Eng ing eng .... Apakah Edmund sudah berubah pikiran? Tunggu bab selanjutnya, ya. Happy weekend, guys! Jangan lupa komen dan kasih gems kalau kalian sayang sama Summer.
Louis mematung dalam dekapan Edmund. Kedua tangannya melayang, tak tahu harus ke mana. Bukankah akan canggung kalau mereka berdua mendadak akrab? Namun, kalau ia tidak membalas pelukan Edmund, sopankah sikapnya? "Terima kasih," bisik Edmund tanpa terduga. Mata Louis semakin lebar dibuatnya. Bahkan Sky dan Freddy ikut terperangah. "T-terima kasih untuk apa, Tuan?" balas Louis seperti orang bodoh. "Terima kasih sudah menyelamatkan cucu dan putriku," ujar Edmund sembari mengembalikan jarak dan menepuk pundak Louis. "Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau kau tidak bertindak. Aku mungkin saja sudah kehilangan dua permata dalam hidupku." Louis tertegun menatap air mata yang menggenang di pelupuk pria paruh baya itu. Ia masih tidak percaya dengan telinganya sendiri. Apakah ia menangkap kata-kata yang tepat? Menerima ucapan terima kasih dari Edmund tidak pernah terbersit dalam benaknya. "Maaf, Tuan. Apakah Anda sungguh-sungguh berterima kasih kepada saya? B
Louis meninggikan alis. "Ada apa dengan Summer?" Sky mengembuskan napas berat. "Kurasa," ia ragu sejenak, "Summer membencimu." Louis terbelalak. Telunjuknya teracung menekan dada. "Summer membenciku? Kenapa kau bisa berkata begitu? Aku justru merasa dia sangat sayang kepadaku. Bukankah dia berharap aku menikahimu supaya dia bisa memanggilku Papa?" Sky meringis. Kedua tangannya saling meremas di depan perut. "Ya, Summer memang berharap begitu. Tapi ...." Sky menggigit bibir. Ia tidak tega menghancurkan harapan Louis yang sudah tumbuh tinggi. "Saat berbicara dengan Kendrick, Summer mengungkapkan sesuatu," tuturnya lirih. Mata Louis terbuka lebih lebar. Keseriusan di wajah Sky telah membuat sarafnya menegang. "Mengungkapkan apa? Apakah Kendrick mencuci otaknya? Tapi Summer anak yang cerdas. Dia tidak mungkin terpengaruh oleh kata-kata orang jahat." "Tidak, Louis. Bukan itu. Kendrick hanya memancing Summer untuk bicara. Dari situlah, Summer mengungkapkan isi hatinya. Te
Semua mata tertuju pada Louis. Mereka penasaran dengan tanggapan pria itu terhadap omongan sang balita, terutama Edmund. Edmund baru saja memberi Louis restu. Siapa sangka, orang lain kini menggantikan posisinya sebagai penghalang, dan itu cucunya sendiri? Namun ternyata, Louis memilih untuk tidak menganggapnya masalah. Ia memaksakan tawa walaupun kesannya tidak natural. "Kenapa ...." Louis nyaris tersedak oleh kekhawatiran. "Kenapa kamu tidak mau turuti saja keinginan Kendrick? Kamu bisa mengakui bahwa aku ayahmu, Summer. Itu lebih aman. Lagi pula, bukankah kau mau aku menikahi ibumu?" "Ya, kamu memang harus menikahi Mama, Paman. Tapi waktu itu, aku ingin membuat Kendrick kesal. Jadi, aku menolak untuk mengakui kalau kamu adalah ayahku. Dengan begitu, aku bisa menuduhnya sebagai ayahku yang tidak bertanggung jawab!" Lidah Louis semakin kelu. "Lalu, kau berhasil membuatnya kesal?" "Ya!" angguk Summer bangga. "Dia bilang dia tidak sudi punya anak sepertiku. Padahal aku in
Sekembalinya ke rumah Sky, Edmund dan Alice terbelalak. Ruang tamu telah penuh dengan potongan kardus berisi pesan-pesan. Sky dan Louis sedang sibuk menghiasinya. "Sky, apa yang sedang kalian lakukan?" selidik Alice, berbisik. Ia tahu bahwa sang cucu masih tertidur. Kalau tidak, tidak mungkin suasana begitu tenang. Sky mengembangkan senyum. "Kami sedang menyiapkan kejutan untuk Summer. Mama dan Papa mau membantu?" Alice duduk di sisi sang putri. "Kejutan apa?" "Kejutan untuk memperkuat ikatan antara Louis dan Summer." Mendengar jawaban tersebut, Edmund melirik Louis. Lengkung bibirnya misterius. "Kau mau memulai pendekatan dengannya?" Louis mengangguk. "Ya," jawabnya singkat. Ia tidak berani menerka apa yang dipikirkan oleh calon mertuanya itu. "Sayangnya, ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu," tutur Edmund dengan nada menguji. "Apakah kau keberatan meninggalkan pekerjaanmu sebentar?" Tatapan Louis langsung tertuju pada sebuah kotak di tangan Edmund. Ia me
Itu adalah gabungan dari dua foto. Foto pertama menunjukkan Sky dan Summer yang sedang duduk di kursi. Mereka menghadap depan, tersenyum ke arah kamera. Di foto kedua, Louis juga sedang duduk. Posisinya agak miring, tetapi matanya tetap tertuju pada kamera. Bibirnya melengkung tipis. Kedua gambar direkatkan pada kertas alas. Posisi Louis berada di samping Summer sehingga mereka bertiga terlihat seperti dalam satu frame. "Apakah Summer yang membuat ini?" tanya Louis sembari mengelus karya seni yang menyentuh hatinya itu. "Ya. Dia membuatnya baru-baru ini. Aku tidak sengaja menemukannya. Karena saat itu aku masih marah padamu, aku menyitanya," jawab Edmund tanpa merasa bersalah. Ia bahkan mengedikkan bahu seolah-olah apa yang ia lakukan merupakan hal yang biasa. Keharuan Louis seketika tertutupi oleh kebingungan. "Lalu, kenapa foto ini bisa ada di sini? Kalau Anda membenci saya, Anda pasti sudah membuangnya." Edmund tersenyum kecut. "Aku tidak tega. Summer tampak sangat
Setelah mengeringkan tangan dan wajah, Summer kembali ke ruang makan. Toby masih duduk manis seolah menunggunya di sana. "Hai, Toby! Apakah kau melihat kertas seperti ini?" Ia tunjukkan kertas hadiahnya tadi. Saat itulah, matanya tak sengaja menangkap sudut kertas yang mencuat dari bawah piring. "Oh? Ketemu! Untung saja aku kembali. Kalau tidak, hadiahku bisa hangus. Apa yang tertulis di sini?" Summer memeriksa tulisan Louis sambil terkikik. Ia gembira karena hadiah lain berhasil ia kantongi. "Apakah kau menemukan kertas ini karena ingin membereskan piring dan gelas kotor? Wah! Ternyata kau bukan hanya petualang cilik, tapi juga anak yang manis. Atas keteladananmu, kau berhak menukar kertas ini dengan makanan apa saja yang kau mau. Louis akan mentraktirmu!" Usai membaca, tawa Summer langsung tertahan. Pundaknya naik menjepit leher. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Tidak menemukan siapa-siapa, ia bergegas membawa piring dan gelasnya ke wastafel dapur. "Aku memang a
Di hadapan Summer, sang kakek dan nenek sedang membungkuk, mengatur kamera. Entah apa yang mereka perdebatkan, padahal kamera sudah berdiri dengan baik di atas tripod. Di sisi kanan dan kirinya, Louis dan Sky duduk dengan senyum lebar. Mereka berdua tidak menyentuh ataupun memeluknya. Akan tetapi, Summer justru merasa sangat hangat. Lalu, di atas kursi mereka, ranting pohon telah digantungi dengan banyak hiasan. Beberapa dari mereka dibiarkan menjuntai seperti tirai. Summer berpikir itu pasti akan terlihat cantik di kamera. Usai mengamati sekeliling dengan mata berkaca-kaca, Summer melepas tawa yang terdengar tak biasa. Ada kesan sedih di antara getarannya, tetapi juga senang dan lega. "Apakah kita akan mengambil foto keluarga?" tanyanya dengan suara melengking yang agak serak. Matanya mulai tampak merah walaupun cahaya terpantul terang dari maniknya. Sambil menahan tekanan dalam dadanya sendiri, Sky mengangguk. "Ya. Paman Louis tidak sengaja menemukan foto keluarga yang
Mendapati ekspresi yang tidak pernah ia lihat dari Louis, Summer menaikkan alis. Kepalanya condong ke kiri. "Apa yang mau kau bahas, Paman? Sepertinya serius sekali. Oh!" Summer meruncingkan telunjuk. "Haruskah aku mengambil kupon dan tiket hadiahku lagi? Aku meninggalkan mereka di kamar." "Tidak," jawab Louis cepat. Ia khawatir jika Summer tidak bisa menerima kenyataan, hadiah-hadiah itu malah akan mendatangkan kekecewaan. "Mari kita berbicara dulu. Setelah itu, baru kita bahas apa saja hadiah yang kau mau." "Oh, oke." Summer kembali duduk manis. Matanya berkedip-kedip menatap Louis. "Jadi, apa yang mau kau bahas, Paman?" Louis menelan ludah. Debar jantungnya telah terasa hingga ke tenggorokan. "Aku ... sebenarnya ...." Suasana hening beberapa saat. Louis tampak kebingungan harus memulai dari mana. Bosan menunggu, Summer meruncingkan telunjuknya lagi. "Selagi Paman merangkai kata-kata, bagaimana kalau aku ke kamar untuk mengambil kertas-kertas hadiahku? Aku tidak akan
Emily hanya bisa mengangguk. Sambil menggenggam tangan Sky, ia menggigit bibir. Summer dan River pun berhenti bercanda. Mereka menghampiri Emily. "Ada apa, Bibi?" tanya mereka kompak. "Dia mengalami kontraksi lagi," sahut Sky pelan. Wajah Summer berubah sendu. Ia berjongkok di dekat kaki Emily. "Apakah ini bisa membuat Bibi lebih baik?" tanyanya seraya memijat. Di sisi Emily yang lain, River melakukan hal yang sama. "Mungkin para bayi merasa gerah akibat senam tadi. Jadi, mereka meronta. Perut Bibi jadi berkontraksi?" "Kalau begitu, Bibi jangan melanjutkan senam lagi," simpul Summer tegas. "Istirahat saja di sini. Anggap kita sedang piknik. Mama, kita membawa bekal, kan? Bagaimana kalau kita membentang karpet dan mulai menata? Begitu Bibi selesai kontraksi, dia bisa menikmati makanan dan minuman yang kita siapkan." Sky mengangguk kecil. "Terima kasih, Sayang. Idemu brilian sekali." "Kalau begitu, River, ayo kita ke mobil!" ajak Summer, penuh semangat. Akan tetapi, River
"Yuck! Itu sangat menjijikkan! Kenapa kalian menginjaknya? Apakah kalian tidak tahu bahwa itu kotoran penguin?" tanya River, tak habis pikir. "Itulah rute yang harus kami lalui kalau mau mengelilingi pulau," Sky mengedikkan bahu. "Kalau kalian berkunjung ke sana nanti, kalian juga akan melewatinya," ujar Louis dengan nada menakut-nakuti. Summer mengerucutkan bibir. "Kalau begini, kita harus menggencarkan kampanye perubahan iklim. Saat kita ke sana nanti, kuharap es dan salju sudah menebal lagi. Dengan begitu, para penguin punya lebih banyak tempat untuk membuang kotoran. Tidak perlu menumpuk di satu pulau!" "Apakah tidak ada rute yang aman dari kotoran? Itu sangat licin dan lengket. Bisa berbahaya kalau kita terpeleset di sana. Aku tidak bisa membayangkan betapa kotor dan bau baju kita," gumam River, was-was. "Tenang, River," Summer memegangi pundaknya lagi. "Kita bisa membeli sepatu roda dan berlatih keseimbangan setelah ini. Jadi, begitu kita ke sana nanti, kita tidak ak
Summer mengamati oleh-oleh yang ia dapat selama beberapa saat. Begitu ia selesai, ia langsung berlari menuju Sky yang kebetulan baru kembali dari membagikan hadiah. "Mama, terima kasih banyak! Aku suka semua barang yang Mama beli!" serunya seraya memberikan pelukan hangat. River mengangguk sepakat. "Ya, terima kasih banyak, Nyonya Harper. Oleh-oleh ini sangat keren! Terima kasih juga, Paman Louis." Dari sofanya, Louis terkekeh. "Sama-sama, River." Sedetik kemudian, Summer berlari dan melompat ke pangkuan sang ayah. Louis dengan sigap menangkapnya. "Terima kasih, Papa! Aku tahu, Papa pasti membantu Mama memilih barang-barangnya," ujar Summer sembari menempelkan pipinya di pundak sang ayah. "Ya, beberapa barang itu adalah pilihan Papa. Mana yang paling kamu suka?" Bibir Summer mengerucut. Telunjuknya mulai mengetuk dagu. "Itu pertanyaan sulit. Tapi kalau harus memilih, kalender itu yang paling berguna bagiku. Aku bisa memakainya untuk menentukan jadwal bersama River.
"Ya, kau sebaiknya fokus saja dengan kegiatan di penjara ini, Kendrick. Siapa tahu, kau bisa mendapat keringanan karena perilaku baik," Summer mengedikkan bahu santai. Akan tetapi, Kendrick malah semakin menggila. Ia mulai mengguncang pintu, memohon kepada para petugas untuk membukanya. Saat Orion mendekat, ia berteriak ketakutan. "Tidak! Menjauhlah dariku! Aku masih mau hidup! Jangan kau apa-apakan kepalaku!" Tiba-tiba, bunyi aneh terdengar dari pantat Kendrick. Bau busuk pun menyebar. Summer dan River cepat-cepat memencet hidung mereka. "Uuuh, Kendrik, kau jorok sekali!" tutur Summer, meledek. "Cepat sana ke kamar mandi! Dan jangan lupa dengan chipmu!" River terkekeh usil. "Dia tidak perlu membawanya, River. Chip ini yang akan datang sendiri kepadanya. Maksudku, petugas kepolisian yang akan memasukkan chip ke dalam otaknya!" Membayangkan kepalanya dibelah, Kendrick terkesiap. Mulutnya mulai bergetar. Saat pintu besi dibuka, lututnya ikut gemetar. Ia mencoba untuk melari
Khawatir sandiwaranya terbongkar, Summer cepat-cepat mengobrol dengan River. Ia bertanya tentang penilaiannya terhadap roti lapis itu dan apa yang perlu mereka perbaiki ke depannya. Setelah Kendrick menghabiskan makanan dan minumannya, barulah ia meraih kotak besar di atas meja. "Apakah kau sudah kenyang?" tanya Summer yang kini berlutut di atas kursi. Kalau tidak, kotak besar itu pasti sudah menutupi wajahnya dari Kendrick. Narapidana itu mendengus. "Apa pedulimu?" "Apakah kau lupa? Aku sudah menjawab pertanyaan itu. Berapa kali pun kau bertanya, jawabanku akan tetap sama. Aku mengkhawatirkan kondisimu karena keluargakulah yang memasukkanmu ke dalam penjara itu," Summer menunjuk pintu besi yang dijaga oleh dua orang petugas kepolisian. Kendrick memutar bola mata. "Jangan berpura-pura peduli padaku. Aku tahu, kau dan orang tua berengsekmu itu berpesta setelah kalian melemparku ke tempat terkutuk ini." Summer terkesiap. Mata bulatnya berkilat oleh keterkejutan. "Tolong perhat
"Tolong jangan disebut. Itu berbahaya!" ujar Summer lantang. River menyingkirkan tangan Summer dari mulutnya. "Kenapa?" "Pokoknya, itu berbahaya. Mari kita masukkan itu sebagai kata terlarang. Jangan membahasnya lagi sampai kita dewasa," tutur Summer dengan penuh keseriusan. River pun menghela napas kesal. Namun, melihat ketegasan di wajah Summer, ia akhirnya mengalah. "Baiklah, aku akan melupakannya. Anggap itu tidak pernah kudengar," ia memutar telinga seolah sedang memutar pita kaset ke belakang. Louis akhirnya bisa kembali bernapas lega. Sky terkekeh melihatnya mengelus dada. Setelah itu, perbincangan berlangsung normal. Tidak ada hal aneh lagi yang mereka bahas. Mereka hanya bertukar kabar. Saat perbincangan mereka berakhir, Summer memekik gembira, "Oh, aku sungguh tidak sabar ingin menyambut Papa dan Mama pulang! Mereka pasti akan membawa banyak cerita!" "Ya, aku juga. Aku tidak sabar ingin melihat oleh-oleh apa yang mereka bawa dari Antartika!" sahut River, tak
Sang kapten tersenyum simpul. "Dia mengaku bernama Summer." Louis dan Sky terbelalak. "Summer?" Lengkung bibir sang kapten melebar. "Ya. Summer Harper. Awalnya, saya berpikir bahwa itu hanyalah panggilan iseng. Tapi setelah mendengar caranya berbicara dan mengetahui namanya, saya percaya bahwa situasinya serius. Saya sarankan Anda untuk segera menghubunginya. Dia sangat resah." Sky mengangguk cepat. Di sisinya, Louis berkata, "Terima kasih, Kapten Alvarez. Kami akan segera menghubungi putri kami." Seperginya sang kapten, Sky melakukan panggilan video. Begitu Summer menerimanya, suara manisnya langsung bergema, "Mama, kenapa baru meneleponku sekarang? Ke mana saja dari tadi? Apakah Angelica mengganggu kalian lagi?" Melihat wajah cemberut sang putri, Sky dan Louis tertawa lirih. Mata mereka berkaca-kaca, terlapisi oleh keharuan sekaligus rasa bangga. "Maaf, Sayang. Mama dan Papa ada urusan mendesak. Kami terpaksa menghidupkan mode pesawat sebentar," timpal Sky, agak serak. "A
Pablo kembali tertawa. Sambil menggaruk alis, ia bergumam lirih, "Mengapa orang kaya suka sekali semena-mena?" Detik berikutnya, ia menatap Louis dengan kesan meremehkan. "Anda pikir dengan kekayaan yang Anda miliki, Anda bisa bertindak sesuka hati di sini? Maaf, Tuan Harper. Ini bukan L City. Di sini, Kapten Alvarez-lah yang memegang kendali. Dan lewat saya, beliau sudah menyampaikan perintah. Tahan Louis Harper dan sang istri. Karena itu ...." Pablo melihat rekan-rekannya dan menggerakkan kepala sekali. Para petugas mendekati Louis dan Sky lagi. Secepat kilat, Louis menarik Sky ke balik punggungnya. "Siapa yang berani menyentuh istriku, akan kupastikan dia tidak bisa berjalan lagi!" hardiknya, mengancam. Para petugas seketika menahan langkah. Louis pun menambahkan, "Daripada kalian bersikeras ingin menangkap kami, kalian lebih baik menghubungi kapten kalian." "Untuk apa?" sela Pablo dengan nada menjengkelkan. "Untuk mengulur waktu? Maaf, Tuan Harper. Kami sudah menghabi
Draco menggertakkan geraham. Ia ingin sekali menghajar Louis. Saat itulah, Sky berbisik, "Apakah Pablo, si petugas keamanan itu? Dia yang membantu kau dan Angelica melancarkan misi untuk menggangguku dan Louis?" Draco tersentak. Mulutnya tanpa sadar menimpali, "Dari mana kau tahu kalau itu Pablo?" Sky tersenyum lebar. Ia sumpal mulut Draco dengan kain. "Terima kasih atas kejujuranmu." Kemudian, ia bangkit berdiri. Sementara Louis menahan Draco agar tidak macam-macam, Sky berhenti merekam suara di ponselnya. Saat ia memutarnya ulang, pengakuan Draco terekam jelas. "Emmhh .... Emm emmmh ...." Draco terus meronta-ronta. Louis yang masih berlutut di dekatnya pun berdesus. Telunjuknya teracung meminta waktu. "Apa yang kau ributkan?" gerutu Louis. "Kau takut Pablo membunuhmu karena gagal menjaga rahasianya? Tenang. Kami akan menangkapnya sebelum dia bisa membunuhmu." Setelah menepuk pipi Draco dengan kasar dua kali, Louis bangkit berdiri. Ia menghampiri Sky. Sang istr