Cantika menghentak kaki menuju ruang kerja Rahadi. Pintu berukiran naga sudah terbuka lebar untuknya. Seolah pria tua itu memang sudah siap untuk dia labrak.“Kakek!” teriak Cantika.Rahadi yang sedang duduk di kursi meja kerjanya pun mendongak.“Kenapa Kakek bisa sesadis ini?!” bentak Cantika begitu sampai di hadapan Rahadi. Tapi pria tua itu malah menatapnya lembut sambil tersenyum ramah, membuat Cantika semakin marah.“Aku kan udah bilang, Lian gak salah apa-apa. Aku yang salah, Kek, hukum aku aja!” Cantika benar-benar meluapkan amarah hingga napasnya terengah-engah.Rahadi melepas kacamatanya lalu menaruhnya di dekat pigura yang membingkai potret dirinya sedang main di kebun dengan Cantika kecil. Sejenak dia perhatikan foto itu kemudian menghela napas pelan.“Cantika... Kamu masih muda, masih belum paham kerasnya kehidupan. Apa yang Kakek lakukan ini semua semata-mata demi masa depanmu yang cerah bersama pria yang Kakek akui kompetensinya.” Rahadi berdiri dan berjalan pelan mendek
Setelah keluar lift, Cantika berjalan cepat menyusuri koridor sayap kiri rumah sakit. Tangan kiri memegang tumbler dengan kantong plastik berisi kotak kukis tergantung di pergelangannya. Pundak kanan menjinjing totebag besar sambil tangan menyeret koper kecil berisi pakaian dan segala keperluan untuk Lian. Semuanya baru dia beli. Tentu dengan uang tabungan pribadi.“Ya ampun, kamar Lian jauh amat sih dapetnya!” gerutu Cantika.Sebenarnya dia bersyukur karena Fandy mau sukarela menggelontorkan banyak dana untuk membiayai kamar VIP itu. Tapi Cantika kesal kalau dapat yang letaknya jauh, apalagi mau berlari supaya cepat sampai pun pasti dilarang. Dia kan ingin cepat bertemu Lian.Di saat terburu-buru, HP Cantika berdering. Dia cek ternyata chat dari Fandy. Cowok itu mengabarkan akan datang agak siang karena masih ada keperluan. Cantika mendengus kesal.“Bodo amat!” gerundel Cantika sambil mengantongi HP-nya lagi.Semalam dia memang mengontak Fandy, bermaksud untuk meminta cowok itu menga
Cantika melangkah gontai di lantai koridor menuju ruangan Lian. Namun sesaat setelah tiba di depan pintu ruangan tempat Lian dirawat, Cantika justru berdiri membatu. Cantika termenung sejenak sambil menghela napas panjang. Pikirannya berkecamuk, baru pertama kali Cantika merasa sekalut ini. Bahkan beberapa hari ini, tak memiliki keberanian untuk bertemu dengan Lian. Beberapa hari ini Cantika hanya berdiri di depan ruang rawat Lian dan menatapnya dari ambang pintu. Memerhatikan perkembangan kondisi Lian dari ambang pintu.Kali ini pun Cantika melakukan hal yang sama, tangan kanannya bergerak, memutar handle pintu ruang rawat Lian perlahan hingga pintu sedikit terbuka. Cantika bisa melihat Lian berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam. Cantika termenung, memerhatikan wajah damai Lian dengan tatapan iba. Lamunan Cantika buyar saat mendengar suara derap kaki yang mendekat. Cantika menoleh dan melihat Dion dan Fandy yang mendekat.“Lo nggak masuk?” tanya Fandy. Cantika menggeleng. Ca
Cantika datang lagi ke rumah sakit membawa buah-buahan yang baru dibelinya di supermarket. Kaki Cantika yang melangkah mantap seketika berhenti di dekat pintu kamar rawat Lian. Dadanya bergemuruh. Isi pikirannya kembali runyam. Tapi dia tiba-tiba tersentak saat perawat laki-laki berperawakan tinggi keluar dari ruangan Lian dan menutup pintu. Cantika yakin jika perawat ini adalah Juniar, orang yang dipercaya Fandy untuk membantu mengurus Lian.“Mbak Cantika?” sapa Juniar.“Ah, iya...”“Mau masuk, kan?”Cantika terbata. Dia bahkan bingung bagaimana menjawab karena tiba-tiba merasa tidak siap untuk bertemu Lian.Tanpa mendapat jawaban, Juniar kembali membuka pintu dan tangannya bergerak memberi tanda mempersilakan Cantika masuk. “Silahkan,” ucapnya.Pintu sudah terlanjur terbuka, Juniar masih di tempatnya, Cantika merasa gengsi kalau malah melenggang pergi. Jadi dia bersikap biasa, tersenyum sambil sedikit menundukkan kepala tanda terimakasih pada Juniar. Perawat itu pun tersenyum sebent
Matahari sudah tenggelam saat mobil taksi yang ditumpangi Cantika berhenti di rumah sakit. Cantika turun dari taksi tersebut sambil menenteng buket bunga anyelir segar. Cantika termenung sejenak melihat bunga dengan pita putih di tangannya, dia sudah kehabisan akal bagaimana bisa membuat Lian memaafkannya. Cantika tersenyum getir teringat kejadian sebelumnya, saat Cantika berniat minta maaf pada Lian, malah berakhir bertengkar hebat dengan laki-laki itu.“Dasar biang kerok— bisanya cuma nyari gara-gara,” Cantika merutuk dirinya sendiri kemudian melangkah meninggalkan parkiran rumah sakit. Cantika berpapasan dengan para pengunjung rumah sakit yang lain. Saat itu Cantika baru teringat, selain Dion dan Fandy, sepertinya tidak ada orang yang menjenguk Lian lagi. Cantika mengernyit heran saat tersadar jika selama ini dia memang tidak tau apa pun soal Lian. Cantika bertekad, setelah ini dia akan cari tau lebih banyak soal Lian.Cantika melangkah masuk lift dan menekan angka 4, lantai di ma
Cantika masih saja tidak terbiasa jika pagi harinya harus diawali dengan bunyi alarm HP dan suara riuh warga kampung beserta piaraan-piaraan mereka yang mulai beraktifitas. Apalagi kali ini bukan hanya itu, suara klakson motor yang beberapa kali berbunyi membuatnya terbangun meski malas.Cantika berdecak. “Apaan sih tuh klakson, ribut banget deh suaranya!” Dia raih HP yang terus menderingkan alarm lalu mematikannya. Di layar tertera sudah pukul sembilan lebih. “Perasaan aku pasang alarm jam enam?” gumamnya sambil kembali memejamkan mata.“Mbak Cantika!” panggil sebuah suara pria yang diiringi suara ketukan pintu berkali-kali. “Katanya mau dianter ke rumah sakit?” lanjutnya.Cantika yang masih mengulet di tempat tidur langsung membelalak dan berjingkat turun. Dia baru ingat, semalam dirinya mendapat tawaran untuk diantar jemput suami Mbak Indah, tetangga sebelah, yang berprofesi sebagai driver ojek online. Daripada tiap kali mengunjungi Lian harus naik taksi bayar mahal, lebih baik pak
Sandi membantu mendorong kursi roda Lian hingga masuk ke dalam kamar rumah kontrakan lama Lian. Sandi kemudian meletakkan tas berisi baju dan perlengkapan yang sebelumnya digunakan Lian selama di rumah sakit.“Aku beneran kaget waktu kamu tiba-tiba nelpon minta jemput di rumah sakit, aku kira kamu bercanda.” Sandi duduk di tepi ranjang, lalu menatap Lian dengan sedih. Lian buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasanya masih tidak nyaman jika orang lain menatapnya dengan ekspresi kasihan— Lian jadi merasa keadaan dirinya sekarang menyedihkan.“Kenapa sebelumnya kamu nggak cerita sama aku? Kamu udah nggak nganggap aku Abang kamu lagi?” tanya Sandi, nada suaranya terdengar sedih.Lian kembali menatap Sandi dan menggeleng. “Nggak gitu, Bang. Aku cuma nggak mau bikin Bang Sandi kuatir. Aku juga takut kalo Bang Sandi sampe cerit ke ibu atau Arumy. Ibu selama ini sakit-sakitan, aku nggak mau nambah beban pikiran Ibu.”“Bener karena itu?” tanya Sandi yang masih belum yakin dengan j
“Jadi… kalian udah tunangan?” ekspresi Sandi masih terlihat plonga plongo. Beberapa kali Sandi menoleh pada Cantika yang duduk di sampingnya, lalu kembali menoleh pada Lian yang duduk di depannya, masih di atas kursi rodanya.Lian memincingkan matanya saat menatap Sandi, padahal sebelumnya dia sudah menjelaskan duduk perkaranya dengan sedetil-detilnya, tapi entah kenapa yang masuk dalam sel otak Abangnya itu hanya perihal Lian dan Cantika yang ‘sudah bertunangan’.“Dibilangin nggak tunangan beneran,” sahut Lian, tapi langsung disanggah oleh Cantika, “Beneran kok, Bang. Aku sama Lian bahkan mau nikah.”Detik itu juga Lian menoleh pada Cantika dengan kedua mata yang melotot. Cantika yang menerima tatapan penuh ancaman itu hanya menyunggingkan senyum seolah tak ada yang salah dengan ucapannya barusan. Lian menggeleng, memberi kode agar Cantika tidak terus menerus bersikap demikian. Namun Cantika hanya menanggap