Arjani membalik album itu pelan, senyuman di bibirnya yang berpulas gincu merah muda belum juga surut barang sedetik, sejak matanya menjelajah isi album, yang berisi semua kenangannya sewaktu SMA. Dari sekian banyak halaman, juga foto, satu foto di bagian tengah yang ia sematkan beberapa bunga melati, selalu menjadi bagian favoritnya.
Bukan karena aroma melati di sana yang membuatnya memfavoritkan bagian tersebut, melainkan foto seorang pemuda berseragam putih abu, dengan keterangan nama yang tersemat di sana. Attara Behzad, salah satu teman kelas Arjani, yang berhasil mencuri hatinya bertahun-tahun lamanya.
Pertanyaan dari Sri kembali terputar di otak Arjani, selain memang karena kutukan itu ia batal menikah, setidaknya Attara juga menjadi bagian kecil dari alasan itu. Teriakan dari ambang pintu kamar, membuyarkan lamunan Arjani soal masa lalu. Seorang gadis berkuncir satu, mengenakan setelan celana denim dan kemeja kotak, khas tren tahun 2004.
"Arja gila!" serunya lantang, lalu tergesa untuk ikut duduk disamping Arjani. Masam di wajahnya belum sirna, ia melepas topinya lalu merebahkan diri di samping Arjani. "Kamu tahu? Aku memesan tiket dari Papua untuk kembali ke Jakarta, aku bahkan cuma sempat mencicipi kerak telor di sini, hanya untuk kejar-kejaran dengan waktu demi mencari penerbangan ke Sydney paling awal. Uangku sudah hangus semua demi tiket, dan kamu malah seenak jidat nelepon, kasih kabar kamu sudah di Jakarta."
Seperti belum puas mengeluarkan semua kekesalannya, gadis itu kembali ke posisi duduk lalu menatap Arjani sengit. "Uang segitu banyaknya bisa dimanfaatkan untuk anak-anak Papua yang membutuhkan, tahu!"
"Nanti kuganti," sahut Arjani, santai. "Kamu sepertinya nyaman sekali di Papua. Sudah sejauh mana progresnya di sana, Rey?"
Reyma Sadewi, nama perempuan tersebut. Seorang gadis yang memilih menghabiskan usia mudanya menjadi ativis aktif, tergabung dalam organisasi yang fokus pada tujuan memajukan pendidikan anak bangsa di pedalaman. Reyma jarang ada di Jakarta, hidupnya berkelana dari pedalaman satu ke pedalaman lain, sebuah hidup yang sangat sesuai dengan mimpi Reyma sendiri.
"Baik, tidak seburuk progres moveon-mu, sih," sahutnya, sekalian melempar sindiran pada Arjani. Biji matanya bahkan sengaja melirik album yang terbuka di atas pangkuan Arjani, bibirnya mencebik mengejek sempurna. "Sudah dua belas tahun, Ja, enggak capek?"
"Untungnya cinta enggak punya bentuk, sih, Rey. Kalau cinta berbentuk sekuintal beras, mungkin aku udah mati karena membawanya terus menerus selama 12 tahun," jawab Arjani jenaka.
"Kamu memang tidak mati karenanya, tetapi hatimu telah mati sampai tidak bisa mencintai orang lain. Orang sebaik Dave bahkan kamu sia-siakan begitu saja--"
"Kutukan itu," sela Arjani, menyangkal tuduhan Reyma jika ini semua karena ia masih belum mampu melupakan Attara.
Bahu Reyma berseloroh lelah, ia meneguk teh milik Arjani yang telah dingin. "Apa pun alasanmu, setidaknya sekarang kamu sudah tidak diperbolehkan lagi mengharapkan Attara, Ja. Karena dia sudah berstatus suami orang."
Demi memastikan pendengarannya tidak salah, Arjani mengangkat kepala. Senyuman senangnya yang sejak tadi terpampang, seperti disapu ucapan Reyma. Bola matanya melotot tidak terima. "Jangan ngarang kamu, Rey."
"Kamu yang ngarang! Kamu pikir ini Sydney? Ini Indonesia, yang seusia kita sudah punya anak dua! Sadarlah, Arja," ujar Reyma, terlihat prihatin menyaksikan perubahan raut wajah sahabatnya.
Reyma tidak tega berbuat seperti ini, tetapi melihat Arjani berharap dalam ketidakpastian, lebih menyakitkan baginya. "Aku mau ngabarin sejak awal. Cuma, ya, kamu tahu sinyal tidak pernah baik di pedalaman. Sekalinya aku ke kota buat belanja stok makanan, dan waktu aku nelepon kamu, kamu cerita ada pria yang meminangmu."
Reyma menghentikan ucapannya, melihat air mata Arjani yang meluruh, ia beringsut mendekat lalu gegas menyusutnya. "Aku pikir kamu sudah berhasil merelakan Attara, Arja. Secara kamu pergi sejauh itu, dan selama itu. Sejak tamat SMA, baru sekarang kamu balik ke Indonesia, aku pikir kamu bisa."
Menghela napas berat, Reyma merasa bersalah sendiri telah merusak pertemuan pertama mereka setelah sekian lama terpisah jarak, dengan membahas ini di awal. Tangan Reyma naik, menyelipkan rambut cokelat kemerahan milik Arjani ke belakang telinga, gadis yang memiliki paras cantik dari darah campuran Indonesia-Australia itu, terlihat menyedihkan sekarang.
Tatapan Reyma berhenti pada benda kecil di samping gelas teh yang telah kosong karenanya, Reyma mengambil ponsel itu. "Kamu hidup di negara maju, seharusnya kamu bisa memanfaatkan media sosial untuk mencari tahu kabar Attara."
Reyma membuka ponsel bermodel flip tersebut, sebuah ponsel terbaru di tahun ini. Gadis itu membuka laman media sosial, yang baru saja dirilis beberapa bulan lalu. Tanpa menunggu waktu lama, Reyma kembali menyerahkan ponsel itu kepada empunya, setelah ia mengetikkan sebaris nama di mesin pencarian.
"Ponselmu bahkan lebih canggih dari punyaku, aku hanya bermain media sosial saat ke kota di warung internet. Saat itu aku tahu kalau Attara sudah menikah," tutur Reyma.
Arjani memandangi lamat-lamat foto yang terpampang di sana, gambaran sebuah keluarga kecil yang begitu bahagia. Rasa penasaran di otak Arjani, mendorong gadis itu menggulir ke foto berikutnya, foto kali ini begitu menyedot atensi Arjani. Ponsel di pangkuannya bahkan ia angkat, memperhatikan dengan begitu baik pada sosok gadis kecil yang berada dalam gendongan Attara.
"Itu anaknya, enggak usah di-zoom gitu kali, Arja." Reyma membuka suara, membuat Arjani menurunkan ponselnya dan menatap Reyma penuh sirat keterkejutan.
"Sudah tiga tahun usianya, kalau enggak salah namanya Chika Ruqayah Behzad. Perpaduan nama Attara sama istrinya, yaitu Ayesha Ruqayah," tutur Reyma.
Untuk kali ini, biarlah ia tampil begitu jahat di depan Arjani, dengan menuturkan kenyataan yang membuat sahabatnya itu patah hati. Arjani mendesah berat, ia menutup laman media sosial tersebut. "Kamu hafal banget nama mereka," sindir Arjani.
"Tentu. Karena aku sudah berniat ingin memberitahumu. Akan tetapi, kamu lebih dulu bercerita sudah dilamar. Ya sudah, aku enggak jadi cerita, karena saat itu aku pikir buat apa cerita masa lalu yang enggak penting, 'kan?"
Bukannya menjawab pertanyaan Reyma, Arjani justru menyuarakan rasa ingin tahunya soal Attara. "Dia tinggal di mana sekarang?"
Mata Reyma memicing, ditatapnya curiga wajah Arjani. Detik berikutnya, ia menggeleng seraya berkata, "Buat apa kamu mau tahu? Mau jadi perusak rumah tangga orang kamu?"
Selain menuduh, Reyma juga menuding batang hidung Arjani yang mancung dengan telunjuknya, sontak saja Arjani menepis telunjuk Reyma. "Kamu memandangku sejahat itu?" tanyanya balik, tatapannya menyiratkan tidak suka, dan Reyma hanya tertawa kecil sembari meggelengkan kepala.
"Enggak, aku cuma bercanda. Bagaimana kamu akan menjadi perusak rumah tangga, kalau semasa SMA saja, kamu pasif banget mendekati Attara. Dia tinggal di Aceh, pekerjannya sebagai dosen teknik di Medan, dia bolak-balik demi istri. Istrinya tokoh penting di sana, selain menjadi guru TK, istrinya punya usaha konveksi rumahan, juga organisasi yang dipimpinnya."
"Well, istrinya emang seperti super woman. Tapi ceritanya, ibu Attara tidak menyukai istrinya itu, membuat Attara akhirnya ikut istrinya tinggal di Aceh," tutur Reyma, gadis itu tahu banyak soal keluarga Attara.
Arjani memicingkan matanya, menguliti Reyma denggan tatapan curiga. "Kamu tahu banyak soal dia, aku curiga jika di sini kamu juga ikutan naksir akhirnya," tuduhnya.
Reyma membeliak tidak terima, ia mendorong pelan bahu Arjani. "Dih, enak saja kalu ngomong. Aku pernah ketemu istrinya, ya! Jangan salah! Waktu sosialisasi tentang pentingnya pendidikan di Aceh, kami kolaborasi dengan organisasinya yang punya banyak anggota kaum muda. Waktu itu anaknya baru berusia satu tahun."
"Kamu menggambarkannya sebagai sosok yang sempurna, tetapi katamu dia tidak disukai oleh ibu Attara. Bagaimana denganku yang jauh dari kata sempurna dan terkutuk," ujar Arjani seraya menutup albumnya.
Entah Reyma yang mudah terkejut, atau memang setiap perkataan Arjani mengandung kejutan. Mendengar itu saja, Reyma kembali memelototkan matanya. "Jangan bilang kamu masih punya hasrat untuk menjadi istri Attara."
Arjani mengangkat bahu apatis, ia berjalan ke tepi jendela membiarkan hening sejenak, seperti tengah berpikir. "Jika ada kesempatan mungkin bisa," ucapnya pelan.
Mendengar perkataan Arjani, Reyma sontak bangkit menyusul berdiri di tepi jendela. Gadis itu mendengus sebal, lantas bertanya, "Mau jadi istri kedua kamu?"
"Mungkin." Arjani menjawab singkat, disambut pukulan dari Reyma di bahunya.
"Ucapan itu doa, Arja!" seru Reyma tidak terima.
Diam, Arjani tidak merespon, semua perkataannya tentang niat menjadi istri Attara, memang tidak bercanda seperti yang Reyma kira. Mendapati respon Arjani yang buruk, Reyma salah tingkah sendiri.
"Bagaimana progres pembangunan restoranmu? Kamu mempercayakan penuh semuanya pada orang-orang yang bekerja untukmu, kapan kamu punya rencana untuk mengecek sendiri?" Reyma mengalihkan topik, menghindari cekcok yang kerap terjadi antara ia dan Arjani, jika sudah membahas perihal Attara.
"Bagus, orang-orang yang bekerja untukku setia semuanya. Kabar buruknya, ayah tahu aku membangun restoran di sini dengan uang warisan dari ibu," jelas Arjani.
"Ayah melarangku pulang ke Indonesia, katanya di sini tidak aman untukku. Padahal, dia tahu jika aku membangun restoran di sini, aku tumbuh remaja juga di sini. Menurutmu, apa bahaya yang akan menimpa gadis sebatang kara sepertiku ini?" Arjani melempar tanya, yang berhasil membisukan Reyma.
Dua minggu sudah Arjani di Indonesia, hari ini sepulangnya dari makam sang ibu, ia mengajak Reyma untuk melakukan pengecekan bangunan restoran yang ternyata sudah dibangunnya sejak lima bulan lalu, saat ia masih di Sydney. Reyma mendongak, sampai kerudung yang hanya tersampir asal di kepalanya melorot. Ditatapnya lamat papan nama yang mencantumkan nama restoran Arjani, sedetik kemudian bibirnya terlipat menahan tawa. Bagaimana tidak, Arjani menamakan restorannya De Verstek, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Jerman, memiliki arti tempat persembunyian. Reyma tahu jika Arjani merencanakan membangun restoran ini sejak lima bulan lalu, saat Jimi memaksa gadis itu menerima lamaran Dave. Tempat ini memang sudah direncanakan Arjani sebagai persembunyiannya dari Jimi. Menoleh, Reyma tidak mendapati Arjani di sampingnya lagi, gadis itu sudah masuk ke dalam, terlihat berbicara dengan beberapa orang di sana. Gegas R
Seperti datang dibawa takdir, begitu juga proses Arjani dan Reyma bisa berada di sini. Setelah meyakinkan Reyma dengan sedikit memaksa, akhirnya Arjani bisa ikut serta menjadi relawan. Hari ini, mereka turun di depan kantor PMI Lambaro, tempat yang menampung mayat dan korban terluka. Pertama kali turun dari mobil khusus relawan yang membawanya, Arjani meringis pelan. Baru pertama kali ia melihat mayat berserakan di mana-mana hingga berjumlah ribuan, dengan orang yang terluka juga tidak kalah banyak. Reyma menepuk pundaknya, gadis itu menunjuk tenda dengan dagunya, dan Arjani hanya mengekori langkah Reyma yang terlihat sudah tegar dan terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Tidak seperti Arjani, yang tidak ada henti-hentinya meneteskan air mata. "Masuklah duluan ke tenda, aku akan menemui kepala organisasi. Jangan nangis terus, sedih boleh, cuma di sini mereka butuh orang yang akan menguatkan. Mengerti?" ta
Arjani menghela napas berat, pria di depannya benar-benar tidak mengingat apa pun. Kini, mereka sudah kembali ke tenda pengungsian. Attara hanya menatap kosong ke depan, sesekali membuka mulutnya ketika arjani menyodorkan sesendok bubur untuknya."Dia mengalami amnesia sementara karena benturan di kepalanya, amnesia ini bisa sembuh sewaktu-waktu dan tidak permanen. Pasien bisa disembuhkan dengan terapi dan bantuan keluarga."Sederet kalimat dari dokter yang menangani Attara tadi, kembali merangsek otak Arjani, sekaligus mendorong air matanya untuk ikut jatuh."Kenapa kamu menangis?" pertanyaan dari suara bas itu membuat Arjani gelagapan, gegas ia menyusut air matanya seraya memamerkan senyuman lebar. Dia menggeleng, lalu kembali menyuapi Attara.Namun, kali ini pria itu menolak, ia menunjuk botol air di samping Arjani. Setiap gerakan Attara, tidak pernah luput dari tatapan manik cokelat terang milik Arjani, ketulusan terpancar jelas dari sana."Kam
Seminggu sudah Arjani di sini, ia menjadi dekat dengan Chika. Wajar saja, karena gadis cilik itu setiap malamnya selalu tidur di tenda Arjani. Dan seminggu sudah, tidak ada berita terbaru mengenai Ayesha. Wanita itu seakan hilang begitu saja bersamaan dengan amukan alam kemarin.Seperti rutinitas barunya di sini setiap pagi, Arjani aka melihat keadaan Attara lebih dahulu sebelum bergabung membantu yang lain. Namun, hari ini ada yang berbeda yang ditemukan oleh Arjani. Ada sepasang suami istri berusia paruh baya, yang duduk di depan Attara.Arjani sempat melamun sejenak melihat sepasang suami istri yang masih asing di matanya, dua orang itu berbeda dari penduduk setempat di pengungsian. Pakaiannya seolah menceritakan pada semua orang, jika keduanya adalah orang berada.Lamunan Arjani buyar, saat Attara dan Chika melambaikan tangan padanya. Pria itu melempar senyum, seminggu dirawat oleh Arjani membuatnya terbiasa dengan kehadiran Arjani.Arjani memamerkan
Arjani menggeser duduknya, memberikan Imaya jalan. Wanita paruh baya tersebut menyunggingkan senyum, gemerincing gelang terdengar saat ia mengangkat tangannya lalu menggenggam tangan Arjani. "Maafkan saya atas kebohongan tadi pagi," ucapnya membuka obrolan. Senyuman lebar diberikan oleh Arjani, gadis itu menggelengkan kepala maklum. "Tidak apa-apa, lagi pula Tante melakukan itu hanya untuk membantu Attara mengingat hal-hal kecil tentang kita." Ya, memangnya kenapa Imaya harus meminta maaf padanya atas kejadian tadi pagi? Dengan Imaya meminta maaf seperti ini, justru membuat posisi Arjani sebagai korban yang terlalu berharap pada Attara. "Kamu mirip dengan Ayesha." Imaya berpendapat, seraya menatap wajah Arjani teduh. "Sayangnya wanita itu sudah tidak bisa lagi menemani Attara." Ayesha Ruqayah, wanita yang usianya sama dengan Arjani tersebut, adalah istri dari Attara. Seminggu di sini, Arjani selalu menanyakan perkembangan berita Ayesha pada Re
Sinar matahari yang menembus celah tenda mengusik Arjani dari tidurnya, gadis itu terkejut ketika mendapati dirinya bangun kesiangan. Ini tidak biasanya, karena Arjani terbiasa bangun pagi.Arjani gegas bersiap ketika tidak mendapati Reyma di sampingnya, sahabatnya itu sudah pasti memulai semua pekerjaannya di luar. Arjani terhenti di depan nakas, ada makanan cepat saji yang disiapkan Reyma. Ah, Reyma sengaja tidak membangunkan Arjani.Setelah semalaman kemarin Reyma menangis meminta Arjani untuk tidak menerima lamaran Imaya, Reyma meminta Arjani untuk istirahat saja dan memberikan Imaya jawaban besok. Mengingat hal tersebut, Arjani meninggalkan sarapannya begitu saja, ia tergesa menuju tenda Attara.Semua mata tertuju padanya kala Arjani datang dengan langkah tergesa dan napas yang terengah, tidak Arjani temukan Attara di tempat biasanya. Tatapan Arjani tertuju pada gadis berambut sebahu yang tengah membagikan makanan tersebut, dia enggan menatap Arjani.
Jimi memindai semua sudut rumah yang dulu ia tempati saat tinggal di Indonesia dengan mendiang istrinya, tatapannya jatuh pada Arjani yang menggeret kopernya memasuki salah satu kamar di lantai dua.Gadis itu masih mendiamkannya setelah Jimi mengajaknya kembali ke Sydney, helaan napas berat menguar dari rongga pernapasan pria tua itu mengingat penolakan Arjani."Bagaimana aku akan menjelaskan jika dia tidak aman tinggal di sini," gumamnya, lantas menyusul langkah Arjani ke atas.Tidak ada yang berubah dari rumah ini dari terakhir kali Jimi meninggalkannya, masih bergaya Belanda klasik, karena Sri yang dititipi rumah ini sangat apik menjaganya."Nduk, kamu pulang? Kenapa ndak kasih tahu Ibu," ujar suara yang berasal dari lantai bawah.Jimi berdiri di pinggir tangga, melihat wanita berkebaya khas Jawa itu memasuki rumah dengan tergesa, seraya menenteng plastik belanjaan. Sri terhenti ketika melihat Jimi, wanita itu salah tingkah karena diperhatikan s
Di meja makan itu denting peraduan alat makan terdengar nyaring, tiga orang yang duduk di sana sama-sama diam. Reyma melirik Arjani, sesekali bergantian melirik Jimi juga. Ayah dan anak itu belum berdamai, setelah obrolan mengenai pulang ke Sydney, dan rasa-rasanya Reyma sedikit menyesal menghadiri undangan acara makan malam yang dingin ini."Bingkisan itu dari siapa, Mbok?" tanya Jimi saat Sri datang mengantarkan semangkuk ikan pindang.Wanita tua itu gelagapan mencari jawaban, sempat ia melirik Arjani yang ternyata tidak membantu, gadis itu hanya menunduk mengunyah makanannya."Jawab yang jujur saja, Mbok, Om Jimi enggak akan marah, kok," terang Reyma menenangkan."Itu ... itu dari Nyonya Imaya, Tuan Besar," tutur Sri, tangannya sibuk memilin ujung kebayanya.Alis kuning terangnya terangkat, Jimi menatap sang putri intens. Mendapat tatapan demikian, Arjani mengembuskan napas seraya melepas peralatan makan di tangannya.Biji matanya berotas
Di meja makan itu denting peraduan alat makan terdengar nyaring, tiga orang yang duduk di sana sama-sama diam. Reyma melirik Arjani, sesekali bergantian melirik Jimi juga. Ayah dan anak itu belum berdamai, setelah obrolan mengenai pulang ke Sydney, dan rasa-rasanya Reyma sedikit menyesal menghadiri undangan acara makan malam yang dingin ini."Bingkisan itu dari siapa, Mbok?" tanya Jimi saat Sri datang mengantarkan semangkuk ikan pindang.Wanita tua itu gelagapan mencari jawaban, sempat ia melirik Arjani yang ternyata tidak membantu, gadis itu hanya menunduk mengunyah makanannya."Jawab yang jujur saja, Mbok, Om Jimi enggak akan marah, kok," terang Reyma menenangkan."Itu ... itu dari Nyonya Imaya, Tuan Besar," tutur Sri, tangannya sibuk memilin ujung kebayanya.Alis kuning terangnya terangkat, Jimi menatap sang putri intens. Mendapat tatapan demikian, Arjani mengembuskan napas seraya melepas peralatan makan di tangannya.Biji matanya berotas
Jimi memindai semua sudut rumah yang dulu ia tempati saat tinggal di Indonesia dengan mendiang istrinya, tatapannya jatuh pada Arjani yang menggeret kopernya memasuki salah satu kamar di lantai dua.Gadis itu masih mendiamkannya setelah Jimi mengajaknya kembali ke Sydney, helaan napas berat menguar dari rongga pernapasan pria tua itu mengingat penolakan Arjani."Bagaimana aku akan menjelaskan jika dia tidak aman tinggal di sini," gumamnya, lantas menyusul langkah Arjani ke atas.Tidak ada yang berubah dari rumah ini dari terakhir kali Jimi meninggalkannya, masih bergaya Belanda klasik, karena Sri yang dititipi rumah ini sangat apik menjaganya."Nduk, kamu pulang? Kenapa ndak kasih tahu Ibu," ujar suara yang berasal dari lantai bawah.Jimi berdiri di pinggir tangga, melihat wanita berkebaya khas Jawa itu memasuki rumah dengan tergesa, seraya menenteng plastik belanjaan. Sri terhenti ketika melihat Jimi, wanita itu salah tingkah karena diperhatikan s
Sinar matahari yang menembus celah tenda mengusik Arjani dari tidurnya, gadis itu terkejut ketika mendapati dirinya bangun kesiangan. Ini tidak biasanya, karena Arjani terbiasa bangun pagi.Arjani gegas bersiap ketika tidak mendapati Reyma di sampingnya, sahabatnya itu sudah pasti memulai semua pekerjaannya di luar. Arjani terhenti di depan nakas, ada makanan cepat saji yang disiapkan Reyma. Ah, Reyma sengaja tidak membangunkan Arjani.Setelah semalaman kemarin Reyma menangis meminta Arjani untuk tidak menerima lamaran Imaya, Reyma meminta Arjani untuk istirahat saja dan memberikan Imaya jawaban besok. Mengingat hal tersebut, Arjani meninggalkan sarapannya begitu saja, ia tergesa menuju tenda Attara.Semua mata tertuju padanya kala Arjani datang dengan langkah tergesa dan napas yang terengah, tidak Arjani temukan Attara di tempat biasanya. Tatapan Arjani tertuju pada gadis berambut sebahu yang tengah membagikan makanan tersebut, dia enggan menatap Arjani.
Arjani menggeser duduknya, memberikan Imaya jalan. Wanita paruh baya tersebut menyunggingkan senyum, gemerincing gelang terdengar saat ia mengangkat tangannya lalu menggenggam tangan Arjani. "Maafkan saya atas kebohongan tadi pagi," ucapnya membuka obrolan. Senyuman lebar diberikan oleh Arjani, gadis itu menggelengkan kepala maklum. "Tidak apa-apa, lagi pula Tante melakukan itu hanya untuk membantu Attara mengingat hal-hal kecil tentang kita." Ya, memangnya kenapa Imaya harus meminta maaf padanya atas kejadian tadi pagi? Dengan Imaya meminta maaf seperti ini, justru membuat posisi Arjani sebagai korban yang terlalu berharap pada Attara. "Kamu mirip dengan Ayesha." Imaya berpendapat, seraya menatap wajah Arjani teduh. "Sayangnya wanita itu sudah tidak bisa lagi menemani Attara." Ayesha Ruqayah, wanita yang usianya sama dengan Arjani tersebut, adalah istri dari Attara. Seminggu di sini, Arjani selalu menanyakan perkembangan berita Ayesha pada Re
Seminggu sudah Arjani di sini, ia menjadi dekat dengan Chika. Wajar saja, karena gadis cilik itu setiap malamnya selalu tidur di tenda Arjani. Dan seminggu sudah, tidak ada berita terbaru mengenai Ayesha. Wanita itu seakan hilang begitu saja bersamaan dengan amukan alam kemarin.Seperti rutinitas barunya di sini setiap pagi, Arjani aka melihat keadaan Attara lebih dahulu sebelum bergabung membantu yang lain. Namun, hari ini ada yang berbeda yang ditemukan oleh Arjani. Ada sepasang suami istri berusia paruh baya, yang duduk di depan Attara.Arjani sempat melamun sejenak melihat sepasang suami istri yang masih asing di matanya, dua orang itu berbeda dari penduduk setempat di pengungsian. Pakaiannya seolah menceritakan pada semua orang, jika keduanya adalah orang berada.Lamunan Arjani buyar, saat Attara dan Chika melambaikan tangan padanya. Pria itu melempar senyum, seminggu dirawat oleh Arjani membuatnya terbiasa dengan kehadiran Arjani.Arjani memamerkan
Arjani menghela napas berat, pria di depannya benar-benar tidak mengingat apa pun. Kini, mereka sudah kembali ke tenda pengungsian. Attara hanya menatap kosong ke depan, sesekali membuka mulutnya ketika arjani menyodorkan sesendok bubur untuknya."Dia mengalami amnesia sementara karena benturan di kepalanya, amnesia ini bisa sembuh sewaktu-waktu dan tidak permanen. Pasien bisa disembuhkan dengan terapi dan bantuan keluarga."Sederet kalimat dari dokter yang menangani Attara tadi, kembali merangsek otak Arjani, sekaligus mendorong air matanya untuk ikut jatuh."Kenapa kamu menangis?" pertanyaan dari suara bas itu membuat Arjani gelagapan, gegas ia menyusut air matanya seraya memamerkan senyuman lebar. Dia menggeleng, lalu kembali menyuapi Attara.Namun, kali ini pria itu menolak, ia menunjuk botol air di samping Arjani. Setiap gerakan Attara, tidak pernah luput dari tatapan manik cokelat terang milik Arjani, ketulusan terpancar jelas dari sana."Kam
Seperti datang dibawa takdir, begitu juga proses Arjani dan Reyma bisa berada di sini. Setelah meyakinkan Reyma dengan sedikit memaksa, akhirnya Arjani bisa ikut serta menjadi relawan. Hari ini, mereka turun di depan kantor PMI Lambaro, tempat yang menampung mayat dan korban terluka. Pertama kali turun dari mobil khusus relawan yang membawanya, Arjani meringis pelan. Baru pertama kali ia melihat mayat berserakan di mana-mana hingga berjumlah ribuan, dengan orang yang terluka juga tidak kalah banyak. Reyma menepuk pundaknya, gadis itu menunjuk tenda dengan dagunya, dan Arjani hanya mengekori langkah Reyma yang terlihat sudah tegar dan terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Tidak seperti Arjani, yang tidak ada henti-hentinya meneteskan air mata. "Masuklah duluan ke tenda, aku akan menemui kepala organisasi. Jangan nangis terus, sedih boleh, cuma di sini mereka butuh orang yang akan menguatkan. Mengerti?" ta
Dua minggu sudah Arjani di Indonesia, hari ini sepulangnya dari makam sang ibu, ia mengajak Reyma untuk melakukan pengecekan bangunan restoran yang ternyata sudah dibangunnya sejak lima bulan lalu, saat ia masih di Sydney. Reyma mendongak, sampai kerudung yang hanya tersampir asal di kepalanya melorot. Ditatapnya lamat papan nama yang mencantumkan nama restoran Arjani, sedetik kemudian bibirnya terlipat menahan tawa. Bagaimana tidak, Arjani menamakan restorannya De Verstek, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Jerman, memiliki arti tempat persembunyian. Reyma tahu jika Arjani merencanakan membangun restoran ini sejak lima bulan lalu, saat Jimi memaksa gadis itu menerima lamaran Dave. Tempat ini memang sudah direncanakan Arjani sebagai persembunyiannya dari Jimi. Menoleh, Reyma tidak mendapati Arjani di sampingnya lagi, gadis itu sudah masuk ke dalam, terlihat berbicara dengan beberapa orang di sana. Gegas R
Arjani membalik album itu pelan, senyuman di bibirnya yang berpulas gincu merah muda belum juga surut barang sedetik, sejak matanya menjelajah isi album, yang berisi semua kenangannya sewaktu SMA. Dari sekian banyak halaman, juga foto, satu foto di bagian tengah yang ia sematkan beberapa bunga melati, selalu menjadi bagian favoritnya. Bukan karena aroma melati di sana yang membuatnya memfavoritkan bagian tersebut, melainkan foto seorang pemuda berseragam putih abu, dengan keterangan nama yang tersemat di sana. Attara Behzad, salah satu teman kelas Arjani, yang berhasil mencuri hatinya bertahun-tahun lamanya. Pertanyaan dari Sri kembali terputar di otak Arjani, selain memang karena kutukan itu ia batal menikah, setidaknya Attara juga menjadi bagian kecil dari alasan itu. Teriakan dari ambang pintu kamar, membuyarkan lamunan Arjani soal masa lalu. Seorang gadis berkuncir satu, mengenakan setelan celana denim dan kemeja kotak, kha