Tinggal permasalahan terakhir nih, guys. Bagaimana cara kasih tahu Summer kalau Louis adalah ayahnya? Apa yang terjadi kalau dia sudah tahu nanti?
Louis meninggikan alis. "Ada apa dengan Summer?" Sky mengembuskan napas berat. "Kurasa," ia ragu sejenak, "Summer membencimu." Louis terbelalak. Telunjuknya teracung menekan dada. "Summer membenciku? Kenapa kau bisa berkata begitu? Aku justru merasa dia sangat sayang kepadaku. Bukankah dia berharap aku menikahimu supaya dia bisa memanggilku Papa?" Sky meringis. Kedua tangannya saling meremas di depan perut. "Ya, Summer memang berharap begitu. Tapi ...." Sky menggigit bibir. Ia tidak tega menghancurkan harapan Louis yang sudah tumbuh tinggi. "Saat berbicara dengan Kendrick, Summer mengungkapkan sesuatu," tuturnya lirih. Mata Louis terbuka lebih lebar. Keseriusan di wajah Sky telah membuat sarafnya menegang. "Mengungkapkan apa? Apakah Kendrick mencuci otaknya? Tapi Summer anak yang cerdas. Dia tidak mungkin terpengaruh oleh kata-kata orang jahat." "Tidak, Louis. Bukan itu. Kendrick hanya memancing Summer untuk bicara. Dari situlah, Summer mengungkapkan isi hatinya. Te
Semua mata tertuju pada Louis. Mereka penasaran dengan tanggapan pria itu terhadap omongan sang balita, terutama Edmund. Edmund baru saja memberi Louis restu. Siapa sangka, orang lain kini menggantikan posisinya sebagai penghalang, dan itu cucunya sendiri? Namun ternyata, Louis memilih untuk tidak menganggapnya masalah. Ia memaksakan tawa walaupun kesannya tidak natural. "Kenapa ...." Louis nyaris tersedak oleh kekhawatiran. "Kenapa kamu tidak mau turuti saja keinginan Kendrick? Kamu bisa mengakui bahwa aku ayahmu, Summer. Itu lebih aman. Lagi pula, bukankah kau mau aku menikahi ibumu?" "Ya, kamu memang harus menikahi Mama, Paman. Tapi waktu itu, aku ingin membuat Kendrick kesal. Jadi, aku menolak untuk mengakui kalau kamu adalah ayahku. Dengan begitu, aku bisa menuduhnya sebagai ayahku yang tidak bertanggung jawab!" Lidah Louis semakin kelu. "Lalu, kau berhasil membuatnya kesal?" "Ya!" angguk Summer bangga. "Dia bilang dia tidak sudi punya anak sepertiku. Padahal aku in
Sekembalinya ke rumah Sky, Edmund dan Alice terbelalak. Ruang tamu telah penuh dengan potongan kardus berisi pesan-pesan. Sky dan Louis sedang sibuk menghiasinya. "Sky, apa yang sedang kalian lakukan?" selidik Alice, berbisik. Ia tahu bahwa sang cucu masih tertidur. Kalau tidak, tidak mungkin suasana begitu tenang. Sky mengembangkan senyum. "Kami sedang menyiapkan kejutan untuk Summer. Mama dan Papa mau membantu?" Alice duduk di sisi sang putri. "Kejutan apa?" "Kejutan untuk memperkuat ikatan antara Louis dan Summer." Mendengar jawaban tersebut, Edmund melirik Louis. Lengkung bibirnya misterius. "Kau mau memulai pendekatan dengannya?" Louis mengangguk. "Ya," jawabnya singkat. Ia tidak berani menerka apa yang dipikirkan oleh calon mertuanya itu. "Sayangnya, ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu," tutur Edmund dengan nada menguji. "Apakah kau keberatan meninggalkan pekerjaanmu sebentar?" Tatapan Louis langsung tertuju pada sebuah kotak di tangan Edmund. Ia me
Itu adalah gabungan dari dua foto. Foto pertama menunjukkan Sky dan Summer yang sedang duduk di kursi. Mereka menghadap depan, tersenyum ke arah kamera. Di foto kedua, Louis juga sedang duduk. Posisinya agak miring, tetapi matanya tetap tertuju pada kamera. Bibirnya melengkung tipis. Kedua gambar direkatkan pada kertas alas. Posisi Louis berada di samping Summer sehingga mereka bertiga terlihat seperti dalam satu frame. "Apakah Summer yang membuat ini?" tanya Louis sembari mengelus karya seni yang menyentuh hatinya itu. "Ya. Dia membuatnya baru-baru ini. Aku tidak sengaja menemukannya. Karena saat itu aku masih marah padamu, aku menyitanya," jawab Edmund tanpa merasa bersalah. Ia bahkan mengedikkan bahu seolah-olah apa yang ia lakukan merupakan hal yang biasa. Keharuan Louis seketika tertutupi oleh kebingungan. "Lalu, kenapa foto ini bisa ada di sini? Kalau Anda membenci saya, Anda pasti sudah membuangnya." Edmund tersenyum kecut. "Aku tidak tega. Summer tampak sangat
Setelah mengeringkan tangan dan wajah, Summer kembali ke ruang makan. Toby masih duduk manis seolah menunggunya di sana. "Hai, Toby! Apakah kau melihat kertas seperti ini?" Ia tunjukkan kertas hadiahnya tadi. Saat itulah, matanya tak sengaja menangkap sudut kertas yang mencuat dari bawah piring. "Oh? Ketemu! Untung saja aku kembali. Kalau tidak, hadiahku bisa hangus. Apa yang tertulis di sini?" Summer memeriksa tulisan Louis sambil terkikik. Ia gembira karena hadiah lain berhasil ia kantongi. "Apakah kau menemukan kertas ini karena ingin membereskan piring dan gelas kotor? Wah! Ternyata kau bukan hanya petualang cilik, tapi juga anak yang manis. Atas keteladananmu, kau berhak menukar kertas ini dengan makanan apa saja yang kau mau. Louis akan mentraktirmu!" Usai membaca, tawa Summer langsung tertahan. Pundaknya naik menjepit leher. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Tidak menemukan siapa-siapa, ia bergegas membawa piring dan gelasnya ke wastafel dapur. "Aku memang a
Di hadapan Summer, sang kakek dan nenek sedang membungkuk, mengatur kamera. Entah apa yang mereka perdebatkan, padahal kamera sudah berdiri dengan baik di atas tripod. Di sisi kanan dan kirinya, Louis dan Sky duduk dengan senyum lebar. Mereka berdua tidak menyentuh ataupun memeluknya. Akan tetapi, Summer justru merasa sangat hangat. Lalu, di atas kursi mereka, ranting pohon telah digantungi dengan banyak hiasan. Beberapa dari mereka dibiarkan menjuntai seperti tirai. Summer berpikir itu pasti akan terlihat cantik di kamera. Usai mengamati sekeliling dengan mata berkaca-kaca, Summer melepas tawa yang terdengar tak biasa. Ada kesan sedih di antara getarannya, tetapi juga senang dan lega. "Apakah kita akan mengambil foto keluarga?" tanyanya dengan suara melengking yang agak serak. Matanya mulai tampak merah walaupun cahaya terpantul terang dari maniknya. Sambil menahan tekanan dalam dadanya sendiri, Sky mengangguk. "Ya. Paman Louis tidak sengaja menemukan foto keluarga yang
Mendapati ekspresi yang tidak pernah ia lihat dari Louis, Summer menaikkan alis. Kepalanya condong ke kiri. "Apa yang mau kau bahas, Paman? Sepertinya serius sekali. Oh!" Summer meruncingkan telunjuk. "Haruskah aku mengambil kupon dan tiket hadiahku lagi? Aku meninggalkan mereka di kamar." "Tidak," jawab Louis cepat. Ia khawatir jika Summer tidak bisa menerima kenyataan, hadiah-hadiah itu malah akan mendatangkan kekecewaan. "Mari kita berbicara dulu. Setelah itu, baru kita bahas apa saja hadiah yang kau mau." "Oh, oke." Summer kembali duduk manis. Matanya berkedip-kedip menatap Louis. "Jadi, apa yang mau kau bahas, Paman?" Louis menelan ludah. Debar jantungnya telah terasa hingga ke tenggorokan. "Aku ... sebenarnya ...." Suasana hening beberapa saat. Louis tampak kebingungan harus memulai dari mana. Bosan menunggu, Summer meruncingkan telunjuknya lagi. "Selagi Paman merangkai kata-kata, bagaimana kalau aku ke kamar untuk mengambil kertas-kertas hadiahku? Aku tidak akan
"Memangnya kenapa kalau kamu adalah ayahku? Apakah ada masalah dengan itu?" jawab Summer tanpa mengubah ekspresi. Semua orang tersentak. Bahkan kepala Louis sampai terdorong ke belakang. "K-kamu ... tidak mempermasalahkan itu?" Summer berkedip lugu. "Kenapa aku harus mempermasalahkan itu? Bukankah bagus kalau kamu adalah ayahku?" Louis mematung dengan mata terbelalak lebar. Kebingungan masih menahan kedipannya. "B-bukankah kamu bilang kepada Kendrick bahwa kamu sangat marah kepada ayahmu? Kamu ingin menuntut dan menghukumnya karena sudah melalaikan tanggung jawab?" "Ya, memang. Orang yang melalaikan tanggung jawab harus dihukum," angguk Summer mantap. Keheranan orang-orang di sekitarnya semakin pekat. "Bagaimana kalau ternyata ... orang itu aku? Bagaimana kalau aku adalah ayahmu? Kamu tetap akan marah dan mengambil tindakan tegas semacam itu?" Suara Louis semakin tipis dan lirih. Summer mengangguk santai. "Ya. Aku akan marah dan memberimu hukuman berat," jawabnya, tid
"Ya, aku memang senang belajar bersama teman-teman di sekolah. Aku juga suka bertemu guru-guru, makan siang di kantin bersama River, dan bermain di sisa waktu istirahat. Semua itu menyenangkan!" ungkap Summer dengan suara manisnya. "Lalu, kenapa kamu tidak mau terus bersekolah Summer?" selidik Louis, penasaran. Bibir Summer mengerucut. Pundaknya naik lagi menjepit leher. "Karena aku merasa, akan lebih baik kalau aku belajar mandiri saja." "Apakah ini karena Gigi?" tanya Louis, hati-hati. "Tidak, Papa. Aku tidak mungkin membiarkan orang lain memengaruhi keputusanku," jawab Summer mantap. "Lalu kenapa, Sayang? Kenapa kamu merasa lebih baik kalau kamu belajar sendiri?" tanya Sky, tidak sabar. Summer menggigit bibir. Ia agak ragu untuk mengutarakan pemikirannya. "Aku merasa kalau aku akan lebih cepat maju jika belajar mandiri. Meskipun aku sekarang belajar di kelas 2, aku merasa sudah menguasai semua materinya, Mama. Yang kulakukan selama beberapa hari terakhir adalah
"Selamat pagi, semuanya!" sapa Summer saat memasuki ruang makan. Semua yang telah berada di sana sontak menoleh ke arahnya. "Selamat pagi, Summer," sapa mereka ramah. Namun, detik berikutnya, mereka semua mengerjap. Gigi Summer terlihat begitu putih di antara kulit wajahnya yang dipenuhi coretan hitam. "Astaga, Summer! Apa yang terjadi pada wajahmu?" seru Kara spontan. Sambil memeluk sang nenek, Summer terkekeh. "Maaf, Nenek. Aku tidak bermaksud menakutimu. Apakah kau terkejut?" "Tentu saja. Cucuku biasanya sudah bersih dan wangi jam segini. Tapi sekarang, kenapa wajahmu dipenuhi coretan? Apa ini? Cat? Kau habis melukis?" selidik Kara sembari memeriksa noda di pipi sang cucu. "Bukan, Nenek. Kemarin aku mengobrol dengan Kakek Lucas. Dia mengajariku tentang pentingnya ber-kamu-flase saat mengamati hewan-hewan di alam. Caranya adalah dengan menggunakan pakaian berwarna sama dengan lingkungan sekitar, dan mencoret wajah dengan arang. Karena aku tidak punya arang, aku menggun
"Louis, kau dengar itu? Sepertinya, Summer mengetuk pintu. Dia memanggil kita," bisik Sky di sela desah napasnya. Bukannya berhenti untuk menyimak, Louis malah melanjutkan kegiatannya di bawah selimut. "Itu halusinasimu saja, Sayang. Dia tidak mungkin mencari kita sepagi ini. Paling-paling, dia sedang di pekarangan belakang mengintai Papoy," balas Louis dengan suara yang menggelitik telinga. "Louis, aku serius. Coba dengar! Summer memanggil kita," bisik Sky, mulai mengernyitkan wajah. Tak mendapat respons dari suaminya, ia pun mengangkat tangan. Namun, belum sempat ia menyibak selimut yang menutupi mereka, Louis menangkap pergelangan tangannya dan menekannya ke bantal. "Jangan bergerak. Aku sedikit lagi klimaks," pintanya serak. "Tapi—" "Tenang saja. Kalaupun itu Summer, dia tidak akan masuk. Kurasa aku sudah mengunci pintu semalam. Jadi, mari kita lanjutkan. Satu menit saja." Sementara Louis membungkam mulut Sky, di luar pintu, Summer menunggu dengan raut kebing
"Lihatlah putri kita, Louis. Bukankah dia sangat lucu? Dia terlihat begitu kecil dibandingkan anak-anak lain, dan cara duduknya manis sekali," bisik Sky sembari mengintip dari jendela. Louis yang berdiri di sisi Sky pun melebarkan senyum. Matanya juga tertuju pada satu-satunya balita di kelas itu. "Ya, dia sangat menggemaskan. Apakah kamu yang mengajarinya untuk duduk seperti itu?" bisiknya seraya melirik wajah haru sang istri. Sky menggeleng. "Tidak. Tapi Summer memang sering melipat tangan di atas meja kalau sedang menyimak sesuatu. Tidak kusangka dia akan membawa kebiasaannya ke dalam kelas. Oh, lihat! Dia mengangkat tangan." Sky menepuk-nepuk lengan Louis. Pandangan Louis pun kembali ke depan. Menyaksikan bagaimana Summer menjawab pertanyaan guru dan mendapat tepuk tangan dari murid-murid lain, rasa bangga juga terbit dalam hatinya. "Putri kita bukan hanya lucu, tapi juga cerdas. Kamu berhasil mengajarinya. Terima kasih, Sayang," Louis mengecup pelipis sang istri. "Ka
"Sepertinya, bukan hanya Gigi yang perlu meminta maaf kepada Summer di sini, tapi ibunya juga. Bukankah Anda juga sempat menghina putri saya, Nyonya?" Louis menaikkan sebelah alis. Mulut Gloria ternganga. Ia masih kesulitan mengucapkan kata. "Y-ya, saya juga bersalah." Ia menghampiri Summer, membungkuk untuk memeluk tubuh mungilnya. "Tolong maafkan aku, Summer. Aku tidak seharusnya mengajarkan putriku untuk menyudutkanmu. Maaf karena aku telah meremehkanmu." Berbeda dari perlakuannya terhadap Gigi, Summer tidak langsung memaafkan wanita itu. Ia melepaskan diri dari pelukannya. Sambil menjauh sedikit, ia berkacak pinggang. "Apakah Anda sungguh-sungguh menyesal, Nyonya?" tanyanya membuat Gloria tersentak. "T-tentu saja," jawab wanita itu dengan wajah memelas. "Entah kenapa, aku merasa kalau kamu meminta maaf hanya karena takut kepada Papa," tutur Summer sembari memicingkan mata. Mendengar penilaian tersebut, Gloria membeku. Matanya berkedip-kedip, mencari petunjuk.
"Siapa nama Anda?" tanya Louis sembari memicingkan mata. Bibir Gloria bergetar saat menjawabnya, "Gloria Brown." Sambil tersenyum miring, Louis mengangguk-angguk. Tatapannya kemudian bergeser turun. "Dan kamu? Siapa namamu?" tanya Louis dengan sebelah alis naik mendesak dahi. "Georgina Brown. Semua orang biasanya memanggilku Gigi," jawab gadis kecil itu tanpa rasa takut. Ia terlalu bodoh untuk mengerti konsekuensi apa yang sedang menantinya. "Georgina Brown," gumam Louis seraya bergerak maju. Setibanya di hadapan anak itu, ia memiringkan kepala. "Siapa yang mengajarimu untuk berbicara seperti itu?" "Mama yang mengajariku. Mama bilang, semua orang punya status yang berbeda-beda. Aku hanya boleh berteman dengan anak-anak dari level atas." Summer terkesiap. Ia mendongak menatap Sky, berbisik, "Mama, bukankah itu ajaran yang salah?" Sky menempatkan telunjuk di depan mulut. "Sayang, mari kita serahkan hal ini kepada Papa. Saat ini, kita simak saja," bisiknya. "Oh, oke,"
Gloria mendengus jijik. Sorot matanya penuh hinaan. "Apakah kau mengatakan bahwa status orang tuamu lebih tinggi dariku?" Summer menggeleng lugu. "Tidak. Aku tidak suka membanding-bandingkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau kau tidak bisa meremehkan Papa begitu saja." Gloria tertawa kesal. Sambil melipat tangan di depan dada, ia menantang, "Memangnya siapa ayahmu?" "Orang-orang menyebutnya pria nomor satu di L City!" sahut Summer dengan mata berbinar. Semua orang tahu ia merasa bangga karena senyumnya sangat lebar. Sementara itu, mata Gloria menyipit. "Maksudmu, Louis Harper?" Summer mengangguk mantap. "Ya, itulah nama papaku. Apakah kau mengenalnya? Mungkin kalian berteman. Papaku dan suamimu sama-sama memimpin perusahaan besar." Bukannya takut, Gloria malah tertawa datar. "Louis Harper? Yang benar saja? Tuan kepala sekolah, Anda percaya dengan kebohongannya?" "Nyonya, apakah Anda tidak mengikuti berita selama liburan? Tuan Louis Harper memang ayah dari Summer," tutur sang
Summer duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya saling meremas di depan perut. Sekilas, ia tampak bersalah. Namun sebenarnya, ia sedang menahan kesal. Itu adalah hari kedua ia bersekolah. Ia berniat untuk belajar dengan sungguh-sungguh, membuat orang tuanya bangga. Namun ternyata, ia malah terlibat masalah. Saat ia sedang merenung itulah, tiba-tiba, suara berisik datang dari luar. "Di mana anak itu? Mana anak yang sudah berani mengganggu putriku?" Semua orang sontak menoleh ke arah pintu. Beberapa detik kemudian, Gloria Brown masuk dengan raut tak senang. Saat itu pula, tangisan Gigi kembali bergema. "Mama," ia berlari menuju Gloria. Belum sempat ia memeluk sang ibu, kedua lengannya ditahan. "Astaga, Sayang. Apa yang terjadi pada gaunmu?" tanya Gloria dengan mata terpelotot. Gigi meruncingkan telunjuk ke arah Summer. "Dia menumpahkan yogurt di gaunku. Guru-guru sudah berusaha untuk membersihkannya, tapi nodanya tidak mau hilang." Gloria sontak melirik
Bibir Summer menguncup. Sorot matanya tampak bingung. "Kenapa kamu berpikir kalau aku miskin?" "Bajumu jelek. Tasmu juga sepertinya sudah tua. Kamu harus pulang dengan menumpang mobil River karena orang tuamu malu menampakkan diri," terang Gigi dengan nada meremehkan. Summer mendesah berat seperti orang dewasa. "Gigi, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Itu bukan perbuatan baik. Selain itu, kita juga tidak boleh membeda-bedakan teman berdasarkan kekayaan. Mama bilang, yang harus kita lihat dari diri seseorang itu adalah kepribadiannya. Kita seharusnya mencari teman yang baik, bukan teman yang kaya." Gigi memasang raut angkuh. "Kamu berani menasihatiku? Apakah kamu tidak tahu siapa aku?" Summer mengangguk. "Aku tahu. Kamu Gigi. Georgina Brown." "Apakah kamu tahu siapa ayahku?" Gigi menaikkan sebelah alis. "Kalau itu, aku tidak tahu. Haruskah aku berkenalan dengannya?" jawab Summer santai. "Ayahku adalah pemimpin Brown Group! Dia salah satu pengusaha p