“Besok pagi kamu bawain bahan-bahan sayur sop sama jagung manis, ya. Aku mau ajarin kamu masak.”
Cantika senyum-senyum membaca ulang WA Lian semalam. Bahkan dia rela bangun lebih pagi untuk belanja di pasar. Bukan karena mempertimbangkan harga yang lebih murah daripada belanja di kang sayur keliling, melainkan karena dia tidak tahu apa saja bahan sayur sop yang lengkap itu. Penjual di pasar pasti lebih paham, sekalian dia mau observasi sebagai modal ilmu jadi calon istri.
“Mbak? Semuanya lima puluh lima ribu,” ujar pedagang sayur membuyarkan euforia di benak Cantika.
“Berapa?” Cantika buru-buru merogoh totebag dan mengeluarkan uang lima puluh ribuan. “Lima lima?” gumamnya. Dia termenung menatap nanar uang kertas biru yang dipegangnya.
“Iya, Mbak. Sayur sop, jagung, sama sayap ayamnya total lima puluh lima ribu.”
Cantika tersenyum kikuk. “Bisa diskon gak, Buk? Saya cuma punya
Fandy meniup secangkir cokelat panas sambil berjalan dari dapur menuju ruang tamu. “Geser dikit!” pintanya pada Dion yang sedang bergulingan dengan Lilo di sofa. Dion tidak mengindahkan permintaan Fandy. Dia malah asyik menguyel dan menciumi Lilo dengan gemas.Fandy yang masih berdiri pun mendengus kesal karena sikap Dion yang tak acuh padanya. Dia letakkan cangkirnya di meja, melipat tangan di depan dada, lalu berteriak, “Woy, budeg!”Dion sontak berhenti dari aktivitasnya lalu melotot pada Fandy. “Apa lo bilang?” tanyanya kaget dan juga kesal.“Gue minta tempat buat duduk, Bang,” kelit Fandy sambil senyum tenang.“Gak, bukan itu yang tadi gue denger,” protes Dion. Fandy pura-pura garuk kepala.Lian yang baru ganti baju buru-buru memutar kursi rodanya keluar kamar. Dia diam di ambang pintu memerhatikan dua sahabatnya yang nyaris bertengkar. Dion yang melihatnya langsung kicep. Dia bergese
Sudah lebih dari dua jam Cantika duduk di kursi teras rumah kontrakan Lian. Sesekali Cantika bangkit, jalan mondar-mandir sambil melihat ke arah jalanan. Cantika berdecak kesal, mulai tidak sabar menunggu kepulangan Lian.“Lian sebenernya pergi ke mana, sih?” gerutu Cantika heran. Dia meraih ponsel lalu men-dial nomor Lian. Terdengar nada tunggu beberapa saat, namun panggilan tersebut tidak diangkat. Cantika tak bisa sabar lagi. Dua bulan sejak Lian keluar rumah sakit, Lian sering pergi entah kemana tanpa memberitahu Cantika.Cantika akhirnya menghubungi nomor Fandy, kemungkinan besar Lian pergi dengan sohibnya itu. Namun lagi-lagi, hanya terdengar nada sambung di hp Cantika. Panggilan Fandy juga tidak diangkat.“Rese!” umpat Cantika pada hp-nya sendiri, seolah yang di depannya adalah Fandy. Cantika menarik napas dalam, tangan kanannya masih menggenggam ponselnya sambil menatap nama kontak yang tertera di layarnya, ‘Dion&rs
“Gue lega banget lo akhirnya bisa lepas dari kursi roda.” Dion memapah Lian masuk kontrakan. Fandy yang membawakan tas dan menutup pintu kembali. “Gue juga. Rasanya kek akhirnya anak batita gue bisa jalan, gitu.”Dion langsung membelalak. Fandy spontan menutup mulut dengan tangan. “Ups, sorry.”Lian hanya terkekeh. Dia merasa lucu karena dimanjakan oleh kedua sahabatnya itu. “Padahal kalian gak perlu segininya ngurusin gue. Tapi gue makasih banget, ya. Gue bersyukur punya sahabat-sahabat yang care ke gue kayak kalian.”Dion dan Fandy saling pandang kemudian tersenyum bersamaan.“Lagian dokter kan bilang kalo lo ada kemungkinan buat pulih kayak sedia kala. Jadi gimanapun caranya kudu kita usahain.” Dion mendudukkan Lian di sofa. “Mulai sekarang lo harus lebih optimis, tetep semangat, jangan ada kata pasrah lagi. Oke!”Fandy yang sempat ke dapur buru-buru kembal
Cantika keluar dari minimarket sambil menenteng dua kantong plastik berisi beberapa mie instan dan kebutuhan bulanan lain. Sudah beberapa minggu ini dia hanya bisa makan mie instan. Uang cash yang dia punya nyaris habis, terlebih dia juga belum bayar rumah yang sebentar lagi habis masa kontraknya. Cantika membuka dompetnya, melihat hanya tertinggal beberapa lembar uang 50 ribuan di sana.“Kayaknya aku cuma bisa bertahan hidup sampe akhir bulan, sebelum mati kelaparan,” Cantika menghela napas panjang sambil berjalan gontai menuju kontrakannya. Saat baru saja berbelok dari parkiran minimarket menuju trotoar jalan, tiba-tiba saja terdengar suara klakson. Tak lama kemudian mobil Alphard menepi dan berhenti di samping Cantika.Cantika menoleh, dia hapal betul jika mobil Alphard warna hitam tersebut adalah salah satu koleksi milik kakeknya. Seorang sopir segera turun dari sana, lalu membukakan pintu tengah untuk Cantika.“Silakan masuk, Non.
“Sepele kamu bilang?” Cantika terbelalak. Dia tak terima dengan tuduhan Lian padanya. “Justru kamu yang nge-judge aku tanpa mikir dulu.”“Itu karena kata nikah selalu keluar dengan gampangnya dari mulut kamu, Cantika.”“Jelas, dong. Kan kita udah tunangan. Dan cuma kamu cowok yang aku sayang.” Cantika mengurut kening. “Aku bahkan ninggalin segalanya demi kamu, Lian.”Lian mendengus sambil tersenyum sarkas. “Emang siapa yang nyuruh kamu ngelakuin itu?”Cantika seperti kehabisan kata-kata. Selama beberapa waktu dia berhasil mendapatkan perhatian dan perlakuan yang baik dari Lian, tapi ternyata itu semua seperti tidak ada gunanya.“Jadi kamu mau terus tarik ulur, gitu?” tanya Cantika dengan penekanan. “Apa jangan-jangan selama ini aku udah salah paham sama perlakuan baik kamu ke aku?” suara Cantika tercekat. Dia berusaha menahan amarahnya yang nyar
Hanya berbekal pensil 2B dan kertas HVS, jari Cantika tampak lincah saat menggambar desain. Lian yang duduk di sampingnya hanya melongo, bahkan hingga lupa cara berkedip. Dia memerhatikan tangan Cantika yang dengan cepat mencoret-coret kertas hingga membentuk desain pakaian yang indah. Selesai membuat desain pakaian untuk wanita, Cantika lalu mengangkat kertas HVS dan memamerkannya pada Lian.“Gimana, Yank?” sebelah tangan Cantika mengusap-usap dagu dengan ekspresi penuh kesombongan. Lian memerhatikan gambar buatan Cantika, lalu menatap wajah Cantika dengan tatapan tak percaya. “Kalo aku nggak nungguin langsung, aku pasti nggak akan percaya,” gumam Lian.Cantika kembali meletakkan gambarnya di meja. “Aku juga bisa bikin desain buat cowok, lain kali aku bakal bikinin buat kamu. Sekalian aku jahitin sendiri.”“Kamu juga bisa jahit?” Lian makin tak percaya.“Yank, kenapa kamu ngeremehin aku banget?”
Cantika berdiri mematung di dekat jendela sambil menggigit kuku jari dengan tatapan mata yang menerawang. “Can?” panggil Lian.Cantika menoleh lalu tersenyum. “Udah mandinya?” Dia mendekat pada Lian yang baru keluar dari kamar mandi.Lian mengangguk. “Kamu kenapa berdiri terus? Nggak capek apa dari tadi udah jalan jauh sambil dorong kursi rodaku?”Cantika menggeleng cepat. Dia jongkok di hadapan Lian. “Asal buat kamu, aku nggak ngerasa capek sama sekali kok.”Lian mencubit ujung hidung Cantika. “Gombal.”“Iiih, seriusan!” protes Cantika.“Trus kenapa kamu bengong barusan?” tanya Lian. Ekspresinya tampak serius. Dia sangat ingin tahu apa yang sedang Cantika pikirkan.“Emm... Aku...” Cantika ragu. “Aku cuma ngerasa duit pinjeman Navi tadi masih kurang.”Lian mengernyit. “50 juta masih kurang tuh emang mau kamu pake bu
Setengah jam setelah Morgan pergi, Cantika hanya duduk termenung sambil menatap ke luar jendela dengan tatapan mata kosong. Fandy dan Lian memerhatikan itu, kemudian saling pandang dengan ekspresi bingung. Lian yang tidak tega melihat Cantika akhirnya menggerakkan kursi rodanya mendekat pada Cantika. “Can, aku tau kamu cemas sama kakek kamu. Mending sekarang kita ke rumah sakit, aku temenin kamu.”Cantika menggeleng. “Gak usah, Lian. Kamu istirahat aja di rumah, biar aku ke rumah sakit sendiri.” Cantika menarik tas selempangnya dan segera bersiap pergi. Lian yang masih khawatir menoleh pada Fandy, menatapnya dengan mata memohon. Fandy mengangguk seolah mengerti dengan kode yang diberikan Lian. Fandy segera mengikuti Cantika yang berjalan keluar rumah. “Gue anterin lo, Can…”***Motor Fandy yang berboncengan dengan Cantika tiba di parkiran rumah sakit. Cantika segera turun dari boncengan sambil mengembalikan helm pada Fa