Guys, sorry baru update. Hari ini panas banget. Rekor terlama Pixie nulis satu bab sampai 10 jam. Tolong kirimin Pixie kekuatan biar bisa lancar lagi ngetiknya. Dan semoga besok hujan biar adem. Hehehe .... Jaga kesehatan selalu, guys.
Sementara tim darurat menyebar, Louis mulai menerbangkan drone-nya. Dengan bantuan night vision, ia bisa menghindari pohon-pohon dengan mudah. Selang beberapa saat, tidak ada lagi pohon yang terlihat dalam jarak dekat. "Kurasa kita sudah terbang di atas jurang," gumam Louis samar. "Kira-kira, di mana Kendrick membangun tempat rahasia itu?" Louis mulai mencari cahaya. Ia periksa berbagai sudut. Tidak menemukan apa-apa, ia turunkan drone-nya beberapa meter. "Tunggu. Apa itu?" Louis mendekatkan kepalanya ke monitor. Beberapa titik cahaya terlihat di sisi tebing yang agak jauh. Tanpa membuang waktu, Louis menerbangkan drone-nya ke sana. Begitu dronenya tiba, ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya bersamaan dengan tawa. Ada beberapa jendela di dinding tebing tersebut. Salah satunya memiliki gambar matahari dan awan-awan. "Ketemu," gumam Louis lega. Omega pun mendekat. Ia amati apa yang ada di layar. "Wah," desahnya takjub. "Apakah itu langit di musim panas
"Eagle? Jaguar? Apa yang terjadi di dalam sana?" tanya seseorang di sela suara ketukan pintu. Sky dan Summer bertukar pandang. Mata mereka sama-sama lebar. Alis mereka melengkung tinggi. "Mama, gawat! Kita terlambat keluar. Tuan Jahat yang lain sudah keburu datang," bisik Summer, panik. Sky mengembuskan napas cepat. Saat ia hendak menimpali, si Sangar menginterupsi dengan bunyi aneh, "Hmmph hmmph hmmph!" Merasa risih, Summer berkacak pinggang. "Kamu ini berisik sekali! Apakah kamu tidak mendengar kalau aku dan Mama sedang berbicara? Memotong pembicaraan orang lain itu tidak sopan," omelnya. Akan tetapi, si Sangar malah semakin berisik. Merasa kesal, Summer mengentakkan kaki. "Kuingatkan sekali lagi. Diam!" "Hmmmph hmmmph ...." Summer mendengus. Ia dekati pria yang sedang meronta-ronta itu. "Kubilang diam!" Ia layangkan pukulan keras ke bagian belakang kepala sang pria. Tanpa terduga, si Sangar langsung tergeletak di lantai. Tidak ada bunyi mengganggu yang keluar dari mu
"Berjalanlah satu langkah lagi. Aku tidak akan segan melubangi kepala kalian," ancam Kendrick dengan suara menggelegar. Summer tidak berani lagi macam-macam. Ia sadar, apa yang diucapkan Kendrick sudah bukan lagi gertakan, melainkan ancaman. Dengan gerakan yang sangat lambat, ia menoleh kepada sang ibu. Suara kecilnya berbisik, "Mama, kita harus bagaimana?" Sky meringis. Ia sendiri bingung dengan apa yang harus mereka lakukan. "Sayang, jangan takut. Sewaktu Mama seusiamu saja, Mama sudah berhasil mengalahkan para pemburu liar. Sekarang, Mama sudah jauh lebih tua, dan ada kamu bersama Mama. Bersama-sama, kita pasti bisa mengalahkan Kendrick." "Oke," jawab Summer ragu, "tapi bagaimana?" Sky menggigit bibir. Selang perenungan kilat, ia kembali berbisik, "Mama akan berbalik menghadapnya. Tugasmu adalah bersembunyi di belakang Mama dengan gerakan yang sangat lambat. Mengerti?" "Mengerti, Mama." Summer pun memperhatikan sang ibu. Ia berniat untuk mengikuti kecepatannya.
Summer menautkan alis. Sambil berpikir, ia mendongak ke arah Sky. Sang ibu memberinya petunjuk lewat gelengan kepala. Melihat itu, Kendrick buru-buru bersuara, "Bagaimana? Kau masih mau hidup, kan? Kalau kau mau menuruti perkataanku, aku tidak akan melemparmu ke jurang." Summer menatap pria itu lagi. Bibirnya menguncup, bingung harus menjawab apa. "Memangnya," ia ragu sesaat, "kau mau aku melakukan apa?" Kendrick menggerakkan kepala, mengisyaratkan Summer untuk datang ke sisinya. "Kemarilah. Aku akan membisikkannya kepadamu." Kerutan di wajah Summer semakin banyak. Selang perenungan singkat, ia menggeleng lambat. "Tidak mau. Kau pasti berencana untuk menipuku. Begitu aku menghampirimu, kau bisa saja menembakku," tolak balita itu tegas. "Aku masih membutuhkanmu. Mana mungkin aku membunuhmu?" Kendrick menggerakkan kepalanya lagi. "Kemarilah." "Kalau begitu, jatuhkan senapanmu ke lantai, lalu tendang agak jauh. Hanya dengan begitu aku bisa percaya kalau kau tidak aka
"Oh, tidak ...." Sky membungkuk, memeriksa putrinya. Tangannya memegang pundak sang balita dengan penuh kecemasan "Sayang, di mana yang sakit? Di mana?" Sky meneliti tubuh Summer dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sambil mengerutkan alis, Summer mencebik. Kedua tangan mungilnya masih memeluk senapan yang berhasil ia rebut tadi. "Aku baik-baik saja, Mama. Peluru itu tidak mengenaiku," gelengnya lambat. "Kamu yakin? Coba Mama periksa punggungmu." Tepat ketika Sky hendak memutar badan sang putri, Kendrick mengerang, "Arrgh! Kenapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Tahu begini, aku seharusnya membunuh kalian sejak awal!" Sky dan Summer kompak menoleh. Melihat Kendrick meringis sembari mengacungkan pistol lagi, mata mereka terbelalak. Sadar bahwa mereka tidak bisa ke mana-mana, Sky pun memeluk Summer dan me-reload pistolnya. Belum sempat ia menarik pelatuk, suara tembakan kembali terdengar. Peluru berdesing dari belakang, melesat menembus pundak sang pria. "Aaa
Louis tersenyum memperhatikan balita yang tertidur di pangkuannya. Sesekali, tangannya mengelus wajah bulat yang menggemaskan itu. Sesekali, bibirnya turun mengecup hidung mungil yang manis itu. "Summer pasti sangat lelah. Lihatlah," Louis menyentuh dagu sang balita. Matanya melirik wanita yang duduk di sampingnya. "Mulutnya terbuka, persis denganmu kalau sedang kelelahan." Sky tersenyum malu-malu. "Ya, dalam beberapa hal, Summer memang mirip denganku." "Kurasa bukan beberapa saja, tapi banyak hal. Mungkin karena selama ini, dia tumbuh bersamamu." Tiba-tiba, tatapan Louis berubah sendu. Sambil tersenyum kecut, ia meraih jemari Sky. "Aku tahu, ayahmu masih belum merestui hubungan kita. Tapi, setelah apa yang baru saja terjadi, aku semakin sadar bahwa aku tidak bisa hidup tanpa dirimu dan Summer. Karena itu ...." Louis menarik napas dalam-dalam. "Tolong bersabarlah sebentar. Aku akan mencari cara untuk meluluhkan hati ayahmu. Setelah aku berhasil melakukan itu, mari hidup b
Louis mematung dalam dekapan Edmund. Kedua tangannya melayang, tak tahu harus ke mana. Bukankah akan canggung kalau mereka berdua mendadak akrab? Namun, kalau ia tidak membalas pelukan Edmund, sopankah sikapnya? "Terima kasih," bisik Edmund tanpa terduga. Mata Louis semakin lebar dibuatnya. Bahkan Sky dan Freddy ikut terperangah. "T-terima kasih untuk apa, Tuan?" balas Louis seperti orang bodoh. "Terima kasih sudah menyelamatkan cucu dan putriku," ujar Edmund sembari mengembalikan jarak dan menepuk pundak Louis. "Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau kau tidak bertindak. Aku mungkin saja sudah kehilangan dua permata dalam hidupku." Louis tertegun menatap air mata yang menggenang di pelupuk pria paruh baya itu. Ia masih tidak percaya dengan telinganya sendiri. Apakah ia menangkap kata-kata yang tepat? Menerima ucapan terima kasih dari Edmund tidak pernah terbersit dalam benaknya. "Maaf, Tuan. Apakah Anda sungguh-sungguh berterima kasih kepada saya? B
Louis meninggikan alis. "Ada apa dengan Summer?" Sky mengembuskan napas berat. "Kurasa," ia ragu sejenak, "Summer membencimu." Louis terbelalak. Telunjuknya teracung menekan dada. "Summer membenciku? Kenapa kau bisa berkata begitu? Aku justru merasa dia sangat sayang kepadaku. Bukankah dia berharap aku menikahimu supaya dia bisa memanggilku Papa?" Sky meringis. Kedua tangannya saling meremas di depan perut. "Ya, Summer memang berharap begitu. Tapi ...." Sky menggigit bibir. Ia tidak tega menghancurkan harapan Louis yang sudah tumbuh tinggi. "Saat berbicara dengan Kendrick, Summer mengungkapkan sesuatu," tuturnya lirih. Mata Louis terbuka lebih lebar. Keseriusan di wajah Sky telah membuat sarafnya menegang. "Mengungkapkan apa? Apakah Kendrick mencuci otaknya? Tapi Summer anak yang cerdas. Dia tidak mungkin terpengaruh oleh kata-kata orang jahat." "Tidak, Louis. Bukan itu. Kendrick hanya memancing Summer untuk bicara. Dari situlah, Summer mengungkapkan isi hatinya. Te
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,
"Paman Brandon dan Bibi Briony kan sudah dewasa. Kalian sama-sama belum mempunyai pasangan. Bukankah tidak apa-apa kalau kalian berdua berciuman?" tanya Summer sambil menahan tawa. Meski demikian, kegelian tetap lolos dari mulutnya.Mendengar pernyataan semacam itu, Briony menghela napas tak percaya. "Summer, apakah kau lupa berapa umurmu? Kamu itu masih kecil. Belum saatnya kamu membicarakan tentang pasangan dan ciuman!""Apa masalahnya, Bibi? Bukan aku yang akan berciuman, tapi Bibi dan Paman Brandon!"Pipi Briony semakin memanas. "Kami tidak akan berciuman, Summer. Kami hanya berteman!" tegasnya, kesal.Sementara itu, Brandon melirik River. Ia merasa ulah keponakannya itu sudah melewati batas. "River, apakah ini idemu? Kau mengajari Summer hal yang tidak pantas lagi?" "Tidak, Paman. Bukan aku! Itu ide Summer!" Sambil tertawa, Summer mengaku. "Tolong jangan memarahi River, Paman. Ini memang ideku. Aku sedang bereksperimen tentang cinta. Aku ingin membuktikan apakah dua orang yang
"Wow! Eksperimen kalian memang keren! Selamat, Summer, River. Kalian berhasil melakukannya dengan benar. Menyusun stik es krim agar reaksi berantainya tidak putus bukanlah hal yang mudah," puji Brandon, membuat mata para bocah berbinar-binar. "Paman benar! Susunan stiknya memang rumit dan sulit untuk dilakukan!" seru River sambil mengangguk yakin. "Untung saja kerja sama kami baik. Eksperimen terselesaikan dengan sempurna!" lanjut Summer bangga. "Omong-omong, Paman, Bibi, apakah kalian punya waktu untuk kami? Masih ada satu eksperimen yang perlu kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukannya berdua." Brandon dan Briony mengangkat alis. "Eksperimen apa?" tanya mereka bersamaan. Summer dan River saling lirik dan bertukar senyum. Selang beberapa saat, Brandon dan Briony telah berdiri di tengah pekarangan. Mereka menghadap satu sama lain dengan jarak sekitar 10 meter. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung dari seutas tali. "Hei, Summer, apakah tali itu tidak kepanjanga
Selama beberapa saat, Summer membiarkan River mengamati hasil eksperimennya. Setiap bocah laki-laki itu berdecak kagum, hati Summer berbunga-bunga. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil membuat percobaan yang mengagumkan. "Wow, apakah ini kertas daur ulang?" River menyentuhkan telunjuk mungilnya pada sebuah kertas tebal dengan permukaan tak rata dan warna yang agak kusam. Summer mengangguk mantap. "Ya, itu adalah percobaan ketigaku, tapi hasilnya belum memuaskan. Aku akan mencoba untuk membuatnya lagi sampai hasilnya sebagus kertas biasa." "Apakah kalau sudah berhasil, kau mau menjualnya?" Bibir Summer mengerucut. "Entahlah, aku belum yakin tentang itu. Mungkin, aku akan menggunakannya untuk mencetak buku-bukuku terlebih dahulu. Setelah itu, baru aku akan memperluas penggunaannya. Aku berharap, dengan adanya kertas daur ulang ini, penebangan pohon bisa berkurang. Orang-orang tidak perlu menggunakan kertas baru. Kertas-kertas lama juga bisa." River men
Tiba-tiba, Summer dan River melangkah mundur. Namun, setelah hitungan ketiga, mereka malah berlari maju. Mereka tanpa ragu menabrak Brandon dan Briony. Saat mereka terpental dan jatuh ke lantai, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. "Summer, kamu benar! Kita terpental karena gaya dorong yang kita berikan kembali kepada kita!" ujar River seraya mengatur napas. "Itulah Hukum Newton ke-3. Aksi sama dengan reaksi! Sekarang, bagaimana kalau kita beralih ke agenda selanjutnya? Ayo ke ruang eksperimen dan memulai eksperimen yang sesungguhnya!" "Ayo!" Kedua bocah itu bergegas bangkit dan berlari ke pekarangan barat. Melihat kecepatan mereka, Brandon dan Briony hanya bisa berkedip-kedip dengan mulut ternganga. "Astaga .... Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka mengira kita ini benda mati? Mereka bahkan tidak sempat meminta maaf sebelum pergi," desah Briony, tak habis pikir. Ia tidak sadar jika tubuhnya masih menempel pada Brandon. Sambil menghela napas, Brandon mengusi
"Sampai jumpa, Mama, Papa! Semoga perjalanan kalian lancar! Bersenang-senanglah bersama penguin di Kutub Selatan!" ujar Summer sembari melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Senyumnya semringah, kakinya sesekali melompat. Louis dan Sky balas melambai dari jendela mobil mereka. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jangan lupa pesan Mama! Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama Mama dan Papa pergi, oke?" pesan Sky dengan mata berkaca-kaca. "Tenang, Mama. Aku ini anak baik. Aku tidak mungkin membuat masalah. Mama dan Papa fokus pada bulan madu saja!" angguk Summer sambil berkacak pinggang. Dari sisi Sky, Louis menunjuk sepupunya. "Briony, tolong awasi Summer dengan baik. Kami percayakan dia kepadamu," tuturnya serius. "Kurasa tidak ada yang perlu kuawasi, Louis. Putrimu adalah anak yang cerdas dan manis. Lagi pula, bukan hanya aku orang dewasa yang ada di rumah ini," celetuk Briony ringan. "Ya, ada Kakek, Nenek, Bibi Emily, Paman Cayden, Paman Russell, dan Paman Brand
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya