Seperti datang dibawa takdir, begitu juga proses Arjani dan Reyma bisa berada di sini. Setelah meyakinkan Reyma dengan sedikit memaksa, akhirnya Arjani bisa ikut serta menjadi relawan. Hari ini, mereka turun di depan kantor PMI Lambaro, tempat yang menampung mayat dan korban terluka.
Pertama kali turun dari mobil khusus relawan yang membawanya, Arjani meringis pelan. Baru pertama kali ia melihat mayat berserakan di mana-mana hingga berjumlah ribuan, dengan orang yang terluka juga tidak kalah banyak.
Reyma menepuk pundaknya, gadis itu menunjuk tenda dengan dagunya, dan Arjani hanya mengekori langkah Reyma yang terlihat sudah tegar dan terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Tidak seperti Arjani, yang tidak ada henti-hentinya meneteskan air mata.
"Masuklah duluan ke tenda, aku akan menemui kepala organisasi. Jangan nangis terus, sedih boleh, cuma di sini mereka butuh orang yang akan menguatkan. Mengerti?" tanya Reyma, seperti seorang ibu yang akan melepas anaknya masuk sekolah untuk pertama kalinya.
Arjani mengangguk, seraya menyusut air matanya. Padahal dari Jakarta ia sudah menyiapkan diri untuk tidak kembali menangis di sini, ia sudah memuaskan diri menangis selama menonton berita. Namun, melihat keadaan langsung, hatinya lebih teriris lagi rasanya.
Baru saja Arjani hendak masuk, ekor matanya menangkap sosok anak kecil tengah menangis di tenda paling ujung sana. Arjani menahan lengan Reyma yang hendak pergi.
"Jangan bilang kamu takut, ya, Arja," ledek Reyma berusaha membawa suasana sedikit santai untuk sahabatnya yang baru pertama kali ikut turun langsung ke tempat bencana seperti ini.
Menggeleng, Arjani justru melempar tanya. "Apa aku boleh langsung membantu para korban yang terluka? Seperti anak-anak saja, sebagai permulaan, bagaimana?"
Reyma mengangguk mengizinkan, lagi pula tujuan Arjani ikut ke sini untuk membantu. Setelah mendapat izin, dan memastikan Reyma pergi menemui ketuanya, Arjani gegas melepas tas lalu menyusul anak kecil yang duduk terisak di sana.
Arjani bersimpuh di dekatnya, lalu memasang senyuman paling manis. "Hai," sapanya girang, menunggu anak itu mau mengangkat kepala dari lututnya.
"Adek enggak mau kenalan dengan Kakak? Siapa tahu Kakak bisa bantu," tawar Arjani lagi, setelah sapaan singkatnya tidak mendapat tanggapan apa pun dari gadis kecil itu, selain isakannya yang kian keras.
Usaha kedua Arjani berhasil, perlahan kepala si gadis kecil mulai terangkat. Wajahnya terlihat berantakan, tetapi Arjani tidak akan pernah salah mengenal. Untuk beberapa saat, manik cokelat gelap gadis itu mampu membius Arjani, sampai senyumannya hampir surut.
"Mari kita berkenalan, sebelum kita saling membantu," ajak Arjani.
Patuh, si gadis kecil mengulurkan tangannya yang kotor. Tangan kecilnya sempurna tenggelam dalam genggaman Arjani, barulah bibirnya bergerak menyebut namanya. "Namaku Chika Ruqayah Behzad."
Sekuat tenaga Arjani mempertahankan senyumannya, setelah ia merasa mendengar tawa yang berasal dari hati kecilnya, karena tebakannya benar. Sejak pertama kali melirik, Arjani sudah menebak itu Chika. Memandangi gadis kecil itu hampir setiap hari lewat foto, Arjani hafal dengan ciri fisik Chika.
"Kalau Kakak namanya siapa?" tanya Chika balik, membuyarkan lamunan Arjani.
"Arjani." DIa menyebut namanya singkat, masih terkejut tentunya. "Arjani Mason, Chika bisa memanggil Kakak dengan panggilan Kak Arja, karena teman-teman Kakak memanggil seperti itu," jelasnya, berhasil menerbitkan senyuman di bibir Chika. Entah apa yang menyenangkan baginya dari perkenalan singkat itu.
"Kalau begitu, sesuai janji Kakak tadi, sekarang bisakah Kak Arja memeriksa keadaan ayahku?" tanya Chika, seraya menggeser tubuhnya, membiarkan wajah pria yang terbaring di belakangnya tampak oleh Arjani.
Seperti sengaja dipertemukan takdir, Arjani melotot kaget melihat siapa yang dilihatnya. Tanpa pikir panjang, Arjani mendekat, ia mengecek nadi Attara sebagai tindakan pertamanya. Seraya menggigit bibir bawahnya cemas, Arjani tetap berusaha mencari denyut nadi Attara yang semakin melemah.
Setelah memastikan pria itu masih hidup, barulah Arjani bisa bernapas lega, bahunya merosot lega, memancing Chika untuk mendekat, penasaran. "Ayahku masih hidup, 'kan, Kak Arja?" tanyanya tidak sabaran.
Arjani mengangguk, berhasil membuat senyuman bahagia di wajah Chika untuk terbit. Tatapan Arjani berkeliaran, mencari sosok yang ia cari, dan biji matanya menemukan objek tersebut sudah kembali ke tenda. Ia kembali menatap Chika, mengusap puncak kepalanya pelan.
"Kak Arja panggil teman Kak Arja dulu buat bantuin ayahmu, ya?" pamitnya pada Chika, lalu bergegas kembali ke tenda.
Arjani berdiri di depan tenda, membuat Reyma yang hendak keluar terkejut. "Bisa tidak, sehari saja jangan membuatku terkejut? Lebih lama hidup denganmu bisa memmbuatku menderita sakit jantung, Arja!" pekik Reyma.
Sementara Arjani hanya nyengir lebar, seraya merentangkan kedua tangannya menghadang. "Tolong bantu aku, aku menemukan Attara tidak sadarkan diri di tenda paling ujung, nadinya semakin melemah."
***
Helaan napas berat terus menguar dari rongga pernapasan Reyma, entah beban apa yang menghimpit pikirannya. Sesekali, dia akan menoleh ke ujung koridor, di mana Arjani tengah menggendong Chika, menenangkan gadis kecil itu, setelah merengek tanpa henti minta dicarikan bundanya.
Di dalam, Attara masih belum sadarkan diri setelah dokter mengatakan ada cedera di otaknya akibat benturan. Meski keadaannya tidak terlalu parah, tetap saja kondisi Attara tadi membutuhkan pertolongan cepat, untunglah rumah sakit Medan ini masih menerima pasien, karena korban terluka akibat tsunami banyak yang dibawa kemari.
"Rey, tolong bantu aku," rengek Arjani, setelah menyerah menenangkan Chika.
Bola mata Reyma naik, menatap wajah malang Chika. Meski ia tidak menyukai Attara, tetap saja kondisi putrinya, membuat Reyma terenyuh. Reyma mengembuskan napas berat, lantas memasang senyuman paling lebar.
"Kabar baiknya korban yang bernama Ayesha, sudah ditemukan dan kini dirawat di tenda PMI. Tenang saja," ungkap Reyma, yang pastinya berdusta.
Namun, paling tidak kebohongan dari Reyma lebih dipercaya oleh Chika, karena anak itu tahu Reyma yang sempat mencari korban tsunami, sedang Arjani lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemaninya.
Chika tersenyum, gadis cilik itu telah memakan mentah kebohongan Reyma yang mampu menghadirkan ketenangan sesaat. Barulah Arjani kembali menjauh, menidurkan Chika dalam pelukannya.
Dari tempat duduknya, Reyma hanya bisa memperhatikan setiap kasih sayang yang ditunjukkan oleh Arjani untuk Chika, betapa tulus sahabatnya mencintai Attara, bahkan ke anaknya sekalipun.
Reyma terkesiap saat mendengar erangan dari dalam, ia gegas memberikan kode pada Arjani untuk mendekat. Saat mereka masuk, Attara sudah mendudukkan dirinya, pria itu terlihat kesusahan menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke retina. Keningnya berlipat hebat, pertanda kepalanya pun tidak baik-baik saja.
"Ayah!" seru Chika, girang. Matanya yang sempat sayu dilanda kantuk, hilang seketika. Ia bahkan bersiap turun dari gendongan Arjani.
"Ayah? Aku seorang ayah? Kalian siapa?" tanya Attara kebingungan.
Gerakan Chika yang hendak turun terhenti, diliriknya Arjani dan Reyma yang bersitatap tidak percaya. Lalu, bibir kecilnya bertanya, "Ayahku kenapa, Kak?"
"Dia kehilangan ingatannya, Arja," bisik Reyma lirih, masih ragu dengan diagnosisnya.
Arjani menghela napas berat, pria di depannya benar-benar tidak mengingat apa pun. Kini, mereka sudah kembali ke tenda pengungsian. Attara hanya menatap kosong ke depan, sesekali membuka mulutnya ketika arjani menyodorkan sesendok bubur untuknya."Dia mengalami amnesia sementara karena benturan di kepalanya, amnesia ini bisa sembuh sewaktu-waktu dan tidak permanen. Pasien bisa disembuhkan dengan terapi dan bantuan keluarga."Sederet kalimat dari dokter yang menangani Attara tadi, kembali merangsek otak Arjani, sekaligus mendorong air matanya untuk ikut jatuh."Kenapa kamu menangis?" pertanyaan dari suara bas itu membuat Arjani gelagapan, gegas ia menyusut air matanya seraya memamerkan senyuman lebar. Dia menggeleng, lalu kembali menyuapi Attara.Namun, kali ini pria itu menolak, ia menunjuk botol air di samping Arjani. Setiap gerakan Attara, tidak pernah luput dari tatapan manik cokelat terang milik Arjani, ketulusan terpancar jelas dari sana."Kam
Seminggu sudah Arjani di sini, ia menjadi dekat dengan Chika. Wajar saja, karena gadis cilik itu setiap malamnya selalu tidur di tenda Arjani. Dan seminggu sudah, tidak ada berita terbaru mengenai Ayesha. Wanita itu seakan hilang begitu saja bersamaan dengan amukan alam kemarin.Seperti rutinitas barunya di sini setiap pagi, Arjani aka melihat keadaan Attara lebih dahulu sebelum bergabung membantu yang lain. Namun, hari ini ada yang berbeda yang ditemukan oleh Arjani. Ada sepasang suami istri berusia paruh baya, yang duduk di depan Attara.Arjani sempat melamun sejenak melihat sepasang suami istri yang masih asing di matanya, dua orang itu berbeda dari penduduk setempat di pengungsian. Pakaiannya seolah menceritakan pada semua orang, jika keduanya adalah orang berada.Lamunan Arjani buyar, saat Attara dan Chika melambaikan tangan padanya. Pria itu melempar senyum, seminggu dirawat oleh Arjani membuatnya terbiasa dengan kehadiran Arjani.Arjani memamerkan
Arjani menggeser duduknya, memberikan Imaya jalan. Wanita paruh baya tersebut menyunggingkan senyum, gemerincing gelang terdengar saat ia mengangkat tangannya lalu menggenggam tangan Arjani. "Maafkan saya atas kebohongan tadi pagi," ucapnya membuka obrolan. Senyuman lebar diberikan oleh Arjani, gadis itu menggelengkan kepala maklum. "Tidak apa-apa, lagi pula Tante melakukan itu hanya untuk membantu Attara mengingat hal-hal kecil tentang kita." Ya, memangnya kenapa Imaya harus meminta maaf padanya atas kejadian tadi pagi? Dengan Imaya meminta maaf seperti ini, justru membuat posisi Arjani sebagai korban yang terlalu berharap pada Attara. "Kamu mirip dengan Ayesha." Imaya berpendapat, seraya menatap wajah Arjani teduh. "Sayangnya wanita itu sudah tidak bisa lagi menemani Attara." Ayesha Ruqayah, wanita yang usianya sama dengan Arjani tersebut, adalah istri dari Attara. Seminggu di sini, Arjani selalu menanyakan perkembangan berita Ayesha pada Re
Sinar matahari yang menembus celah tenda mengusik Arjani dari tidurnya, gadis itu terkejut ketika mendapati dirinya bangun kesiangan. Ini tidak biasanya, karena Arjani terbiasa bangun pagi.Arjani gegas bersiap ketika tidak mendapati Reyma di sampingnya, sahabatnya itu sudah pasti memulai semua pekerjaannya di luar. Arjani terhenti di depan nakas, ada makanan cepat saji yang disiapkan Reyma. Ah, Reyma sengaja tidak membangunkan Arjani.Setelah semalaman kemarin Reyma menangis meminta Arjani untuk tidak menerima lamaran Imaya, Reyma meminta Arjani untuk istirahat saja dan memberikan Imaya jawaban besok. Mengingat hal tersebut, Arjani meninggalkan sarapannya begitu saja, ia tergesa menuju tenda Attara.Semua mata tertuju padanya kala Arjani datang dengan langkah tergesa dan napas yang terengah, tidak Arjani temukan Attara di tempat biasanya. Tatapan Arjani tertuju pada gadis berambut sebahu yang tengah membagikan makanan tersebut, dia enggan menatap Arjani.
Jimi memindai semua sudut rumah yang dulu ia tempati saat tinggal di Indonesia dengan mendiang istrinya, tatapannya jatuh pada Arjani yang menggeret kopernya memasuki salah satu kamar di lantai dua.Gadis itu masih mendiamkannya setelah Jimi mengajaknya kembali ke Sydney, helaan napas berat menguar dari rongga pernapasan pria tua itu mengingat penolakan Arjani."Bagaimana aku akan menjelaskan jika dia tidak aman tinggal di sini," gumamnya, lantas menyusul langkah Arjani ke atas.Tidak ada yang berubah dari rumah ini dari terakhir kali Jimi meninggalkannya, masih bergaya Belanda klasik, karena Sri yang dititipi rumah ini sangat apik menjaganya."Nduk, kamu pulang? Kenapa ndak kasih tahu Ibu," ujar suara yang berasal dari lantai bawah.Jimi berdiri di pinggir tangga, melihat wanita berkebaya khas Jawa itu memasuki rumah dengan tergesa, seraya menenteng plastik belanjaan. Sri terhenti ketika melihat Jimi, wanita itu salah tingkah karena diperhatikan s
Di meja makan itu denting peraduan alat makan terdengar nyaring, tiga orang yang duduk di sana sama-sama diam. Reyma melirik Arjani, sesekali bergantian melirik Jimi juga. Ayah dan anak itu belum berdamai, setelah obrolan mengenai pulang ke Sydney, dan rasa-rasanya Reyma sedikit menyesal menghadiri undangan acara makan malam yang dingin ini."Bingkisan itu dari siapa, Mbok?" tanya Jimi saat Sri datang mengantarkan semangkuk ikan pindang.Wanita tua itu gelagapan mencari jawaban, sempat ia melirik Arjani yang ternyata tidak membantu, gadis itu hanya menunduk mengunyah makanannya."Jawab yang jujur saja, Mbok, Om Jimi enggak akan marah, kok," terang Reyma menenangkan."Itu ... itu dari Nyonya Imaya, Tuan Besar," tutur Sri, tangannya sibuk memilin ujung kebayanya.Alis kuning terangnya terangkat, Jimi menatap sang putri intens. Mendapat tatapan demikian, Arjani mengembuskan napas seraya melepas peralatan makan di tangannya.Biji matanya berotas
Deburan ombak memenuhi ruang hening di bibir pantai, embusan angin pantai telah ikut memporak-porandakan suasana hati pria itu. Bagaimana tidak, baru beberapa menit lalu, gadis yang duduk di sebelahnya telah membatalkan pernikahan mereka secara sepihak. Pernikahan yang seharusnya akan digelar besok. Jingga di kaki langit Sydney perlahan surut, sesurut harapan pria itu tentang bahagia di hari esok, karena berhasil mempersunting wanita yang dicintainya. "Maafkan aku, tapi ini tidak bisa diteruskan. Keluargamu sudah tahu apa kekuranganku, aku wanita terkutuk, dan tidak sepantasnya pria sesempurna kamu akan menikahi wanita terkutuk sepertiku," ujar gadis berambut cokelat kemerahan itu. Seperti tidak merasa terbebani sama sekali, setelah mengatakan kalimatnya dia berdiri hendak pergi, sebelum si pria membuka suara menahan langkahnya."Kenapa kamu baru jujur sekarang, Arjani? Kamu tidak melakukan kebohonga
Arjani membalik album itu pelan, senyuman di bibirnya yang berpulas gincu merah muda belum juga surut barang sedetik, sejak matanya menjelajah isi album, yang berisi semua kenangannya sewaktu SMA. Dari sekian banyak halaman, juga foto, satu foto di bagian tengah yang ia sematkan beberapa bunga melati, selalu menjadi bagian favoritnya. Bukan karena aroma melati di sana yang membuatnya memfavoritkan bagian tersebut, melainkan foto seorang pemuda berseragam putih abu, dengan keterangan nama yang tersemat di sana. Attara Behzad, salah satu teman kelas Arjani, yang berhasil mencuri hatinya bertahun-tahun lamanya. Pertanyaan dari Sri kembali terputar di otak Arjani, selain memang karena kutukan itu ia batal menikah, setidaknya Attara juga menjadi bagian kecil dari alasan itu. Teriakan dari ambang pintu kamar, membuyarkan lamunan Arjani soal masa lalu. Seorang gadis berkuncir satu, mengenakan setelan celana denim dan kemeja kotak, kha
Di meja makan itu denting peraduan alat makan terdengar nyaring, tiga orang yang duduk di sana sama-sama diam. Reyma melirik Arjani, sesekali bergantian melirik Jimi juga. Ayah dan anak itu belum berdamai, setelah obrolan mengenai pulang ke Sydney, dan rasa-rasanya Reyma sedikit menyesal menghadiri undangan acara makan malam yang dingin ini."Bingkisan itu dari siapa, Mbok?" tanya Jimi saat Sri datang mengantarkan semangkuk ikan pindang.Wanita tua itu gelagapan mencari jawaban, sempat ia melirik Arjani yang ternyata tidak membantu, gadis itu hanya menunduk mengunyah makanannya."Jawab yang jujur saja, Mbok, Om Jimi enggak akan marah, kok," terang Reyma menenangkan."Itu ... itu dari Nyonya Imaya, Tuan Besar," tutur Sri, tangannya sibuk memilin ujung kebayanya.Alis kuning terangnya terangkat, Jimi menatap sang putri intens. Mendapat tatapan demikian, Arjani mengembuskan napas seraya melepas peralatan makan di tangannya.Biji matanya berotas
Jimi memindai semua sudut rumah yang dulu ia tempati saat tinggal di Indonesia dengan mendiang istrinya, tatapannya jatuh pada Arjani yang menggeret kopernya memasuki salah satu kamar di lantai dua.Gadis itu masih mendiamkannya setelah Jimi mengajaknya kembali ke Sydney, helaan napas berat menguar dari rongga pernapasan pria tua itu mengingat penolakan Arjani."Bagaimana aku akan menjelaskan jika dia tidak aman tinggal di sini," gumamnya, lantas menyusul langkah Arjani ke atas.Tidak ada yang berubah dari rumah ini dari terakhir kali Jimi meninggalkannya, masih bergaya Belanda klasik, karena Sri yang dititipi rumah ini sangat apik menjaganya."Nduk, kamu pulang? Kenapa ndak kasih tahu Ibu," ujar suara yang berasal dari lantai bawah.Jimi berdiri di pinggir tangga, melihat wanita berkebaya khas Jawa itu memasuki rumah dengan tergesa, seraya menenteng plastik belanjaan. Sri terhenti ketika melihat Jimi, wanita itu salah tingkah karena diperhatikan s
Sinar matahari yang menembus celah tenda mengusik Arjani dari tidurnya, gadis itu terkejut ketika mendapati dirinya bangun kesiangan. Ini tidak biasanya, karena Arjani terbiasa bangun pagi.Arjani gegas bersiap ketika tidak mendapati Reyma di sampingnya, sahabatnya itu sudah pasti memulai semua pekerjaannya di luar. Arjani terhenti di depan nakas, ada makanan cepat saji yang disiapkan Reyma. Ah, Reyma sengaja tidak membangunkan Arjani.Setelah semalaman kemarin Reyma menangis meminta Arjani untuk tidak menerima lamaran Imaya, Reyma meminta Arjani untuk istirahat saja dan memberikan Imaya jawaban besok. Mengingat hal tersebut, Arjani meninggalkan sarapannya begitu saja, ia tergesa menuju tenda Attara.Semua mata tertuju padanya kala Arjani datang dengan langkah tergesa dan napas yang terengah, tidak Arjani temukan Attara di tempat biasanya. Tatapan Arjani tertuju pada gadis berambut sebahu yang tengah membagikan makanan tersebut, dia enggan menatap Arjani.
Arjani menggeser duduknya, memberikan Imaya jalan. Wanita paruh baya tersebut menyunggingkan senyum, gemerincing gelang terdengar saat ia mengangkat tangannya lalu menggenggam tangan Arjani. "Maafkan saya atas kebohongan tadi pagi," ucapnya membuka obrolan. Senyuman lebar diberikan oleh Arjani, gadis itu menggelengkan kepala maklum. "Tidak apa-apa, lagi pula Tante melakukan itu hanya untuk membantu Attara mengingat hal-hal kecil tentang kita." Ya, memangnya kenapa Imaya harus meminta maaf padanya atas kejadian tadi pagi? Dengan Imaya meminta maaf seperti ini, justru membuat posisi Arjani sebagai korban yang terlalu berharap pada Attara. "Kamu mirip dengan Ayesha." Imaya berpendapat, seraya menatap wajah Arjani teduh. "Sayangnya wanita itu sudah tidak bisa lagi menemani Attara." Ayesha Ruqayah, wanita yang usianya sama dengan Arjani tersebut, adalah istri dari Attara. Seminggu di sini, Arjani selalu menanyakan perkembangan berita Ayesha pada Re
Seminggu sudah Arjani di sini, ia menjadi dekat dengan Chika. Wajar saja, karena gadis cilik itu setiap malamnya selalu tidur di tenda Arjani. Dan seminggu sudah, tidak ada berita terbaru mengenai Ayesha. Wanita itu seakan hilang begitu saja bersamaan dengan amukan alam kemarin.Seperti rutinitas barunya di sini setiap pagi, Arjani aka melihat keadaan Attara lebih dahulu sebelum bergabung membantu yang lain. Namun, hari ini ada yang berbeda yang ditemukan oleh Arjani. Ada sepasang suami istri berusia paruh baya, yang duduk di depan Attara.Arjani sempat melamun sejenak melihat sepasang suami istri yang masih asing di matanya, dua orang itu berbeda dari penduduk setempat di pengungsian. Pakaiannya seolah menceritakan pada semua orang, jika keduanya adalah orang berada.Lamunan Arjani buyar, saat Attara dan Chika melambaikan tangan padanya. Pria itu melempar senyum, seminggu dirawat oleh Arjani membuatnya terbiasa dengan kehadiran Arjani.Arjani memamerkan
Arjani menghela napas berat, pria di depannya benar-benar tidak mengingat apa pun. Kini, mereka sudah kembali ke tenda pengungsian. Attara hanya menatap kosong ke depan, sesekali membuka mulutnya ketika arjani menyodorkan sesendok bubur untuknya."Dia mengalami amnesia sementara karena benturan di kepalanya, amnesia ini bisa sembuh sewaktu-waktu dan tidak permanen. Pasien bisa disembuhkan dengan terapi dan bantuan keluarga."Sederet kalimat dari dokter yang menangani Attara tadi, kembali merangsek otak Arjani, sekaligus mendorong air matanya untuk ikut jatuh."Kenapa kamu menangis?" pertanyaan dari suara bas itu membuat Arjani gelagapan, gegas ia menyusut air matanya seraya memamerkan senyuman lebar. Dia menggeleng, lalu kembali menyuapi Attara.Namun, kali ini pria itu menolak, ia menunjuk botol air di samping Arjani. Setiap gerakan Attara, tidak pernah luput dari tatapan manik cokelat terang milik Arjani, ketulusan terpancar jelas dari sana."Kam
Seperti datang dibawa takdir, begitu juga proses Arjani dan Reyma bisa berada di sini. Setelah meyakinkan Reyma dengan sedikit memaksa, akhirnya Arjani bisa ikut serta menjadi relawan. Hari ini, mereka turun di depan kantor PMI Lambaro, tempat yang menampung mayat dan korban terluka. Pertama kali turun dari mobil khusus relawan yang membawanya, Arjani meringis pelan. Baru pertama kali ia melihat mayat berserakan di mana-mana hingga berjumlah ribuan, dengan orang yang terluka juga tidak kalah banyak. Reyma menepuk pundaknya, gadis itu menunjuk tenda dengan dagunya, dan Arjani hanya mengekori langkah Reyma yang terlihat sudah tegar dan terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Tidak seperti Arjani, yang tidak ada henti-hentinya meneteskan air mata. "Masuklah duluan ke tenda, aku akan menemui kepala organisasi. Jangan nangis terus, sedih boleh, cuma di sini mereka butuh orang yang akan menguatkan. Mengerti?" ta
Dua minggu sudah Arjani di Indonesia, hari ini sepulangnya dari makam sang ibu, ia mengajak Reyma untuk melakukan pengecekan bangunan restoran yang ternyata sudah dibangunnya sejak lima bulan lalu, saat ia masih di Sydney. Reyma mendongak, sampai kerudung yang hanya tersampir asal di kepalanya melorot. Ditatapnya lamat papan nama yang mencantumkan nama restoran Arjani, sedetik kemudian bibirnya terlipat menahan tawa. Bagaimana tidak, Arjani menamakan restorannya De Verstek, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Jerman, memiliki arti tempat persembunyian. Reyma tahu jika Arjani merencanakan membangun restoran ini sejak lima bulan lalu, saat Jimi memaksa gadis itu menerima lamaran Dave. Tempat ini memang sudah direncanakan Arjani sebagai persembunyiannya dari Jimi. Menoleh, Reyma tidak mendapati Arjani di sampingnya lagi, gadis itu sudah masuk ke dalam, terlihat berbicara dengan beberapa orang di sana. Gegas R
Arjani membalik album itu pelan, senyuman di bibirnya yang berpulas gincu merah muda belum juga surut barang sedetik, sejak matanya menjelajah isi album, yang berisi semua kenangannya sewaktu SMA. Dari sekian banyak halaman, juga foto, satu foto di bagian tengah yang ia sematkan beberapa bunga melati, selalu menjadi bagian favoritnya. Bukan karena aroma melati di sana yang membuatnya memfavoritkan bagian tersebut, melainkan foto seorang pemuda berseragam putih abu, dengan keterangan nama yang tersemat di sana. Attara Behzad, salah satu teman kelas Arjani, yang berhasil mencuri hatinya bertahun-tahun lamanya. Pertanyaan dari Sri kembali terputar di otak Arjani, selain memang karena kutukan itu ia batal menikah, setidaknya Attara juga menjadi bagian kecil dari alasan itu. Teriakan dari ambang pintu kamar, membuyarkan lamunan Arjani soal masa lalu. Seorang gadis berkuncir satu, mengenakan setelan celana denim dan kemeja kotak, kha