Fandy meniup secangkir cokelat panas sambil berjalan dari dapur menuju ruang tamu. “Geser dikit!” pintanya pada Dion yang sedang bergulingan dengan Lilo di sofa. Dion tidak mengindahkan permintaan Fandy. Dia malah asyik menguyel dan menciumi Lilo dengan gemas.
Fandy yang masih berdiri pun mendengus kesal karena sikap Dion yang tak acuh padanya. Dia letakkan cangkirnya di meja, melipat tangan di depan dada, lalu berteriak, “Woy, budeg!”
Dion sontak berhenti dari aktivitasnya lalu melotot pada Fandy. “Apa lo bilang?” tanyanya kaget dan juga kesal.
“Gue minta tempat buat duduk, Bang,” kelit Fandy sambil senyum tenang.
“Gak, bukan itu yang tadi gue denger,” protes Dion. Fandy pura-pura garuk kepala.
Lian yang baru ganti baju buru-buru memutar kursi rodanya keluar kamar. Dia diam di ambang pintu memerhatikan dua sahabatnya yang nyaris bertengkar. Dion yang melihatnya langsung kicep. Dia bergese
Sudah lebih dari dua jam Cantika duduk di kursi teras rumah kontrakan Lian. Sesekali Cantika bangkit, jalan mondar-mandir sambil melihat ke arah jalanan. Cantika berdecak kesal, mulai tidak sabar menunggu kepulangan Lian.“Lian sebenernya pergi ke mana, sih?” gerutu Cantika heran. Dia meraih ponsel lalu men-dial nomor Lian. Terdengar nada tunggu beberapa saat, namun panggilan tersebut tidak diangkat. Cantika tak bisa sabar lagi. Dua bulan sejak Lian keluar rumah sakit, Lian sering pergi entah kemana tanpa memberitahu Cantika.Cantika akhirnya menghubungi nomor Fandy, kemungkinan besar Lian pergi dengan sohibnya itu. Namun lagi-lagi, hanya terdengar nada sambung di hp Cantika. Panggilan Fandy juga tidak diangkat.“Rese!” umpat Cantika pada hp-nya sendiri, seolah yang di depannya adalah Fandy. Cantika menarik napas dalam, tangan kanannya masih menggenggam ponselnya sambil menatap nama kontak yang tertera di layarnya, ‘Dion&rs
“Gue lega banget lo akhirnya bisa lepas dari kursi roda.” Dion memapah Lian masuk kontrakan. Fandy yang membawakan tas dan menutup pintu kembali. “Gue juga. Rasanya kek akhirnya anak batita gue bisa jalan, gitu.”Dion langsung membelalak. Fandy spontan menutup mulut dengan tangan. “Ups, sorry.”Lian hanya terkekeh. Dia merasa lucu karena dimanjakan oleh kedua sahabatnya itu. “Padahal kalian gak perlu segininya ngurusin gue. Tapi gue makasih banget, ya. Gue bersyukur punya sahabat-sahabat yang care ke gue kayak kalian.”Dion dan Fandy saling pandang kemudian tersenyum bersamaan.“Lagian dokter kan bilang kalo lo ada kemungkinan buat pulih kayak sedia kala. Jadi gimanapun caranya kudu kita usahain.” Dion mendudukkan Lian di sofa. “Mulai sekarang lo harus lebih optimis, tetep semangat, jangan ada kata pasrah lagi. Oke!”Fandy yang sempat ke dapur buru-buru kembal
Cantika keluar dari minimarket sambil menenteng dua kantong plastik berisi beberapa mie instan dan kebutuhan bulanan lain. Sudah beberapa minggu ini dia hanya bisa makan mie instan. Uang cash yang dia punya nyaris habis, terlebih dia juga belum bayar rumah yang sebentar lagi habis masa kontraknya. Cantika membuka dompetnya, melihat hanya tertinggal beberapa lembar uang 50 ribuan di sana.“Kayaknya aku cuma bisa bertahan hidup sampe akhir bulan, sebelum mati kelaparan,” Cantika menghela napas panjang sambil berjalan gontai menuju kontrakannya. Saat baru saja berbelok dari parkiran minimarket menuju trotoar jalan, tiba-tiba saja terdengar suara klakson. Tak lama kemudian mobil Alphard menepi dan berhenti di samping Cantika.Cantika menoleh, dia hapal betul jika mobil Alphard warna hitam tersebut adalah salah satu koleksi milik kakeknya. Seorang sopir segera turun dari sana, lalu membukakan pintu tengah untuk Cantika.“Silakan masuk, Non.
“Sepele kamu bilang?” Cantika terbelalak. Dia tak terima dengan tuduhan Lian padanya. “Justru kamu yang nge-judge aku tanpa mikir dulu.”“Itu karena kata nikah selalu keluar dengan gampangnya dari mulut kamu, Cantika.”“Jelas, dong. Kan kita udah tunangan. Dan cuma kamu cowok yang aku sayang.” Cantika mengurut kening. “Aku bahkan ninggalin segalanya demi kamu, Lian.”Lian mendengus sambil tersenyum sarkas. “Emang siapa yang nyuruh kamu ngelakuin itu?”Cantika seperti kehabisan kata-kata. Selama beberapa waktu dia berhasil mendapatkan perhatian dan perlakuan yang baik dari Lian, tapi ternyata itu semua seperti tidak ada gunanya.“Jadi kamu mau terus tarik ulur, gitu?” tanya Cantika dengan penekanan. “Apa jangan-jangan selama ini aku udah salah paham sama perlakuan baik kamu ke aku?” suara Cantika tercekat. Dia berusaha menahan amarahnya yang nyar
Hanya berbekal pensil 2B dan kertas HVS, jari Cantika tampak lincah saat menggambar desain. Lian yang duduk di sampingnya hanya melongo, bahkan hingga lupa cara berkedip. Dia memerhatikan tangan Cantika yang dengan cepat mencoret-coret kertas hingga membentuk desain pakaian yang indah. Selesai membuat desain pakaian untuk wanita, Cantika lalu mengangkat kertas HVS dan memamerkannya pada Lian.“Gimana, Yank?” sebelah tangan Cantika mengusap-usap dagu dengan ekspresi penuh kesombongan. Lian memerhatikan gambar buatan Cantika, lalu menatap wajah Cantika dengan tatapan tak percaya. “Kalo aku nggak nungguin langsung, aku pasti nggak akan percaya,” gumam Lian.Cantika kembali meletakkan gambarnya di meja. “Aku juga bisa bikin desain buat cowok, lain kali aku bakal bikinin buat kamu. Sekalian aku jahitin sendiri.”“Kamu juga bisa jahit?” Lian makin tak percaya.“Yank, kenapa kamu ngeremehin aku banget?”
Cantika berdiri mematung di dekat jendela sambil menggigit kuku jari dengan tatapan mata yang menerawang. “Can?” panggil Lian.Cantika menoleh lalu tersenyum. “Udah mandinya?” Dia mendekat pada Lian yang baru keluar dari kamar mandi.Lian mengangguk. “Kamu kenapa berdiri terus? Nggak capek apa dari tadi udah jalan jauh sambil dorong kursi rodaku?”Cantika menggeleng cepat. Dia jongkok di hadapan Lian. “Asal buat kamu, aku nggak ngerasa capek sama sekali kok.”Lian mencubit ujung hidung Cantika. “Gombal.”“Iiih, seriusan!” protes Cantika.“Trus kenapa kamu bengong barusan?” tanya Lian. Ekspresinya tampak serius. Dia sangat ingin tahu apa yang sedang Cantika pikirkan.“Emm... Aku...” Cantika ragu. “Aku cuma ngerasa duit pinjeman Navi tadi masih kurang.”Lian mengernyit. “50 juta masih kurang tuh emang mau kamu pake bu
Setengah jam setelah Morgan pergi, Cantika hanya duduk termenung sambil menatap ke luar jendela dengan tatapan mata kosong. Fandy dan Lian memerhatikan itu, kemudian saling pandang dengan ekspresi bingung. Lian yang tidak tega melihat Cantika akhirnya menggerakkan kursi rodanya mendekat pada Cantika. “Can, aku tau kamu cemas sama kakek kamu. Mending sekarang kita ke rumah sakit, aku temenin kamu.”Cantika menggeleng. “Gak usah, Lian. Kamu istirahat aja di rumah, biar aku ke rumah sakit sendiri.” Cantika menarik tas selempangnya dan segera bersiap pergi. Lian yang masih khawatir menoleh pada Fandy, menatapnya dengan mata memohon. Fandy mengangguk seolah mengerti dengan kode yang diberikan Lian. Fandy segera mengikuti Cantika yang berjalan keluar rumah. “Gue anterin lo, Can…”***Motor Fandy yang berboncengan dengan Cantika tiba di parkiran rumah sakit. Cantika segera turun dari boncengan sambil mengembalikan helm pada Fa
“Silahkan duduk, Non Cantika,” ujar ramah seorang ART sambil mempersilakan Cantika di ruang tamu. “Saya sudah panggilkan Ibu, Non tunggu ya, sebentar lagi beliau turun.”Cantika mengangguk. “Makasih ya, Bik.”ART mengangguk sambil tersenyum kemudian bergegas pergi ke belakang.Cantika duduk lalu mengedar pandang. Dia perhatikan setiap sudut ruangan yang besar dan berinterior mewah itu, meski masih kalah dibanding rumah Robby maupun Rahadi. “Kapan ya terakhir aku ke sini?” gumamnya. Pandangannya terhenti pada sebuah bingkai foto kecil dengan hiasan kulit kerang. Dia pun beranjak mendekat ke meja tempat bingkai foto itu berada.“Masih aja dipajang.” Cantika mengangkat benda yang terpasang foto dirinya dan Dion saat purnawiyata SMP itu. Dia ingat betul, saat itu mereka berdua baru dikenalkan. Rahadi menggandengkan mereka sebagai sahabat, padahal ada maksud terselubung yaitu perjodohan.Cantik
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S
“Saya memohon restu Pak Rahadi untuk meminang Cantika menjadi istri saya,” terang Lian dengan suara tegas. Degup jantungnya menggebu sampai jemari tangannya sedikit gemetar bahkan keringat terus merembes keluar membasahi telapak tangan.Rahadi yang semula tampak sehat langsung merasa tak enak badan. Dadanya sakit, kepalanya berdenyut nyeri, tengkuk terasa panas. Agni yang menyadari sikap aneh Rahadi langsung panik lalu mengeceknya.“Ayah! Ayah kenapa?” Agni memegang bahu Rahadi. “Ada yang sakit?”Rahadi tidak menjawab. Dia coba mengatur napas dan menelan ludah untuk menyetabilkan emosi. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di ruangan itu panik juga, takut Rahadi kumat sakit jantungnya.Dengan napas berat Rahadi berujar, “Kamu masih tidak menyerah ya, Lian? Kamu anggap remeh saya?!” bentak Rahadi.Agni geleng kepala. “Ayah, tolong jangan mar
Lian duduk santai di salah satu café yang berjarak dekat dengan rumah sakit tempat Dokter Septian berpraktik. Hari itu cerah, namun pikiran Lian terombang-ambing dalam kegalauan yang mendalam. Setelah hasil tes DNA membuktikan bahwa dia memang anak biologis Septian, rasanya masih terasa aneh baginya. Tak lama kemudian, Dokter Septian datang dengan wajah berseri. Lian langsung memberikan senyuman dan menyapanya, “Selamat siang, Dok. Makasih udah meluangkan waktu.”Dokter Septian menjawab sapaan Lian dengan ramah, “Kenapa manggil ‘Dok’ lagi?”Lian baru menyadari jika dia salah menyebut panggilan untuk Septian. “Maaf—” Lian memang masih belum terbiasa memanggil Septian dengan sebutan Ayah. Rasanya masih begitu asing di lidahnya. Namun dia juga takut jika Septian akan merasa sedih jika dia tidak bersedia memanggilnya ayah.Melihat Lian yang terdiam kebingungan, Septian malah tertawa. “Ayah hany
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri