Arjani menghela napas berat, pria di depannya benar-benar tidak mengingat apa pun. Kini, mereka sudah kembali ke tenda pengungsian. Attara hanya menatap kosong ke depan, sesekali membuka mulutnya ketika arjani menyodorkan sesendok bubur untuknya.
"Dia mengalami amnesia sementara karena benturan di kepalanya, amnesia ini bisa sembuh sewaktu-waktu dan tidak permanen. Pasien bisa disembuhkan dengan terapi dan bantuan keluarga."
Sederet kalimat dari dokter yang menangani Attara tadi, kembali merangsek otak Arjani, sekaligus mendorong air matanya untuk ikut jatuh.
"Kenapa kamu menangis?" pertanyaan dari suara bas itu membuat Arjani gelagapan, gegas ia menyusut air matanya seraya memamerkan senyuman lebar. Dia menggeleng, lalu kembali menyuapi Attara.
Namun, kali ini pria itu menolak, ia menunjuk botol air di samping Arjani. Setiap gerakan Attara, tidak pernah luput dari tatapan manik cokelat terang milik Arjani, ketulusan terpancar jelas dari sana.
"Kamu siapa?" Attara mengulang pertanyaan saat di rumah sakit tadi, pertanyaan yang belum sempat Arjani jawab.
Senyuman getir menghiasi wajah Arjani, sebisa mungkin ia menahan air matanya. Menoleh, ia mengulurkan tangan pada Attara untuk berkenalan. "Arjani Mason, kamu bisa memanggilku Arja," jelasnya. Mengulang berkenalan seperti ini, membuat Arjani dejavu dengan ingatannya semasa SMA.
"Lalu, namaku adalah Attara?" tanya pria itu lagi, memastikan namanya yang ia lupa sendiri. Tadi saat di rumah sakit, Arjani memang sempat mengingatkan Attara hanya sampai pada identitas pria itu sendiri.
Arjani mengangguk membenarkan. "Attara Behzad. Usiamu 29 tahun, dan kamu seorang ayah dari gadis kecil yang sangat menggemaskan di ujung sana," tambah Arjani, telunjuknya mengarah ke ujung tenda. Di sana, Chika tengah menangis di atas pangkuan Reyma.
Sejak mendapati kenyataan ayahnya tidak bisa lagi mengingat dirinya, Chika menangis hebat. Bahkan sampai sekarang, gadis cilik itu masih tidak mau mendekati sang ayah karena terlanjur kecewa. Dengan melihat Chika saja, sudah mampu membuat Attara meringis pelan, kepalanya selalu menjadi titik paling sakit saat menyerap informasi baru.
Melihat hal tersebut, Arjani hanya bisa membantu menenangkan dengan menarik pelan tangan Attara yang berusaha memukul kepalanya sendiri. Pria itu tentu tersiksa, karena kehilangan sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan.
"Bersandarlah," titah Arjani, membantu Attara untuk bersandar. Attara menurut saja, dia terlihat lelah dengan semua usaha beratnya hari ini untuk mengingat semua yang telah ia lupakan.
"Jangan memaksa dirimu untuk mengingat semuanya, ini memang buruk. Akan tetapi, ini tidak seburuk di mana kamu tidak memiliki harapan lagi. Harapan untuk mengingat semuanya masih luas, pelan-pelan saja," nasihat Arjani seraya memamerkan senyumannya.
"Apa kamu mengenalku sebelumnya? Kamu menatapku berbeda dari wanita itu." telunjuk Attara mengarah pada Reyma ia membandingkan cara Arjani dan Reyma meresponnya yang berbeda.
Mendadak ada segumpal duri yang terasa tertelan begitu saja di kerongkongan Arjani, pertanyaan Attara berhasil menohoknya. Bagaimana ia akan menjelaskan semuanya? Selain percuma, rasa-rasanya sangat tidak etis untuk membahas semuanya di sini.
"Kamu sudah tidak mau memakan ini lagi?" tanya Arjani, mengalihkan topik. Attara menjawab hanya dengan gelengan kepala, dan Arjani gegas berdiri dari sana sebelum Attra kembali menanyakan hal tadi.
"Tunggu." Suara Attara menahan Arjani, sepertinya Arjani memang tidak akan pernah bisa lari dari rasa penasaran seorang Attara yang amnesia. "Kamu melupakan sesuatu," lanjutnya.
Dengan berat hati, Arjani berbalik seraya hati kecilnya berharap Attara tidak menanyakan hal yang sama lagi. Namun, harapan Arjani harus kandas begitu saja saat Attara berkata, "Kamu belum menjawab pertanyaanku. Apakah kamu mengenalku sebelumnya?"
Arjani mematung, otaknya seperti berhenti bekerja seketika. Tatapannya berkeliaran menghindari tatapan Attara, yang seperti hendak membunuhnya saat ini juga.
"Kamu mengetahui namaku, tetapi kamu seperti berat sekali menjawab ini." Lagi, ucapan Attara selalu mampu menampar Arjani untuk kembali dari dunia lamunannya. Ah, ayolah, tidakkah pria itu mengerti jika pertanyaan yang menurut dia simpel, sangatlah sulit untuk Arjani.
Setelah mengembuskan napas berat, Arjani memberanikan diri balas menatap Attara. Kepalanya menggeleng, lalu bibirnya berkata, "Tidak--"
Suara Arjani tercekat, kebohongan yang ia ungkapkan sama beratnya dengan keputusan untuk membohongi Attara. "Kita tidak saling mengenal," lanjutnya, diiringi senyuman kaku.
Namun, sepertinya gelagat Arjani yang tidak terlalu mahir dalam berbohong, dapat ditangkap oleh Attara. Mata pria itu memicing, sangsi dengan pengakuan yang dilontarkan Arjani.
"Kamu tidak membohongiku?" Attara bertanya sangsi, dan untuk kedua kalinya ia harus mendapatkan anggukan kepala dari Arjani.
"Tidak," tegas gadis berusia 28 tahun tersebut.
Setelah merasa obrolan mereka selesai, Arjani gegas meninggalkan Attara. Ia menyusul Reyma yang keluar dari tenda raksasa ini, dengan membawa Chika dalam gendongan. Arjani menyusul ke tenda khusus relawan, di sana Reyma sudah menunggunya.
Tatapan Arjani jatuh pada gadis kecil yang tidur di atas pembaringan, matanya masih basah dan sembab karena terlalu banyak menangis. Wajar saja, di usianya yang masih dini, dan kondisi sekitar yang memprihatinkan, Chika pastinya dilanda ketakutan dan trauma yang luar biasa.
"Kamu gila?" pekik Reyma tertahan, setelah ia membiarkan Arjani duduk dahulu di dekatnya.
"Untuk apa kamu membohonginya, Arja? Kalian saling mengenal, kenapa kamu tidak jujur saja begitu--"
"Rey, dia sudah menikah. Lambat laun ingatannya akan kembali, istrinya akan kembali juga dan aku pun akan pulang ke Jakarta karena ini bukan tempat kita. Ini hanya sementara, dan aku tidak mau dia mendapatkan ingatannya selama aku di sini. Dalam ingatan aslinya, dia mengenal Arjani sebagai gadis yang pernah menyukainya dan dia membencinya, Rey!"
Arjani menutup mata, berusaha mengatur degup jantung dan oktaf suaranya yang sempat meninggi. Ia menghela napas, kembali menatap Reyma. "Ini hanya sementara, jika nanti dia sudah mendapatkan ingatannya, aku tidak akan pernah bisa berada di sampingnya, Rey. Mengertilah," tandasnya berusaha memberikan pemahaman atas keputusannya membohongi Attara tadi.
Reyma terlihat berpikir, ia juga terlihat berat memutuskan apakah dirinya harus pro atau kontra dengan keputusan Arjani. Di saat Reyma sendiri ingin Arjani dan Attara berbaikan dengan cara yang benar, bukan berjalan di atas hal semu karena kebohongan seperti ini.
Tatapan Reyma jatuh pada tangannya yang mulai digenggam oleh Arjani, ia menatap sahabatnya yang menyorot sendu. Pada akhirnya, Reyma hanya bisa mengangguk mendukung Arjani.
"Baiklah, ini hanya sementara." Mendengar ucapan Reyma, Arjani menerbitkan senyuman lebarnya. "Semoga," harap Reyma lagi, seperti tidak yakin jika semua kebetulan ini hanya sementara.
"Kamu ingin tetap di sini? Jika dia bangun, dia akan menanyakanmu habis-habisan di mana bundanya." Reyma menatap Chika yang tertidur pulas, bergantian dengan wajah Arjani yang melukis senyum hanya karena melihat Chika.
"Bundanya belum ditemukan?" Bukannya menjawab, Arjani justru bertanya balik.
Arjani beralih dari wajah Chika ke arah sahabatnya, karena pertanyaan tadi yang tidak kunjung mendapat jawaban. Reyma menggeleng pelan.
"Sepertinya bundanya berada dekat dengan pusat tsunami sampai susah sekali dicari, sedang Attara saat kejadian berada di kota dan berniat menjemput istrinya ketika gempa terjadi. Aku tahu dari orang-orang yang mengenal Attara di tenda tadi," jelas Reyma.
"Ini akan sangat menyusahkan, karena Attara masih belum mampu mendapatkan ingatannya." Arjani menyahuti, yang langsung ditanggapi anggukan oleh Reyma.
"Itu masalahnya."
Seminggu sudah Arjani di sini, ia menjadi dekat dengan Chika. Wajar saja, karena gadis cilik itu setiap malamnya selalu tidur di tenda Arjani. Dan seminggu sudah, tidak ada berita terbaru mengenai Ayesha. Wanita itu seakan hilang begitu saja bersamaan dengan amukan alam kemarin.Seperti rutinitas barunya di sini setiap pagi, Arjani aka melihat keadaan Attara lebih dahulu sebelum bergabung membantu yang lain. Namun, hari ini ada yang berbeda yang ditemukan oleh Arjani. Ada sepasang suami istri berusia paruh baya, yang duduk di depan Attara.Arjani sempat melamun sejenak melihat sepasang suami istri yang masih asing di matanya, dua orang itu berbeda dari penduduk setempat di pengungsian. Pakaiannya seolah menceritakan pada semua orang, jika keduanya adalah orang berada.Lamunan Arjani buyar, saat Attara dan Chika melambaikan tangan padanya. Pria itu melempar senyum, seminggu dirawat oleh Arjani membuatnya terbiasa dengan kehadiran Arjani.Arjani memamerkan
Arjani menggeser duduknya, memberikan Imaya jalan. Wanita paruh baya tersebut menyunggingkan senyum, gemerincing gelang terdengar saat ia mengangkat tangannya lalu menggenggam tangan Arjani. "Maafkan saya atas kebohongan tadi pagi," ucapnya membuka obrolan. Senyuman lebar diberikan oleh Arjani, gadis itu menggelengkan kepala maklum. "Tidak apa-apa, lagi pula Tante melakukan itu hanya untuk membantu Attara mengingat hal-hal kecil tentang kita." Ya, memangnya kenapa Imaya harus meminta maaf padanya atas kejadian tadi pagi? Dengan Imaya meminta maaf seperti ini, justru membuat posisi Arjani sebagai korban yang terlalu berharap pada Attara. "Kamu mirip dengan Ayesha." Imaya berpendapat, seraya menatap wajah Arjani teduh. "Sayangnya wanita itu sudah tidak bisa lagi menemani Attara." Ayesha Ruqayah, wanita yang usianya sama dengan Arjani tersebut, adalah istri dari Attara. Seminggu di sini, Arjani selalu menanyakan perkembangan berita Ayesha pada Re
Sinar matahari yang menembus celah tenda mengusik Arjani dari tidurnya, gadis itu terkejut ketika mendapati dirinya bangun kesiangan. Ini tidak biasanya, karena Arjani terbiasa bangun pagi.Arjani gegas bersiap ketika tidak mendapati Reyma di sampingnya, sahabatnya itu sudah pasti memulai semua pekerjaannya di luar. Arjani terhenti di depan nakas, ada makanan cepat saji yang disiapkan Reyma. Ah, Reyma sengaja tidak membangunkan Arjani.Setelah semalaman kemarin Reyma menangis meminta Arjani untuk tidak menerima lamaran Imaya, Reyma meminta Arjani untuk istirahat saja dan memberikan Imaya jawaban besok. Mengingat hal tersebut, Arjani meninggalkan sarapannya begitu saja, ia tergesa menuju tenda Attara.Semua mata tertuju padanya kala Arjani datang dengan langkah tergesa dan napas yang terengah, tidak Arjani temukan Attara di tempat biasanya. Tatapan Arjani tertuju pada gadis berambut sebahu yang tengah membagikan makanan tersebut, dia enggan menatap Arjani.
Jimi memindai semua sudut rumah yang dulu ia tempati saat tinggal di Indonesia dengan mendiang istrinya, tatapannya jatuh pada Arjani yang menggeret kopernya memasuki salah satu kamar di lantai dua.Gadis itu masih mendiamkannya setelah Jimi mengajaknya kembali ke Sydney, helaan napas berat menguar dari rongga pernapasan pria tua itu mengingat penolakan Arjani."Bagaimana aku akan menjelaskan jika dia tidak aman tinggal di sini," gumamnya, lantas menyusul langkah Arjani ke atas.Tidak ada yang berubah dari rumah ini dari terakhir kali Jimi meninggalkannya, masih bergaya Belanda klasik, karena Sri yang dititipi rumah ini sangat apik menjaganya."Nduk, kamu pulang? Kenapa ndak kasih tahu Ibu," ujar suara yang berasal dari lantai bawah.Jimi berdiri di pinggir tangga, melihat wanita berkebaya khas Jawa itu memasuki rumah dengan tergesa, seraya menenteng plastik belanjaan. Sri terhenti ketika melihat Jimi, wanita itu salah tingkah karena diperhatikan s
Di meja makan itu denting peraduan alat makan terdengar nyaring, tiga orang yang duduk di sana sama-sama diam. Reyma melirik Arjani, sesekali bergantian melirik Jimi juga. Ayah dan anak itu belum berdamai, setelah obrolan mengenai pulang ke Sydney, dan rasa-rasanya Reyma sedikit menyesal menghadiri undangan acara makan malam yang dingin ini."Bingkisan itu dari siapa, Mbok?" tanya Jimi saat Sri datang mengantarkan semangkuk ikan pindang.Wanita tua itu gelagapan mencari jawaban, sempat ia melirik Arjani yang ternyata tidak membantu, gadis itu hanya menunduk mengunyah makanannya."Jawab yang jujur saja, Mbok, Om Jimi enggak akan marah, kok," terang Reyma menenangkan."Itu ... itu dari Nyonya Imaya, Tuan Besar," tutur Sri, tangannya sibuk memilin ujung kebayanya.Alis kuning terangnya terangkat, Jimi menatap sang putri intens. Mendapat tatapan demikian, Arjani mengembuskan napas seraya melepas peralatan makan di tangannya.Biji matanya berotas
Deburan ombak memenuhi ruang hening di bibir pantai, embusan angin pantai telah ikut memporak-porandakan suasana hati pria itu. Bagaimana tidak, baru beberapa menit lalu, gadis yang duduk di sebelahnya telah membatalkan pernikahan mereka secara sepihak. Pernikahan yang seharusnya akan digelar besok. Jingga di kaki langit Sydney perlahan surut, sesurut harapan pria itu tentang bahagia di hari esok, karena berhasil mempersunting wanita yang dicintainya. "Maafkan aku, tapi ini tidak bisa diteruskan. Keluargamu sudah tahu apa kekuranganku, aku wanita terkutuk, dan tidak sepantasnya pria sesempurna kamu akan menikahi wanita terkutuk sepertiku," ujar gadis berambut cokelat kemerahan itu. Seperti tidak merasa terbebani sama sekali, setelah mengatakan kalimatnya dia berdiri hendak pergi, sebelum si pria membuka suara menahan langkahnya."Kenapa kamu baru jujur sekarang, Arjani? Kamu tidak melakukan kebohonga
Arjani membalik album itu pelan, senyuman di bibirnya yang berpulas gincu merah muda belum juga surut barang sedetik, sejak matanya menjelajah isi album, yang berisi semua kenangannya sewaktu SMA. Dari sekian banyak halaman, juga foto, satu foto di bagian tengah yang ia sematkan beberapa bunga melati, selalu menjadi bagian favoritnya. Bukan karena aroma melati di sana yang membuatnya memfavoritkan bagian tersebut, melainkan foto seorang pemuda berseragam putih abu, dengan keterangan nama yang tersemat di sana. Attara Behzad, salah satu teman kelas Arjani, yang berhasil mencuri hatinya bertahun-tahun lamanya. Pertanyaan dari Sri kembali terputar di otak Arjani, selain memang karena kutukan itu ia batal menikah, setidaknya Attara juga menjadi bagian kecil dari alasan itu. Teriakan dari ambang pintu kamar, membuyarkan lamunan Arjani soal masa lalu. Seorang gadis berkuncir satu, mengenakan setelan celana denim dan kemeja kotak, kha
Dua minggu sudah Arjani di Indonesia, hari ini sepulangnya dari makam sang ibu, ia mengajak Reyma untuk melakukan pengecekan bangunan restoran yang ternyata sudah dibangunnya sejak lima bulan lalu, saat ia masih di Sydney. Reyma mendongak, sampai kerudung yang hanya tersampir asal di kepalanya melorot. Ditatapnya lamat papan nama yang mencantumkan nama restoran Arjani, sedetik kemudian bibirnya terlipat menahan tawa. Bagaimana tidak, Arjani menamakan restorannya De Verstek, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Jerman, memiliki arti tempat persembunyian. Reyma tahu jika Arjani merencanakan membangun restoran ini sejak lima bulan lalu, saat Jimi memaksa gadis itu menerima lamaran Dave. Tempat ini memang sudah direncanakan Arjani sebagai persembunyiannya dari Jimi. Menoleh, Reyma tidak mendapati Arjani di sampingnya lagi, gadis itu sudah masuk ke dalam, terlihat berbicara dengan beberapa orang di sana. Gegas R
Di meja makan itu denting peraduan alat makan terdengar nyaring, tiga orang yang duduk di sana sama-sama diam. Reyma melirik Arjani, sesekali bergantian melirik Jimi juga. Ayah dan anak itu belum berdamai, setelah obrolan mengenai pulang ke Sydney, dan rasa-rasanya Reyma sedikit menyesal menghadiri undangan acara makan malam yang dingin ini."Bingkisan itu dari siapa, Mbok?" tanya Jimi saat Sri datang mengantarkan semangkuk ikan pindang.Wanita tua itu gelagapan mencari jawaban, sempat ia melirik Arjani yang ternyata tidak membantu, gadis itu hanya menunduk mengunyah makanannya."Jawab yang jujur saja, Mbok, Om Jimi enggak akan marah, kok," terang Reyma menenangkan."Itu ... itu dari Nyonya Imaya, Tuan Besar," tutur Sri, tangannya sibuk memilin ujung kebayanya.Alis kuning terangnya terangkat, Jimi menatap sang putri intens. Mendapat tatapan demikian, Arjani mengembuskan napas seraya melepas peralatan makan di tangannya.Biji matanya berotas
Jimi memindai semua sudut rumah yang dulu ia tempati saat tinggal di Indonesia dengan mendiang istrinya, tatapannya jatuh pada Arjani yang menggeret kopernya memasuki salah satu kamar di lantai dua.Gadis itu masih mendiamkannya setelah Jimi mengajaknya kembali ke Sydney, helaan napas berat menguar dari rongga pernapasan pria tua itu mengingat penolakan Arjani."Bagaimana aku akan menjelaskan jika dia tidak aman tinggal di sini," gumamnya, lantas menyusul langkah Arjani ke atas.Tidak ada yang berubah dari rumah ini dari terakhir kali Jimi meninggalkannya, masih bergaya Belanda klasik, karena Sri yang dititipi rumah ini sangat apik menjaganya."Nduk, kamu pulang? Kenapa ndak kasih tahu Ibu," ujar suara yang berasal dari lantai bawah.Jimi berdiri di pinggir tangga, melihat wanita berkebaya khas Jawa itu memasuki rumah dengan tergesa, seraya menenteng plastik belanjaan. Sri terhenti ketika melihat Jimi, wanita itu salah tingkah karena diperhatikan s
Sinar matahari yang menembus celah tenda mengusik Arjani dari tidurnya, gadis itu terkejut ketika mendapati dirinya bangun kesiangan. Ini tidak biasanya, karena Arjani terbiasa bangun pagi.Arjani gegas bersiap ketika tidak mendapati Reyma di sampingnya, sahabatnya itu sudah pasti memulai semua pekerjaannya di luar. Arjani terhenti di depan nakas, ada makanan cepat saji yang disiapkan Reyma. Ah, Reyma sengaja tidak membangunkan Arjani.Setelah semalaman kemarin Reyma menangis meminta Arjani untuk tidak menerima lamaran Imaya, Reyma meminta Arjani untuk istirahat saja dan memberikan Imaya jawaban besok. Mengingat hal tersebut, Arjani meninggalkan sarapannya begitu saja, ia tergesa menuju tenda Attara.Semua mata tertuju padanya kala Arjani datang dengan langkah tergesa dan napas yang terengah, tidak Arjani temukan Attara di tempat biasanya. Tatapan Arjani tertuju pada gadis berambut sebahu yang tengah membagikan makanan tersebut, dia enggan menatap Arjani.
Arjani menggeser duduknya, memberikan Imaya jalan. Wanita paruh baya tersebut menyunggingkan senyum, gemerincing gelang terdengar saat ia mengangkat tangannya lalu menggenggam tangan Arjani. "Maafkan saya atas kebohongan tadi pagi," ucapnya membuka obrolan. Senyuman lebar diberikan oleh Arjani, gadis itu menggelengkan kepala maklum. "Tidak apa-apa, lagi pula Tante melakukan itu hanya untuk membantu Attara mengingat hal-hal kecil tentang kita." Ya, memangnya kenapa Imaya harus meminta maaf padanya atas kejadian tadi pagi? Dengan Imaya meminta maaf seperti ini, justru membuat posisi Arjani sebagai korban yang terlalu berharap pada Attara. "Kamu mirip dengan Ayesha." Imaya berpendapat, seraya menatap wajah Arjani teduh. "Sayangnya wanita itu sudah tidak bisa lagi menemani Attara." Ayesha Ruqayah, wanita yang usianya sama dengan Arjani tersebut, adalah istri dari Attara. Seminggu di sini, Arjani selalu menanyakan perkembangan berita Ayesha pada Re
Seminggu sudah Arjani di sini, ia menjadi dekat dengan Chika. Wajar saja, karena gadis cilik itu setiap malamnya selalu tidur di tenda Arjani. Dan seminggu sudah, tidak ada berita terbaru mengenai Ayesha. Wanita itu seakan hilang begitu saja bersamaan dengan amukan alam kemarin.Seperti rutinitas barunya di sini setiap pagi, Arjani aka melihat keadaan Attara lebih dahulu sebelum bergabung membantu yang lain. Namun, hari ini ada yang berbeda yang ditemukan oleh Arjani. Ada sepasang suami istri berusia paruh baya, yang duduk di depan Attara.Arjani sempat melamun sejenak melihat sepasang suami istri yang masih asing di matanya, dua orang itu berbeda dari penduduk setempat di pengungsian. Pakaiannya seolah menceritakan pada semua orang, jika keduanya adalah orang berada.Lamunan Arjani buyar, saat Attara dan Chika melambaikan tangan padanya. Pria itu melempar senyum, seminggu dirawat oleh Arjani membuatnya terbiasa dengan kehadiran Arjani.Arjani memamerkan
Arjani menghela napas berat, pria di depannya benar-benar tidak mengingat apa pun. Kini, mereka sudah kembali ke tenda pengungsian. Attara hanya menatap kosong ke depan, sesekali membuka mulutnya ketika arjani menyodorkan sesendok bubur untuknya."Dia mengalami amnesia sementara karena benturan di kepalanya, amnesia ini bisa sembuh sewaktu-waktu dan tidak permanen. Pasien bisa disembuhkan dengan terapi dan bantuan keluarga."Sederet kalimat dari dokter yang menangani Attara tadi, kembali merangsek otak Arjani, sekaligus mendorong air matanya untuk ikut jatuh."Kenapa kamu menangis?" pertanyaan dari suara bas itu membuat Arjani gelagapan, gegas ia menyusut air matanya seraya memamerkan senyuman lebar. Dia menggeleng, lalu kembali menyuapi Attara.Namun, kali ini pria itu menolak, ia menunjuk botol air di samping Arjani. Setiap gerakan Attara, tidak pernah luput dari tatapan manik cokelat terang milik Arjani, ketulusan terpancar jelas dari sana."Kam
Seperti datang dibawa takdir, begitu juga proses Arjani dan Reyma bisa berada di sini. Setelah meyakinkan Reyma dengan sedikit memaksa, akhirnya Arjani bisa ikut serta menjadi relawan. Hari ini, mereka turun di depan kantor PMI Lambaro, tempat yang menampung mayat dan korban terluka. Pertama kali turun dari mobil khusus relawan yang membawanya, Arjani meringis pelan. Baru pertama kali ia melihat mayat berserakan di mana-mana hingga berjumlah ribuan, dengan orang yang terluka juga tidak kalah banyak. Reyma menepuk pundaknya, gadis itu menunjuk tenda dengan dagunya, dan Arjani hanya mengekori langkah Reyma yang terlihat sudah tegar dan terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Tidak seperti Arjani, yang tidak ada henti-hentinya meneteskan air mata. "Masuklah duluan ke tenda, aku akan menemui kepala organisasi. Jangan nangis terus, sedih boleh, cuma di sini mereka butuh orang yang akan menguatkan. Mengerti?" ta
Dua minggu sudah Arjani di Indonesia, hari ini sepulangnya dari makam sang ibu, ia mengajak Reyma untuk melakukan pengecekan bangunan restoran yang ternyata sudah dibangunnya sejak lima bulan lalu, saat ia masih di Sydney. Reyma mendongak, sampai kerudung yang hanya tersampir asal di kepalanya melorot. Ditatapnya lamat papan nama yang mencantumkan nama restoran Arjani, sedetik kemudian bibirnya terlipat menahan tawa. Bagaimana tidak, Arjani menamakan restorannya De Verstek, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Jerman, memiliki arti tempat persembunyian. Reyma tahu jika Arjani merencanakan membangun restoran ini sejak lima bulan lalu, saat Jimi memaksa gadis itu menerima lamaran Dave. Tempat ini memang sudah direncanakan Arjani sebagai persembunyiannya dari Jimi. Menoleh, Reyma tidak mendapati Arjani di sampingnya lagi, gadis itu sudah masuk ke dalam, terlihat berbicara dengan beberapa orang di sana. Gegas R
Arjani membalik album itu pelan, senyuman di bibirnya yang berpulas gincu merah muda belum juga surut barang sedetik, sejak matanya menjelajah isi album, yang berisi semua kenangannya sewaktu SMA. Dari sekian banyak halaman, juga foto, satu foto di bagian tengah yang ia sematkan beberapa bunga melati, selalu menjadi bagian favoritnya. Bukan karena aroma melati di sana yang membuatnya memfavoritkan bagian tersebut, melainkan foto seorang pemuda berseragam putih abu, dengan keterangan nama yang tersemat di sana. Attara Behzad, salah satu teman kelas Arjani, yang berhasil mencuri hatinya bertahun-tahun lamanya. Pertanyaan dari Sri kembali terputar di otak Arjani, selain memang karena kutukan itu ia batal menikah, setidaknya Attara juga menjadi bagian kecil dari alasan itu. Teriakan dari ambang pintu kamar, membuyarkan lamunan Arjani soal masa lalu. Seorang gadis berkuncir satu, mengenakan setelan celana denim dan kemeja kotak, kha