Setelah keluar lift, Cantika berjalan cepat menyusuri koridor sayap kiri rumah sakit. Tangan kiri memegang tumbler dengan kantong plastik berisi kotak kukis tergantung di pergelangannya. Pundak kanan menjinjing totebag besar sambil tangan menyeret koper kecil berisi pakaian dan segala keperluan untuk Lian. Semuanya baru dia beli. Tentu dengan uang tabungan pribadi.“Ya ampun, kamar Lian jauh amat sih dapetnya!” gerutu Cantika.Sebenarnya dia bersyukur karena Fandy mau sukarela menggelontorkan banyak dana untuk membiayai kamar VIP itu. Tapi Cantika kesal kalau dapat yang letaknya jauh, apalagi mau berlari supaya cepat sampai pun pasti dilarang. Dia kan ingin cepat bertemu Lian.Di saat terburu-buru, HP Cantika berdering. Dia cek ternyata chat dari Fandy. Cowok itu mengabarkan akan datang agak siang karena masih ada keperluan. Cantika mendengus kesal.“Bodo amat!” gerundel Cantika sambil mengantongi HP-nya lagi.Semalam dia memang mengontak Fandy, bermaksud untuk meminta cowok itu menga
Cantika melangkah gontai di lantai koridor menuju ruangan Lian. Namun sesaat setelah tiba di depan pintu ruangan tempat Lian dirawat, Cantika justru berdiri membatu. Cantika termenung sejenak sambil menghela napas panjang. Pikirannya berkecamuk, baru pertama kali Cantika merasa sekalut ini. Bahkan beberapa hari ini, tak memiliki keberanian untuk bertemu dengan Lian. Beberapa hari ini Cantika hanya berdiri di depan ruang rawat Lian dan menatapnya dari ambang pintu. Memerhatikan perkembangan kondisi Lian dari ambang pintu.Kali ini pun Cantika melakukan hal yang sama, tangan kanannya bergerak, memutar handle pintu ruang rawat Lian perlahan hingga pintu sedikit terbuka. Cantika bisa melihat Lian berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam. Cantika termenung, memerhatikan wajah damai Lian dengan tatapan iba. Lamunan Cantika buyar saat mendengar suara derap kaki yang mendekat. Cantika menoleh dan melihat Dion dan Fandy yang mendekat.“Lo nggak masuk?” tanya Fandy. Cantika menggeleng. Ca
Cantika datang lagi ke rumah sakit membawa buah-buahan yang baru dibelinya di supermarket. Kaki Cantika yang melangkah mantap seketika berhenti di dekat pintu kamar rawat Lian. Dadanya bergemuruh. Isi pikirannya kembali runyam. Tapi dia tiba-tiba tersentak saat perawat laki-laki berperawakan tinggi keluar dari ruangan Lian dan menutup pintu. Cantika yakin jika perawat ini adalah Juniar, orang yang dipercaya Fandy untuk membantu mengurus Lian.“Mbak Cantika?” sapa Juniar.“Ah, iya...”“Mau masuk, kan?”Cantika terbata. Dia bahkan bingung bagaimana menjawab karena tiba-tiba merasa tidak siap untuk bertemu Lian.Tanpa mendapat jawaban, Juniar kembali membuka pintu dan tangannya bergerak memberi tanda mempersilakan Cantika masuk. “Silahkan,” ucapnya.Pintu sudah terlanjur terbuka, Juniar masih di tempatnya, Cantika merasa gengsi kalau malah melenggang pergi. Jadi dia bersikap biasa, tersenyum sambil sedikit menundukkan kepala tanda terimakasih pada Juniar. Perawat itu pun tersenyum sebent
Matahari sudah tenggelam saat mobil taksi yang ditumpangi Cantika berhenti di rumah sakit. Cantika turun dari taksi tersebut sambil menenteng buket bunga anyelir segar. Cantika termenung sejenak melihat bunga dengan pita putih di tangannya, dia sudah kehabisan akal bagaimana bisa membuat Lian memaafkannya. Cantika tersenyum getir teringat kejadian sebelumnya, saat Cantika berniat minta maaf pada Lian, malah berakhir bertengkar hebat dengan laki-laki itu.“Dasar biang kerok— bisanya cuma nyari gara-gara,” Cantika merutuk dirinya sendiri kemudian melangkah meninggalkan parkiran rumah sakit. Cantika berpapasan dengan para pengunjung rumah sakit yang lain. Saat itu Cantika baru teringat, selain Dion dan Fandy, sepertinya tidak ada orang yang menjenguk Lian lagi. Cantika mengernyit heran saat tersadar jika selama ini dia memang tidak tau apa pun soal Lian. Cantika bertekad, setelah ini dia akan cari tau lebih banyak soal Lian.Cantika melangkah masuk lift dan menekan angka 4, lantai di ma
Cantika masih saja tidak terbiasa jika pagi harinya harus diawali dengan bunyi alarm HP dan suara riuh warga kampung beserta piaraan-piaraan mereka yang mulai beraktifitas. Apalagi kali ini bukan hanya itu, suara klakson motor yang beberapa kali berbunyi membuatnya terbangun meski malas.Cantika berdecak. “Apaan sih tuh klakson, ribut banget deh suaranya!” Dia raih HP yang terus menderingkan alarm lalu mematikannya. Di layar tertera sudah pukul sembilan lebih. “Perasaan aku pasang alarm jam enam?” gumamnya sambil kembali memejamkan mata.“Mbak Cantika!” panggil sebuah suara pria yang diiringi suara ketukan pintu berkali-kali. “Katanya mau dianter ke rumah sakit?” lanjutnya.Cantika yang masih mengulet di tempat tidur langsung membelalak dan berjingkat turun. Dia baru ingat, semalam dirinya mendapat tawaran untuk diantar jemput suami Mbak Indah, tetangga sebelah, yang berprofesi sebagai driver ojek online. Daripada tiap kali mengunjungi Lian harus naik taksi bayar mahal, lebih baik pak
Sandi membantu mendorong kursi roda Lian hingga masuk ke dalam kamar rumah kontrakan lama Lian. Sandi kemudian meletakkan tas berisi baju dan perlengkapan yang sebelumnya digunakan Lian selama di rumah sakit.“Aku beneran kaget waktu kamu tiba-tiba nelpon minta jemput di rumah sakit, aku kira kamu bercanda.” Sandi duduk di tepi ranjang, lalu menatap Lian dengan sedih. Lian buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasanya masih tidak nyaman jika orang lain menatapnya dengan ekspresi kasihan— Lian jadi merasa keadaan dirinya sekarang menyedihkan.“Kenapa sebelumnya kamu nggak cerita sama aku? Kamu udah nggak nganggap aku Abang kamu lagi?” tanya Sandi, nada suaranya terdengar sedih.Lian kembali menatap Sandi dan menggeleng. “Nggak gitu, Bang. Aku cuma nggak mau bikin Bang Sandi kuatir. Aku juga takut kalo Bang Sandi sampe cerit ke ibu atau Arumy. Ibu selama ini sakit-sakitan, aku nggak mau nambah beban pikiran Ibu.”“Bener karena itu?” tanya Sandi yang masih belum yakin dengan j
“Jadi… kalian udah tunangan?” ekspresi Sandi masih terlihat plonga plongo. Beberapa kali Sandi menoleh pada Cantika yang duduk di sampingnya, lalu kembali menoleh pada Lian yang duduk di depannya, masih di atas kursi rodanya.Lian memincingkan matanya saat menatap Sandi, padahal sebelumnya dia sudah menjelaskan duduk perkaranya dengan sedetil-detilnya, tapi entah kenapa yang masuk dalam sel otak Abangnya itu hanya perihal Lian dan Cantika yang ‘sudah bertunangan’.“Dibilangin nggak tunangan beneran,” sahut Lian, tapi langsung disanggah oleh Cantika, “Beneran kok, Bang. Aku sama Lian bahkan mau nikah.”Detik itu juga Lian menoleh pada Cantika dengan kedua mata yang melotot. Cantika yang menerima tatapan penuh ancaman itu hanya menyunggingkan senyum seolah tak ada yang salah dengan ucapannya barusan. Lian menggeleng, memberi kode agar Cantika tidak terus menerus bersikap demikian. Namun Cantika hanya menanggap
Satu jam berlalu sejak Lian duduk di teras sambil memangku Lilo. Tangannya sibuk mengelus bulu lembut anabulnya itu tapi pikirannya mengawang. Sesekali Lilo menggigit tangan Lian yang berhenti mengelusnya, kemudian Lian tersadar. “Iya, iya, Sayang,” ucapnya pelan sambil tersenyum gemas. Sudah berminggu-minggu tidak merawat anak bulunya, Lian rasanya sangat rindu hingga memaksa Fandy mengantarkan Lilo pagi tadi.Lian menoleh saat terdengar suara ketukan di pintu sebelahnya. Ternyata Sandi menggetok-getokkan spatula di gawang pintu lalu melongokkan kepala. “Sarapan udah siap,” lapornya.Lian mengangguk. Dia memang membiarkan abangnya memakai dapur saat berkata ingin membuatkan sarapan untuknya. Meski dia yakin pasti kondisi dapurnya jadi tidak karuan di tangan pria selengekan itu. Dia berpikir untuk tinggal menyuruhnya beres-beres nanti.Sandi hendak membantu mendorong kursi roda Lian. “Aku bisa sendiri, Bang,” tolak Lian. Tapi
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S
“Saya memohon restu Pak Rahadi untuk meminang Cantika menjadi istri saya,” terang Lian dengan suara tegas. Degup jantungnya menggebu sampai jemari tangannya sedikit gemetar bahkan keringat terus merembes keluar membasahi telapak tangan.Rahadi yang semula tampak sehat langsung merasa tak enak badan. Dadanya sakit, kepalanya berdenyut nyeri, tengkuk terasa panas. Agni yang menyadari sikap aneh Rahadi langsung panik lalu mengeceknya.“Ayah! Ayah kenapa?” Agni memegang bahu Rahadi. “Ada yang sakit?”Rahadi tidak menjawab. Dia coba mengatur napas dan menelan ludah untuk menyetabilkan emosi. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di ruangan itu panik juga, takut Rahadi kumat sakit jantungnya.Dengan napas berat Rahadi berujar, “Kamu masih tidak menyerah ya, Lian? Kamu anggap remeh saya?!” bentak Rahadi.Agni geleng kepala. “Ayah, tolong jangan mar
Lian duduk santai di salah satu café yang berjarak dekat dengan rumah sakit tempat Dokter Septian berpraktik. Hari itu cerah, namun pikiran Lian terombang-ambing dalam kegalauan yang mendalam. Setelah hasil tes DNA membuktikan bahwa dia memang anak biologis Septian, rasanya masih terasa aneh baginya. Tak lama kemudian, Dokter Septian datang dengan wajah berseri. Lian langsung memberikan senyuman dan menyapanya, “Selamat siang, Dok. Makasih udah meluangkan waktu.”Dokter Septian menjawab sapaan Lian dengan ramah, “Kenapa manggil ‘Dok’ lagi?”Lian baru menyadari jika dia salah menyebut panggilan untuk Septian. “Maaf—” Lian memang masih belum terbiasa memanggil Septian dengan sebutan Ayah. Rasanya masih begitu asing di lidahnya. Namun dia juga takut jika Septian akan merasa sedih jika dia tidak bersedia memanggilnya ayah.Melihat Lian yang terdiam kebingungan, Septian malah tertawa. “Ayah hany
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri