Matahari sudah tenggelam saat mobil taksi yang ditumpangi Cantika berhenti di rumah sakit. Cantika turun dari taksi tersebut sambil menenteng buket bunga anyelir segar. Cantika termenung sejenak melihat bunga dengan pita putih di tangannya, dia sudah kehabisan akal bagaimana bisa membuat Lian memaafkannya. Cantika tersenyum getir teringat kejadian sebelumnya, saat Cantika berniat minta maaf pada Lian, malah berakhir bertengkar hebat dengan laki-laki itu.“Dasar biang kerok— bisanya cuma nyari gara-gara,” Cantika merutuk dirinya sendiri kemudian melangkah meninggalkan parkiran rumah sakit. Cantika berpapasan dengan para pengunjung rumah sakit yang lain. Saat itu Cantika baru teringat, selain Dion dan Fandy, sepertinya tidak ada orang yang menjenguk Lian lagi. Cantika mengernyit heran saat tersadar jika selama ini dia memang tidak tau apa pun soal Lian. Cantika bertekad, setelah ini dia akan cari tau lebih banyak soal Lian.Cantika melangkah masuk lift dan menekan angka 4, lantai di ma
Cantika masih saja tidak terbiasa jika pagi harinya harus diawali dengan bunyi alarm HP dan suara riuh warga kampung beserta piaraan-piaraan mereka yang mulai beraktifitas. Apalagi kali ini bukan hanya itu, suara klakson motor yang beberapa kali berbunyi membuatnya terbangun meski malas.Cantika berdecak. “Apaan sih tuh klakson, ribut banget deh suaranya!” Dia raih HP yang terus menderingkan alarm lalu mematikannya. Di layar tertera sudah pukul sembilan lebih. “Perasaan aku pasang alarm jam enam?” gumamnya sambil kembali memejamkan mata.“Mbak Cantika!” panggil sebuah suara pria yang diiringi suara ketukan pintu berkali-kali. “Katanya mau dianter ke rumah sakit?” lanjutnya.Cantika yang masih mengulet di tempat tidur langsung membelalak dan berjingkat turun. Dia baru ingat, semalam dirinya mendapat tawaran untuk diantar jemput suami Mbak Indah, tetangga sebelah, yang berprofesi sebagai driver ojek online. Daripada tiap kali mengunjungi Lian harus naik taksi bayar mahal, lebih baik pak
Sandi membantu mendorong kursi roda Lian hingga masuk ke dalam kamar rumah kontrakan lama Lian. Sandi kemudian meletakkan tas berisi baju dan perlengkapan yang sebelumnya digunakan Lian selama di rumah sakit.“Aku beneran kaget waktu kamu tiba-tiba nelpon minta jemput di rumah sakit, aku kira kamu bercanda.” Sandi duduk di tepi ranjang, lalu menatap Lian dengan sedih. Lian buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasanya masih tidak nyaman jika orang lain menatapnya dengan ekspresi kasihan— Lian jadi merasa keadaan dirinya sekarang menyedihkan.“Kenapa sebelumnya kamu nggak cerita sama aku? Kamu udah nggak nganggap aku Abang kamu lagi?” tanya Sandi, nada suaranya terdengar sedih.Lian kembali menatap Sandi dan menggeleng. “Nggak gitu, Bang. Aku cuma nggak mau bikin Bang Sandi kuatir. Aku juga takut kalo Bang Sandi sampe cerit ke ibu atau Arumy. Ibu selama ini sakit-sakitan, aku nggak mau nambah beban pikiran Ibu.”“Bener karena itu?” tanya Sandi yang masih belum yakin dengan j
“Jadi… kalian udah tunangan?” ekspresi Sandi masih terlihat plonga plongo. Beberapa kali Sandi menoleh pada Cantika yang duduk di sampingnya, lalu kembali menoleh pada Lian yang duduk di depannya, masih di atas kursi rodanya.Lian memincingkan matanya saat menatap Sandi, padahal sebelumnya dia sudah menjelaskan duduk perkaranya dengan sedetil-detilnya, tapi entah kenapa yang masuk dalam sel otak Abangnya itu hanya perihal Lian dan Cantika yang ‘sudah bertunangan’.“Dibilangin nggak tunangan beneran,” sahut Lian, tapi langsung disanggah oleh Cantika, “Beneran kok, Bang. Aku sama Lian bahkan mau nikah.”Detik itu juga Lian menoleh pada Cantika dengan kedua mata yang melotot. Cantika yang menerima tatapan penuh ancaman itu hanya menyunggingkan senyum seolah tak ada yang salah dengan ucapannya barusan. Lian menggeleng, memberi kode agar Cantika tidak terus menerus bersikap demikian. Namun Cantika hanya menanggap
Satu jam berlalu sejak Lian duduk di teras sambil memangku Lilo. Tangannya sibuk mengelus bulu lembut anabulnya itu tapi pikirannya mengawang. Sesekali Lilo menggigit tangan Lian yang berhenti mengelusnya, kemudian Lian tersadar. “Iya, iya, Sayang,” ucapnya pelan sambil tersenyum gemas. Sudah berminggu-minggu tidak merawat anak bulunya, Lian rasanya sangat rindu hingga memaksa Fandy mengantarkan Lilo pagi tadi.Lian menoleh saat terdengar suara ketukan di pintu sebelahnya. Ternyata Sandi menggetok-getokkan spatula di gawang pintu lalu melongokkan kepala. “Sarapan udah siap,” lapornya.Lian mengangguk. Dia memang membiarkan abangnya memakai dapur saat berkata ingin membuatkan sarapan untuknya. Meski dia yakin pasti kondisi dapurnya jadi tidak karuan di tangan pria selengekan itu. Dia berpikir untuk tinggal menyuruhnya beres-beres nanti.Sandi hendak membantu mendorong kursi roda Lian. “Aku bisa sendiri, Bang,” tolak Lian. Tapi
Terhitung sejak kemarin siang Cantika tinggal di kontrakan Lian secara ilegal. Lian bahkan dibuat heran, cewek modis dan terbiasa hidup mewah seperti Cantika mau-maunya tidur di lantai karena dirinya tidak memberi ijin masuk kamar. Dikiranya Cantika bakal protes lalu ciut dan memilih pergi, tapi ternyata malah betah bergulingan di kasur busa berukuran kecil dan tipis yang dipinjamkannya karena tidak tega.Cantika buru-buru menutup majalah resep yang dibacanya sambil rebahan di sebelah Lilo saat melihat Lian membuka pintu kamar. Dia langsung menghampiri Lian yang sedang mendorong kursi rodanya keluar.“Mau kemana?” Cantika baru mengulurkan tangan mau membantu mendorong tapi Lian keburu melarang. “Gak usah, aku bisa sendiri,” tekan Lian dengan nada kesal.“Yaudah.” Cantika hanya memerhatikan Lian yang ternyata menuju kamar mandi. Kemudian dia dengan sigap membukakan pintunya.Lian berdecak. Dia sebal kalau Cantika masih p
Lian baru selesai memberi makan Lilo saat dia mendengar suara pel pintu rumah. Lian buru-buru memutar kursi rodanya dan membukakan pintu ruang tamu. Sesaat setelah pintu rumah terbuka, Cantika dengan cepat menerobos masuk seolah ingin buru-buru sembunyi. “Kenapa, Can?” tanya Lian yang jadi ikut panik. Cantika tak menjawab, hanya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, memberi kode agar Lian tidak bicara dulu. Cantika mengatur napasnya yang naik turun sambil mengintip ke arah luar melalui jendela. Setelah memastikan situasi aman, Cantika langsung menarik tirai lalu menutupnya rapat-rapat. “Untung nggak sampe ketahuan pak RT, tadi hampir aja aku papasan sama beliau. Tapi aku buru-buru ngumpet di balik tembok pagar tetangga,” jelas Cantika dengan napas naik turun. Di tangannya, Cantika membawa rantang susun yang terbuat dari bahan stainless. Lian memerhatikan Cantika dari puncak kepala sampai kaki. Penampilan cewek yang biasanya modis itu berbeda dari biasan
“Besok pagi kamu bawain bahan-bahan sayur sop sama jagung manis, ya. Aku mau ajarin kamu masak.”Cantika senyum-senyum membaca ulang WA Lian semalam. Bahkan dia rela bangun lebih pagi untuk belanja di pasar. Bukan karena mempertimbangkan harga yang lebih murah daripada belanja di kang sayur keliling, melainkan karena dia tidak tahu apa saja bahan sayur sop yang lengkap itu. Penjual di pasar pasti lebih paham, sekalian dia mau observasi sebagai modal ilmu jadi calon istri.“Mbak? Semuanya lima puluh lima ribu,” ujar pedagang sayur membuyarkan euforia di benak Cantika.“Berapa?” Cantika buru-buru merogoh totebag dan mengeluarkan uang lima puluh ribuan. “Lima lima?” gumamnya. Dia termenung menatap nanar uang kertas biru yang dipegangnya.“Iya, Mbak. Sayur sop, jagung, sama sayap ayamnya total lima puluh lima ribu.”Cantika tersenyum kikuk. “Bisa diskon gak, Buk? Saya cuma punya