Dua minggu sudah Arjani di Indonesia, hari ini sepulangnya dari makam sang ibu, ia mengajak Reyma untuk melakukan pengecekan bangunan restoran yang ternyata sudah dibangunnya sejak lima bulan lalu, saat ia masih di Sydney.
Reyma mendongak, sampai kerudung yang hanya tersampir asal di kepalanya melorot. Ditatapnya lamat papan nama yang mencantumkan nama restoran Arjani, sedetik kemudian bibirnya terlipat menahan tawa. Bagaimana tidak, Arjani menamakan restorannya De Verstek, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Jerman, memiliki arti tempat persembunyian.
Reyma tahu jika Arjani merencanakan membangun restoran ini sejak lima bulan lalu, saat Jimi memaksa gadis itu menerima lamaran Dave. Tempat ini memang sudah direncanakan Arjani sebagai persembunyiannya dari Jimi. Menoleh, Reyma tidak mendapati Arjani di sampingnya lagi, gadis itu sudah masuk ke dalam, terlihat berbicara dengan beberapa orang di sana.
Gegas Reyma menyusul, ia menepuk bahu Arjani saat lawan bicara sahabatnya itu sudah pergi. "Kamu niat sekali menjadikan usaha ini sebagai pelarian, sampai nama restorannya De Versteck."
"Apa ada yang salah dengan nama itu?" tanya Arjani.
Menggeleng, Reyma berkata, "Tidak ada, masih nyambung dengan konsep restoranmu. Tempat ini akan menjadi tempat persembunyian orang-orang melakukan bisnisnya, secara kamu menyasar konsumen kelas atas, dan para pebisnis yang suka melakukan meeting di luar."
Mendapati pujian itu, senyuman di bibir Arjani merekah sempurna, walau hanya sesaat, sebelum Reyma kembali menarik senyumannya surut dengan perkataan gadis itu.
"Patah hatimu memang beda, Arja, patah hati membuatmu membuka usaha ini," ledek Reyma, seraya tertawa.
Arjani melayangkan jitakan ke kening Reyma, membuat Reyma meringis. Arjani duduk di salah satu kursi, diikuti oleh Reyma. Wajahnya berubah sendu, dihelanya napas berat. "Benarkah aku patah hati? Aku tidak pernah merasakan cinta pada Dave sama sekali, hanya kasihan. Itu kenapa aku nekat jujur di malam menjelang pernikahan kami, aku tidak mau dia kecewa mendapati kenyataan dia menikahi wanita terkutuk seperti diriku."
"Mungkinkah soal Attara?" tanya Arjani, mengakhiri analisisnya sendiri.
Kepala Reyma menggeleng kuat, ia bangkit dari duduknya untuk memeluk Arjani, seraya berkata, "Aku hanya bercanda, Arja, jangan kamu bawa serius, ih!"
"Jangan sedih, besok kamu akan opening restoran, lho," hibur Reyma, disambut tawa lirih Arjani.
***
Sepuluh bulan sudah berlalu, dan seperti pertama kali Arjani membuka restoran itu, hari ini ia melakukan ritual yang sama, mengunjungi makam sang ibu. Rambut cokelat kemerahannya sesekali menusuk matanya karena tertiup angin keras. Di samping pusara itu ia duduk termenung, hidupnya serasa hampa. Ia seperti sebatang kara di dunia ini, dan hanya memiliki Reyma sebagai orang terdekatnya.
Reyma sudah kembali ke Papua, sehari setelah opening De Versteck, lalu Jimi, pria itu tidak pernah berubah sejak dulu, tidak pernah peduli soal dirinya sama sekali. Terhitung hampir setahun Arjani di Indonesia, Jimi tidak pernah berniat mengunjunginya, pria itu cukup tenang melepasnya hanya dengan menanyakan kabar melalui telepon.
Jimi seperti tidak tertarik berkunjung ke Indonesia, meski mendengar nama putrinya terkenal sebagai juru masak dari lulusan sekolah memasak terbaik Sydney. Jimi juga tidak pernah tergiur, menyusul Arjani, meski keberhasilan restoran De Versteck sudah sampai ke telinganya sejak jauh-jauh hari.
"Arja sudah sukses, Bu. Restoran berkembang pesat, tapi Arja tidak bahagia sama sekali. Arja tidak mampu membeli kebahagiaan dengan uang Arja, ataupun uang warisan darimu," ucap Arjani, bermonolog di tanah kubur yang sepi.
Tumbuh seperti ini sejak kecil, membuat Arjani terbiasa mencurahkan isi hatinya di sini, dia cukup menjadikan batu nisan yang teronggok itu menjadi pendengar setianya. Mungkin jika batu nisan itu bisa menyimpan semua curahan hatinya, entah sudah berapa banyak cerita soal hidupnya yang tersimpan di sana.
Dering ponsel di tasnya, mengalihkan atensi Arjani. Reyma melakukan missed call padanya, membuat Arjani merekahkan senyumnya sempurna. Ponsel lipatnya menampilkan pesan dari Reyma, mengabarkan jika Reyma sudah sampai di bandara. Ya, menjelang akhir tahun, Arjani meminta sahabatnya itu untuk pulang merayakan pergantian tahun bersama, sekaligus merayakan kemajuan De Versteck.
[Aku dalam perjalanan dari bandara, tolong sambut aku, Sobat.]
Tawa Arjani pecah seketika membaca pesan Reyma, ia kembali melipat ponsel itu memasukkannya ke dalam tas. Lantas, ia tersenyum ke arah nisan yang mencetak nama ibunya. Arjani mulai mengucapkan kalimat perpisahan seperti biasa.
"Bu, Arja pulang dulu. Nanti Arja susul Ibu biar bisa mendapatkan kebahagiaan abadi sepertimu di sisi Tuhan."
Selesai dengan kalimatnya yang tidak pernah berubah selama bertahun-tahun, Arjani pergi dari sana. Biasanya, jika Reyma mendengar kalimat tadi, gadis itu pasti akan merengut tidak suka.
***
Arjani duduk di hadapan meja yang penuh dengan makanan, setelah ia gegas kembali ke restoran untuk menyambut Reyma, nyatanya gadis itu belum sampai. Kesempatan menunggu seperti ini, digunakan Arjani untuk berselancar di dunia maya.
Biasanya, dia akan membuka artikel tentang makanan dan trend terbaru di dunia kuliner. Namun, kali ini, atensinya ditarik pada berita tsunami yang melanda Aceh. Selain simpati yang turut dirasakan, khawatir justru lebih mendominasi hatinya. Nama Attara seketika memenuhi ingatannya, pria itu tinggal di Aceh, jelas saja Arjani khawatir.
Biji mata cokelat terangnya berkeliran menyapu layar ponsel kecil itu, jarinya tidak pernah mau menuruti logikanya yang memerintahkan agar ia berhenti menggeser kumpulan foto yang baru saja diunggah beberapa jam lalu oleh sang pemilik akun. Tepat saat pergantian hari pada pukul 12 malam tadi, Attara mengunggah beberapa foto yang menjadi unggahan terakhirnya.
Unggahan berisi kejutan kecil ulang tahun anaknya yang ketiga tahun. Meski sesak memenuhi rongga hatinya, bahagia lebih mendominasi perasaan Arjani sekarang. Arjani bahkan tanpa sadar, ikut tersenyum melihat foto demi foto anak itu.
"Halo, Bu Bos!" seruan di samping telinganya, membuatnya terperanjat kaget. Arjani menoleh, mendapati Reyma mendelik padanya.
"Scroll terus! Jadi orang, kok, hobi banget nyakitin hati sendiri." Reyma mecibir, melihat Arjani membuka akun media sosial Attara.
Gadis itu tersenyum getir. "Lagian kamu lama banget nyampai sini," ujarnya, mencari alasan dengan berlindung di balik kesalahan Reyma.
Reyma menatapnya sebal, seraya mendudukkan diri, Reyma ikut melempar alasan. "Alasan klasik. Di sini bukan Sydney, di mana kamu tidak akan mendapati kemacetan."
"Sebenarnya bukan karena anaknya ulang tahun aku membuka media sosialnya, Rey. Tapi kamu tahu, 'kan, kabar terbaru soal Aceh? Daerah itu tadi pagi dilanda tsunami."
Kepala Reyma yang menunduk fokus pada ponselnya, seketika terangkat. "Kamu khawatirnya sama Aceh, atau sama Attara?" tanyanya, selalu sensitif jika itu berkaitan dengan Attara.
Arjani mencebikkan bibirnya kesal, ia mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari jawaban untuk pertanyaan simpel Reyma tadi. "Jika kujawab dua-duanya, bisa?" tanya Arjani balik, membuat Reyma hanya bisa merotasi bola matanya kesal.
"Aku tahu berita itu, ketua organisasi sudah menghubungiku menanyakan apakah aku bisa turun ke lapangan atau tidak. Aku menolaknya, mungkin aku akan menyusul di Januari nanti setelah semuanya reda."
"Kenapa ditolak?" tanya Arjani, terlihat kecewa.
Berdecak, Reyma menatap sebal ke arah sahabatnya. "Aku izin cuti karena permintaanmu, kamu juga bagian dari prioritasku, Arja. Lagian masih banyak anggota yang bersedia turun ke lapangan."
"Kalau begitu, aku ikut dengamu turun ke lapangan," putus Arjani, tidak pelak membuat Reyma melotot kaget.
"Serius?" tanya Reyma, yang langsung diangguki oleh Arjani.
Seperti datang dibawa takdir, begitu juga proses Arjani dan Reyma bisa berada di sini. Setelah meyakinkan Reyma dengan sedikit memaksa, akhirnya Arjani bisa ikut serta menjadi relawan. Hari ini, mereka turun di depan kantor PMI Lambaro, tempat yang menampung mayat dan korban terluka. Pertama kali turun dari mobil khusus relawan yang membawanya, Arjani meringis pelan. Baru pertama kali ia melihat mayat berserakan di mana-mana hingga berjumlah ribuan, dengan orang yang terluka juga tidak kalah banyak. Reyma menepuk pundaknya, gadis itu menunjuk tenda dengan dagunya, dan Arjani hanya mengekori langkah Reyma yang terlihat sudah tegar dan terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Tidak seperti Arjani, yang tidak ada henti-hentinya meneteskan air mata. "Masuklah duluan ke tenda, aku akan menemui kepala organisasi. Jangan nangis terus, sedih boleh, cuma di sini mereka butuh orang yang akan menguatkan. Mengerti?" ta
Arjani menghela napas berat, pria di depannya benar-benar tidak mengingat apa pun. Kini, mereka sudah kembali ke tenda pengungsian. Attara hanya menatap kosong ke depan, sesekali membuka mulutnya ketika arjani menyodorkan sesendok bubur untuknya."Dia mengalami amnesia sementara karena benturan di kepalanya, amnesia ini bisa sembuh sewaktu-waktu dan tidak permanen. Pasien bisa disembuhkan dengan terapi dan bantuan keluarga."Sederet kalimat dari dokter yang menangani Attara tadi, kembali merangsek otak Arjani, sekaligus mendorong air matanya untuk ikut jatuh."Kenapa kamu menangis?" pertanyaan dari suara bas itu membuat Arjani gelagapan, gegas ia menyusut air matanya seraya memamerkan senyuman lebar. Dia menggeleng, lalu kembali menyuapi Attara.Namun, kali ini pria itu menolak, ia menunjuk botol air di samping Arjani. Setiap gerakan Attara, tidak pernah luput dari tatapan manik cokelat terang milik Arjani, ketulusan terpancar jelas dari sana."Kam
Seminggu sudah Arjani di sini, ia menjadi dekat dengan Chika. Wajar saja, karena gadis cilik itu setiap malamnya selalu tidur di tenda Arjani. Dan seminggu sudah, tidak ada berita terbaru mengenai Ayesha. Wanita itu seakan hilang begitu saja bersamaan dengan amukan alam kemarin.Seperti rutinitas barunya di sini setiap pagi, Arjani aka melihat keadaan Attara lebih dahulu sebelum bergabung membantu yang lain. Namun, hari ini ada yang berbeda yang ditemukan oleh Arjani. Ada sepasang suami istri berusia paruh baya, yang duduk di depan Attara.Arjani sempat melamun sejenak melihat sepasang suami istri yang masih asing di matanya, dua orang itu berbeda dari penduduk setempat di pengungsian. Pakaiannya seolah menceritakan pada semua orang, jika keduanya adalah orang berada.Lamunan Arjani buyar, saat Attara dan Chika melambaikan tangan padanya. Pria itu melempar senyum, seminggu dirawat oleh Arjani membuatnya terbiasa dengan kehadiran Arjani.Arjani memamerkan
Arjani menggeser duduknya, memberikan Imaya jalan. Wanita paruh baya tersebut menyunggingkan senyum, gemerincing gelang terdengar saat ia mengangkat tangannya lalu menggenggam tangan Arjani. "Maafkan saya atas kebohongan tadi pagi," ucapnya membuka obrolan. Senyuman lebar diberikan oleh Arjani, gadis itu menggelengkan kepala maklum. "Tidak apa-apa, lagi pula Tante melakukan itu hanya untuk membantu Attara mengingat hal-hal kecil tentang kita." Ya, memangnya kenapa Imaya harus meminta maaf padanya atas kejadian tadi pagi? Dengan Imaya meminta maaf seperti ini, justru membuat posisi Arjani sebagai korban yang terlalu berharap pada Attara. "Kamu mirip dengan Ayesha." Imaya berpendapat, seraya menatap wajah Arjani teduh. "Sayangnya wanita itu sudah tidak bisa lagi menemani Attara." Ayesha Ruqayah, wanita yang usianya sama dengan Arjani tersebut, adalah istri dari Attara. Seminggu di sini, Arjani selalu menanyakan perkembangan berita Ayesha pada Re
Sinar matahari yang menembus celah tenda mengusik Arjani dari tidurnya, gadis itu terkejut ketika mendapati dirinya bangun kesiangan. Ini tidak biasanya, karena Arjani terbiasa bangun pagi.Arjani gegas bersiap ketika tidak mendapati Reyma di sampingnya, sahabatnya itu sudah pasti memulai semua pekerjaannya di luar. Arjani terhenti di depan nakas, ada makanan cepat saji yang disiapkan Reyma. Ah, Reyma sengaja tidak membangunkan Arjani.Setelah semalaman kemarin Reyma menangis meminta Arjani untuk tidak menerima lamaran Imaya, Reyma meminta Arjani untuk istirahat saja dan memberikan Imaya jawaban besok. Mengingat hal tersebut, Arjani meninggalkan sarapannya begitu saja, ia tergesa menuju tenda Attara.Semua mata tertuju padanya kala Arjani datang dengan langkah tergesa dan napas yang terengah, tidak Arjani temukan Attara di tempat biasanya. Tatapan Arjani tertuju pada gadis berambut sebahu yang tengah membagikan makanan tersebut, dia enggan menatap Arjani.
Jimi memindai semua sudut rumah yang dulu ia tempati saat tinggal di Indonesia dengan mendiang istrinya, tatapannya jatuh pada Arjani yang menggeret kopernya memasuki salah satu kamar di lantai dua.Gadis itu masih mendiamkannya setelah Jimi mengajaknya kembali ke Sydney, helaan napas berat menguar dari rongga pernapasan pria tua itu mengingat penolakan Arjani."Bagaimana aku akan menjelaskan jika dia tidak aman tinggal di sini," gumamnya, lantas menyusul langkah Arjani ke atas.Tidak ada yang berubah dari rumah ini dari terakhir kali Jimi meninggalkannya, masih bergaya Belanda klasik, karena Sri yang dititipi rumah ini sangat apik menjaganya."Nduk, kamu pulang? Kenapa ndak kasih tahu Ibu," ujar suara yang berasal dari lantai bawah.Jimi berdiri di pinggir tangga, melihat wanita berkebaya khas Jawa itu memasuki rumah dengan tergesa, seraya menenteng plastik belanjaan. Sri terhenti ketika melihat Jimi, wanita itu salah tingkah karena diperhatikan s
Di meja makan itu denting peraduan alat makan terdengar nyaring, tiga orang yang duduk di sana sama-sama diam. Reyma melirik Arjani, sesekali bergantian melirik Jimi juga. Ayah dan anak itu belum berdamai, setelah obrolan mengenai pulang ke Sydney, dan rasa-rasanya Reyma sedikit menyesal menghadiri undangan acara makan malam yang dingin ini."Bingkisan itu dari siapa, Mbok?" tanya Jimi saat Sri datang mengantarkan semangkuk ikan pindang.Wanita tua itu gelagapan mencari jawaban, sempat ia melirik Arjani yang ternyata tidak membantu, gadis itu hanya menunduk mengunyah makanannya."Jawab yang jujur saja, Mbok, Om Jimi enggak akan marah, kok," terang Reyma menenangkan."Itu ... itu dari Nyonya Imaya, Tuan Besar," tutur Sri, tangannya sibuk memilin ujung kebayanya.Alis kuning terangnya terangkat, Jimi menatap sang putri intens. Mendapat tatapan demikian, Arjani mengembuskan napas seraya melepas peralatan makan di tangannya.Biji matanya berotas
Deburan ombak memenuhi ruang hening di bibir pantai, embusan angin pantai telah ikut memporak-porandakan suasana hati pria itu. Bagaimana tidak, baru beberapa menit lalu, gadis yang duduk di sebelahnya telah membatalkan pernikahan mereka secara sepihak. Pernikahan yang seharusnya akan digelar besok. Jingga di kaki langit Sydney perlahan surut, sesurut harapan pria itu tentang bahagia di hari esok, karena berhasil mempersunting wanita yang dicintainya. "Maafkan aku, tapi ini tidak bisa diteruskan. Keluargamu sudah tahu apa kekuranganku, aku wanita terkutuk, dan tidak sepantasnya pria sesempurna kamu akan menikahi wanita terkutuk sepertiku," ujar gadis berambut cokelat kemerahan itu. Seperti tidak merasa terbebani sama sekali, setelah mengatakan kalimatnya dia berdiri hendak pergi, sebelum si pria membuka suara menahan langkahnya."Kenapa kamu baru jujur sekarang, Arjani? Kamu tidak melakukan kebohonga
Di meja makan itu denting peraduan alat makan terdengar nyaring, tiga orang yang duduk di sana sama-sama diam. Reyma melirik Arjani, sesekali bergantian melirik Jimi juga. Ayah dan anak itu belum berdamai, setelah obrolan mengenai pulang ke Sydney, dan rasa-rasanya Reyma sedikit menyesal menghadiri undangan acara makan malam yang dingin ini."Bingkisan itu dari siapa, Mbok?" tanya Jimi saat Sri datang mengantarkan semangkuk ikan pindang.Wanita tua itu gelagapan mencari jawaban, sempat ia melirik Arjani yang ternyata tidak membantu, gadis itu hanya menunduk mengunyah makanannya."Jawab yang jujur saja, Mbok, Om Jimi enggak akan marah, kok," terang Reyma menenangkan."Itu ... itu dari Nyonya Imaya, Tuan Besar," tutur Sri, tangannya sibuk memilin ujung kebayanya.Alis kuning terangnya terangkat, Jimi menatap sang putri intens. Mendapat tatapan demikian, Arjani mengembuskan napas seraya melepas peralatan makan di tangannya.Biji matanya berotas
Jimi memindai semua sudut rumah yang dulu ia tempati saat tinggal di Indonesia dengan mendiang istrinya, tatapannya jatuh pada Arjani yang menggeret kopernya memasuki salah satu kamar di lantai dua.Gadis itu masih mendiamkannya setelah Jimi mengajaknya kembali ke Sydney, helaan napas berat menguar dari rongga pernapasan pria tua itu mengingat penolakan Arjani."Bagaimana aku akan menjelaskan jika dia tidak aman tinggal di sini," gumamnya, lantas menyusul langkah Arjani ke atas.Tidak ada yang berubah dari rumah ini dari terakhir kali Jimi meninggalkannya, masih bergaya Belanda klasik, karena Sri yang dititipi rumah ini sangat apik menjaganya."Nduk, kamu pulang? Kenapa ndak kasih tahu Ibu," ujar suara yang berasal dari lantai bawah.Jimi berdiri di pinggir tangga, melihat wanita berkebaya khas Jawa itu memasuki rumah dengan tergesa, seraya menenteng plastik belanjaan. Sri terhenti ketika melihat Jimi, wanita itu salah tingkah karena diperhatikan s
Sinar matahari yang menembus celah tenda mengusik Arjani dari tidurnya, gadis itu terkejut ketika mendapati dirinya bangun kesiangan. Ini tidak biasanya, karena Arjani terbiasa bangun pagi.Arjani gegas bersiap ketika tidak mendapati Reyma di sampingnya, sahabatnya itu sudah pasti memulai semua pekerjaannya di luar. Arjani terhenti di depan nakas, ada makanan cepat saji yang disiapkan Reyma. Ah, Reyma sengaja tidak membangunkan Arjani.Setelah semalaman kemarin Reyma menangis meminta Arjani untuk tidak menerima lamaran Imaya, Reyma meminta Arjani untuk istirahat saja dan memberikan Imaya jawaban besok. Mengingat hal tersebut, Arjani meninggalkan sarapannya begitu saja, ia tergesa menuju tenda Attara.Semua mata tertuju padanya kala Arjani datang dengan langkah tergesa dan napas yang terengah, tidak Arjani temukan Attara di tempat biasanya. Tatapan Arjani tertuju pada gadis berambut sebahu yang tengah membagikan makanan tersebut, dia enggan menatap Arjani.
Arjani menggeser duduknya, memberikan Imaya jalan. Wanita paruh baya tersebut menyunggingkan senyum, gemerincing gelang terdengar saat ia mengangkat tangannya lalu menggenggam tangan Arjani. "Maafkan saya atas kebohongan tadi pagi," ucapnya membuka obrolan. Senyuman lebar diberikan oleh Arjani, gadis itu menggelengkan kepala maklum. "Tidak apa-apa, lagi pula Tante melakukan itu hanya untuk membantu Attara mengingat hal-hal kecil tentang kita." Ya, memangnya kenapa Imaya harus meminta maaf padanya atas kejadian tadi pagi? Dengan Imaya meminta maaf seperti ini, justru membuat posisi Arjani sebagai korban yang terlalu berharap pada Attara. "Kamu mirip dengan Ayesha." Imaya berpendapat, seraya menatap wajah Arjani teduh. "Sayangnya wanita itu sudah tidak bisa lagi menemani Attara." Ayesha Ruqayah, wanita yang usianya sama dengan Arjani tersebut, adalah istri dari Attara. Seminggu di sini, Arjani selalu menanyakan perkembangan berita Ayesha pada Re
Seminggu sudah Arjani di sini, ia menjadi dekat dengan Chika. Wajar saja, karena gadis cilik itu setiap malamnya selalu tidur di tenda Arjani. Dan seminggu sudah, tidak ada berita terbaru mengenai Ayesha. Wanita itu seakan hilang begitu saja bersamaan dengan amukan alam kemarin.Seperti rutinitas barunya di sini setiap pagi, Arjani aka melihat keadaan Attara lebih dahulu sebelum bergabung membantu yang lain. Namun, hari ini ada yang berbeda yang ditemukan oleh Arjani. Ada sepasang suami istri berusia paruh baya, yang duduk di depan Attara.Arjani sempat melamun sejenak melihat sepasang suami istri yang masih asing di matanya, dua orang itu berbeda dari penduduk setempat di pengungsian. Pakaiannya seolah menceritakan pada semua orang, jika keduanya adalah orang berada.Lamunan Arjani buyar, saat Attara dan Chika melambaikan tangan padanya. Pria itu melempar senyum, seminggu dirawat oleh Arjani membuatnya terbiasa dengan kehadiran Arjani.Arjani memamerkan
Arjani menghela napas berat, pria di depannya benar-benar tidak mengingat apa pun. Kini, mereka sudah kembali ke tenda pengungsian. Attara hanya menatap kosong ke depan, sesekali membuka mulutnya ketika arjani menyodorkan sesendok bubur untuknya."Dia mengalami amnesia sementara karena benturan di kepalanya, amnesia ini bisa sembuh sewaktu-waktu dan tidak permanen. Pasien bisa disembuhkan dengan terapi dan bantuan keluarga."Sederet kalimat dari dokter yang menangani Attara tadi, kembali merangsek otak Arjani, sekaligus mendorong air matanya untuk ikut jatuh."Kenapa kamu menangis?" pertanyaan dari suara bas itu membuat Arjani gelagapan, gegas ia menyusut air matanya seraya memamerkan senyuman lebar. Dia menggeleng, lalu kembali menyuapi Attara.Namun, kali ini pria itu menolak, ia menunjuk botol air di samping Arjani. Setiap gerakan Attara, tidak pernah luput dari tatapan manik cokelat terang milik Arjani, ketulusan terpancar jelas dari sana."Kam
Seperti datang dibawa takdir, begitu juga proses Arjani dan Reyma bisa berada di sini. Setelah meyakinkan Reyma dengan sedikit memaksa, akhirnya Arjani bisa ikut serta menjadi relawan. Hari ini, mereka turun di depan kantor PMI Lambaro, tempat yang menampung mayat dan korban terluka. Pertama kali turun dari mobil khusus relawan yang membawanya, Arjani meringis pelan. Baru pertama kali ia melihat mayat berserakan di mana-mana hingga berjumlah ribuan, dengan orang yang terluka juga tidak kalah banyak. Reyma menepuk pundaknya, gadis itu menunjuk tenda dengan dagunya, dan Arjani hanya mengekori langkah Reyma yang terlihat sudah tegar dan terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Tidak seperti Arjani, yang tidak ada henti-hentinya meneteskan air mata. "Masuklah duluan ke tenda, aku akan menemui kepala organisasi. Jangan nangis terus, sedih boleh, cuma di sini mereka butuh orang yang akan menguatkan. Mengerti?" ta
Dua minggu sudah Arjani di Indonesia, hari ini sepulangnya dari makam sang ibu, ia mengajak Reyma untuk melakukan pengecekan bangunan restoran yang ternyata sudah dibangunnya sejak lima bulan lalu, saat ia masih di Sydney. Reyma mendongak, sampai kerudung yang hanya tersampir asal di kepalanya melorot. Ditatapnya lamat papan nama yang mencantumkan nama restoran Arjani, sedetik kemudian bibirnya terlipat menahan tawa. Bagaimana tidak, Arjani menamakan restorannya De Verstek, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Jerman, memiliki arti tempat persembunyian. Reyma tahu jika Arjani merencanakan membangun restoran ini sejak lima bulan lalu, saat Jimi memaksa gadis itu menerima lamaran Dave. Tempat ini memang sudah direncanakan Arjani sebagai persembunyiannya dari Jimi. Menoleh, Reyma tidak mendapati Arjani di sampingnya lagi, gadis itu sudah masuk ke dalam, terlihat berbicara dengan beberapa orang di sana. Gegas R
Arjani membalik album itu pelan, senyuman di bibirnya yang berpulas gincu merah muda belum juga surut barang sedetik, sejak matanya menjelajah isi album, yang berisi semua kenangannya sewaktu SMA. Dari sekian banyak halaman, juga foto, satu foto di bagian tengah yang ia sematkan beberapa bunga melati, selalu menjadi bagian favoritnya. Bukan karena aroma melati di sana yang membuatnya memfavoritkan bagian tersebut, melainkan foto seorang pemuda berseragam putih abu, dengan keterangan nama yang tersemat di sana. Attara Behzad, salah satu teman kelas Arjani, yang berhasil mencuri hatinya bertahun-tahun lamanya. Pertanyaan dari Sri kembali terputar di otak Arjani, selain memang karena kutukan itu ia batal menikah, setidaknya Attara juga menjadi bagian kecil dari alasan itu. Teriakan dari ambang pintu kamar, membuyarkan lamunan Arjani soal masa lalu. Seorang gadis berkuncir satu, mengenakan setelan celana denim dan kemeja kotak, kha