa. Summer dengan sigap membantunya berdiri. "Terima kasih atas bantuanmu, Bibi. Maaf kami sudah merepotkanmu," tuturnya manis. "Sama-sama, Summer Sayang. Mari kita lanjutkan persiapannya besok pagi. Malam ini, beristirahatlah. Kamu pasti sudah sangat lelah." "Ya!" angguknya mantap. "Bibi juga. Jangan sampai terlalu letih. Adik-adik bayi harus tetap sehat." Sementara Sum
Summer mengangguk. "Dulu, aku sering merasa kasihan kepada Mama. Setiap pulang dari memandu, Mama harus mengurusku. Setelah aku tidur, Mama masih harus bekerja di depan laptop, menerjemahkan naskah atau membuat buku." "Kalau kau sudah tidur, bagaimana kau bisa tahu?" selidik Louis, agak heran. "Aku tahu karena aku sering terbangun dan melihat Mama duduk di mejanya. Terkadang dia mengurut pelipis. Mungkin untuk menahan rasa kantuk atau pusing. Terkadang dia menangis. Mungkin karena terlalu lelah atau tertekan karena pekerjaannya tidak habis-habis. Makanya badan Mama kurus. Dan karena itu ...." Summer melirik Sky dengan wajah sendu. "Aku memutuskan untuk menjadi anak yang mandiri. Kalau aku bisa mengurus diriku sendiri, Mama tidak akan terlalu letih. Karena itu juga, aku ikut menulis dan meminta tip kepada wisatawan yang baik hati. Kalau aku bisa mendapat uang, beban Mama pasti banyak berkurang." Sky tertegun mendengar pengakuan sang putri. Hatinya terasa hangat sekaligus peri
Di dalam kamar, Sky sedang tengkurap di atas kasur. Ia sudah mengenakan piama sekarang, sama seperti dua orang yang duduk bersila di sisi kiri dan kanannya. Mereka bertiga terlihat lucu dengan piama seragam pemberian Emily itu. "Summer, apakah kamu sering memijat ibumu begini?" tanya Louis kepada gadis kecil yang duduk berhadapan dengannya. Sambil terus memijat, Summer menggeleng. "Dulu tidak. Mama jarang punya waktu bersantai. Tapi semenjak kami tinggal di rumah ini, Mama punya lebih banyak waktu senggang. Sesekali aku memijatnya. Mama suka dipijat." Ia melengkungkan bibirnya manis. Louis ikut tersenyum melihat tingkah sang putri. Ia merasa gemas melihat tangan-tangan mungilnya menekan-nekan betis Sky. "Berapa lama biasanya kamu melakukan ini?" tanyanya lagi. "Tergantung. Biasanya, aku baru selesai kalau sudah memijat seluruh badan Mama." Alis Louis sontak naik mendesak dahi. "Seluruh badan?" Sudut bibirnya terdongkrak sedikit. Mengetahui isi pikiran Louis, Sky cepa
"Louis? Sejak kapan kamu berdiri di situ?" tanya Sky, berbisik. Matanya masih membulat seperti sedang melihat hantu. Louis tersenyum miring. Ia merasa gemas dengan ekspresi calon istrinya itu. "Baru beberapa detik. Kenapa? Apakah ada gumamanmu yang tidak boleh terdengar olehku selain yang baru saja kau sebut?" Bibir Sky mengerucut. "Tidak. Memangnya aku bergumam apa? Aku tidak merasa mengeluarkan suara. Kau pasti salah dengar. Kapan terakhir kau membersihkan telinga?" Senyum Louis berubah kecut. Ia ingat bahwa Sky pernah berencana untuk mengungkapkan perasaannya. Namun kini, mengapa ia malu-malu? Mungkinkah pengalaman lima tahun lalu telah mengubah pemikirannya? Apakah cinta Sky kepadanya telah berkurang? Louis tidak mau kehilangan cintanya sedikit pun. "Aku memang sudah lama tidak membersihkan telinga. Mau melakukannya untukku?" timpal Louis, bercanda. Wajah Sky mengernyit. Pipinya tanpa sadar memerah. Ia ingat dulu mereka pernah saling membersihkan telinga. "Kenapa
Beberapa tahun yang lalu, di Sabana Doro Ncanga, Sumbawa, Indonesia .... Sky sedang duduk di atas campervan. Kepalanya mendongak menatap langit. Kedua lengannya mendekap lutut, menjaga diri dari terpaan angin. "Hei, apa yang kau lakukan di situ?" Sky menurunkan pandangan ke arah tangga. Mendapati kehadiran Louis, sudut bibirnya terangkat ringan. "Hei, kenapa kau belum tidur?" Ia bergeser sedikit, memberi tempat untuk Louis. "Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kenapa kau tiba-tiba naik ke atas campervan malam-malam begini?" bisik Louis sembari duduk di samping Sky. "Kau tidak bisa tidur?" Sky mengangguk. "Mungkin karena tempat ini terlalu indah, aku merasa rugi kalau tidak menikmatinya dengan maksimal." "Padahal, kita sudah beberapa jam di sini. Kita sudah melihat hamparan rumput kekuningan yang begitu luas, matahari terbenam yang begitu indah, dan langit malam yang begitu cerah. Apa lagi yang mau kau nikmati, Sky? Kau seharusnya beristirahat." Mendapat sentuhan dari
Masih dalam posisi berbaring di pangkuan sang cinta, Louis mengelus rambut keritingnya yang menjuntai. "Begitulah ceritanya, Sky. Aku melamarmu. Aku sudah bicara panjang lebar, tapi kau tidak menjawab. Ternyata, kau tertidur di sampingku," ucapnya lembut. Sky sedikit ternganga. Matanya berkedip-kedip. "Apakah itu cerita nyata?" "Tentu saja. Kalau kau tidak percaya, coba saja tanya Emily dan Russell. Kurasa mereka menguping semua pembicaraan kita." "Itu bukan bukti konkret. Mereka bisa saja berbohong untuk menutupi kebohonganmu. Apakah ada bukti lain?" Bibir Louis mengerucut. "Kenapa kau meragukan aku? Apakah tindakanku selama mengenalmu belum cukup untuk menunjukkan rasa cintaku kepadamu? Menurutmu, kenapa aku selalu memelukmu begitu erat setiap kali kita bertemu dan akan berpisah?" "Kupikir kau melakukan itu karena kau sudah menganggapku sebagai adikmu," Sky mengedikkan bahu. "Tidak, Sky. Aku melakukannya karena aku sayang padamu." Mata Sky menyipit. Ia masih ter
"Mama berencana untuk membuat kampanye lingkungan. Mungkin, Mama bisa bekerja sama dengan ayahmu, bibimu, dan yang lain. Konsep kampanye ini juga bisa dikemas dalam marketing di sektor mereka," terang Sky dengan suara mantap. "Bagaimana menurut kalian?" "Itu bagus, Sky," sahut Emily cepat. "Aku memang selalu mengusahakan produk fashion-ku ramah lingkungan. Tapi hal itu masih kurang disebarluaskan. Desainer lain juga memandang hal ini sebelah mata. Padahal, menurutku, fashion bukan hanya soal gaya, tapi juga tentang pesan yang ingin kita tunjukkan kepada orang lain lewat penampilan. Salah satunya, dampak terhadap lingkungan. Untuk apa tampil keren kalau apa yang kita kenakan merugikan bumi dan lingkungan?" Louis pun menambahkan, "Kurasa, perusahaan kita memang perlu kampanye semacam itu. Apalagi, hal tersebut memang sering menjadi poin plus dalam hal-hal yang kita kembangkan. Apartemen terbaru Savior, contohnya. Orang-orang membeli bukan karena konsep green-building, tapi karena me
"Ya, aku memang senang belajar bersama teman-teman di sekolah. Aku juga suka bertemu guru-guru, makan siang di kantin bersama River, dan bermain di sisa waktu istirahat. Semua itu menyenangkan!" ungkap Summer dengan suara manisnya. "Lalu, kenapa kamu tidak mau terus bersekolah Summer?" selidik Louis, penasaran. Bibir Summer mengerucut. Pundaknya naik lagi menjepit leher. "Karena aku merasa, akan lebih baik kalau aku belajar mandiri saja." "Apakah ini karena Gigi?" tanya Louis, hati-hati. "Tidak, Papa. Aku tidak mungkin membiarkan orang lain memengaruhi keputusanku," jawab Summer mantap. "Lalu kenapa, Sayang? Kenapa kamu merasa lebih baik kalau kamu belajar sendiri?" tanya Sky, tidak sabar. Summer menggigit bibir. Ia agak ragu untuk mengutarakan pemikirannya. "Aku merasa kalau aku akan lebih cepat maju jika belajar mandiri. Meskipun aku sekarang belajar di kelas 2, aku merasa sudah menguasai semua materinya, Mama. Yang kulakukan selama beberapa hari terakhir adalah
"Selamat pagi, semuanya!" sapa Summer saat memasuki ruang makan. Semua yang telah berada di sana sontak menoleh ke arahnya. "Selamat pagi, Summer," sapa mereka ramah. Namun, detik berikutnya, mereka semua mengerjap. Gigi Summer terlihat begitu putih di antara kulit wajahnya yang dipenuhi coretan hitam. "Astaga, Summer! Apa yang terjadi pada wajahmu?" seru Kara spontan. Sambil memeluk sang nenek, Summer terkekeh. "Maaf, Nenek. Aku tidak bermaksud menakutimu. Apakah kau terkejut?" "Tentu saja. Cucuku biasanya sudah bersih dan wangi jam segini. Tapi sekarang, kenapa wajahmu dipenuhi coretan? Apa ini? Cat? Kau habis melukis?" selidik Kara sembari memeriksa noda di pipi sang cucu. "Bukan, Nenek. Kemarin aku mengobrol dengan Kakek Lucas. Dia mengajariku tentang pentingnya ber-kamu-flase saat mengamati hewan-hewan di alam. Caranya adalah dengan menggunakan pakaian berwarna sama dengan lingkungan sekitar, dan mencoret wajah dengan arang. Karena aku tidak punya arang, aku menggun
"Louis, kau dengar itu? Sepertinya, Summer mengetuk pintu. Dia memanggil kita," bisik Sky di sela desah napasnya. Bukannya berhenti untuk menyimak, Louis malah melanjutkan kegiatannya di bawah selimut. "Itu halusinasimu saja, Sayang. Dia tidak mungkin mencari kita sepagi ini. Paling-paling, dia sedang di pekarangan belakang mengintai Papoy," balas Louis dengan suara yang menggelitik telinga. "Louis, aku serius. Coba dengar! Summer memanggil kita," bisik Sky, mulai mengernyitkan wajah. Tak mendapat respons dari suaminya, ia pun mengangkat tangan. Namun, belum sempat ia menyibak selimut yang menutupi mereka, Louis menangkap pergelangan tangannya dan menekannya ke bantal. "Jangan bergerak. Aku sedikit lagi klimaks," pintanya serak. "Tapi—" "Tenang saja. Kalaupun itu Summer, dia tidak akan masuk. Kurasa aku sudah mengunci pintu semalam. Jadi, mari kita lanjutkan. Satu menit saja." Sementara Louis membungkam mulut Sky, di luar pintu, Summer menunggu dengan raut kebing
"Lihatlah putri kita, Louis. Bukankah dia sangat lucu? Dia terlihat begitu kecil dibandingkan anak-anak lain, dan cara duduknya manis sekali," bisik Sky sembari mengintip dari jendela. Louis yang berdiri di sisi Sky pun melebarkan senyum. Matanya juga tertuju pada satu-satunya balita di kelas itu. "Ya, dia sangat menggemaskan. Apakah kamu yang mengajarinya untuk duduk seperti itu?" bisiknya seraya melirik wajah haru sang istri. Sky menggeleng. "Tidak. Tapi Summer memang sering melipat tangan di atas meja kalau sedang menyimak sesuatu. Tidak kusangka dia akan membawa kebiasaannya ke dalam kelas. Oh, lihat! Dia mengangkat tangan." Sky menepuk-nepuk lengan Louis. Pandangan Louis pun kembali ke depan. Menyaksikan bagaimana Summer menjawab pertanyaan guru dan mendapat tepuk tangan dari murid-murid lain, rasa bangga juga terbit dalam hatinya. "Putri kita bukan hanya lucu, tapi juga cerdas. Kamu berhasil mengajarinya. Terima kasih, Sayang," Louis mengecup pelipis sang istri. "Ka
"Sepertinya, bukan hanya Gigi yang perlu meminta maaf kepada Summer di sini, tapi ibunya juga. Bukankah Anda juga sempat menghina putri saya, Nyonya?" Louis menaikkan sebelah alis. Mulut Gloria ternganga. Ia masih kesulitan mengucapkan kata. "Y-ya, saya juga bersalah." Ia menghampiri Summer, membungkuk untuk memeluk tubuh mungilnya. "Tolong maafkan aku, Summer. Aku tidak seharusnya mengajarkan putriku untuk menyudutkanmu. Maaf karena aku telah meremehkanmu." Berbeda dari perlakuannya terhadap Gigi, Summer tidak langsung memaafkan wanita itu. Ia melepaskan diri dari pelukannya. Sambil menjauh sedikit, ia berkacak pinggang. "Apakah Anda sungguh-sungguh menyesal, Nyonya?" tanyanya membuat Gloria tersentak. "T-tentu saja," jawab wanita itu dengan wajah memelas. "Entah kenapa, aku merasa kalau kamu meminta maaf hanya karena takut kepada Papa," tutur Summer sembari memicingkan mata. Mendengar penilaian tersebut, Gloria membeku. Matanya berkedip-kedip, mencari petunjuk.
"Siapa nama Anda?" tanya Louis sembari memicingkan mata. Bibir Gloria bergetar saat menjawabnya, "Gloria Brown." Sambil tersenyum miring, Louis mengangguk-angguk. Tatapannya kemudian bergeser turun. "Dan kamu? Siapa namamu?" tanya Louis dengan sebelah alis naik mendesak dahi. "Georgina Brown. Semua orang biasanya memanggilku Gigi," jawab gadis kecil itu tanpa rasa takut. Ia terlalu bodoh untuk mengerti konsekuensi apa yang sedang menantinya. "Georgina Brown," gumam Louis seraya bergerak maju. Setibanya di hadapan anak itu, ia memiringkan kepala. "Siapa yang mengajarimu untuk berbicara seperti itu?" "Mama yang mengajariku. Mama bilang, semua orang punya status yang berbeda-beda. Aku hanya boleh berteman dengan anak-anak dari level atas." Summer terkesiap. Ia mendongak menatap Sky, berbisik, "Mama, bukankah itu ajaran yang salah?" Sky menempatkan telunjuk di depan mulut. "Sayang, mari kita serahkan hal ini kepada Papa. Saat ini, kita simak saja," bisiknya. "Oh, oke,"
Gloria mendengus jijik. Sorot matanya penuh hinaan. "Apakah kau mengatakan bahwa status orang tuamu lebih tinggi dariku?" Summer menggeleng lugu. "Tidak. Aku tidak suka membanding-bandingkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau kau tidak bisa meremehkan Papa begitu saja." Gloria tertawa kesal. Sambil melipat tangan di depan dada, ia menantang, "Memangnya siapa ayahmu?" "Orang-orang menyebutnya pria nomor satu di L City!" sahut Summer dengan mata berbinar. Semua orang tahu ia merasa bangga karena senyumnya sangat lebar. Sementara itu, mata Gloria menyipit. "Maksudmu, Louis Harper?" Summer mengangguk mantap. "Ya, itulah nama papaku. Apakah kau mengenalnya? Mungkin kalian berteman. Papaku dan suamimu sama-sama memimpin perusahaan besar." Bukannya takut, Gloria malah tertawa datar. "Louis Harper? Yang benar saja? Tuan kepala sekolah, Anda percaya dengan kebohongannya?" "Nyonya, apakah Anda tidak mengikuti berita selama liburan? Tuan Louis Harper memang ayah dari Summer," tutur sang
Summer duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya saling meremas di depan perut. Sekilas, ia tampak bersalah. Namun sebenarnya, ia sedang menahan kesal. Itu adalah hari kedua ia bersekolah. Ia berniat untuk belajar dengan sungguh-sungguh, membuat orang tuanya bangga. Namun ternyata, ia malah terlibat masalah. Saat ia sedang merenung itulah, tiba-tiba, suara berisik datang dari luar. "Di mana anak itu? Mana anak yang sudah berani mengganggu putriku?" Semua orang sontak menoleh ke arah pintu. Beberapa detik kemudian, Gloria Brown masuk dengan raut tak senang. Saat itu pula, tangisan Gigi kembali bergema. "Mama," ia berlari menuju Gloria. Belum sempat ia memeluk sang ibu, kedua lengannya ditahan. "Astaga, Sayang. Apa yang terjadi pada gaunmu?" tanya Gloria dengan mata terpelotot. Gigi meruncingkan telunjuk ke arah Summer. "Dia menumpahkan yogurt di gaunku. Guru-guru sudah berusaha untuk membersihkannya, tapi nodanya tidak mau hilang." Gloria sontak melirik