Cantika melangkah gontai di lantai koridor menuju ruangan Lian. Namun sesaat setelah tiba di depan pintu ruangan tempat Lian dirawat, Cantika justru berdiri membatu. Cantika termenung sejenak sambil menghela napas panjang. Pikirannya berkecamuk, baru pertama kali Cantika merasa sekalut ini. Bahkan beberapa hari ini, tak memiliki keberanian untuk bertemu dengan Lian. Beberapa hari ini Cantika hanya berdiri di depan ruang rawat Lian dan menatapnya dari ambang pintu. Memerhatikan perkembangan kondisi Lian dari ambang pintu.Kali ini pun Cantika melakukan hal yang sama, tangan kanannya bergerak, memutar handle pintu ruang rawat Lian perlahan hingga pintu sedikit terbuka. Cantika bisa melihat Lian berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam. Cantika termenung, memerhatikan wajah damai Lian dengan tatapan iba. Lamunan Cantika buyar saat mendengar suara derap kaki yang mendekat. Cantika menoleh dan melihat Dion dan Fandy yang mendekat.“Lo nggak masuk?” tanya Fandy. Cantika menggeleng. Ca
Cantika datang lagi ke rumah sakit membawa buah-buahan yang baru dibelinya di supermarket. Kaki Cantika yang melangkah mantap seketika berhenti di dekat pintu kamar rawat Lian. Dadanya bergemuruh. Isi pikirannya kembali runyam. Tapi dia tiba-tiba tersentak saat perawat laki-laki berperawakan tinggi keluar dari ruangan Lian dan menutup pintu. Cantika yakin jika perawat ini adalah Juniar, orang yang dipercaya Fandy untuk membantu mengurus Lian.“Mbak Cantika?” sapa Juniar.“Ah, iya...”“Mau masuk, kan?”Cantika terbata. Dia bahkan bingung bagaimana menjawab karena tiba-tiba merasa tidak siap untuk bertemu Lian.Tanpa mendapat jawaban, Juniar kembali membuka pintu dan tangannya bergerak memberi tanda mempersilakan Cantika masuk. “Silahkan,” ucapnya.Pintu sudah terlanjur terbuka, Juniar masih di tempatnya, Cantika merasa gengsi kalau malah melenggang pergi. Jadi dia bersikap biasa, tersenyum sambil sedikit menundukkan kepala tanda terimakasih pada Juniar. Perawat itu pun tersenyum sebent
Matahari sudah tenggelam saat mobil taksi yang ditumpangi Cantika berhenti di rumah sakit. Cantika turun dari taksi tersebut sambil menenteng buket bunga anyelir segar. Cantika termenung sejenak melihat bunga dengan pita putih di tangannya, dia sudah kehabisan akal bagaimana bisa membuat Lian memaafkannya. Cantika tersenyum getir teringat kejadian sebelumnya, saat Cantika berniat minta maaf pada Lian, malah berakhir bertengkar hebat dengan laki-laki itu.“Dasar biang kerok— bisanya cuma nyari gara-gara,” Cantika merutuk dirinya sendiri kemudian melangkah meninggalkan parkiran rumah sakit. Cantika berpapasan dengan para pengunjung rumah sakit yang lain. Saat itu Cantika baru teringat, selain Dion dan Fandy, sepertinya tidak ada orang yang menjenguk Lian lagi. Cantika mengernyit heran saat tersadar jika selama ini dia memang tidak tau apa pun soal Lian. Cantika bertekad, setelah ini dia akan cari tau lebih banyak soal Lian.Cantika melangkah masuk lift dan menekan angka 4, lantai di ma
Cantika masih saja tidak terbiasa jika pagi harinya harus diawali dengan bunyi alarm HP dan suara riuh warga kampung beserta piaraan-piaraan mereka yang mulai beraktifitas. Apalagi kali ini bukan hanya itu, suara klakson motor yang beberapa kali berbunyi membuatnya terbangun meski malas.Cantika berdecak. “Apaan sih tuh klakson, ribut banget deh suaranya!” Dia raih HP yang terus menderingkan alarm lalu mematikannya. Di layar tertera sudah pukul sembilan lebih. “Perasaan aku pasang alarm jam enam?” gumamnya sambil kembali memejamkan mata.“Mbak Cantika!” panggil sebuah suara pria yang diiringi suara ketukan pintu berkali-kali. “Katanya mau dianter ke rumah sakit?” lanjutnya.Cantika yang masih mengulet di tempat tidur langsung membelalak dan berjingkat turun. Dia baru ingat, semalam dirinya mendapat tawaran untuk diantar jemput suami Mbak Indah, tetangga sebelah, yang berprofesi sebagai driver ojek online. Daripada tiap kali mengunjungi Lian harus naik taksi bayar mahal, lebih baik pak
Sandi membantu mendorong kursi roda Lian hingga masuk ke dalam kamar rumah kontrakan lama Lian. Sandi kemudian meletakkan tas berisi baju dan perlengkapan yang sebelumnya digunakan Lian selama di rumah sakit.“Aku beneran kaget waktu kamu tiba-tiba nelpon minta jemput di rumah sakit, aku kira kamu bercanda.” Sandi duduk di tepi ranjang, lalu menatap Lian dengan sedih. Lian buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasanya masih tidak nyaman jika orang lain menatapnya dengan ekspresi kasihan— Lian jadi merasa keadaan dirinya sekarang menyedihkan.“Kenapa sebelumnya kamu nggak cerita sama aku? Kamu udah nggak nganggap aku Abang kamu lagi?” tanya Sandi, nada suaranya terdengar sedih.Lian kembali menatap Sandi dan menggeleng. “Nggak gitu, Bang. Aku cuma nggak mau bikin Bang Sandi kuatir. Aku juga takut kalo Bang Sandi sampe cerit ke ibu atau Arumy. Ibu selama ini sakit-sakitan, aku nggak mau nambah beban pikiran Ibu.”“Bener karena itu?” tanya Sandi yang masih belum yakin dengan j
“Jadi… kalian udah tunangan?” ekspresi Sandi masih terlihat plonga plongo. Beberapa kali Sandi menoleh pada Cantika yang duduk di sampingnya, lalu kembali menoleh pada Lian yang duduk di depannya, masih di atas kursi rodanya.Lian memincingkan matanya saat menatap Sandi, padahal sebelumnya dia sudah menjelaskan duduk perkaranya dengan sedetil-detilnya, tapi entah kenapa yang masuk dalam sel otak Abangnya itu hanya perihal Lian dan Cantika yang ‘sudah bertunangan’.“Dibilangin nggak tunangan beneran,” sahut Lian, tapi langsung disanggah oleh Cantika, “Beneran kok, Bang. Aku sama Lian bahkan mau nikah.”Detik itu juga Lian menoleh pada Cantika dengan kedua mata yang melotot. Cantika yang menerima tatapan penuh ancaman itu hanya menyunggingkan senyum seolah tak ada yang salah dengan ucapannya barusan. Lian menggeleng, memberi kode agar Cantika tidak terus menerus bersikap demikian. Namun Cantika hanya menanggap
Satu jam berlalu sejak Lian duduk di teras sambil memangku Lilo. Tangannya sibuk mengelus bulu lembut anabulnya itu tapi pikirannya mengawang. Sesekali Lilo menggigit tangan Lian yang berhenti mengelusnya, kemudian Lian tersadar. “Iya, iya, Sayang,” ucapnya pelan sambil tersenyum gemas. Sudah berminggu-minggu tidak merawat anak bulunya, Lian rasanya sangat rindu hingga memaksa Fandy mengantarkan Lilo pagi tadi.Lian menoleh saat terdengar suara ketukan di pintu sebelahnya. Ternyata Sandi menggetok-getokkan spatula di gawang pintu lalu melongokkan kepala. “Sarapan udah siap,” lapornya.Lian mengangguk. Dia memang membiarkan abangnya memakai dapur saat berkata ingin membuatkan sarapan untuknya. Meski dia yakin pasti kondisi dapurnya jadi tidak karuan di tangan pria selengekan itu. Dia berpikir untuk tinggal menyuruhnya beres-beres nanti.Sandi hendak membantu mendorong kursi roda Lian. “Aku bisa sendiri, Bang,” tolak Lian. Tapi
Terhitung sejak kemarin siang Cantika tinggal di kontrakan Lian secara ilegal. Lian bahkan dibuat heran, cewek modis dan terbiasa hidup mewah seperti Cantika mau-maunya tidur di lantai karena dirinya tidak memberi ijin masuk kamar. Dikiranya Cantika bakal protes lalu ciut dan memilih pergi, tapi ternyata malah betah bergulingan di kasur busa berukuran kecil dan tipis yang dipinjamkannya karena tidak tega.Cantika buru-buru menutup majalah resep yang dibacanya sambil rebahan di sebelah Lilo saat melihat Lian membuka pintu kamar. Dia langsung menghampiri Lian yang sedang mendorong kursi rodanya keluar.“Mau kemana?” Cantika baru mengulurkan tangan mau membantu mendorong tapi Lian keburu melarang. “Gak usah, aku bisa sendiri,” tekan Lian dengan nada kesal.“Yaudah.” Cantika hanya memerhatikan Lian yang ternyata menuju kamar mandi. Kemudian dia dengan sigap membukakan pintunya.Lian berdecak. Dia sebal kalau Cantika masih p